-Delapan-

Aaditya masih ingat dengan jelas bagaimana pertengkaran itu bermula. Tak ada yang salah. Aaditya merasa benar dalam versinya sendiri, pun sama dengan Luna yang juga merasa benar. Keputusan untuk membeli rumah memang terhitung gegabah, bila mengingat tabiat Luna yang gila belanja.

Pikiran Aaditya menerawang, mengingat kembali saat pertengkaran itu terjadi.

"Maksud kamu apa?" tanya Aaditya seraya menunjukkan pesan singkat dari Hardian, papa Luna.

Luna yang sibuk mengeluarkan isi tas belanjannya di atas ranjang segera turun. Ia meraih ponsel Aaditya. "Oh, iya, maaf. Aku belum sempat bilang ke kamu, kalau aku minta papa buat bayarin cicilan rumah kita tiap bulannya. Lumayan 60 juta per bulan," terang Luna diikuti cengiran tanpa dosa.

Aaditya menghela napas kasar, melempar ponsel ke ranjang kemudian mencengkeram kedua lengan Luna. Matanya menatap ke dalam manik mata Luna dengan tajam. Sementara Luna hanya mengerjap tak mengerti.

"Luna, kamu tahu, 'kan, kalau kita sudah menikah?"

Luna mengangguk, matanya masih menunjukkan kepolosan.

"Lalu kenapa kamu minta papa buat bayarin cicilan rumah? Itu sama aja kamu nggak menghargai aku di depan mata papa kamu, Luna," ujar Aaditya. Gigi Aaditya bergemeletuk menahan gemas bercampur marah. "Apa uang yang aku berikan tiap bulan ke kamu kurang? Bisa nggak, sih, kamu tekan pengeluaran yang nggak perlu?"

Kening Luna berkerut semakin dalam, ada gelagat tak suka dengan apa yang ia dengar. "Aku cuma minta bantuan papa. Kenapa kamu marah?"

Aaditya memejamkan mata, menahan gejolak amarah. "Itu sama aja kamu nggak menghargai aku sebagai suami kamu di depan papa. Cicilan rumah itu urusan rumah tangga kita, tanggung jawab aku sebagai suami. Bukan lagi tanggung jawab papa kamu. Ngerti?"

"Papa nggak keberatan, Ditya. Lagian kalau cicilan rumah ini papa yang nanggung, aku jadi nggak pusing kalau mau belanja kebutuhan aku."

"Kebutuhan yang mana?" Aaditya beranjak mendekat ke arah meja di pojok ruangan. Ia tampak mencari sesuatu, kemudian ia menunjukkan beberapa lembar kertas. "Kamu lihat tagihan ini? Ini bukan kebutuhan, Lun! Apa sebutuh itu kamu sampai hampir tiap bulan beli tas? Kamu nggak liat walk in closset kamu hampir kayak toko tas! Belum tiap Louboutin update sepatu baru kamu selalu beli. Apa iya, setiap hari kamu butuh bergonta-ganti ratusan sepatu? Aku nggak suka kamu menghambur-hamburkan uang begini! Kamu ...."

"Kalau kamu nggak suka dengan tabiat aku, kenapa kamu mau nikah sama aku? Aku nggak pernah maksa kamu buat suka sama aku!" potong Luna cepat. Mata Luna sudah membola, terusik dengan segala ungkapan Aaditya.

Aaditya terdiam, tak menyangka reaksi Luna akan sedemikian hebatnya. Aaditya mengusap wajah, berusaha meredam emosi sesaat. Ia hampir menyentuh kedua pipi Luna dengan kedua telapak tangan. Namun, sebuah tampikan dari tangan Luna mengejutkan dirinya.

"Luna," ucap Aaditya lirih.

Luna tak mau dengar, ia berulang kali menampik sentuhan tangan Aaditya. Bahkan saat Aaditya menyerukan namanya, Luna tak mau dengar dan terus pergi begitu saja.

Ya, semua itu masih terukir dengan jelas di kepala Aaditya. Semenjak itu pertengkaran selalu terjadi. Aaditya yang semakin tak tahan dengan gaya hidup Luna kerap menegurnya. Sementara Luna tak tahan dengan segala teguran Aaditya terhadap apa yang ia suka.

Aaditya mendesah malas sembari menyingkap selimutnya. Masih pukul 2 pagi, tapi matanya masih belum bisa terpejam. Yang ia tahu, ia mau Luna kembali. Kembali bersamaya di rumah ini. Kembali seperti dulu dengan kehidupan baru. Seperti apa pun Luna adanya. Aaditya tidak akan menuntut banyak pada Luna untuk berubah. Setidaknya, pernikahan mereka tak seharusnya kandas. Ada hal lain yang membuat Aaditya tak bisa melepas Luna. Ada rasa bersalah saat Aaditya melepas Luna dan meninggalkannya. Semua itu mengikatnya, mengungkungnya untuk terus teringat pada Luna.

Bukan salah Aaditya bila ia harus mencampakkan Maya. Ia sudah berusaha membuka hati untuk Maya, tapi percuma. Nama Maya tak lekas bisa menggantikan nama Luna Sasmita di hati Aaditya. Berulang kali Aaditya meyampaikan maaf terhadap Maya karena belum juga bisa menerimanya. Maya masih tetap bersikeras menawarkan hatinya. Lalu, salahkah Aaditya bila saat menemukan Luna kembali, ia ingin memperbaiki pernikahan yang telah kandas?

~o0o~

Luna sudah berkali-kali tertusuk jarum. Matanya tak kuat untuk melebar lagi. Luna menguap kesekian kalinya. Pukul 3 pagi dan besok ia harus bekerja. Ada baiknya bila Luna tak memaksakan diri untuk terlalu bersemangat sampai lupa tidur.

Ranjang dan selimut tampak menggoda, mengajak Luna untuk segera merebahkan diri di sisi Cinta. Ia beranjak tidur, meninggalkan ruang santai yang penuh dengan potongan kain dan alat jahit berserakan. Sebelum benar-benar melekatkan tubuh ke ranjang, alarm ponsel diatur agar tak terlambat bangun pagi.

Mata Luna yang semula menyipit terbuka lebar saat notif chat dari Aaditya bertengger di layar ponselnya.

Aaditya: "Maaf untuk semuanya, Luna."

Luna menggigit bibir seraya mengusap rambut bergelombangnya. Sepuluh kali panggilan dari Aaditya ia abaikan. Ponsel di tangannya terus bergetar, menuntut pemilik ponsel untuk mengangkatnya. Akan tetapi ... Luna abaikan. Hingga panggilan kesebelas, ia menyerah dan menggeser tombol hijau.

"Ha-halo," sapa Luna parau.

"Aku di depan rumah."

Luna mengerjap seraya menyingkap sedikit tirai jendela kamar. Di luar, tampak Aaditya dengan jaket parka berwarna hitam. Ia tersenyum dan melambaikan tangan pada Luna. Luna mendesah, tak ada yang bisa ia lakukan kecuali keluar menemui Aaditya. Tidak mungkin juga ia membiarkan Aaditya yang susah payah menemuinya di jam 3 pagi.

Sebelum keluar, Luna meraih cardigan di gantungan balik pintu. Perlahan ia meninggalkan Cinta yang masih terbuai mimpi. Cinta bisa saja mencecar informasi esok pagi bila tahu Aaditya menemuinya sepagi ini.

Udara di luar rumah terasa dingin menusuk tulang. Cardigan tipis tak sanggup menghalau dingin. Luna mendekatkan kedua telapak tangan ke bibir.

"Kalau kamu ingin menanyalan masalah gaun Maya, akan aku jawab belum apa-apa," kata Luna, ketus.

Aaditya yang semula terdiam mengamati tampilan Luna tersenyum. "Aku tidak memintamu keluar dengan pakaian super pendek seperti ini," ujar Aaditya mengabaikan perkataan Luna. Tangan Aaditya terulur mengencangkan cardigan Luna yang sempat tersentak menerima perlakuan Aaditya.

Luna merutuki kebodohannya. Hot pants super pendek di atas lutut, kaus tanpa lengan dengan model V neck yang terbalut cardigan hitam berbahan rajut. Seharusnya ia tadi menggantinya dengan celana panjang dan kaus panjang saja.

"Mau apa?" tanya Luna lebih ketus.

"Tidak mau apa-apa," sahut Aaditya. "Hanya ingin mengucapkan selamat tidur. Karena aku sama sekali tak bisa memejamkan mataku."

Luna lagi-lagi tersentak saat sebelah telapak tangan Aaditya terulur dan mengacak puncak kepalanya. Luna kontan menunduk. Ia enggan menatap mata lawan bicaranya. Lebih tepatnya, ia sedang mengatur detak jantung yang memukul-mukul dadanya tak keruan.

"Aku tidak peduli kamu mau memulainya kembali atau tidak. Jika kamu tidak mau, biarlah aku yang memulainya. Semoga kelak kamu berubah pikiran, Luna Sasmita," lanjut Aaditya.

Luna mendongak, manik mata hitamnya tertuju pada iris mata Aaditya. Ia berusaha menelisik kembali mata yang setahun lalu sempat menjadi candu baginya. Mata yang kerap menghipnotis dirinya tatkala mereka saling bersitatap. Luna berdeham untuk mencairkan ketegangan.

"Kalau begitu selamat tidur juga," pungkas Luna.

Aaditya mengangguk diiringi lengkungan senyum yang menghiasi bibirnya.

Luna sudah berbalik ingin segera meninggalkan Aaditya. Sesuatu terjadi. Tragedi itu membawa pertahanan Luna limbung. Dengan sigap Aaditya mencekal lengan Luna dan menghadapkan tubuh Luna padanya.

Mata Luna membola saat sentuhan hangat itu menyentuh bibirnya. Degup jantung Luna merontokkan segala perkara yang ada. Benarkah Aaditya adalah masa lalu yang hanya lewat saja? Jika demikian, lalu apa artinya debaran jantung ini saat bibir mereka saling bersentuhan meski hanya sekilas?

Luna mengumpat dalam hati. Ia mengutuk kedua telapak tangannya yang malah asyik mencengkeram jaket mantan suaminya itu. Hingga cengkeramannya itu mengendur saat perlahan Aaditya melepas kecupan dari bibir Luna.

"Selamat tidur," lirih Aaditya.

Luna membeku beberapa detik, mencerna setiap detil peristiwa yang baru saja terjadi. Dengan cekatan ia menghapus jejak Aaditya di bibir menggunakan punggung tangan. Kemudian ia berlari masuk ke dalam rumah, meninggalkan Aaditya yang tersenyum tipis. Reaksi Luna bukan perlawanan. Wanita itu sedang berusaha mengembalikan ingatan tentang masa lalunya. Aaditya hanya cukup bersabar saja.

~o0o~

(31-10-2017)

Vomment, please. ^_^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top