-Dua Puluh Tujuh-

Aroma medis masih menguar di sekeliling dua orang yang semenjak sepuluh menit hanya bergeming. Keduanya sama keras kepala, membiarkan situasi di antara mereka tetap dingin dan terus membisu. Hingga embusan napas kasar membuyarkan sesi diam dalam ruangan rawat inap rumah sakit itu.

Maya masih tertunduk, duduk di ranjang pasien dengan beberapa luka kecil. Beruntung kecerobohannya tak membawa jiwa Maya melayang. Hanya saja, sekujur tubuh yang lebam terasa kaku dan remuk saja. Pun sama dengan keningnya yang teramat beruntung karena tak meninggalkan luka bocor sebelum acara pertunangan itu terselenggara.

Maya meremas jemari tangan di pangkuan, menunggu reaksi Aaditya yang hanya sesekali menarik dan mengembuskan napas kasar.

"Siapa kamu sebenarnya, May?" Suara Aaditya kontan membuat Maya terkesiap dan perlahan mendongak.

"Ma-maksudmu?"

"Kamu berubah." Aaditya masih berdiri, di sisi ranjang, menatap Maya dengan tatapan yang tak biasa. Bukan tatapan penuh perhatian, bukan pula tatapan kebimbangan. Yang ada justru sebuah kepastian bahwa ia telah merasa kehilangan Maya yang dulu.

Maya mendesah, kali ini ia menatap tajam pada manik mata Aaditya. "Aku masih sama seperti yang dulu, Ditya. Aku ... adalah sahabatmu yang mencintaimu."

Aaditya tertawa hambar, kedua tangannya terangkat, hendak mencengkeram kedua bahu maya. Namun, ia urungkan dan memilih mengepalkan kedua tangan kemudian meluruhkannya ke samping badan.

"Sejak kapan cintamu itu berubah menjadi kegilaan, hah?"

Maya mendelik, sisi hatinya berdenyut hebat, menyampaikan perih atas apa yang dilontarkan bibir Aaditya. "Ya, aku gila," tantang Maya, "dan semua kegilaan ini karena kamu, Ditya!"

Aaditya memalingkan wajah seraya mengembuskan napas kasar kembali. Ia kemudian menatap Maya, berusaha memahami apa yang di sampaikan. Barangkali ia bisa menemukan kesungguhan dari perasaan Maya padanya. Namun, semua terasa kosong, getaran itu tak sanggup sampai ke dalam relung hati Aaditya, bahkan iba sekalipun.

"Lalu sampai kapan kegilaanmu ini berlangsung? Sampai aku menjadi milikmu, tapi pikiran dan hatiku masih milik wanita lain?"

Maya menggigit bibir. Pada kenyataannya, rasa perih itu selalu hadir saat ia membayangkan hidup berdampingan dengan laki-laki yang ia cintai, tapi tak pernah utuh memilikinya. Hati Aaditya tetap milik Luna.

"Aku mohon, jangan biarkan aku melukaimu lebih dalam, May. Aku tidak ingin menyakitimu. Aku menyayangimu, saking menyayanginya aku sampai lupa untuk bersikap tegas agar kamu tak berbuat lebih gila dari semua ini. Aku—"

"Tidak! Aku tidak mau dengar! Aku bukan sahabatmu, aku calon istrimu, Ditya!"

Maya menutup kedua telinga dengan telapak tangan. Kepalanya menggeleng kuat-kuat.

Aaditya memijit pangkal hidungnya. Kepalanya berdenyut, mendadak pusing menghadapi tingkah sahabat masa remaja. Aaditya mendesah perlahan, mengusap kasar wajah sebelum ia mengakhiri ketegangan ini.

"Maaf, tapi aku sudah lelah."

Maya mencengkeram rambutnya yang tergerai. Bahunya bergetar seketika langkah mundur Aaditya terdengar perlahan. Laki-laki itu benar-benar enyah, meninggalkan Maya sendirian di ruangan pasien. Tidakkah ia iba sedikit saja? Kenapa? Apa yang sebenarnya berubah? Bukankah dulu dan sekarang sama saja? Dulu dan sekarang, Maya masih mencintai Aaditya.

"May, jangan menyiksa dirimu lagi, Nak." Sebuah tepukan lembut di punggung Maya menginterupsi isak tangisnya.

Maya menghapus air mata yang kian sulit ia tahan. Ia sudah cukup merendahkan dirinya di depan Aaditya. Namun, semua sia-sia belaka. Tak tahan dengan segenap rasa perih yang kian memojokkan dirinya, ia menghambur ke dalam pelukan Wiwin.

Wiwin mengusap rambut putri tunggalnya. Berusaha menenangkan Maya yang kerap sering memaksakan kehendak.

~o0o~

Luna menghempaskan tubuh ke ranjang, bergelung dengan selimut ke sana kemari. Ia hampir frustrasi menghubungi Cinta. Entah bagaimana ceritanya, sahabatnya itu menghindar darinya. Telepon tak diangkat, chat hanya dibaca, dan video call ditolak. Luna yakin, ia sama sekali tak melakukan kesalahan apa pun. Apa wanita berambut sebahu itu cemas? Khawatir Roy kembali padanya? Bukankah selama ini Cinta tahu bahwa Luna hanya mencintai mantan suaminya yang—entahlah! Luna menggeram, menggigit selimut dengan kesal.

Ia baru saja sampai di Seminyak, Bali. Singgah di sebuah cottage pinggiran pantai yang setiap sore selalu menampakkan semburat jingga menawan. Belum lagi fasilitas kolam renang yang berhadapan dengan pantai langsung. Membuat siapa saja betah. Terutama bila menyoal romantis, tempat ini bisa diandalkan. Saking romantisnya, di tempat ini semua kehidupan bersama Aaditya bermula.

Bermula dari rencana liburan berdua saja, menghilangkan penat setelah tutup tahun di perusahaannya. Tepat di malam tahun baru, usai menyaksikan pesta kembang api bertebaran di udara—tidak! Luna menggelengkan kepalanya, memukul berulang kali. Barangkali setelah ia pukul kenangan itu akan hilang.

Nyatanya, setiap kali kata mantan suami itu terpikir, sosok itu selalu menyeruak, merangsek ke dalam benak. Hingga Luna kesulitan tidur. Bodohnya, kenapa juga ia justru kembali ke tempat ini? Ini gila! Keputusan tak waras yang Luna ambil.

Luna meremas rambut dengan sebelah tangan, menatap langit-langit seraya menggigit bibir. Apa Aaditya sedang mencarinya sekarang? Apa laki-laki itu masih cemas saat Luna hilang dari peredarannya? Luna menatap ponselnya. Ia memang baru mengaktifkan ponsel setibanya di Bali. Beberapa chat dari Aaditya sengaja tak ia baca. Notif panggilan darinya pun hampir membuat jebol ponsel berlogo apel itu. Dan kini, jemari Luna terasa gatal untuk menekan nomor laki-laki itu, mengabarkan bahwa ia ada di sini sekarang, mengajaknya ke sini. Minimal bernostalgia sejenak sebelum Aaditya benar-benar memutuskan memilih Maya. Apa ini berlebihan?

Oh Tuhan ... bagaimana mungkin Luna bisa semudah ini goyah? Hanya dengan menghitung hari saja, sebentar lagi mereka berdua bertunangan. Dan Luna masih saja belum bisa move on. Ini gila!

Luna bangkit. Pikirannya mulai bercabang ke mana-mana. Memikirkan Cinta yang menghindar darinya karena Roy, pun memikirkan mantan suami yang sebentar lagi jadi tunangan orang. Kenapa hidupnya jadi rumit begini? Sebelum Aaditya kembali, ia sudah mulai tenang menjalani hidup. Maya dan Tiara saja yang terlalu dangkal, sengaja menguji mereka berdua.

Bukan salahku. Bukan! Luna terus menggumam dalam batin. Ia memilih melepas kemeja putih yang ia kenakan, bergegas mengguyur tubuh yang lengket, sisa perjalanan Jakarta-Denpasar.

Sialnya, di bawah shower ini pula kenangan itu sempat terukir. Luna bergegas menyelesaikan ritual mandi, mematikan shower, kemudian menyambar jas mandi.

Aku bisa gila!

Gerakan mengeringkan rambut dengan handuk terhenti saat ponsel di sisi Rajang berdering. Luna menggelungkan handuk pada kepala sebelum mengangkat telepon.

"Ya, Roy?"

Terdengar embusan napas perlahan dari seberang telepon. "Kamu baik-baik saja, kan?"

Luna menggigit kedua pipi bagian dalam, mengangguk pelan seolah Roy bisa melihatnya. "Ya, aku baik-baik saja. Papa mencariku?"

"Tidak, hanya menanyakan kabarmu saja. Aku sudah mengatakan bahwa kamu sedang berlibur seminggu di Bali."

Hening beberapa detik.

"Apa Cinta bersamamu sekarang? Dia menghindariku, katakana padanya bahwa aku—"

"Tenanglah, tak usah khawatirkan dia. Biarkan aku yang bicara padanya. Jaga dirimu baik-baik."

"Hmm." Luna kembali mengangguk pasrah. Ia yakin Roy bisa menyelesaikan masalah ini.

~o0o~

Aaditya menghentikan mobilnya di persimpangan jalan. Lampu merah membuat Honda Civic berwarna putih yang dikendarainya berhenti meluncur. Ia sempat termenung, menyandarkan kepala di sisi jendela mobil. Ke mana ia harus melangkah sekarang? Kepalanya pusing, dadanya sesak.

Membatalkan pertunangan di depan Panji, papa Maya, bukan perkara mudah. Panji hampir menjelma menjadi sosok pengganti ayah bagi Aaditya. Ia orang yang baik dan bijak. Itu sebab dirinya kerap berkunjung ke rumah Maya, menghabiskan waktu bersama laki-laki dengan perut tambun itu di kolam pemancingan. Bagi Aaditya, keluarga Panji adalah rumah kedua di mana ia membuang segala kerinduan pada sosok keluarga yang utuh. Bertahun-tahun Aaditya hidup tanpa perlindungan dari sosok seorang ayah. Salahkah jika ia menginginkan sosok Panji dalam hidupnya? Lalu, kenapa semua menjadi semakin rumit saat ternyata Tuhan menyelipkan cinta di hati putri Panji?

Tahukah semua orang, betapa Panji bahagia saat akhirnya Aaditya bersedia menuruti kemauan putri semata wayangnya? Namun, tahukah semua orang bahwa hal itu menjadi pilihan yang teramat sulit? Sulit karena Aaditya tak sanggup memilih Maya.

Dan tahukah semuanya bila raut pias Panji saat bibir Aaditya berucap ketegasan untuk membatalkan semua? Keterkejutan dan kekecewaan Panji menjadi hal yang menampar hati Aaditya. Namun, semua akan lebih menyakitkan lagi bila Aaditya memilih melanjutkan semua. Aaditya tak ingin terus melukai Maya, karena sungguh menyimpan wajah wanita lain saat ia bersama Maya itu menyakitkan.

Aaditya sempat melihat mata Panji yang berkaca-kaca dengan kedua tangan terkepal di atas lutut. Akan tetapi, sosok bijaknya tak pernah luntur. Laki-laki paruh baya itu hanya mengatupkan bibir rapat-rapat dan mengangguk perlahan, kemudian meninggalkan Aaditya dan Wiwin yang tertunduk di ruang tamu.

"Maafkan sifat Maya yang kadang sering memaksakan kehendak. Saya tahu sejak awal ini tidak mungkin bertahan lama, Nak." Wiwin mendongak seraya menghapus tetes bening di sudut mata.

Aaditya tersenyum getir. Ia telah melukai dua hati orang tua yang sudah ia anggap seperti orang tua sendiri.

Suara klakson beruntun menyadarkan Aaditya dari lamunan. Ia segera melajukan mobilnya kembali. Meliuk melewati jalan sempit menuju sebuah kompleks perumahan dan berhenti di sebuah rumah bergaya shaby chic.

Sepi. Apa Cinta sudah kembali ke rumahnya sendiri? Aaditya hendak kembali melajukan mobil saat lampu teras rumah itu tiba-tiba menyala, menampakkan seorang wanita bertubuh pendek keluar dari pintu. Ia segera turun, membuat wanita itu tertegun di anak tangga terakhir teras.

"Aaditya?" gumamnya lirih.

Aaditya mengusap tengkuknya canggung. Baru hari kemarin ia ke sini untuk meminta bantuan Cinta. Dan sekarang ia kembali lagi ke sini. Ke mana lagi ia harus mencari Luna jika bukan ke Cinta? Wanita ini bisa dipastikan tahu segala perihal wanita itu. Ia sudah berusaha menghubungi Roy, tapi sia-sia. Laki-laki itu sempat menjadi pesaing berat meraih hati Luna. Sudah pasti ia tak akan membocorkan keberadaan Luna.

"Apa Luna bersamamu?"

Cinta mendesah panjang. Hidupnya selalu tak beruntung menyoal pria. Semua pria akan menanyakan di mana Luna, wanita cantik putri Hardian itu.

"Kenapa tidak kamu tanyakan langsung ke Luna?"

Aaditya mendecak pelan, duduk di kursi panjang teras seraya menengadahkan kepala ke langit-langit rumah. "Bahkan sepagian ini aku menghubunginya tidak diangkat."

"Sekarang belum dicoba lagi, kan?" Cinta sama menghempaskan pantat ke kursi.

"Aku—"

"Berjanjilah padaku bahwa kamu akan terus mengejarnya bila aku mengatakan di mana Luna sekarang." Cinta memotong perkataan Aaditya.

Aaditya tertegun. Ia semakin paham bahwa Cinta sedang berusaha menukar kepercayaan sahabatnya dengan cinta. Namun, dalam situasi seperti ini, Aaditya tidak punya pilihan lain. Kesepakatan itu terjalin begitu saja, melengkungkan senyum di kedua bibir manusia yang tengah saling berunding.

~o0o~

Repost: 09-12-2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top