Rhapsody 12. Niat Tersembunyi
"Jadi, Lord Flamewind Junior berkata seperti itu?"
Jenderal Arslan sedang duduk bersama Lord Alfa dan Dante di Markas Magi Kerajaan. Di ruangan putih itu kini hanya ada mereka bertiga.
"Bagaimana menurut Anda, Jenderal?" Dante melontarkan pertanyaan.
"Jika memang Dewan Kerajaan sudah memutuskan, dan Anda berdua juga sudah menyetujuinya," jawab Arslan, "maka aku tidak punya alasan untuk menentang."
Lord Alfa dan Dante bertukar pandang, membuat Arslan mengerutkan kening.
"Apa ada masalah?" tanya Arslan.
"Tidak, tidak," kali ini Lord Alfa yang menjawab. "Hanya saja ..."
Ucapan itu terputus. Namun, Arslan tidak mendesak lebih jauh. Malah Dante yang kemudian melanjutkan, "Jika Putri Lumina naik takhta tanpa mewarisi Helios, maka posisi beliau akan lemah. Apalagi, usia Putri masih sangat muda ... dan tidak ada yang mendampinginya."
"Ini soal legitimasi, Jenderal Arslan," sambung Lord Alfa. "Putri Lumina belum mendapatkan kepercayaan secara politik. Ini akan sulit baginya."
Arslan bersedekap sambil menghela napas. "Seandainya Pangeran ada di sini ..."
Lagi-lagi, Lord Alfa dan Dante saling pandang. Bahkan Jenderal Arslan pun mulai merasa ada yang aneh dengan tatapan mereka.
"Kenapa?" sang Jenderal langsung mengekspresikan keheranannya. "Apa aku melewatkan sesuatu?"
Kedua Magi kembali memfokuskan perhatian kepada Arslan.
"Sangat jelas bagiku, Pangeran sedang diincar," Dante yang bicara. "Bahan peledak di dalam kado pemberiannya. Lalu, serangan Curse yang ditujukan hanya kepadanya. Jenderal Arslan ... menurutmu siapa yang pantas dicurigai?"
Tatapan Arslan menajam.
"Mungkin ... Kesatria Putih?" Jawaban Arslan mau tak mau membuat kedua Magi tersentak. "Khususnya Klein Arc."
Itu bukan sekedar tuduhan tak berdasar. Baik Lord Alfa maupun Dante bisa merasakan keyakinan dalam nada suara Arslan.
"Kulihat Anda berdua masih menaruh kepercayaan yang begitu besar pada Klein Arc," Arslan berkata lagi.
"Dan Anda tidak begitu?" tanya Dante.
Arslan mengangkat bahu. "Tanpa adanya bukti, ucapanku tak lebih dari tuduhan belaka."
"Tapi, Jenderal," Dante kembali bicara, "Curse adalah sihir kegelapan. Tidak ada anggota Kesatria Putih yang memiliki sihir itu."
"Masih ada kemungkinan untuk bekerjasama dengan pihak lain, bukan?" sahut Arslan.
"Kenapa kau sepertinya yakin sekali soal itu?" Pertanyaan Lord Alfa membuat Arslan terdiam. "Jenderal ... Apakah Anda mengetahui sesuatu yang tidak kami ketahui?"
Arslan menarik napas panjang. Selama beberapa detik, ia memejamkan mata dalam diam. Ketika membuka mata kembali, yang terucap dari mulutnya hanyalah, "Tidak ... Tidak juga."
"Dia tahu sesuatu, tetapi tidak mau mengatakannya pada kita."
Dante mengutarakan pemikirannya ketika Arslan telah meninggalkan tempat itu. Duduk tak jauh darinya, Lord Alfa mengangguk pelan.
"Aku juga berpikir begitu," katanya kemudian. "Kau sendiri? Apa menurutmu, Klein Arc dan Kesatria Putih masih layak untuk kita percayai?"
Dante terdiam lama. Tatapannya setengah menerawang, seperti sedang mempertimbangkan banyak hal.
"Itu ... sulit untuk dikatakan," kata Dante akhirnya. "Tapi, aku akan mengamati situasinya ... sambil tetap berhati-hati."
"Itu keputusan yang bijaksana," sahut Lord Alfa. "Jenderal Arslan adalah orang yang jujur dan lurus. Dia punya posisi yang kuat di negeri ini, tetapi tidak pernah berpihak. Hanya tulus mengabdi untuk Kerajaan Luminos. Kalau dia sampai bersikap seperti itu, pasti ada alasan yang kuat. Aku percaya pada penilaiannya."
Dante mengangguk setuju. "Lord Alfa, sebagai Pimpinan Magi Kerajaan, prioritasku saat ini adalah Helios dan penobatan Ratu yang baru."
"Aku bersamamu."
Edgar sedang duduk sendirian di ruang kerjanya, menghadapi setumpuk dokumen di atas meja. Bukan di Istana Pijar Mentari, melainkan di kediaman keluarga Flamewind yang terletak di pusat kota Heliopolis. Tidak terlalu jauh dari Istana. Beberapa hari ini, ia sangat sibuk. Menghabiskan banyak waktu di Istana, dan masih bekerja ketika berada di rumah.
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan ringan di pintu, agak mengejutkan Edgar yang sedang berkonsentrasi pada selembar dokumen di tangan kanannya. Namun, ia tidak mengalihkan perhatian.
"Masuk," lelaki itu berujar singkat.
Seseorang masuk, lalu menutup pintu kembali, nyaris tanpa suara. Edgar hanya melirik sekilas, ketika orang itu beranjak mendekat sampai ke depan meja kerjanya. Ternyata Gillion.
"Tuanku," Gillion berkata penuh hormat. "Aku sudah kembali."
"Hm." Edgar memilih menyelesaikan urusan dengan satu dokumen di tangannya, baru kemudian memfokuskan perhatian kepada Gillion. "Bagaimana tugas yang kuberikan padamu?"
"Sudah kuselesaikan."
"Bagus." Edgar menatap wajah Gillion. Hanya sedetik lewat, dan Gillion mengalihkan pandang, menunduk dalam-dalam. Edgar langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Semuanya aman, 'kan? Tidak ada masalah?"
Bertahun-tahun mengenal Gillion, tidak terlalu sulit bagi Edgar untuk mengenali sekelumit kegelisahan di wajah laki-laki itu. Meskipun sehari-hari, air muka orang kepercayaannya itu nyaris selalu datar.
"Gill! Jawab pertanyaanku!"
Nada bicara Edgar yang tiba-tiba tajam membuat Gillion tersentak.
"Iya ... Iya, Tuanku. Aku sudah melakukan semuanya sesuai perintah." Gillion masih menghindari tatapan mata Edgar. "Hanya ... ada sedikit masalah ..."
Tatapan Edgar menajam. "Masalah seperti apa tepatnya? Bicara yang jelas!"
"Itu ... ." Gillion menarik napas sejenak. "Soal surat yang harus kuserahkan pada kedua utusan itu. Maksudku ... surat-surat itu sudah sampai ke tangan mereka. Tapi ... ada seseorang yang sempat memergokiku."
Gillion yang masih menunduk, tidak menyadari perubahan raut wajah Edgar. Seperti laut yang tadinya tenang, lalu tiba-tiba badai datang. Rahang Edgar mengeras. Tangannya pun terkepal sejenak.
"Siapa?"
Bahkan Gillion bisa merasakan tekanan yang sangat besar di dalam satu kata yang diucapkan oleh Edgar itu.
"Wakil Komandan Kesatria Putih," Gillion menjawab juga. "Kato Iceheart."
"Apa? Kesatria Putih masih ada di kota ini?" Edgar mendengus sinis sembari menggeleng pelan. "Berani sekali mereka!"
Gillion memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Matanya pun bersitatap dengan Edgar. Lalu, dilihatnya sang Tuan menghela napas panjang dengan mata terpejam. Gillion tahu, itu berarti Edgar sedang menahan amarahnya.
"Kau tahu, Gill?" Edgar berkata ketika kedua matanya kembali terbuka. "Kecerobohanmu ini bisa saja mengacaukan rencanaku. Dari kegelisahanmu, bisa kubayangkan kalau kau sudah membiarkannya lolos. Padahal, seharusnya ... kau bungkam dia untuk selamanya!"
"Mohon maaf, Tuanku. Tapi waktu itu aku sudah membuatnya terluka parah. Mungkin saja dia sudah mati sebelum sempat memberitahu siapa pun—"
"Perkiraan yang setengah-setengah begitu hanya akan menyesatkan kita!" Edgar menyentak tajam. "Sekarang yang harus kita lakukan adalah memperhitungkan kemungkinan terburuk. Anggap saja, saat ini Kesatria Putih sudah tahu semuanya. Dan juga ..."
Edgar tak kunjung menyelesaikan kalimatnya. Gillion pun tidak berani bicara walau hanya sepatah kata. Namun, melihat tatapan Edgar yang menerawang, ia paham bahwa tuannya itu tengah memikirkan banyak hal.
"Apa boleh buat. Skenario-nya harus dipercepat," kata Edgar kemudian. "Baiklah, Gill. Kalau begitu, laporkan semuanya dengan detil. Jangan ada yang terlewat sedikit pun!"
Alinea Flamewind sedang duduk-duduk di ambang jendela kamarnya. Jendela lebar berkusen putih itu dibiarkan terbuka. Angin sepoi membelai rambut Alinea yang panjang keemasan, sekaligus memberikan kesejukan di siang hari yang agak panas itu. Alinea sendiri melepaskan pandang sebebas-bebasnya keluar jendela. Memandang hamparan rumput serta bunga-bunga aneka warna yang terawat dengan baik di halaman rumahnya. Gadis itu juga bernyanyi. Melagukan nada-nada indah tanpa syair. Alih-alih, ia menggantikan setiap suku kata dalam lirik lagu itu dengan "la".
"Nona, boleh aku masuk?"
Suara itu terdengar dari balik pintu kamar. Tanpa ketukan. Nyanyian Alinea serta-merta berhenti.
"Iya, Thea. Masuklah."
Sebenarnya, sejak tadi pintu kamar Alinea tidak terkunci. Bahkan sudah terbuka sedikit. Pelayan berseragam merah tua itu pun masuk dengan mudah, hanya dengan mendorong daun pintu sedikit. Ia cukup tinggi, berkulit cerah, dengan rambut coklat yang digelung rapi, serta bola mata beriris hijau kekuningan. Wanita muda 21 tahun yang bisa dibilang cantik. Di tangannya ada nampan berisi makanan, minuman, dan sedikit buah-buahan.
"Makan siangku, ya?" Alinea berkata ketika Thea meletakkan nampan beserta isinya di atas meja, tepat di samping tempat tidur. "Apa Ayah dan Kakak tidak akan makan siang di rumah?"
"Tidak, Nona," Thea menjawab. "Lord Edward tadi hanya pulang sebentar untuk mengambil beberapa dokumen. Tuan Muda ada di ruang kerja, tapi sepertinya akan pergi lagi. Saya tidak tahu, beliau akan makan siang dulu atau tidak."
"Hmm ...." Alinea kembali memandang keluar jendela. "Akhir-akhir ini semuanya sibuk sekali, ya ...."
"Sepertinya begitu, Nona," Thea menyahut. "Anda tidak mau makan siang?"
"Nanti saja, aku belum lapar."
Thea mendengar Alinea mendesah pelan. Melihat raut mukanya, ia juga paham bahwa sang Nona sedang tidak ingin bercakap-cakap.
"Kalau begitu, saya permisi."
Kamar itu kembali sepi setelah si pelayan pergi. Alinea melanjutkan nyanyiannya yang sempat terputus, sembari menikmati pemandangan indah yang tergelar di depan matanya. Sebagai keluarga bangsawan terpandang di Heliopolis, tidak heran bila keluarga Flamewind memiliki harta berlimpah. Rumah besar nan mewah, dengan halaman luas, taman dan kolam, beserta belasan pelayan, tentu bukan hal yang aneh.
Baru satu menit, nyanyian Alinea terhenti lagi. Ia merasa ada orang lain di tempat itu, entah sejak kapan. Gadis itu pun menoleh ke arah pintu kamar. Benar saja. Dilihatnya, memang ada seseorang yang sedang berdiri bersandar di dekat pintu sambil bersedekap.
"Kakak?" Alinea menegur.
Edgar yang sedari tadi mendengarkan nyanyian adiknya, menoleh sambil tersenyum samar.
"Kenapa berhenti?" tanya Edgar sembari mendekat ke sisi Alinea.
"Kakak sudah lama di situ?" Alinea malah balik bertanya.
"Baru saja, kok," sahut Edgar. "Kau sudah sehat? Atau ... masih ada yang terasa sakit?"
Alinea hanya menggeleng. Ia lalu menatap sang kakak lama sekali, sehingga membuat kening pria itu berkerut.
"Ada apa, Lin?" akhirnya Edgar melontarkan pertanyaan itu. "Sepertinya kau ingin mengatakan sesuatu."
"Kakak ...." Alinea terlihat ragu. Namun, kemudian ia menatap Edgar dengan sorot mata tegas dan lurus. "Apa yang sedang Kakak lakukan?"
Edgar terdiam. Sejenak, raut mukanya tampak kebingungan. Alinea masih menatapnya dengan cara yang sama. Lambat laun, terbentuklah pemahaman di pemikiran pria muda itu. Apa mungkin Alinea mencurigai sesuatu? Meskipun berpikir demikian, Edgar tidak ingin bertindak gegabah.
"Maksudmu apa, Lin?"
Alinea menghela napas. Sekilas, kata-kata kakaknya terdengar santai. Akan tetapi, ia sangat mengenali nada suara itu. Nada suara saat Edgar ingin menyembunyikan sesuatu. Tentu saja! Ia yang sudah mengenal Edgar seumur hidupnya, mana mungkin tidak tahu.
"Aku tidak suka." Kali ini Alinea menentang pandangan Edgar, dengan tatapan mata yang lebih keras. Hampir terkesan menuntut. "Waktu itu ... Waktu aku masih berada di Istana ... aku mendengar Kakak bicara dengan seseorang. Di kamar tempat aku dirawat. Kalau tidak salah, namanya ... Meridian."
Ucapan Alinea kali ini membuat Edgar tersentak. Pria muda itu bahkan tidak sempat menutupinya lagi. Dan pada akhirnya, ia memutuskan untuk menampilkan ekspresi yang apa adanya.
"Jadi, waktu itu kau sudah sadar?" ucapnya, nyaris datar.
"Apa?" Reaksi Alinea yang terbalut nada kecewa, mau tak mau mengusik hati Edgar. "Jadi, Kakak tidak mau membantahnya?"
"Kalau memang kau sudah mendengar semuanya, percuma aku mengelak." Edgar menatap adiknya dengan sorot mata yang sulit digambarkan. "Lalu ... apa yang kauinginkan sekarang?"
Alinea bangkit dari duduknya dan langsung meraih kedua tangan sang kakak. Lalu digenggamnya dengan hangat.
"Aku ingin Kakak berhenti!"
Edgar kembali saling bertatapan dengan adiknya. Ah ... Mata itu ... Tatapan berkaca-kaca penuh harapan. Permohonan. Satu-dua detik, Edgar merasa tekadnya mungkin saja bisa digoyahkan oleh adik kesayangannya ini.
"Aku sudah terlalu jauh untuk berhenti, Lin," ucap Edgar akhirnya. "Apalagi mundur."
Lagi-lagi raut kekecewaan itu menghiasi wajah Alinea.
"Tidak bisa, walau demi aku?"
Pertanyaan Alinea mau tak mau membuat dada Edgar berdesir tajam. Namun, ia hanya menggeleng pelan.
"Kak!" Alinea melepaskan pegangannya dari tangan sang kakak. Satu bulir airmata lolos dari pelupuk mata gadis itu, lalu jatuh membasahi pipinya yang kemerah-merahan. "Reinhart dan Lumina itu teman-teman kita sejak kecil! Tega sekali Kakak berbuat begini pada mereka! Kak ... Kakak sudah merenggut dua orang yang sangat mereka cintai!"
"Lin ...." Edgar tahu apa yang hendak diucapkannya ini konyol. Namun, terucap juga dari mulutnya tanpa sempat ditahan. "Bukan aku yang melakukannya—"
"Sama saja kalau semua atas perintah Kakak!"
Alinea masih menentang tatapan Edgar dengan bermacam-macam emosi di dalam matanya. Pada akhirnya, Edgar menghela napas panjang, sebelum akhirnya berbalik memunggungi adiknya.
"Jangan terlibat, Lin," kata pria muda itu. "Menjauhlah dari semua ini."
Edgar beranjak, tetapi terhenti kembali oleh ucapan Alinea.
"Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Kakak?"
Edgar meneruskan langkah, hingga akhirnya mencapai pintu kamar. Untuk yang terakhir kalinya, Alinea masih mencoba untuk bicara, meski suaranya sudah bergetar menahan tangis.
"Kak ... Aku mohon padamu!"
Edgar keluar, dan pintu itu ditutup.
Lumina sedang duduk sendirian di dalam kamarnya. Menghadapi meja rias. Sayu menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Matanya masih tampak sembab, meskipun sudah ditutupi dengan riasan.
Bermenit-menit lewat, gadis cantik itu tidak bergerak maupun bersuara. Sampai akhirnya ia menghembuskan napas dengan berat, lalu mengalihkan pandang dari cermin.
SET.
Tatapan Lumina terhenti pada sebuah benda yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Sebuah gelang perak berukir teramat indah. Gelang yang sengaja dipesankan khusus untuknya. Kane yang memberikannya sebagai hadiah ulang tahun.
Saat itu—entah bagaimana caranya—Kane telah menemuinya diam-diam menjelang tengah malam, tepat sebelum hari ulang tahunnya. Dan tanpa diketahui oleh siapa pun. Di balkon kamar sang Putri Mahkota!
"Aku ingin jadi orang pertama yang memberimu kado."
Begitulah Kane beralasan waktu itu, ketika Lumina memprotes spontan saking terkejutnya. Kemudian, kesatria muda itu menunggu beberapa saat, baru menyerahkan hadiahnya tepat pada saat pergantian hari.
"Astaga ... kau bahkan tidak mau repot-repot membungkusnya," ucap Lumina sambil menerima sebuah wadah kecil, seperti kotak perhiasan.
Kane mengangkat bahu. "Menurutku, membungkus kado itu hanya akan merepotkan orang yang menerimanya. Ya, 'kan?"
Lumina tidak bisa mencegah senyum di bibirnya. Bahkan ia tidak menyangka Kane akan melakukan hal senekat itu. Menemui seorang Putri Mahkota di balkon kamarnya secara diam-diam. Tengah malam pula! Kalau sampai ada yang tahu, Kane bisa berada dalam masalah besar.
Namun, bagaimanapun juga Lumina merasa sangat bahagia. Bukan cuma karena kado itu, tetapi juga karena Kane datang untuknya. Berbicara padanya dengan menanggalkan formalitas. Yah, meskipun Kane masih membatasi diri. Dulu, Lumina pernah meminta pemuda itu untuk bicara layaknya teman sebaya, apabila mereka sedang berdua saja. Sepertinya butuh waktu lama sampai Kane benar-benar mau melakukan itu.
"Ah ... Gelang." Lumina membuka kotak hitam itu, lalu mengambil isinya. Langsung dipakainya benda itu di tangan kiri. "Cantik sekali ..."
"Kau suka, Putri?"
"Suka sekali!" Lumina berani bersumpah melihat wajah Kane memerah sekejap. Mungkin dirinya terlalu berlebihan mengungkapkan kegembiraan atas hadiah itu? Ah, sudahlah. Yang penting malam ini sungguh menggembirakan, sampai-sampai Lumina ingin waktu berhenti. "Tapi, sudah kubilang, 'kan? Kalau kita cuma berdua seperti ini, panggil saja namaku, Lumina."
"Tapi, Putri. Aku tidak mungkin—"
"Kau bilang begitu, tapi berani menemuiku diam-diam tengah malam begini?"
Kane terbungkam, jelas-jelas terlihat salah tingkah. Lumina tertawa karena merasa reaksi pemuda itu sangat lucu.
"Putri—"
"Lumina!" sang Putri masih bersikeras.
"Baiklah ... Lu ... Lumina," akhirnya Kane mengalah, meskipun terlihat sangat canggung.
Lumina kembali tertawa kecil. Sempat ia melihat Kane tersenyum tipis, sembari menghela napas pelan. Senyum yang sangat lembut.
"Lumina ... Lain kali, aku tidak hanya akan memberikan sekedar perhiasan perak seperti ini."
Apa maksud kata-kata Kane waktu itu?
Sampai detik ini pun, Lumina masih bertanya-tanya di dalam hatinya. Ia masih memandangi gelang perak di pergelangan tangannya. Lalu, diusapnya benda itu perlahan, seraya memikirkan orang yang memberikannya.
Kane, bagaimana keadaanmu sekarang?
" ... tri? Putri?"
Lumina tersentak, menyadari seseorang tahu-tahu sudah ada di sisinya. Lydia, satu dari dua pengawal pribadinya itu, kini tengah menatapnya dengan sorot mata cemas.
"Putri baik-baik saja?"
Lumina menyunggingkan sebuah senyum spontan, demi menghapuskan kekhawatiran Lydia. Meskipun Lydia sebenarnya bisa melihat dengan jelas, betapa mata sang Putri tak ikut tersenyum.
"Iya ... Memangnya aku kenapa?"
"Sejak tadi aku memanggil-manggil Putri, tapi Putri tidak mendengar."
"Maaf, tadi aku sedang memikirkan sesuatu." Lumina berdiri dari kursinya. "Lalu, bagaimana? Pamanku tidak sedang sibuk, 'kan?"
"Tidak, Putri. Saat ini beliau sedang beristirahat di kamar." Lydia menatap Lumina. Masih tampak gelisah. "Putri yakin mau melakukannya?"
"Tidak ada pilihan lain. Aku harus melakukannya. Akan kubicarakan dengan Paman."
Lydia mendengar nada bicara Lumina sangat tegas. Tiada ragu sedikit pun.
"Tapi, Putri ... itu sangat berbahaya!" Lydia pun bersikeras. "Lagipula, apa yang Putri pikirkan tentang Lord Edgar itu hanya sebatas kecurigaan tanpa bukti—"
"Kalau menunggu bukti muncul, mungkin sudah akan terlambat," Lumina menyela dengan tatapan mata menajam. "Aku sudah mendengar soal sepak terjang Edgar di Dewan Kerajaan akhir-akhir ini. Aku merasa ... semua berputar di sekitar dia. Seolah-olah dialah yang mengatur semuanya. Entahlah, Lydia. Yang jelas, surat perintah yang dibawa Edgar itu telah menjauhkan Kane dariku. Dan membuat posisiku semakin lemah."
Lydia memahami sepenuhnya perkataan sang Putri. Raut wajah gadis Magi itu pun berubah suram.
"Maafkan aku, Putri," katanya. "Aku hanyalah seorang Magi yang keluarganya tidak punya kekuatan politik apa-apa. Aku tidak bisa menjadi kekuatan bagi Putri."
Lumina mendekati Lydia, lalu tiba-tiba memeluknya. Hanya dua-tiga detik, tetapi sangat mengejutkan Lydia.
"Jangan pernah bicara seperti itu lagi," berkatalah Lumina. "Hanya dengan keberadaan Lydia di sisiku, itu sudah menjadi kekuatan bagiku."
Tergetarlah hati Lydia oleh rasa haru. "Putri ..."
Lumina tersenyum hangat. "Lydia ... Ketika tiba saatnya bagiku untuk naik takhta, aku harus mendapatkan legitimasi yang kuat. Dan satu-satunya cara adalah ... dengan mewarisi Helios. Apa pun resikonya!"
Sepasang netra itu perlahan terbuka, memperlihatkan iris coklat keemasan yang tadinya tersembunyi di balik kelopaknya. Mengerjap beberapa kali, sebelum sang pemiliknya—Kato Iceheart—merintih tertahan sembari memegangi daerah sekitar ulu hatinya dengan sebelah tangan.
Butuh waktu lebih dari semenit, sampai pria itu mampu menenangkan diri. Ia mencoba menarik dan menghela napas dengan teratur, sembari menelisik keadaan dirinya. Saat ini, ia tengah terbaring di sebuah ranjang, di ruangan serba putih. Ruangan itu tidak terlalu luas, juga tidak terlalu sempit. Jendela terbuka tak jauh dari ranjang, dengan pemandangan serba hijau oleh pepohonan.
Kato mengedarkan pandang ke seluruh penjuru ruangan. Tidak banyak benda di dalamnya selain ranjang yang ditidurinya, sebuah meja kayu, dan sebuah kursi kecil di dekat meja, juga terbuat dari kayu. Tidak ada suara. Tidak ada orang lain. Kato mencoba untuk bangun, meskipun masih merasakan sakit. Ia pun akhirnya hanya mampu duduk di tepi tempat tidur.
KLEK.
Suara pintu terbuka mengejutkan Kato. Ia refleks menoleh dan melihat seseorang yang diharapkannya.
"Kato!"
Klein Arc bergegas mendekat ke ranjang setelah menutup pintu kembali. Kato mencoba untuk berdiri, tetapi keseimbangannya langsung goyah. Pasti sudah jatuh, andai Klein tidak tiba tepat waktu untuk menahan tubuhnya.
"Hei, jangan bangun dulu!"
Klein membimbing Kato untuk berbaring kembali, tetapi yang bersangkutan menolaknya. Akhirnya, Klein membiarkan wakilnya itu duduk di tepi ranjang. Sedangkan ia sendiri duduk berhadapan di satu-satunya kursi kayu yang ada di ruangan itu.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Klein dengan raut cemas yang tidak disembunyikan.
"Aku ... tidak apa—Akh!"
Kato kembali merintih kesakitan. Tangan kanannya masih memegangi daerah ulu hati.
"Sudah kubilang," kata Klein, "kau berbaring saja."
"Tidak apa-apa ...," Kato mengulang kata-kata itu. "Komandan ... Ini ... Kastil Pendar Rembulan, 'kan?"
"Ya." Klein menghela napas. "Entah bagaimana kau bisa sampai di Lunapolis dengan luka separah itu. Tapi kau pingsan sebelum sampai di Kastil. Untung ada Sola yang membawamu kemari."
"Sola ... Ya ... Aku ingat bertemu dengannya ..." Kato berusaha mengingat-ingat. "Berapa lama aku pingsan?"
"Hampir dua hari dua malam."
Kato tersentak. "Apa? Selama itu?"
"Kondisimu sempat kritis, Kato." Klein menatap wakilnya dalam-dalam. "Katakan padaku, apa yang terjadi? Siapa yang bisa melukaimu sampai seperti ini?"
"Maafkan aku, Komandan. Setengahnya, ini adalah kecerobohanku. Dia jauh lebih tangguh daripada yang kuduga."
Klein mengerutkan kening. "Dia?"
"Gillion Starlight."
Giliran Klein yang tersentak. Lalu, tatapannya menajam. "Jadi ... kecurigaanku tentang Flamewind tidak salah?"
"Mungkin saja, Komandan," Kato menyahut. "Akan kulaporkan semua hasil penyelidikanku."
Bersambung ...
Luminos Rhapsody; Heidy S.C. 2016-2017©
====================================================
********************* Author's Corner *********************
Hai, teman-temanku yang baik~! \(^o^)
Rhapsody demi Rhapsody bergulir, menguak rahasianya satu-persatu. Apakah sampai saat ini kalian masih bingung, siapa yang bisa dipercaya dan siapa yang tidak? Sama, dong~! XD *dibuang ke Pluto*
Omong-omong, aku jadi tergelitik untuk menulis lebih dalam tentang hubungan Lumina dan Kane. Ah, Kane ... he's so sweet~ >///<
Terus terang, lebih mudah mengembangkan kisah mereka ketimbang kisah Reinhart dan Sola ... yang entah bisa berkembang atau enggak ... *disabet pedang kembar Sola*
Okeee ... Cukup sampai di sini bincang-bincangnya. Maaf kalau akhir-akhir ini jadwal update jadi tidak teratur, karena kesibukan kerja maupun alasan kesehatan (maklum, cuaca sedang tidak menentu). Sampai jumpa di Rhapsody berikutnya~! ^__^
Solo, 4 Maret 2017
Heidy S.C.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top