-Dua Puluh-
Kedua tangan wanita di hadapan Aaditya itu tampak merapikan lipatan jas di leher Aaditya. Senyum bahagia tampak terukir di bibir tipis yang kadang justru menyampaikan senyum sinis pada Luna. Ya, mereka sedang mencoba gaun dan jas untuk acara pertunangan yang akan diselenggarakan seminggu lagi.
Jangan ditanyakan lagi bagaimana gelisahnya Luna. Ia duduk di sofa, sesekali memalingkan wajah seraya menggigit bibir. Tidak. Sungguh ia merasa tak rela melihat tangan Maya yang tampak bergelayut manja pada kedua bahu Aaditya. Ia juga tak rela Aaditya tersenyum tipis pada reaksi manja Maya. Jantungnya mengentak hebat, bahkan mengimpit saluran napas sehingga ia kerap membuang napas kasar tanpa sadar.
"Wow, kalian tampak serasi sekali!" Suara wanita yang tengah turun dari lantai atas terdengar menginterupsi perhatian mereka bertiga. Sebelah tangannya tampak membawa sebuah benda persegi berwarna gold dengan pita perak yang melilitnya.
"Gimana, Ma? Cocok?" tanya Maya antusias seraya menggamit lengan kiri Aaditya.
Aaditya tampak jengah, ia melepas jas kembali dan mengempaskan diri duduk di sofa. Sementara Tiara sibuk memutar tubuh Maya dan cerewet mengomentari kecantikan Maya. Aaditya memiringkan tubuh, menghadap pada Luna yang sedari tadi terdiam dengan mata nanar dan gelisah.
"Siang ini temui aku di kantor. Oke?" bisik Aaditya.
Luna mendesis setengah geram. "Ditya—"
Luna bungkam saat Aaditya mengangkat kedua alis dan sedikit melebarkan kedua mata. Ia berusaha memberi isyarat pada Luna untuk diam dan Ditya tidak mau ada penolakan. Kedua bahu Luna terkulai, lemas diikuti embusan napas kasar hingga juntaian poninya bergoyang. Selalu saja ia tak sanggup menolak setiap keinginan Aaditya.
"Datanglah ke acara pertunangan Aaditya dan Maya," celetuk Tiara sembari duduk di sofa dengan anggun. Ia menyodorkan udangan di meja hadapan Luna.
"Ma ...," erang Aaditya.
"Terima kasih, Nyonya. Akan saya pertimbangkan," sela Luna sebelum Tiara angkat bicara, pun sebelum Maya semakin menohok dirinya.
"Bagus kalau begitu," imbuh Maya seraya memilin-milin ruffles di gaun yang ia kenakan. "Nanti bisa, kok, aku sambal promoin ke teman-teman atau rekan kantor soal gaun buatanmu ini."
Senyum tipis muncul dari bibir Luna. Ia bangkit dari duduk, kemudian sedikit menganggukkan kepala, berniat pamit. "Terima kasih. Kalau tidak ada komplain lagi, saya permisi," pamit Luna. Tangan kanan Luna terjulur, mengajak berjabat tangan pada Tiara.
Tiara sempat tertegun menatap uluran tangan Luna. Namun, senyum datar ia lempar begitu saja, disambut dengan jabatan tangan pada tangan Luna. Pun sama terhadap Maya, Luna mengulurkan tangan, menatap mata Maya yang sama tertegun dengan Tiara sebelumnya. Tiara dan Maya tak menyangka bahwa wanita berambut gelombang ini tak mudah dipatahkan.
"Terima kasih atas gaun yang cantik ini," kata Maya sedikit menegaskan suara.
Luna tersenyum dan mengangguk, hingga ia berpaling dari Maya dan mengulurkan tangan pada Aaditya yang masih saja tertunduk.
"Selamat atas hidup barumu, Aaditya Wijaya. Semoga ... bahagia," lirih Luna.
Aaditya mendongak, ia bangkit, meraih telapak tangan Luna perlahan. Ia hampir angkat bicara saat Luna justru melepaskan jabatan tangan dan berbalik. Luna tak ingin dengar apa pun lagi itu. Cukup dengan setiap cibiran Maya yang melempar kemanjaan pada lengan Aaditya di depannya. Cukup juga dengan tatapan mata Tiara yang selalu mengingatkan Luna dengan teriakan kata-kata kasar itu di depannya.
Kamu adalah anak yang terlahir dari jalang yang merebut calon suamiku! Selamanya aku membencimu, Luna Sasmita! Karena darah Sasmita mengalir dalam tubuhmu!
Sekejap Luna memejamkan mata saat meninggalkan rumah keluarga Wijaya itu. Menyembunyikan kepedihan yang sungguh ingin ia tumpahkan sembari bersandar di bahu Aaditya. Tapi semua sudah terlambat. Karena Aaditya memohon kembali ketika Maya berhasil menembus paksa untuk memiliki Aaditya.
~o0o~
Wanita dengan rambut sebahu dengan setelan blazer berwarna hitam itu berdiri. Menyambut kedatangan Aaditya yang tampaknya dating lebih siang hari ini. Ia menggigit bibir seraya meremas sisi blazer-nya. Sedikit tertunduk karena gelisah dan takut ketika Aaditya menghampirinya untuk mengambil sebuah map di atas mejanya.
"Maaf, Pak, saya ...." Lianti yang semula mendongak berusaha menatap Aaditya kembali tertunduk.
Aaditya yang semula fokus pada dokumen di hadapannya mendongak. "Ya?"
Lianti memejamkan mata sembari mendesiskan kata aduh.
"Apa ada masalah?"
"Mm ... maaf, Pak, saya ... tidak tahu kalua Ibu Luna adalah ... adalah—"
"Mantan istri saya," sambung Aaditya dibarengi senyum simpul.
Lianti mendongak dengan mulut sedikit membuka. Ini semua memang salahnya. Tak sempat mengorek kandidat setiap blogger yang ia ajukan untuk mempromosikan produk kecantikan dari perusahaan milik keluarga Wijaya ini.
"Maaf, Pak ...." Lianti meringis, kemudian ia kembali tertunduk. Sedikit lega karena tak menemukan reaksi marah pada wajah Aaditya.
Aaditya meletakkan map perlahan ke meja seraya berkata, "Tidak apa-apa."
Ia menyunggingkan senyum sebelum berbalik menuju ruangannya kembali. Namun, langkahnya tertahan dan kembali mendekat ke meja sekretaris barunya itu. "Jika Ibu Luna datang, suruh langsung saja ke ruangan saya."
Lianti mengangguk cepat. Setelah atasannya itu benar-benar masuk ke dalam ruangan, ia mengempaskan pantat sembari mengelus dada. "Huuft, aku pikir Tuan Aaditya marah-marah layaknya Ibu Maya waktu tahu hal ini," gumamnya sambil menepuk kening dengan sebelah tangan.
Ia masih ingat seketika Maya mendatanginya saat jam pulang kerja. Dengan wajah kesal dan rahang mengeras calon tunangan putra Wijaya itu melempar map berisi artikel buatan Luna di meja Lianti.
"Kenapa bisa perusahaan kita bekerja sama dengan wanita ini?" desisnya geram.
Lianti sontak terperanjat saat bunyi map bertumbukan dengan sisi mejanya terdengar keras. "Ma-maaf, Bu, tapi kenapa—"
Maya mengibaskan kedua telapak tangan ke udara. Dengan geretak suara giginya, ia menunjuk-nunjuk nama yang tercantum dalam artikel tersebut secara kasar dan penuh penekanan. "Jangan pura-pura nggak ngerti, Lianti! Bagaimana bisa kamu mengajukan mantan istri calon suami saya untuk bekerja sama dengan perusahaan ini, hah?!" gertaknya.
Lianti menutup mulut dengan sebelah tangan. Ia tak menyangka bahwa ia telah salah mengajukan mantan istri putra Wijaya. Sungguh dirinya memang tak tahu perihal mantan istri Aaditya. Lianti sendiri merupakan sekretaris baru, dan jujur saja ia adalah anak rantau di Jakarta ini. Ia pun tak paham menyoal Luna yang notabenenya mantan istri sang pemilik perusahaan. Pantas saja waktu pertemuan di kafe itu wanita berwajah anggun itu tampak gugup berbicara di depan Aaditya.
Lianti menggelengkan kepala, berusaha membuang ingatan tentang kemarahan Maya waktu itu. Namun, sedikit ia berusaha mengingat. Dilihat dari cara Aaditya berbicara dan menatap mantan istrinya itu, Lianti yakin keduanya masih saling mencintai.
Apa Ibu Maya sudah merebut suami orang?
Lianta menepuk-nepuk kepala dengan kedua telapak tangannya. "Astaga ... ya Tuhan, itu bukan urusanku! Lupakan, lupakan, lupakan, Lianti!" gumamnya kesal.
~o0o~
Luna menghabiskan sisa waktu siangnya di butik sebelum ia bersiap menemuia Aaditya. Ia sibuk memasang payet untuk gaun yang terpasang pada maneken. Matanya meyipit seketika jarum di tangan berusaha menembus lubang pada payet dan kain.
Luna menemukan semangat hidupnya saat bergelut di butik Bu Dewi ini. Sejenak bisa melupakan segala perkara hidup saat menatap indahnya buah karya dari tangan terampil yang cukup terlatih. Impiannya masih selalu sama. Semenjak ia melewati butik ini saat usia 10 tahun, menatap jajaran maneken yang terbalut gaun dengan anggun.
Mata bulat gadis kecil yang ketika dewasa menjelma menjadi Luna Sasmita itu kerap menggerayang di depan kaca butik. Manik matanya lekat menatap gaun indah dengan bibir, hidung, dan kedua telapak tangan yang menempel sempurna pada kaca. Tak jarang Bu Dewi yang masih terlihat sintal waktu itu mengusirnya karena membuat kaca kotor terkena tangan kotor dan embusan napas.
"Nyonya, saya mohon, izinkan saya masuk." Rengekan Luna kecil sempat membuat Bu Dewi menatap iba. Namun, kehadiran gadis dengan kaus dan rok di atas lutut itu membuat pengunjung jengah.
"Ingat saya, Nyonya. Jika saya besar nanti, saya akan datang kembali ke sini. Saya akan mengenakan gaun yang cantik, berdandan dengan anggun, seperti Ibu Sasmita." Gadis kecil dengan rambut dikuncir dua itu berkata dengan senyum tersungging di bibir.
Namun, bukan senyum itu yang membuat sang pemilik butik tertegun sedikit lama. Sebuah nama yang disampaikan gadis kecil itu seketika membuat wajah Bu Dewi pucat pasi.
Luna menghentikan aktivitasnya, menegakkan tubuh, dan tersenyum menatap payet yang terpasang rapi. Selain itu, ingatannya tentang masa kecilnya barusan juga cukup membuat senyum di bibir Luna tampak semakin lebar. Ia telah membuktikan perkataannya di depan Bu Dewi. Bukan begitu?
Derit pintu terbuka membuat Luna menoleh. Lengkungan senyum dari kedua sudut bibir Bu Dewi membuat Luna mengangguk sopan. Luna segera berdiri saat Bu Dewi duduk di sofa pojok ruangan. Wanita yang telah menjanda beberapa tahun karena suaminya meninggal dunia itu tampak memangku sebuah buku usang.
"Terima kasih karena kamu berhasil menyelesaikan gaun pesanan mantan suamimu, Luna," celetuknya.
Luna tertunduk, sedikit miris. Namun, ia mendongak dan memaksakan senyum sebisa mungkin. "Tanpa Anda yang menguatkan saya, semua tidak mungkin berhasil," lirihnya.
"Duduklah," pinta Bu Dewi sembari menepuk sofa kosong di sisinya.
Perlahan Luna duduk dengan kedua tangan di atas pangkuan. Ia tahu Bu Dewi sesungguhnya tak semenyeramkan dugaannya selama ini. Terlebih saat Luna tahu bahwa Bu Dewi mengenal baik Sasmita—ibu Luna. Ia yakin, Bu Dewi hanya ingin menumbuhkan sisi Sasmita dalam diri Luna melalui ketegasannya.
"Ambillah, semoga kamu bisa mewujudkan semua impian ibumu," ucap Bu Dewi lirih. Sebelah tangannya yang mulai tampak guratan keriput itu meletakkan buku di pangkuan Luna. Kemudian sebelah tangannya yang lain meletakkan kedua telapak tangan Luna di atas buku.
Mata Luna mengerjap. Perlahan ia membuka buku usang bersampul cokelat di pangkuannya. Beberapa detik ia terpaku dengan rancangan gaun yang tergores dalam buku itu. Luna tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Ia menoleh dan menatap ke dalam manik mata Bu Dewi.
"Terima kasih," lirih Luna begitu air matanya luruh dari kedua pelupuk mata.
Bu Dewi yang sama berkaca-kaca mengangguk. "Ibumu adalah wanita yang tangguh menggoreskan pena dalam merancang gaun. Bahkan terlalu tangguh hingga ia pantang menyerah meski jarinya kerap tertusuk jarum berulang kali."
Luna menghapus air mata yang terus meleleh. "Boleh saya memeluk Bu Dewi?"
Wanita paruh baya itu tertunduk, sama menghapus tetes bening di sudut mata. Namun, sedetik kemudian ia merentangkan tangan, membiarkan Luna memeluk dan tergugu dalam dekapannya.
Kerinduan itu menyeruak. Sosok yang sama sekali belum pernah ia kenal. Ibu. Entah ke mana wanita itu, hingga gadis yang membawa darah Sasmita dalam dirinya harus hidup dengan puluhan anak panti. Jika sosok ibunya masih hidup, apakah pelukannya seperti dekapan Bu Dewi? Ataukah lebih hangat dari ini?
Ibu, aku merindukanmu. Aku mohon, kuatkan aku untuk segera kembali ke rumah keluarga Hardian.
~o0o~
Repost: 01-10-2018
Halo, selamat sore. Maaf baru bisa melanjutkan repost Luna.
Kesibukan di dunia nyata membuat saya memutuskan hiatus dari Wattpad akhir-akhir ini.Belum lagi di masa kehamilan trimester pertama ini saya lebih cepat lelah dan gampang badmood. :"DSekali lagi mohon maaf.Selamat membaca. Bagi yang baru baca, jangan lupa mampir isi komentar harus repost Luna berapa kali dalam seminggu? :)
**
Terima kasih untuk vote dan komentarnya. ^_^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top