-Dua Puluh Sembilan-

Roy berjalan tergesa. Manik matanya menelisik setiap tepian pantai Anyer. Udara masih terasa dingin mengingat waktu masih terlalu pagi. Harusnya ia menghadiri rapat pagi ini bersama tuannya. Namun, suara parau dari wanita yang mulai sering membayang di pikirannya, membuat ia tak fokus bekerja. Hingga Hardian tersenyum kemudian tertawa kecil menemukan tingkah gelisah sang asisten.

"Pergilah. Wanita itu membutuhkanmu, bukan?" pungkas Hardian sembari menepuk bahu Roy.

Roy yang sedari tadi menatap ponsel setelah menerima telepon segera berdeham. "Ah, tidak, Tuan. Sebentar lagi rapat—"

"Aku beri dirimu cuti khusus hari ini untuk mengejar cintamu. Laki-laki tua ini masih sanggup menghadapi rapat sendiri." Hardian mengerling seraya tertawa kecil.

Roy tersenyum dengan semu merah di wajahnya, membuat Hardian semakin terkekeh. Atas perintah sang tuan yang selalu wajib ia turuti, di sinilah Roy sekarang. Ia tengah mencari sosok wanita yang satu jam yang lalu menelepon, namun hanya isak tangis yang ia dengar.

Roy mendesah saat menemukan sosok yang ia cari. Wanita itu tampak duduk di atas pasir, menatap hamparan pantai dengan jilatan ombak yang berkejaran. Helaian rambut pendeknya sesekali menyapu pipi, membuat ia kewalahan menyelipkannya ke belakang telinga.

"Cinta," sapanya.

Sementara si pemilik nama tampak sedikit terkejut seketika ia menoleh dan buru-buru menghapus tetes bening di pipi. Lengkungan senyum dari bibir Roy tertahan ketika Cinta justru memalingkan wajah. Roy melepas jas hitam yang ia kenakan, kemudian duduk seraya menyampirkan jas di bahu Cinta.

Beberapa menit keduanya hanya diam. Roy tahu semua ini pasti ada hubungannya dengan putri Hardian. Akhir-akhir ini ia terlalu sibuk mengurusi Luna yang kerap labil. Merasa bersalah? Tentu saja! Roy tahu seberapa besar usaha Cinta menerima dirinya apa adanya. Meski Cinta tahu awal menjalin hubungan, Roy masih menyimpan sedikit cintanya untuk Luna. Namun, Cinta teramat yakin bisa menepis luka dalam diri laki-laki bertampang sangar, tapi berhati lembut ini.

Perlahan Roy mengangkat sebelah telapak tangan, melekatkannya pada puncak kepala Cinta.

"Maaf. Aku telah menukar kepercayaan sahabatku dengan usahaku untuk mempertahankanmu, Roy." Cinta masih memalingkan wajahnya. Enggan menampakkan wajah sembab dan kacau di hadapan Roy.

Roy mengembuskan napas lega. Ia paham megapa bisa terjadi demikian. Cintanya sedang cemburu. Dan ia tahu apa yang harus dilakukan demi mengembalikan kepercayaan Cinta untuknya.

"Jadi, kamu masih mau berpaling begitu? Bisa menghadap sini sebetar?" bujuk Roy sembari sedikit menundukkan kepalanya.

"Aku—"

Tubuh Cinta mendadak beku, tak sanggup bergerak barang satu gerakan saja. Sentuhan di pipi kirinya bak mantra abra kadabra yang membuatnya jadi patung sejenak. Waktu serasa berhenti beberapa detik. Hingga kecupan kecil itu sedikit memberi jarak dari pipi Cinta dan bibir Roy mengembangkan senyum.

"Sepertinya aku sudah mulai menyukaimu," lirih Roy.

Cinta masih bergeming, merasakan desiran darah di seluruh penjuru pembuluh darahnya. Pipinya memerah, membuat Roy sedikit tak tahan dan memaksa Cinta untuk berhenti memalingkan wajah.

"A-aku ... kamu ... Luna ...." Cinta terbata.

Namun kikikan geli dari Roy membuatnya melebarkan mata kesal.

"Bukan. Kali ini hanya aku dan kamu. Biarkan Luna memilih jalannya sendiri," pungkas Roy.

Cinta mengerjap, masih terpaku dalam keterkejutan sengatan listrik dari bibir Roy beberapa menit yang lalu. Roy mengacak puncak kepala Cinta, hingga ia tersenyum, kemudian menyandarkan kepala di bahu makhluk berbau maskulin itu.

Roy memilih untuk terus membuka hatinya untuk Cinta. Melupakan kepingan masa lalu tentang harapan akan hubungannya dengan putri Hardian. Roy dan Luna akan terus hidup meski hanya pada masa lalu mereka. Saat saling bergandengan di depan panti asuhan, saling berbagi makanan, saling berjanji untuk tak meninggalkan satu sama lain. Ya, Roy masih akan terus mengenangnya, tetapi ia berhak melangkah ke depan demi kebahagiaannya, bukan?

~o0o~

"Iya, sekali lagi mohon maaf. Saya membatalkan catering untuk pertunangan putri kami. Selamat siang."

Wiwin menggigit bibir, meletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya. Ada perasaan iba dan prihatin dengan apa yang sedang dihadapi keluarganya. Ini adalah telepon terakhir setelah ia membatalkan berbagai macam persiapan acara pertunang Maya dan Aaditya.

Sementara Maya masih duduk termenung di balkon, meremas gaun pertunangan di pangkuannya. Ia menatap kosong ke arah pintu pagar, menanti seseorang yang mungkin akan berubah pikiran dan kembali padanya. Wiwin menghela napas, mengembuskan perlahan seraya menghampiri Maya.

"Mama sudah membatalkan semuanya, Nak. Bisakah kamu menegarkan hatimu sedikit saja?" Wiwin membelai puncak kepala Maya lembut. Genangan air mata melesak di mata wanita yang teramat menyayangi Maya.

Maya menoleh perlahan, namun ia kembali menatap ke arah pintu pagar kembali. "Tidak apa-apa. Maya masih menunggunya. Kalau Ditya datang, kita bisa mengadakan pesta pertunangn yang sederhana saja."

Suara Maya bergetar, matanya kembali berkaca-kaca. Wajah yang semula berseri tampak pucat pasi. Belum lagi beberapa plester di kening dan beberapa lengan masih menghiasi dirinya. Ia lebih kacau dari sebelumnya. Hidup segan mati tak mau. Ia masih berharap Aaditya kembali, meski ia tahu bahwa harapannya sia-sia dan akan membunuhnya.

Wiwin meraih Maya dalam pelukan, menahan isak tangis dengan berulang kali membuang napas kasar. Semua salahnya. Ya, salahnya terlalu memanjakan sang putri hingga apa yang ia mau menjadi keharusan dan tuntutan. Wiwin menghela napas, mengelus punggung Maya perlahan, hingga bulir bening itu menetes dalam pejaman mata.

Wiwin menyadari kehadiran Panji di sebalik pintu balkon. Laki-laki itu tampak tertegun saat bersitatap dengannya. Beberapa detik keduanya saling berbicara melalui tatapan mata. Hingga Panji mengerti apa yang harus ia lakukan untuk menolong putrinya. Kemudian, Panji menggangguk dan berlalu. Ia harus bisa membujuk Aaditya untuk kembali dan menguatkan Maya.

~o0o~

Luna masih menikmati makanan tanpa banyak bicara. Sesekali ia mencuri pandang pada laki-laki yang terus menatapnya tanpa bosan—mengabaikan makanan di meja. Luna menusuk salad buah, memenjarakan sepotong strawberry dalam mulut, dan mengunyahnya perlahan.

Keduanya tengah menikmati makan siang pada sebuah kafe di tepian Pantai Seminyak, Bali. Angin semilir di pinggiran pantai sesekali mengusik rambut Luna untuk bergerak tak beraturan. Sesekali pula ia membenarkan rambutnya yang berantakan.

"Kamu tidak akan kenyang hanya dengan melihatku seperti itu, Ditya," protes Luna lirih.

Aaditya mendesah frustrasi. Luna tahu sesungguhnya laki-laki ini sedang menanti penjelasan darinya. Tentang semua alasan yang menyebabkan Luna bersikeras memohon perceraian setahun yang lalu.

Semalam bahkan Luna memilih bungkum setelah keduanya melepas manisnya bibir yang saling berpagutan.

"Jangan pergi lagi. Bisakah kita sudahi perpisahan ini? Katakan apa yang harus aku perbaiki agar kamu bertahan di sisiku, Lun," lirih Aaditya. Ia masih berusaha mengatur napas yang tersengal. Pun sama halnya dengan Luna yang terpejam saat Aaditya melekatkan keningnya.

Namun, Luna memilih menerjang dengan seribu pukulan kepalan tangan di dada Aaditya. Meluapkan segala sakit atas ocehan Maya padanya pagi itu. Meletupkan segala kekesalan atas ketidakpastian Aaditya yang plin-plan tak jelas. Sebentar ia meminta kembali, sebentar ia pasrah dengan keadaan, membuat ketiganya—baik Luna, Aaditya, maupun Maya—terombang-ambing dalam hubungan tak jelas.

"Beraninya kamu mempermainkanku? Beraninya wanita itu menghina diriku, hah? Kamu puas sekarang? Membuatku seperti wanita tak tahu diri begini di depan calon tunanganmu?" rutuk Luna sembari terus memukul dada Aaditya. "Kamu puas?!"

Hingga pukulan itu melemah karena kebas demi berulang kali memukul, namun Aaditya tetap bergeming dan membiarkan Luna puas merutukinya. Dan saat kedua bahu Luna mulai bergetar menahan tangis, ia luruh dalam pelukan Aaditya. Menumpahkan tangis selepas yang ia mau.

Luna mendesah panjang mengingat kejadian semalam. Ia meletakkan garpu ke atas mangkuk salad buahnya. Segelas jus jeruk ia teguk hingga setengah tandas.

"Karena kamu selalu pergi tanpa alasan, Luna," celetuk Aaditya tiba-tiba dengan mata yang menatap Luna lekat-lekat. Kali ini ia tak ingin melepas Luna.

Luna mengusap wajahnya perlahan. "Ditya, please, jangan paksa aku untuk menguak masa lalu."

Ia bangkit, mendorong kursi ke belakang kemudian berlalu. Namun, dengan sigap Aaditya mengejar Luna, mencekal lengannya. Sementara Luna terus berontak, menyentakkan cekalan Aaditya dan berlari menghindar.

"Please, Lun! Bagaimana kita memulainya dari awal bila kamu terus menutupi semuanya dariku?" Aaditya menghadang Luna, merengkuh kedua bahunya agar tak terus berlalu.

Luna kembali menyentak rengkuhan Aaditya. "Kamu pikir, istri mana yang tahan bila setiap hari disebut sebagai anak jalang, hah?! Kamu pikir, istri mana yang tak sakit saat anak dalam kandungannya dituding bukan darah daging suaminya?!"

Aaditya bergeming saat tatapan nyalang Luna tertuju padanya. Air mata yang membanjir menunjukkan betapa rapuh wanita yang kerap mengangkat dagunya dengan anggun. Ketegaran palsu yang ia tunjukkan membuat Aaditya buta dengan kondisi Luna.

"Lalu kenapa kamu diam saja? Aku siapa untukmu? Aku suamimu waktu itu, Luna. Dan aku—"

"Aku semakin tidak tahan saat mamamu mencampakkanku, mendorong sekenanya hingga mengorbankan cucunya sendiri! Aku tidak tahan, Ditya! Aku ingin mengakhirinya waktu itu ...." Suara Luna melirih di akhir kalimat.

"Tapi tidak dengan cara memintaku mengucapkan kata laknat itu di depan hakim, Lun!" Aaditya habis kesabaran, kalimat itu meluncur begitu saja dengan nada tinggi, membuat Luna tersentak. "Tidak bisakah kamu percaya padaku? Jika kita memilih untuk bersama saat itu, lalu kenapa kamu hanya menyimpannya sendiri, hah? Kenapa memilih pergi meninggalkanku, membawa bebanmu sendiri?"

Luna terdiam, menghapus derai air matanya. Aaditya benar, harusnya saat itu ia tak mengambil keputusan sendiri. Tanpa ia sadari, keputusan bercerai telah melukai dirinya juga Aaditya.

"Aku mohon jangan pergi lagi. Jangan datang kembali dan pergi tanpa permisi." Aaditya merengkuh Luna, menenggelamkan wanita yang tengah terisak kembali dalam pelukannya.

Keduanya terdiam, tak ada yang sanggup bersuara. Kecuali deburan ombak di bibir pantai, gemeresik angin yang saling menerpa apa pun di sana. Mereka tahu bahwa kata rujuk memang salah satu hal yang tepat. Keduanya tak sanggup lagi menahan diri untuk terus menyangkal bahwa mereka masih saling mencintai.

Aaditya tak akan membuang banyak waktu lagi. Ia telah mengambil sebuah keputusan sejak beberapa hari yang lalu di depan orang tua Maya. Ia ... tak ingin kehilangan Luna untuk kedua kalinya. Tidak akan.

~o0o~

Repost: 09-12-2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top