-Delapan Belas-
Suara ketukan sepatu pantovel beradu dengan lantai terdengar nyaring. Namun, iramanya terdengar tergesa. Roy berjalan setengah berlari memasuki rumah berpilar besar di bagian teras. Beberapa pelayan dengan baju hitam bercelemek putih tampak cemas menyambut kehadiran laki-laki kepercayaan Hardian.
"Kenapa bisa terjadi? Apa Tuan lupa meminum obatnya?" tanya Roy seraya menyerahkan jas hitamnya pada salah satu pelayan.
Tiga orang pelayan di depannya saling tatap, sebagai acara saling tunjuk siapa yang akan berbicara. Gadis berkepang dua mengalah menjelaskan dengan wajah sama cemas.
Ia berdeham. "Maaf, Roy. Setelah kamu pergi, Tuan memaksa pergi sendiri dengan taksi. Dan saat Tuan kembali ke rumah, tiba-tiba Tuan hampir jatuh pingsan. Sepertinya kelelahan."
Roy berkacak pinggang, menatap tiga pelayan satu per satu dengan wajah tak habis pikir. "Lain kali kalau Tuan memaksa pergi sendiri segera hubungi aku. Mengerti?"
"Baik," sahut ketiganya bersamaan. Mereka undur diri saat Roy sudah mengibaskan sebelah tangan meminta mereka kembali bekerja.
Roy bergegas menemui Hardian. Perlahan ia membuka pintu kamar bercat putih. Roy tersenyum saat menemukan Hardian tampak sedang khusyuk menatap album foto. Ia hampir menutup pintu kamar ketika mata Hardian menangkap bayangan Roy.
"Roy, kemarilah," pintanya dengan suara parau. Ia berdeham, membuang serak di tenggorokan dengan berusaha meraih air putih di nakas.
Roy bergegas membantunya. "Silakan, Tuan," ucap Roy seraya menyodorkan segelas air.
Tangan Hardian yang mulai tampak guratan halus menerima uluran gelas dan meneguk air beberapa kali. Roy menarik sebuah kursi, duduk memperhatikan Hardian yang mungkin bersiap bercerita.
"Bagaimana kencanmu hari ini?" kekeh Hardian.
Roy tercengang, ia sedikit malu. Perkulitan Roy yang putih cukup menampakkan semu merah di kedua pipinya semakin kentara. Ia kemudian tertawa kecil. "Saya tidak punya kekasih, Tuan. Bagaimana mungkin saya berkencan?"
Hardian menghela napas. "Sudah cukup sepuluh tahun pengabdianmu padaku, Roy. Umurmu tiga puluh lima saja hampir habis. Apa kamu akan menikah di usia tua, hah?" Lagi-lagi Hardian terkekeh hingga terbatuk kecil.
"Saya—"
"Kamu tak pandai menyatakan cinta, bukan begitu?" terka Hardian. "Hmm, padahal Cinta sahabat putriku wanita yang manis. Bahkan ia mampu bertahan di samping putriku yang keras kepala hingga sekarang."
Roy tercengang kembali. Bagaimana mungkin Hardian tahu bahwa asistennya menyukai gadis pendek, mata lebar dan memiliki tahi lalat mungil di ujung bibirnya? Roy hanya tersenyum dan berdeham menanggapi tudingan Hardian.
"Berhentilah menggunakan alibi mencari informasi tentang putriku untuk bisa berdekatan dengannya. Aku bahkan mengizinkanmu segera menikahi Cinta." Hardian mengembuskan napas berat kemudian tersenyum.
"Saya belum bisa tenang bila belum ada seorang pun di sisi Anda, Tuan," kilah Roy, meski sungguh ia mengatakan yang sebenarnya. Ia tak mungkin bisa meninggalkan Hardian yang telah menghidupinya hingga bangku kuliah. Hardian—laki-laki yang kata orang terkenal berwajah galak—sesungguhnya memiliki hati yang lembut.
"Percayalah, aku dan Luna akan segera membaik," gumam Hardian. Tangannya mengusap lembut sebuah foto usang seorang gadis berusia belasan tahun. "Wajah dan kegigihannya menegakkan prinsip sungguh mirip dengan Sasmita." Ia menyodorkan foto itu pada Roy.
Roy menatap dengan saksama garis wajah yang tergambar pada foto Sasmita. Ia tersenyum. "Wanita pilihan Tuan ternyata cantik," ujar Roy berusaha berkelekar menghibur sang tuan.
Hardian terkekeh pelan. Ia menyandarkan kepala pada bantal yang tersandar di kepala ranjang. Matanya menerawang ke langit-langit rumah bercat putih, membawanya ke dalam kenangan lalu tentang sosok wanita yang ia torehkan luka. "Tapi aku telah melukainya, Roy. Dan itu adalah dosa yang tak bisa aku maafkan," gumam Hardian lirih.
~o0o~
Sosok itu muncul seketika Hardian telah menyerah dengan kata cinta. Sepasang mata berbulu lentik, tatapan yang sebening salju, dan rona ceria di wajah ayu itu. Membuat laki-laki beralis tegas itu selalu terpesona setiap kali gadis itu lewat.
Hardian masih menyesap kopi hitam dari cangkir bermotif batik di tepian bibir cangkir. Ia mencondongkan tubuh ke depan setelah meletakkan kembali cangkir ke meja. Sejenak ia menyangga dagu dengan sebelah tangan. Seminggu ini, ia selalu rajin minum kopi pagi hari di area kafetaria lantai atas perusahaannya. Bukan tanpa sebab, tunggulah lima menit lagi. Tepat pukul tujuh pagi gadis itu akan datang.
Hardian mengulum bibir, menghitung dari angka nol saat waktu lima menit segera habis. Matanya fokus ke arah pintu masuk yang terbuat dari kaca.
"Enam puluh," gumamnya bertepatan dengan gadis dengan rambut bergelombang memasuki kafetaria. Hardian tersenyum karena hitungannya tak pernah salah. Oh, atau mungkin mereka punya ikatan batin? Lagi-lagi Hardian tersenyum. Kali ini lengkung senyumnya mengalahkan bulan sabit.
Bila sudah seperti ini, ia tinggal menunggu waktu yang tepat. Saat gadis itu selesai memasang celemek di tubuhnya dan membantu pegawai kafetaria yang lain. Hardian mengangkat tangan bertepatan sang gadis pujaan menoleh ke arah di mana ia duduk. Ah, Hardian juga sudah memperhitungkan posisi duduk agar gadis itu bisa jelas melihatnya setiap hari.
Hardian tersenyum masih sembari menopang dagu. "Nona, aku mau mengganti kopiku. Ini kurang manis," ucapnya seraya menyodorkan kembali cangkir kopi yang hampir tandas.
"Oh, baiklah. Tunggu sebentar, maaf ...."
Ya Tuhan, Hardian bahkan hampir gila mendengar suaranya saja. Ia melipat kedua tangan di atas meja, mengamati gadis dengan name tag Sasmita yang terkalung di leher. Caranya membuat kopi menjadikan kerinduan tersendiri bagi laki-laki berpangkat CEO di perusahaan keluarga Hardian.
Setelah Sasmita menyajikan kopi, akan banyak rentetan tuntutan Hardian agar gadis itu kembali lagi menghampiri. Sehari, dua hari, tiga hari semua berjalan lancar. Sasmita patuh bolak-balik menuruti kemauannya. Hingga tepat hari ketujuh, kekesalan Sasmita sepertinya memuncak. Ia menggebrak nampan ke meja di hadapan Hardian.
"Apa Anda mempermainkan saya? Ini hari ketujuh Anda selalu memprotes macam-macam. Kopi kurang manis, sandwich terlalu banyak bawang bombay, nasi goreng kurang asin, bahkan jus jambu yang dipesan kurang kental. Astaga, Tuan ... aku tidak hanya melayanimu di sini," geramnya.
Hardian mengangkat kedua alis, menyandarkan punggung ke kursi dan tersenyum geli. Ekspresi Sasmita yang marah sungguh lucu. Suasana semakin kacau saat laki-laki dan wanita paruh baya menghampiri dan mencekal lengan Sasmita.
"Maafkan anak kami, Tuan. Dia tidak sopan," keluh laki-laki di sisi Sasmita yang terus menampik cekalan orang tuanya.
Ya, Sasmita adalah anak dari pasangan pegawai kafetaria perusahaan Hardian. Entah alasan apa gadis belia itu hampir setiap hari membantu kedua orang tuanya bekerja di kafetaria.
"Cepat minta maaf pada Tuan Hardian, Nduk," bisik ibunya geram.
Sasmita menatap sengit pada wanita dengan logat Jawa itu. Ia tak terima harus meminta maaf, karena setahunya, laki-laki rewel yang tengah duduk sambil cekikikan ini tak pantas dihormati.
"Dia itu putra pemilik perusahaan ini, Nduk!" hardik sang ayah setengah berbisik.
Mata Sasmita membulat, ia bahkan seperti ingin mengeluarkan bola mata indahnya dan meletakkan ke meja. Tanpa memperpanjang masalah Sasmita segera berlutut di depan Hardian yang masih terus menahan tawa.
"Maafkan, saya, Tuan! Saya mohon jangan pecat saya!" mohon Sasmita seraya mencengkeram celana panjang Hardian. Wajahnya tampak pucat pasi.
Hardian berdeham dan bangkit dari duduk. "Maaf, kalau boleh, saya ingin mengajak Sasmita jalan-jalan sebentar. Apa boleh, Pak, Bu?" izin Hardian sopan.
Sasmita yang semula berlutut berdiri tergesa dan tercengang. Kedua orang tua Sasmita bahkan saling tatap—bingung.
"Saya berjanji akan memulangkan Sasmita dengan selamat dan tak berkurang secuil pun," imbuh Hardian lagi.
"O-oh, boleh. Silakan, Tuan." Ayah Sasmita mengizinkan. Ia saling menyinggungkan siku dengan isrtinya. Sementara Sasmita masih tertegun dengan mata mengerjap bingung. Ia buru-buru melepas celemek dan menyerahkan pada ibu Sasmita ketika Hardian menatap dengan kedua alis terangkat—meminta kesediaan.
Keduanya berjalan berdampingan, meninggalkan orang tua Sasmita yang masih bingung dan gelisah. Dengan ujung matanya, sesekali Hardian melirik Sasmita yang asyik menggigit buku jari karena cemas. Mungkin gadis ini khawatir laki-laki berkharisma di sampingnya akan segera mengatakan pecat.
"Berapa umurmu?" tanya Hardian saat mereka sudah berada di kedai es krim yang terletak tak jauh dari perusahaan.
Sasmita meremas ujung rok dengan sebelah tangan, sementara tangan kanannya sibuk mengaduk es krim. "Hampir delapan belas tahun, Tuan," jawabnya lirih dengan kepala tertunduk.
Hardian menghentikan kunyahan wafel di mulut. Menarik tisu di meja guna membersihkan sisa es krim di bibir. "Kamu tidak sekolah?"
Gelengan kepala Sasmita tampak pasrah. Namun, ia mendongak kemudian tersenyum. "Saya berhenti sekolah sejak kelas dua SMA," ungkapnya.
"Kenapa?" Hardian mendesis miris. Apa separah itu kondisi ekonomi keluarga Sasmita?
"Adik saya banyak, orang tua kami tidak sanggup membiayai semua anaknya untuk sekolah," cerita Sasmita. Ia kembali menyendok es krim dan melahapnya.
"Oh ya? Berapa jumlah adikmu?" Hardian mencondongkan tubuh ke depan dengan kedua lengan bertumpu di atas meja.
Sasmita menjilat es krim di ujung bibir, kemudian menjawab pertanyaan dengan tujuh jarinya. Hardian ternganga tak percaya. Sungguh keajaiban dan mengherankan. Ternyata semboyan banyak anak banyak rezeki masih mendarah daging dalam keluarga Sasmita.
"Tapi yang ikut ke Jakarta hanya saya dan Kakak. Semua berpencar ikut saudara Ayah yang sanggup memberikan jaminan sekolah. Kakak saya yang di sini tinggal di panti asuhan," sambung Sasmita. Beberapa detik ia terdiam memperhatikan reaksi Hardian yang masih setia fokus pada cerita Sasmita. "Oh, maaf, tidak seharusnya saya bercerita kehidupan pribadi saya. Sungguh tidak ada yang menarik, Tuan." Senyum miris Sasmita terkembang, ia kembali tertunduk dengan adukan es krim yang mulai mencari.
"Tidak masalah, aku suka mendengarkan ceritamu. Terima kasih mau berbagi denganku," pungkas Hardian.
Adukan sendok es krim Sasmita terhenti, ia mendongak. Demi Tuhan, senyum lebar gadis Jawa ini sungguh membuat dada Hardian seperti dihantam badai. Sasmita tersenyum memperlihatkan deretan mutiara di balik bibir, dan menganggukkan kepala berulang-ulang.
"Apa kamu tidak ingin bersekolah lagi?" lanjut Hardian masih berusaha mencecar kehidupan si lugu di depannya.
Sebuah gelengan lagi-lagi membuat Hardian takjub. Bagaimana mungkin gadis putus sekolah tak merindukan bangku sekolah.
"Saya hanya ingin melanjutkan cita-cita saya, Tuan. Kalau belajar, aku bisa membaca apa saja di perpustakaan umum."
"Lalu, apa cita-citamu?"
"Saya ingin ikut Mbak Dewi membuat gaun," sahutnya riang.
Hardian tersenyum. Ya, siapa saja tahu siapa Dewi. Wanita penggila kain dan gunting itu sahabat SMA-nya. Siapa saja pecinta gaun suka menyambangi tempatnya. Dan Sasmita, satu-satunya gadis unik yang ingin mencoba mengikuti jejak Dewi.
Semenjak pertemuan itu, Hardian kerap mengajak Sasmita mengobrol di kafetaria perusahaannya. Setiap pagi Hardian lebih suka menyantap sarapan di kafetaria, makan siang akan ia habiskan bersama Sasmita, dan akhir pekan ia habiskan bersama Sasmita di perpustakaan umum—menemaninya membaca buku banyak-banyak.
Namun, saat perlahan cinta mulai menelusup di antara mereka, benang merah itu hadir. Takdir mengantar Hardian ke masa lalunya melalui Sasmita. Tiara, wanita yang telah meninggalkannya kembali dengan seorang bayi dalam gendongan, dan putranya dalam gandengan tangan. Semua cerita indah dalam bayangan hancur berkeping-keping. Dan hancurnya cerita indah itu, Hardian sendirilah yang menghancurkan. Ia mencabik harapan indah Sasmita, merenggut apa itu arti kesucian kata cinta. Tanpa ia sadari, sikapnya pun menyakiti dua wanita yang menyimpan cinta untuk laki-laki yang sama—Hardian.
~o0o~
Repost ulang tanggal: 25-08-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top