-Dua Puluh Tiga-

https://youtu.be/YfoG3fRaVb0

Telunjuk bercat kuku merah itu menyentuh kaca jendela mobil. Embusan napas Luna yang menerpa jendela membuat kaca berembun. Kemudian, sentuhan jari Luna di kaca menuliskan sebuah nama. Ia masih sibuk menyandarkan kepala di sisi pintu mobil dengan sebelah tangan menggenggam erat ponsel. Layar ponsel bahkan masih membuka layanan WhatsApp.

Haruskah aku menunggumu? Bisakah kita bersama lagi?

"Nona ingin minum sesuatu? Kita bisa berhenti di kafe untuk minum kopi jika mau?" Suara Roy membuyarkan kejengahan dalam lamunan panjangnya.

Luna menoleh sebentar, lalu kembali lagi menyadarkan kepala ke pintu mobil. "Di sini tidak ada siapa pun, Roy. Berhenti memanggilku dengan sebutan Nona," keluh Luna diiringi embusan napas perlahan.

Roy tersenyum simpul. Luna-nya masih sama seperti yang dulu. Tak pernah mau ada pembatas antara asisten dan tuannya. Apalagi mereka sempat menjalin persahabatan semasa masih mendiami panti asuhan, meski berbeda tempat.

Roy menghentikan mobil di depan sebuah kafe, meminta Luna untuk menunggunya beberapa menit. Hingga ia kembali dengan dua paper cup kopi hangat. Laki-laki berjas hitam itu sedikit berlari saat gerimis kembali mengguyur.

Ia menyodorkan segelas kopi pada Luna sebelum akhirnya ia kembali menutup pintu. "Kamu masih malas kembali ke rumah atau ... masih memikirkan mantan suamimu?" terka Roy sembari mengacak rambutnya yang sedikit basah terkena gerimis.

Luna hanya mengedikkan bahu, berpura-pura sibuk meniup uap hangat kopi yang mengepul.

Roy tersenyum, menghadapkan tubuh pada Luna yang tertunduk menatap kosong pada cangkir di pangkuan. "Berhenti memikirkannya. Tidakkah kamu bisa membuka hatimu untuk laki-laki lain?"

Mata bulat Luna mengerjap, kemudian menoleh demi menatap tajam sahabat masa kecilnya. "Asal laki-laki itu bukan kamu," ucapnya sinis.

Roy menahan tawa kecilnya. Sedetik kemudian, tawa kecil Roy lepas seraya mengacak puncak kepala Luna. Wanita yang terusik itu mendesis jengkel dan menampik tangan Roy, galak. Namun, ia mendadak gugup saat Roy sedikit mendekatkan wajah padanya, membuat Luna semakin memojokkan diri ke pintu mobil.

"Menurutmu begitu?" Roy mengedikkan kedua alis.

Luna menelan ludah susah payah dan memalingkan wajah dari Roy. Sungguh ia benci bila terjepit situasi seperti ini. Bukan perkara mudah terjebak dalam perkara cinta dalam persahabatan.

"Sayangnya, aku sudah mulai membuka hatiku untuk Cinta," celetuk Roy. Ia kembali menegakkan tubuh, menyesap kopi yang mungkin sebentar lagi mendingin karena AC mobil.

Luna mendecakkan lidah, kemudian menghela dan mengembuskan napas lega. "Semoga kamu bisa membuktikan kata-katamu."

Roy tertawa hambar. "Itu pun bila relung hatiku tak kembali terusik dengan kehadiranmu."

"Roooyy ...," desis Luna dengan gigi bergeretak karena kesal.

"Lama tak ngobrol sedekat ini, apa kabarmu dalam setahun ini?" Roy mengalihkan pembicaraan.

"Nggak usah tanya. Aku tahu Cinta sudah menceritakan semua hidupku."

Roy terkikik geli. "Baiklah, kita pulang sekarang. Tuan pasti sudah menunggu di rumah," ucap Roy seraya menurunkan kaca jendela mobil. Ia sempat melempar paper cup kosong ke tong sampah sebelum ia menyalakan mesin mobil dan berlalu membawa Luna pulang.

~o0o~

Pria tua berambut kelabu di ruang tamu itu tampak sibuk. Namun, binar ceria di wajahnya yang setahun ini pudar mulai terlihat. Berkali-kali ia bertanya pada beberapa pelayan berseragam hitam putih, memintanya untuk menata kembali kamar Luna, meminta menyiapkan segelas susu hangat sebelum Luna pergi tidur nanti.

"Kalian sudah menghubungi Roy? Sudah sampai mana dia dan putriku?" cecarnya tak sabar.

Seorang pelayan dengan rambut dikepang dua mengangguk seraya sedikit membungkukkan badan. "Sudah, Tuan. Katanya lima menit lagi mereka sampai."

Hardian tersenyum, menggosok kedua telapak tangan gugup. Ia berjalan ke arah sofa, berusaha duduk tenang. Hingga suara klakson mobil terdengar dari arah luar, Hardian terkesiap. Ia hendak bangkit saat derap langkah bahkan bisa dikatakan berlari terdengar. Putrinya berlari, menghambur ke arah sang Papa yang urung bangkit dari duduk karena menerima hamburan Luna.

Luna bersimpuh, meletakkan kepala di pangkuan Hardian. "Maaf," lirih Luna.

Hardian membeku, sebelah tangannya tampak ragu hendak mengusap lembut rambut kecokelatan Luna.

"Papa yang salah. Tak seharusnya Papa menutupi semuanya darimu."

Luna menggeleng, ia sibuk menghapus air matanya. "Kita lupakan semuanya, Pa."

Keraguan dalam diri Hardian mulai menghilang saat mendengar perkataan Luna yang mulai bisa menerima masa lalunya. Tangan lelaki yang mulai keriput itu perlahan mengusap rambut Luna. Putrinya telah pulang dan menghapus segala benci akan asalnya.

Luna menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Ia mendongak, menatap mata kelabu sang Papa. "Tapi aku mohon, beri aku jawaban akan kebenaran. Siapa Aaditya Wijaya sebelum menjadi suamiku? Apakah aku ada hubungan darah dengannya, hingga Nyonya Tiara mengharamkanku bersama Aaditya?"

Seketika itu juga, Hardian terkejut. Mata sipitnya sedikit membelalak tak percaya akan pertanyaan Luna.

"Benarkah ibu kandungku merebut Papa darinya dengan sengaja menghadirkan aku di antara kalian?"

Hardian memalingkan wajah, menatap ke luar jendela. Haruskah ia kembali menguak masa kelamnya bersama Sasmita dan Tiara? Sungguh, semua bukan salah Sasmita maupun Tiara. Andai dulu ia tak terlampau egois dan mengedepankan amarah, pasti Tiara tak akan sebenci ini pada Sasmita.

"Papa yang salah ...." Hardian mengembuskan napas perlahan. Kembali mengenang masa kebejatannya demi menjerat Sasmita agar tidak pergi. Namun, Sasmita tetaplah wanita dengan sejuta pemikiran tangguh dan keras kepalanya.

~o0o~

Gadis berambut hitam legam itu menggigil. Bibirnya semakin membiru saat terpaan AC di ruang kerja Hardian merpa tubuh basah tersiram air hujan. Hardian buru-buru mematikan AC, berlarian ke arah ruang pribadi—yang biasa ia gunakan untuk beristirahat di sela kesibukan di kantor—untuk mengambil handuk kering.

"Apa kamu sudah gila? Di luar hujan lebat dan petir, harusnya tidak senekat ini." Hardian berkata tak habis pikir. Kedua tangannya sibuk mengeringkan rambut Sasmita.

Sasmita hanya tertunduk seraya meremas kedua telapak tangan di atas pangkuan. Ia sempat menggigit bibir sebelum angkat bicara. "Mas ... kita sudahi saja hubungan ini. Mbak Tiara—"

"Aku tidak mau dengar, Mita!" Hardian memotong perkataan Sasmita. Ia melempar handuk ke sofa, lalu menghempaskan tubuh di samping Sasmita. Sedikit kasar mengusap wajah dengan kedua telapak tangan.

Sebulan ini ia sungguh putus asa. Tiara, wanita yang sempat sulit dilupakan justru hadir kembali saat Sasmita mulai mengisi harinya. Hardian masih ingat seberapa sakit ketika Tiara memutuskan menikah dengan laki-laki pilihan ayahnya. Tapi kenapa justru ia kembali dan memorak-porandakan kebahagiaannya bersama Sasmita? Hardian bimbang.

Hardian mengembuskan napas perlahan, merengkuh kedua bahu Sasmita. "Sungguh aku sudah tidak mencintainya, Mita. Bagaimana mungkin aku menikah dengannya bila aku sendiri tahu bahwa ia telah memiliki dua putra, buah cintanya bersama suaminya yang dulu? Dan kamu tahu, suaminya adalah sahabatku sendiri, aku tidak mau mengkhianatinya meski sudah dalam liang kubur sekalipun."

Sasmita mendongak menatap datar ke dalam manik mata Hardian. Ia menghela napas seraya meraih tas selempang di sisi kiri, mengambil sesuatu di dalamnya. "Inikah yang kamu maksud tidak mencintainya lagi, Mas?"

Hardian bergeming, menatap undangan yang disodorkan tangan Sasmita. Ia menatap nanar dengan tangan gemetar menerima undangan. "Mita ... aku ingin menolak semua itu. Tapi mengertilah, orang tuaku yang memaksaku menerima semua itu."

"Bukan karena kamu bimbang di antara aku dan Mbak Tiara?" Sasmita membidik Hardian tepat sasaran.

Hardian kembali terdiam. Keduanya saling bertatapan cukup lama, hingga Sasmita menyerah dan menunduk semakin dalam. Air matanya lolos begitu saja saat Hardian justru tak kunjung memberi kepastian. Sasmita paham, siapa pula dirinya. Ia hanya gadis tak berpendidikan dan miskin. Keluarga Hardian tak mungkin bisa menerimanya.

Setelah menghapus air mata yang berderai, Sasmita bangkit. Namun, ide gila itu tiba-tiba tercetus dalam otak Hardian. Ia enggan melepas Sasmita. Gadis polos itu teramat berarti bagi dirinya. Hardian hanya butuh cara bagaimana ia meyakinkan keluarganya bahwa Sasmita adalah gadis yang patut bersanding dengannya, menemani sisa hidupnya, dan menjadi pemilik hatinya. Ia akan berusaha membuang jauh keraguan antara Sasmita dan Tiara. Hardian juga yakin bahwa kedua orang tuanya kelak bisa menerima Sasmita dan tak lagi memaksanya bersanding dengan Tiara dengan alasan bisnis keluarga yang hampir hancur.

Hardian tergesa menghampiri Sasmita yang sudah di depan pintu ruangan—hendak pergi. Dengan lengan kokohnya, ia menahan daun pintu agar Sasmita urung untuk membukanya. Hardian menghadapkan tubuh Sasmita padanya. Saat Sasmita mendongak, sebelah tangannya menyentuh pipi dingin gadis berwajah tirus itu. Mata gadis itu membelalak terkejut saat bibir tipisnya bersentuhan dengan bibir Hardian. Jantungnya mendadak berdebar, namun perasaan takut menjalar di sekujur tubuh, menyampaikan perintah perlindungan dengan berusaha mendorong Hardian menjauh darinya.

Namun, Hardian tidak gentar. Ia memeluk erat tubuh Sasmita yang terus meronta seraya berbisik, "Izinkan aku memilikimu seutuhnya, demi mencegah keinginan konyol orang tuaku, Mita."

Sasmita gemetar. Hardian seperti bukan Hardian lagi. Ia mendorong Hardian, mengayunkan sebelah tangan demi menampar laki-laki yang mulai kehilangan logikanya. Hardian bergeming beberapa saat. Hingga akhirnya ia menatap nyalang, menyeret Sasmita ke dalam ruangan pribadi di kantornya.

Sasmita terhuyung seketika Hardian mendorongnya ke sofa. Ia hampir bangkit, tapi tubuh rapuh Sasmita bukan tandingan bagi lengan kokoh Hardian.

Malam itu, derai hujan tak hanya jatuh melalui langit. Kilat tak hanya tampak memalui petir yang menyambar di langit. Namun, hujan juga jatuh dari air mata kesedihan gadis polos Hardian. Kilat tampak dari gemeruh ego Hardian yang ia tunjukkan melalui tatapan amarah dan kalap. Dan hal itu, tidak hanya terjadi pada malam itu saja. Akan tetapi terus menjadi teror bagi Sasmita karena Hardian terus mengikutinya. Hingga hadir benih kehidupan dalam diri Sasmita.

Namun, Sasmita memang keras kepala. Ia tetap tak ingin menjadi orang ketiga antara Hardian dan Tiara. Gadis yang tak lagi gadis lagi pergi diam-diam dari Hardian tanpa pamit, meski Hardian sudah menyadari ada kehidupan lain dalam rahim Sasmita. Bahkan ia sempat membawa Sasmita menemui keluarganya dan mengakui perbuatannya.

Hanya saja, ayah Hardian justru menyakiti lebih dalam saat ia melempar setumpuk uang—meminta Sasmita membinasakan putri mereka.

~o0o~

Luna terisak. Sepedih itukah jalan hidup ibunya? Ia sempat merasa berdosa karena mempercayai tudingan Tiara bahwa dirinya adalah anak dari wanita jalang. Sejam yang lalu ia baru saja mendengar kisah dari Hardian. Semua membuat Luna ingin tertawa getir. Bodohnya ia meminta bercerai dari Aaditya tanpa alasan yang sebenarnya belum jelas.

Pada kenyataannya, Luna sendiri yang telah membuang jauh Aaditya, membuat laki-laki itu limbung tak berdaya. Dan yang pasti, membuat Aaditya mengucapkan kata-kata laknat di depan hakim saat ia menjatuhkan talak pada Luna. Haruskah ia menyalahkan Tiara?

Untuk saat ini, Luna terjepit dalam situasi sulit sendiri. Haruskah ia melempar Maya, merebut Aaditya kembali dengan tidak tahu malu setelah mencampakkannya? Pada kenyataannya, Maya-lah wanita yang terus berada di sisi Aaditya. Bukan Luna yang justru pergi tanpa kejelasan.

Luna memeluk kedua lututnya, tenggelam dalam kebimbangan. Sinar temaram dari lampu tidur menyamarkan wajah sembabnya. Meski Luna sendiri sudah bisa memastikan, di ruang gelap sekali pun pastilah ia terlihat kacau.

Getar ponsel di nakas menghentikan isakan Luna. Entah ini ikatan batin atau hanya kebetulan semata. Nama pemanggil di layar ponselnya membuat Luna merasa sangat membutuhkan laki-laki itu sekarang. Tangan Luna terulur, meraih ponsel dan menggeser tombol hijau setelah berdeham—menghilangkan suara parau sisa menangis.

"Halo," sapanya.

Suara embusan napas lega terdengar dari seberang telepon. "Bisa keluar sebentar? Aku di depan rumah papamu."

Luna terkesiap. Dari mana Aaditya tahu ia sudah kembali ke rumah keluarga Hardian? Apa cinta memberi tahu kepindahannya? Luna bergegas bangkit, membuka pintu balkon kamarnya. Saat ia melongok ke bawah, senyum tipis itu tampak jelas di mata Luna yang kembali mengabur oleh desakan air mata. Aaditya melambaikan ponselnya seraya bersandar pada pintu mobil.

Saat itu juga, Luna merasa harus menemui Aaditya. Setidaknya, kata maaf harus ia luncurkan pada mantan suaminya meski harus berujung perih bila Luna harus rela melepaskan.

Dengan sedikit tergesa ia meraih sweater tipis dari sandaran kursi. Luna sedikit mengendap, memastikan bahwa tak ada Papa maupun Roy yang mungkin akan mencegahnya keluar hampir menjelang tengah malam.

Aman. Lantai satu rumah keluarga Hardian sepi, dengan begitu, Luna bebas menghambur ke luar tanpa harus mengemukakan serentetan alasan apa pun pada Hardian dan Roy.

~o0o~

Repost: 05-10-2018

Halo, selamat sore. Terima kasih yang masih menunggu up Luna. :)

Btw, kok, saya jadi ingin buat kisah Hardian dan Sasmita jadi satu novel ya.Pasti sedih banget novelnya. T_T

Oke, sampai ketemu di repost selanjutnya. Jangan lupa mampir di vote cover Courier of Love, ya.
Terima kasih. :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top