-Dua Puluh Empat-

Cinta merebah di atas sofa, memeluk bantal bermotif bunga lavender. Jujur ia turut berbahagia Luna kembali ke pangkuan papa kandungnya. Akan tetapi ... kecemasan itu hadir saat menatap mata Roy. Laki-laki bermata sipit itu sempat mencintai putri tuannya. Bukan tidak mungkin saat Luna kembali ke rumah keluarga Hardian, laki-laki berpawakan sangar itu kembali mencintai Luna.

Cinta mengusap kasar wajahnya. Ia melenguh sebal terjerembap pada peliknya masalah antara cinta dan sahabat. Cinta paham bahwa Luna tidak mungkin mengkhianati sahabatnya sendiri. Terlebih hati Luna masih saja tertambat pada Aaditya seorang. Mungkin akan lebih baik bila Luna bersama Roy, tapi tidak untuk Cinta.

Bukankah sebulan ini Roy telah membuka hatinya untuk Cinta? Ah, lagi-lagi Cinta mendesah pasrah. Tuhan mudah saja mengubah kembali perasaan Roy.

"Cinta ... kamu kenapa nggak jelas begini, sih?!" desahnya, lelah dengan keruwetan pikiran sendiri.

Dan seribu maaf Cinta tujukan kepada Luna, karena ia tega menjebloskan sahabatnya ke dalam kubangan masa lalu bersama mantan suaminya. Cinta menggigit bibir, merasa bersalah. Ini mungkin gila, tapi Cinta teramat cemas sehingga ia mau tak mau dengan sengaja menjadikan Aaditya sebagai umpan agar Luna sedikit menjauh dari Roy. Pun sebaliknya, agar Roy sadar bahwa hati Luna masih milik Aaditya.

"Aku mohon selesaikan masalahmu bersama Maya, kembalilah pada Luna bila memang kalian masih saling mencintai." Cinta teringat segala kegilaan permohonannya pada Aaditya saat laki-laki itu menyambangi rumahnya sore tadi.

Aaditya hanya mendesah pasrah. Cinta tahu di mata Aaditya ada sejuta gelisah, sama halnya dengan kegelisahan sahabat karib Luna itu. Perhatian Roy yang kerap berlebihan sebelum Aaditya berhasil merebut hati Luna acap kali membuatnya jengkel. Sungguh, Cinta sanggup melihat kecemburuan di mata Aaditya saat Luna berdekatan dengan istrinya dulu.

"Menurutmu, bisakah Luna bahagia bila bersama denganku? Dengan kebencian di mata mamaku?" Aaditya tertunduk, menatap jajaran keramik teras rumah berwarna kecokelatan.

"Itu tugasmu, Ditya. Damaikan Nyonya Tiara dengan masa lalunya. Luna tak mengerti apa-apa. Yang ia tahu, ia butuh kamu di sampingnya."

Aaditya mengedikkan bahu, kembali menghela napas panjang dan mengembuskan dengan kasar. Tanpa pamit, ia bangkit dan berlalu menuju mobilnya. Dan Cinta hanya tersenyum miris dengan mata berkaca-kaca. Akankah Aaditya kembali menjemput Luna? Bisakah Aaditya meninggalkan Maya? Luna dan Aaditya saling mencintai bukan? Salahkah bila Cinta mau Tuhan menyatukan mereka, dan buka menyatukan Luna dengan Roy?

Cinta meringkuk mengingat keegoisannya. Ia sungguh sahabat yang tak becus membahagiakan Luna. Isak tangisnya pecah, meluapkan kekesalan akan situasi yang sungguh tak memberinya kenyamanan sedikit pun.

~o0o~

Malam ini terasa lebih dingin dari malam sebelumnya. Hujan baru saja reda setelah senja tiba. Aaditya bahkan masih bisa merasakan ganasnya udara lembap yang menusuk tulang di tengah malam begini meski sudah mengenakan jaket.

Ia masih setia menunggu wanita anggun itu muncul dari arah pintu rumah elit di depan sana. Sudah lima menit ia berdiri di samping mobilnya, seraya menatap lekat ke arah pintu barang kali wanita itu segera muncul. Aaditya sempat melihat Luna menatapnya lewat balkon kamar, tapi setelahnya, Luna hanya mematikan sambungan telepon dan ... entahlah! Ia hanya bisa menunggu.

Hingga samar-samar terdengar derap langkah cepat dan semakin jelas saat langkah itu berlari mendekat, membuka pintu pagar dengan tergesa. Saat itu, Aaditya mengerjap, tak percaya wanita yang hampir membuatnya gila menghambur padanya. Memeluk erat, membagi kerinduan bersama Aaditya.

"Aku menyesalinya ... sungguh menyesalinya, Ditya." Luna berkata lirih di sela isakannya, bahkan hampir terdengar seolah bisikan semata.

Aaditya tak menyahut, ia sibuk menghujani puncak kepala Luna dengan kecupan. Menumpahkan segala kerinduan yang sempat terpenggal. Sungguh ini adalah dosa terbesarnya terhadap Maya. Namun, pemilik hati selalu sanggup memenangkan segalanya, bukan?

~o0o~

Semua terasa senyap. Hanya ada sesekali terdengar suara gemerincing hiasan gantung berbentuk matahari dan bulan di balkon kamar. Pintu balkon terbuka lebar. Sejam yang lalu pemilik rumah membiarkan angin tengah malam menyapu seisi ruangan. Menikmati setiap embusan hawa dingin di balik selimut tebal bersama orang yang ia cintai.

Dulu sekali, ini adalah me time favorit mereka. Bergelung dalam selimut yang sama, menghabiskan malam yang seharusnya panjang, tapi terasa cepat berlalu. Tidak ada canggung dan rasa bersalah pada siapa pun. Berbeda dengan saat ini. Namun, bolehkah untuk malam ini ia sedikit menyingkirkan calon tunangannya demi kenyamanan yang ia rindukan? Egoiskah? Atau justru harusnya memang seperti ini, dan tinggalkan saja acara pertunangan yang akan diselenggarakan seminggu lagi?

"Kelak Maya yang akan tinggal bersamamu di sini, atau ... kamu akan menjual rumah ini kembali?" Luna bersuara seraya mendongak setelah beberapa menit ia merebahkan kepala di dada Aaditya.

Aaditya mendesah bimbang. Ia sedikit menunduk menatap mata Luna. "Itu bukan suatu hal yang aku impikan," sahutnya gamblang.

Luna menggigit bibir sebelum ia akhirnya memutuskan untuk menanggapi pernyataan Aaditya. "Jangan jadi laki-laki berengsek, Ditya. Maya sudah terlalu lama menunggumu."

Aaditya hanya mengeratkan pelukan, semakin membenamkan Luna dalam dadanya sembari menarik selimut. "Kita sama-sama berengsek kalau begitu. Karena kita malah berduaan di sini secara diam-diam."

Luna mendecakkan lidah. Sebelah tangannya menjambak rambut Aaditya, sebal. "Besok pagi buang saja hiasan gantung di balkon itu. Aku merasa berdosa karena benda itu terlalu keramat."

"Tidak. Itu kenangan."

"Bukan. Itu noda dalam masa lalu kita. Kamu tidak berhak mengulanginya bersama Maya sebelum menikah." Luna mempererat pelukan. Ia sendiri bingung, itu ungkapan cemburu atau memang seharusnya begitu.

"Itu saksi bersejarah kita menghadirkan Sebastian di dunia. Aku menyayanginya. Titik."

"Itu kebodohan." Luna menyurukkan wajah, menghirup aroma maskulin dari kaum Adam yang tengah sibuk mengusap rambutnya dengan lembut. "Tapi ... aku sungguh ingin kembali ke tempat itu," lanjut Luna.

"Tempat ... di mana kita menghadirkan Sebastian, bukan? Seminyak, Bali?"

"Tutup mulutmu, itu rahasia kita berdua." Luna memejamkan mata, berniat tidur saat menyadari jam dinding di ruang kamar berdentang tiga kali. Pukul tiga pagi, dan mereka sama sekali belum sempat memejamkan mata.

"Luna ...."

"Mmm?" Luna mulai berada dalam ambang bawah sadar karena kantuk.

"Bisakah kita pergi berdua saja? Menjauh dari masa lalu? Hidup baru tanpa campur tangan orang-orang yang sempat membawa luka untuk kita?"

Hening. Tak ada sekecap jawaban dari bibir Luna. Saat Aaditya menunduk, memperhatikan napas Luna yang teratur, ia tahu bahwa Luna sudah lelap dalam tidurnya sebelum memberikan jawaban semua pertanyaan itu.

~o0o~

Repost: 07-10-2018


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top