-Empat-
Aaditya masih duduk di sofa ruang santai. Sedari tadi ia hanya menjawab seperlunya saja saat Tiara menyemburkan kegeraman. Baru beberapa menit ia sampai di rumah, tetapi Tiara tak memberinya waktu barang sebentar untuk menukar pakaian atau meneguk air putih.
"Kamu harus ingat, Luna bukan siapa-siapa kamu lagi. Keluarga sepakat kamu akan bertunangan dengan Maya. Jadi, kamu tidak usah menemui Luna, Ditya," sembur Tiara. Ia berkata sembari berjalan mondar-mandir di depan Aaditya yang bergeming. "Kamu dengar kata Mama nggak, sih?"
"Iya, Ma," sahut Aaditya pendek.
Tiara mendecakkan lidah, merasa kesal dengan sahutan pendek tanpa penguatan. "Bulan depan kita buat pesta pertunangan kamu dengan Maya. Mama yang atur," ucap Tiara ketus.
Ultimatum Tiara cukup membuat Aaditya lupa bernapas sejenak. "Lho, bukannya tiga bulan lagi?"
"Peduli amat, semakin cepat semakin bagus. Sebelum kamu kembali terjerumus dengan rayuan Luna untuk kembali padanya," pungkas Tiara. Ia melenggang, menimbulkan bunyi bergemeletuk kitten high heels yang ia kenakan.
Aaditya mengembuskan napas kasar, menyandarkan kepala di sandaran sofa seraya menatap langit-langit rumah. Ia pikir semua tentang Luna sudah berakhir dan memilih menerima usaha Maya untuk mengisi kehidupannya. Mana Aaditya tahu kalau ia ternyata dipertemukan kembali dengan mantan istrinya. Dan Aaditya merasa perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Luna selama setahun perpisahan mereka. Apa yang terjadi sampai Luna seperti berubah?
Sepanjang pengamatan Aaditya di rumah Luna tadi, ia tak melihat kegilaan Luna si penyandang Ratu Hedon. Di rumah yang terkesan minimalis itu sama sekali tidak terlihat tas belanja berserakan layaknya dulu, saat mereka tinggal berdua. Tidak mungkin juga kamar sesempit itu sanggup menyimpan semua koleksi Luna. Apa Luna meninggalkannya di rumah keluarga Hardian? Lalu kenapa Luna hengkang dari perusahaan papanya dan memilih bekerja di butik Bu Dewi yang jelas gajinya tak sebesar dulu?
Entahlah, yang jelas Aaditya harus mencari kejelasan agar tidak ada lagi ganjalan dalam hatinya. Dan Aaditya belum sepenuhnya memahami ganjalan apa yang sebenarnya ia rasakan. Setahun berlalu, benarkah cinta untuk Luna belum berakhir meski tergerus waktu? Sekali lagi, entahlah!
~o0o~
Malam ini bulan purnama tampak mengintip malu-malu melalui celah awan. Luna masih bersandar pada sisi jendela yang terbuka. Telunjuk tangan kanan Luna memainkan pengait kunci. Ada wangi parfum Aaditya yang menguar, mungkin cuping hidungnya yang rusak. Tubuh Aaditya sudah tidak di sini, tapi wanginya seperti tertinggal dan mengendap di ruangan ini. Apa ini hanya perasaan Luna saja?
Padahal tadi setelah Aaditya pergi, Luna sudah bertekad menganggapnya angin lalu. Ia yakin bisa melupakan pertemuan siang tadi dan hidup normal seperti sebelumnya. Alamat sial karena ternyata setelah Aaditya pergi, Luna semakin memikirkannya.
Luna mengulum bibirnya, menengadah menatap bulan yang hampir tertutup separuh awan hitam. Ia terperenyak dari acara bergemingnya saat ponsel di meja kecil dekat jendela berdenting.
Kening wanita itu berkerut. Tidak ada nama kontak dari pengirim pesan. Namun, di akhir pesan ia tersenyum dengan wajah memanas.
"Jangan lupa kopinya. Aaditya."
Luna meletakkan ponsel kembali ke meja. Sungguh Aaditya masih pandai melucu, menjadikan alasan minum kopi untuk bertemu. Apa ia serius mengajak minum kopi? Bibir tipis tanpa polesan lipstik itu mendesah, melempar tubuh ke sofa dan berbaur dengan gelisah hingga hampir semalaman, tak sanggup memejamkan mata.
"Oh, demi Tuhan. Aku bisa terlambat bekerja esok pagi," gerutu Luna.
~o0o~
Luna tersentak seketika beberapa orang yang saling berdesakan turun dari commuterline. Ia hampir terlelap sambil berdiri. Bayangkan saja, matanya semalam baru bisa terpejam menjelang pukul tiga pagi. Sementara ia pagi ini harus bekerja. Luna sudah berusaha menutupi lingkar hitam mata dengan sapuan conceler. Namun, tetap saja dengan mata yang sebentar-sebentar hampir terpejam diiringi ekspresi menguap, cukup membuatnya tampak kurang tidur.
Sepertinya Luna butuh kopi. Hanya saja tidak mungkin ia berhenti di kafe hanya sekadar untuk minum kopi. Ia memilih memasuki minimarket di dekat stasiun dan mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu rupiah. Tak ada kopi hangat, minuman kaleng yang mememiliki kandungan kopi pun tak masalah. Kafein baginya sanggup membangkitkan semangat.
Setelah menghabiskan minuman, ia setengah berlari ke Butik Bu Dewi. Luna sempat berkaca sebentar di depan etalase kaca butik, merapikan poni dan rambut yang berantakan diterpa angin jalanan.
"Luunnaaaa ...! Ini jam berapa?" pekik Bu Dewi tanpa menoleh ke arah pemilik nama yang baru saja masuk ke dalam butik.
Luna mengembuskan napas frustrasi dengan pundak lemas. Ia berbalik, menghadap Bu Dewi yang sedang sibuk meneliti buku sketsa di depan meja. "Ma-maaf," gumam.
"Kalau saja kata maaf itu berguna, mungkin tidak akan ada penjahat yang dipenjara karena dengan kata maaf saja mereka terbebas dari kesalahan!" tegas Bu Dewi. Matanya bahkan belum beralih dari sketsa di meja. Sesekali tangan Bu Dewi membuka lembar demi lembar buku tersebut.
"Iya, saya akan berusaha ...."
"Apa karena semalam tak bisa tidur?" potong Bu Dewi seraya tersenyum sinis. Ia mendongak, mengaitkan jemari tangan kanan dan kiri di atas meja.
Luna menggigit bibir. Siapa pula yang tak kenal Aaditya. Semua juga tahu Aaditya dan si Ratu Hedon adalah mantan suami istri. Kiprah Luna di dunia fashion blogger cukup membuatnya populer dan tak jarang publik bersikap kepo dengan kehidupan pribadi wanita cantik penggila shoping ini. Luna menghela napas, berusaha tak terpancing dengan cara Bu Dewi mengorek kehidupannya. Ia tersenyum dan mengangguk saja. Terserah Bu Dewi akan mengartikan anggukannya apa.
Bu Dewi membenarkan posisi kacamata di pangkal hidung. "Hari Minggu usir harapanmu untuk menikmati liburan. Akan ada orang yang menginginkan rancangan gaun. Dan kamu aku tunjuk untuk menemaniku menemuinya. Aku rasa rancangan gaun buatanmu menarik," terang Bu Dewi. Ia membuka lipatan kertas di sela-sela buku. "Aku pikir selama ini kamu hanya bisa memasang aneka payet dan memotong kain sesuai rancanganku. Tak kusangka kamu juga pandai merancang gaun."
Luna terbelalak dengan mulut sedikit membuka. "A-apa akan menggunakan rancangan gaun itu untuk klien Anda?" tanya Luna tak percaya.
Bu Dewi mengangguk diiringi kekehen panjang. Tubuh gempalnya bergerak naik turun mendapati ekspresi Luna yang berbinar bahagia. "Buat rancangan yang lain, kita tawarkan pada klien kita hari Minggu besok," pinta Bu Dewi.
Luna mengangguk masih dengan rona kegembiraan. Ia segera menuju meja kerjanya. Ini kesempatan bagus untuknya. Luna memang tidak pernah mencicipi bangku sekolah tata busana. Ia hanya pernah mengikuti kursus menjahit. Ya, belasan tahun lalu sebelum ia menginjak rumah keluarga Hardian, ia pernah berusaha menekuni kursus menjahit. Sejak kecil, Luna memang selalu bermimpi bisa membuat gaun yang indah. Gaun dambaan setiap wanita yang ingin tampil anggun dan cantik.
~o0o~
Kali ini saja, sepulang kerja dan menerima gaji, karena Luna sedang senang impiannya merancang gaun akan tercapai, ia ingin sedikit jalan-jalan. Ingat, jalan-jalann saja! Bukan untuk membelanjakan uang gajinya yang telah terpotong penagih utang.
Mata Luna tampak asyik menatap jajaran etalase. Louboutin. Oh, bahkan hingga saat ini sepatu sol merah itu masih tampak anggun. Hanya saja, Luna harus bisa menahan diri. Setidaknya ia sudah bisa menyentuh, meski tidak membelinya.
Luna menangkupkan kedua tangan di depan dada, memiringkan kepala mengamati jajaran sepatu sol merah tanpa berkedip. Lengkungan bibir Luna tak kunjung usai. Oh, tidak! Kali ini Luna mulai meraba dompet, mengamati isinya. Sedetik kemudian pundaknya terkulai. Ia lupa bahwa kartu kredit miliknya telah ia patahkan jadi dua, semenjak terobsesi membuang predikat Ratu Hedon.
Luna mengembuskan napas, menyeret langkahnya agar kuat meninggalkan etalase Louboutin yang tampak bersinar. Embusan napas kasar semakin terdengar saat di depan pintu masuk mal ternyata cuaca tak mendukung. Luna melihat jam tangan di pergelanga tangan kirinya. Pukul lima sore, itu artinya ia harus berdoa lebih khusyuk supaya hujan segera reda.
Bentangan jas berwarna cokelat di kepala Luna kontan membuatnya mendongak.
"Aku antar pulang," ucap sosok yang membentangkan jas itu.
Luna mengerjap. Aaditya, siapa lagi laki-laki romantis bermata teduh yang bisa seperhatian ini?
"Kalau kamu mau," imbuh Aaditya.
"O-oh, boleh," sahut Luna. Senyum simpul terukir di bibirnya. Luna lupa bahwa ia juga sedang berusaha menganggap pertemuan dengan mantan suaminya adalah angin lalu saja. Karena pada kenyataannya, Aaditya selalu muncul akhir-akhir ini.
Keduanya menerobos gerimis menuju parkiran mobil, sesekali berlari kecil atau bahkan melompati genangan air hujan. Luna mengutuk dirinya yang terlalu lemah. Lemah untuk menolak permintaan Aaditya.
~o0o~
Luna dan Aaditya menghela napas lega. Mereka tiba tepat waktu di rumah saat hujan mulai menderas. Siapa sangka keadaan begitu mempermainkan Luna. Ia berulang kali menekan sakelar lampu ruang tamu. Namun, tak ada reaksi dan ruangan tetap gelap. Bibir Luna mengucapkan seribu kutukan bila saja tak ada Aaditya di rumahnya.
Aaditya berkacak pinggang, menatap Luna di bawah temaram cahaya dari lampu jalanan yang menerobos jendela. "Jangan bilang kamu lupa mengisi pulsa listrik?" kekehnya.
Luna nyengir dengan sebelah tangan mengusap rambut bergelombangnya malu-malu. Kemudian ia menggeleng.
Aaditya mengernyitkan kening, tak mengerti dengan gelengan kepala Luna.
"Maksudku enggak. Aku sudah mengisi pulsa listrik kemarin," timpal Luna. Ada rasa kesal terselip saat Aaditya menuding Luna tak mengisi pulsa listrik. Luna sudah bersusah payah mengubah dirinya. Ia bukan lagi Luna yang dulu yang kerap melupakan kebutuhan rumah tangga hanya karena sibuk membelanjakan uang untuk hal yang tak penting.
"Ambilkan aku handuk," pinta Aaditya.
Kedua alis Luna terangkat. Handuk?
"Luna, aku mau melepas bohlam. Aku tidak mau kesetrum karena tubuhku setengah basah setelah mandi air hujan," terang Aaditya lebih gamblang.
"O-oh, iya sebentar," ucap Luna kemudian sembari melempar handbag ke sofa.
Aaditya sempat tersenyum memperhatikan punggung Luna yang berlalu ke kamarnya. Kenapa Luna mejadi terlihat manis bila sedang malu-malu begitu? Aaditya pikir, dulu Luna adalah sosok yang teramat percaya diri.
"Apa kamu punya bohlam pengganti?" Aaditya bertanya sembari mengeringkan rambut saat Luna telah kembali.
Luna kembali menggeleng dan Aaditya kembali mengangkat kedua alis. Entah sudah berapa kali keduanya saling menafsirkan gestur tubuh dan mimik masing-masing. Kenapa pula mereka berbicara dengan kode-kode tersebut. Canggung? Entahlah, yang jelas mereka berdua seolah butuh menata kembali cara berkomunikasi setelah lama berpisah.
"Maksudku, tidak ada bohlam cadangan di rumah," terang Luna.
Aaditya mengangguk-anggukkan kepala. "Kalau begitu besok pagi aku ke sini lagi untuk memperbaikinya."
Luna yang semula menunduk pun mendongak. Sudah kesekian kali ia merasa bahwa anggapan Aaditya adalah angin masa lalu yang lewat saja, ternyata salah. Bagaimana bisa disebut angin lalu bila hampir setiap hari mereka bertemu. Dan sialnya, Luna selalu tak sanggup menggeleng dengan permintaan Aaditya meski pikiran tak serasi dengan hatinya. Lagi-lagi, Luna mengangguk patuh. Oh, Luna Sasmita! Dasar idiot! Luna mengumpat dan mengutuk dirinya sendiri dalam hati.
"Bolehkah aku menagih bayaranku sebelumnya?" tagih Aaditya seraya duduk di sofa dan mengembalikan handuk pada Luna.
Luna lagi-lagi mengangguk patuh dan menuju dapur. Oh, Luna Sasmita! Dasar manusia tak berpendirian!
Semua semakin diperparah dengan keadaan. Lampu mati, hujan, dan kopi. Ya, semua masih terpatri dengan jelas. Tak hanya melulu tiga hal itu yang terukir di benak keduanya. Bahkan satu hal yang masih terpatri dengan jelas dalam kenangan mereka adalah, bukan desahan angin bergesekan dengan hujan, bukan pula gemuruh suara hujan. Melainkan desahan dan gemuruh lain yang mengantarkan mereka dengan satu kata. Itu adalah ... bercinta.
~o0o~
Sepasang suami istri tengah asik bergelung di balik selimut yang sama, menikmati gemuruh suara hujan, sesekali angin dan kilatan cahaya melalui jendela. Lilin masih menyala terang di meja. Sementara dua cangkir kopi belum kunjung habis mereka minum.
"Kamu lupa, ya?" tanya Aaditya.
Luna masih sama tengkurap di ranjang layaknya Aaditya yang juga demikian. Kedua tangan mereka masih menggenggam cangkir kopi.
"Iya, Ditya. Aku tadi kelupaan, sorry," sahut Luna.
Aaditya melengos seraya mengembuskan napas lelah. Hampir setiap saat Luna melupakan kebutuhan rumah tangga yang harus dipenuhi. Mereka memang ada asisten rumah tangga. Namun, hanya saat siang untuk beres-beres rumah dan pulang menjelang sore. Mereka masih pengantin baru, dan enggan ada orang asing di rumah mereka. Mereka suka bila hanya berdua saja.
Saat pulsa listrik habis, di luar hujan lebat, dan ponsel mereka sudah kehabisan baterai. Lengkap sudah kemesraan mereka. Apalagi yang harus mereka perbuat selain menunggu hujan reda sembari saling bermanja-manja. Meski awalnya Aaditya kerap kesal dengan Luna yang demikian ceroboh dengan hal sepele, cara Luna yang mendadak bergelung dan memanggil nama suaminya dengan mesra membuat kekesalan itu sirna.
Luna meletakkan cangkir kopi ke nakas dan berbaring menatap langit-langit rumah. "Lain kali kamu aja, deh, yang beli," katanya sembari memainkan buku-buku jari yang baru saja selesai ia manicure siang tadi. Bibir Luna sedikit mengerucut, membuat laki-laki di sebelahnya gemas. Dari sisi mana pun, Luna terlihat tampak menggoda apalagi disinari cahaya lilin yang redup.
Ah, sudahlah. Aaditya membuang jauh-jauh kesalnya, sedikit menggeser setengah tubuhnya di atas Luna. Dan mengungkung Luna dengan tatapan mesra. Ia hampir menunduk dan menyentuhkan bibirnya ke bibir tipis Luna, bila Luna tak bergumam.
"Kopi letakin dulu," kekeh Luna.
Aaditya melenguh sebal sambil menjatuhkan kepala di bahu Luna. "Merusak suasana romantis saja," keluhnya.
Aaditya menurut, meletakkan cangkir kopi ke nakas. Dan detik berikutnya, ia sudah menarik selimut dan membawa serta Luna ke balik selimut.
"Mau alasan apa lagi?" tuntut Aaditya seraya mencekal kedua tangan Luna.
"Hujan," sahut Luna.
"Asyik."
"Enak buat tidur."
"Kalau sama kamu."
Gelak tawa terdengar riuh, terdengar samar saat hujan semakin menderas menerpa atap rumah. Dan beberapa menit berikutnya, mereka melupakan derau suara hujan, listrik yang padam, dan kopi mereka yang mendingin begitu saja.
~o0o~
(13-10-2017)
Vomment, please. ^^
Hai, apa kabar? Maaf lama tidak up kisah Luna. Semoga kalian masih berkenan membaca, ya. Terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top