Rhapsody 11. Sang Pewaris
"Rein!"
Reinhart mendengar seseorang memanggil namanya, ketika ia tengah menuju tempat latihan para Magi bersama Sola. Dari suaranya saja, ia sudah tahu suara manis nan menggemaskan itu milik siapa.
"Aria?" Reinhart berkata ketika sang pemilik suara berlari kecil menghampirinya. "Ada apa?"
Aria yang hari ini mengenakan busana serba biru, tersenyum manis di hadapan sepupunya.
"Kau mau ke mana?" dia malah balik bertanya.
"Aku," jawab Reinhart, "ingin mulai berlatih hari ini."
"Waah ... Kalau begitu, kutemani, ya!" Aria menyahut dengan mata berbinar-binar antusias. "Aku bisa berlatih bersamamu!"
"Aku senang kau mau membantu," balas Reinhart. "Dibandingkan denganmu, aku pasti sudah tertinggal jauh."
"Waktu kecil saja kau sudah menguasai hampir semua sihir elemen dasar dengan sempurna. Kau itu jenius, Rein! Pasti tidak sulit bagimu untuk mengejar ketertinggalan yang kaubilang tadi."
Kali ini, ucapan Aria membuat Reinhart tertawa kecil. "Kuharap kau benar, Aria."
"Tentu saja! Aku tidak pernah salah," Aria berkata penuh percaya diri. "Tapi itu nanti saja. Sekarang kau harus ikut denganku."
Alis Reinhart terangkat sejenak. "Ke mana?"
"Bibi ingin bicara denganmu."
Sola menghela napas panjang. Hari ini, lagi-lagi dia 'disingkirkan' dari tugasnya sebagai pengawal pribadi Pangeran. Semua berkat Putri Aria yang mengatakan bahwa Lady Tia hanya ingin bicara empat mata dengan sang Pangeran. Lalu, katanya, setelah itu Pangeran akan fokus berlatih sihir bersama sepupunya itu. Apalagi, menurut Putri Aria, Kastil Pendar Rembulan adalah tempat teraman bagi Reinhart saat ini. Jadi, Sola tidak terlalu dibutuhkan untuk tetap bersama mereka.
"Menyebalkan!" Sola menggerutu sendiri, sambil melangkahkan kaki di sepanjang lorong kastil tanpa tujuan.
Masih jelas dalam ingatan gadis itu, bagaimana Aria memeluk lengan Reinhart dengan manja, lalu mengajak sang Pangeran pergi. Putri tomboy itu bahkan sempat-sempatnya menoleh sekejap ke arah Sola ketika Reinhart tidak melihatnya, lalu menjulurkan lidah seperti anak kecil.
Apa maksudnya itu?!
Sola sadar bahwa kekesalannya saat ini sama kekanak-kanakannya dengan perilaku Aria, tetapi dia tidak bisa menahannya. Si Putri tomboy sengaja ingin menjauhkan Reinhart darinya, dan sang Pangeran malah setuju-setuju saja. Dia selalu menuruti apa pun keinginan sepupunya itu!
"Padahal mengawal Pangeran adalah tugasku. Kalau seperti ini, apa yang harus kulakukan?"
Sola menyuarakan kegalauannya. Tanpa sadar, ternyata ia sudah sampai di halaman belakang Kastil Pendar Rembulan yang sangat luas. Hari masih pagi, udara pun masih segar. Sola melihat, di beberapa bagian lapang di halaman belakang itu, tampak para prajurit kastil yang tengah berlatih dalam kelompok-kelompok kecil.
"Maaf," Sola―penasaran―menyapa seorang prajurit jaga yang kebetulan sedang berdiri di dekatnya. "Apakah tempat ini biasa dipakai untuk berlatih oleh para prajurit di sini?"
Prajurit itu menunduk hormat sejenak, baru kemudian menjawab, "Benar. Bukan hanya prajurit, para kesatria Lunapolis juga sering berlatih di sini."
"Oh, ya?" sahut Sola. "Kira-kira ... apakah aku juga boleh berlatih di sini?"
"Tentu saja, Lady Sola. Anda adalah tamu di kastil ini. Silakan, gunakan saja fasilitas apa pun yang Anda butuhkan."
"Terima kasih."
Sola melihat berkeliling. Tak butuh waktu lama, ia sudah menemukan satu sudut yang lapang. Ideal untuk berlatih pedang.
"Di sana saja," Sola menyuarakan pikirannya. "Sayang, tidak ada yang bisa kuajak latih tanding."
"Bagaimana kalau berlatih bersamaku?"
Suara itu mendadak menyapa, begitu dekat di belakang Sola. Gadis itu pun menoleh dan menemukan sosok kesatria yang sangat dikenalnya.
"Klein," balas Sola. "Memangnya kau sedang senggang?"
"Kau tahu sendiri, sekarang ini Kesatria Putih belum bisa bergerak," Klein menyahut sembari tersenyum miring. "Aku jadi merasa tidak berguna."
Sola tertawa kecil. "Aku mengerti perasaanmu."
"Kau sendiri?"
"Sama sepertimu." Sola mengangkat bahu. "Di sini Pangeran sangat aman. Lagipula, hari ini Pangeran akan berlatih sihir bersama Putri Aria. Mungkin seharian. Kau tahu, 'kan ... aku tidak dibutuhkan."
Sola beranjak, menuju tempat lapang yang tadi dipilihnya. Klein pun menjajari langkah gadis itu.
"Kau ... bukan sedang cemburu, 'kan?" tiba-tiba Klein berkata, begitu ia dan Sola sampai ke tempat yang dituju.
"Hah?" Sola menyahut spontan sambil berdiri menghadapi Klein, lalu tertawa kecil. "Pertanyaan macam apa itu?"
"Hoo ... Jadi aku salah?" tanya Klein. Senyum menyebalkan itu tersungging lagi di bibirnya. "Padahal Putri Aria selalu berada di dekat Pangeran, bahkan bermanja-manja padanya."
"Ck! Kau ini! Kalau di depan anak buahmu saja, selalu serius dan sok jaga wibawa. Tapi kalau di depanku dan Kane, isengnya minta ampun!"
Klein mendengus pelan. "Kau mengalihkan pembicaraan. Biasanya, itu berarti kalau aku benar."
"Aku tidak—!"
Baru saja Sola mau meneriaki Klein, dilihatnya ekspresi Komandan Kesatria Putih itu tiba-tiba berubah. Yang tadinya masih tersenyum miring menjengkelkan, mendadak tersaput mendung.
"Klein?" tegur Sola ketika pria muda itu hanya diam. "Kau kenapa?"
"Tidak." Klein menarik napas panjang. "Hanya saja ... banyak hal yang kupikirkan."
"Pasti gara-gara aku menyebut nama Kane," kata Sola kemudian. "Kau mencemaskannya?"
Kali ini Klein tidak menyahut.
"Jangan khawatir," Sola berkata lagi. "Kita tahu kemampuan Kane. Dia bisa jaga diri."
Reinhart memasuki kamar bibinya dengan langkah perlahan. Pemuda itu langsung mendekat ke ranjang, di mana sang bibi setengah berbaring, dengan gaun tidur panjang sewarna persik membalut tubuhnya.
"Rein," Lady Ignatia berkata lembut, sembari mengisyaratkan agar sang Pangeran duduk di tepi ranjang. "Mendekatlah."
Pemuda itu menuruti perkataan bibinya. Ia lalu tersenyum tipis, kemudian bertanya, "Bagaimana keadaan Bibi?"
"Baik. Seperti yang kaulihat."
Entah mengapa, Ignatia terus menatap keponakannya lekat-lekat. Matanya seperti ingin mengutarakan banyak hal, tetapi bibirnya tetap terkunci.
"Kenapa Bibi melihatku seperti itu?" akhirnya Reinhart tidak tahan untuk terus diam.
Ignatia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya sangat perlahan. Ia kembali menatap Reinhart dengan sorot mata yang tidak dimengerti oleh keponakannya itu. Masih tanpa mengucapkan apa pun, wanita anggun itu mengulurkan tangan, mengusap sekilas wajah Reinhart dengan penuh kasih sayang.
"Bibi?"
Sorot mata Reinhart yang penuh pertanyaan, membuat Ignatia mendesah sekali lagi. Berat. Berat sekali. Namun, apa yang ingin disampaikannya sekarang ini, sudah tidak bisa ditunda lagi.
"Rein ... Bibi harus bicara serius denganmu," Ignatia memulai. "Soal Lunar."
"Lunar?"
Reinhart memfokuskan segenap perhatiannya kepada Ignatia. Dengan mudah, ia menangkap kegelisahan dan sekelumit rasa takut di dalam ekspresi bibinya. Tanpa disadari oleh pemuda itu, dadanya berdesir pelan. Jantungnya pun berdetak lebih cepat.
"Kau sudah tahu, 'kan?" kata Ignatia. "Belakangan ini kondisi kesehatan Bibi kurang baik."
"Dan itu berhubungan erat dengan Lunar," sahut Reinhart. "Karena itu juga, Bibi beberapa kali datang ke Lunapolis, ke kastil ini. Untuk mendiskusikan soal itu dengan Paman, 'kan?"
"Ya." Ignatia tersenyum tipis, terlihat sedikit sedih. "Katakan, apa lagi yang kautahu?"
"Ayahanda ...," suara Reinhart bergetar samar ketika mengucapkan satu kata itu. "Ayahanda juga ... mengalami kesulitan mengendalikan Helios selama beberapa waktu terakhir. Kurasa itu ada hubungannya dengan kondisi Lunar, yang akhirnya memengaruhi kesehatan Bibi."
"Benar, keponakanku." Ignatia menatap Reinhart dalam-dalam. "Lalu ... apakah kau juga tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada Helios dan Lunar?"
Reinhart mengalihkan pandang. Ia menghela napas sejenak, baru kemudian berkata, "Helios dan Lunar mencapai batas. Sama seperti yang terjadi pada masa Raja terakhir dinasti Flamewind. Sekaligus menjadi penyebab keruntuhan dinasti itu. Aku ... tidak terlalu tahu detilnya. Tidak banyak literatur yang menyebutkan tentang hal ini. Tapi, yang kutahu ... akan sangat berbahaya kalau dibiarkan. Baik bagi para pembawa Helios dan Lunar, maupun bagi negeri ini."
Sang Pangeran terdiam. Ignatia masih menatap keponakannya dengan lembut, tetapi tidak mengatakan apa pun.
"Bibi," tiba-tiba Reinhart bicara lagi setelah nyaris satu menit membisu. Masih tanpa memandang Ignatia. "Apakah ... kondisi sekarang sudah separah itu?"
"Tidak, Rein. Belum. Tapi mungkin tidak akan lama lagi," sahut Ignatia. "Apa yang terjadi pada Lunar, sebenarnya hanyalah imbas dari Helios. Rein ... keabnormalan Helios pasti akan terjadi. Tapi, kalau saja Bibi lebih kuat ... seharusnya Bibi dan Lunar bisa menjadi pendukung bagi ayahandamu dan Helios. Seharusnya, semua tidak terjadi secepat ini. Kenyataannya ... Bibi tidak bisa."
Kali ini, Reinhart tergerak untuk kembali melihat ke arah bibinya.
"Apa yang ingin Bibi katakan?" akhirnya Reinhart melontarkan satu pertanyaan yang sedari tadi mengganggunya.
"Kau pasti mengerti 'kan, keadaan saat ini?" tanya Ignatia.
Reinhart hanya mengangguk.
"Lumina harus segera mewarisi Helios dan naik takhta," Ignatia melanjutkan. "Dan Bibi juga harus memilih seseorang untuk mewarisi Lunar. Siapa lagi yang lebih pantas daripadamu—"
"Tidak!"
Reinhart tidak membiarkan Ignatia menyelesaikan ucapannya. Ia langsung beranjak, lalu berdiri membelakangi bibinya itu.
"Bibi ... Aku tidak bisa."
Ignatia memandang punggung Reinhart dengan mata berkaca-kaca. Ignatia menyadari, betapa tubuh pemuda itu bergetar pelan. Dan itu sangat menyesakkan dadanya. Sungguh, kalau bisa, ia tidak ingin mendesak Reinhart lebih dari ini. Akan tetapi, dia harus melakukannya.
"Kau tidak bisa ... atau tidak mau?"
Ucapan Ignatia kali ini membuat Reinhart tersentak. Gemetar di tubuh pemuda itu terhenti, tetapi ia tidak merespon. Ignatia memutuskan untuk membiarkannya. Menunggu.
"Aku—," setelah semenit lewat, barulah Reinhart bicara, tetapi langsung terputus. "Tidak bisa, Bibi. Aku—"
"—takut?"
Ignatia mengeraskan hatinya untuk mengucapkan satu kata itu. Didengarnya Reinhart terkesiap, lalu kembali terdiam. Sementara—nyaris tanpa sadar—tangan kanan Reinhart bergerak meremas dadanya sendiri. Sesak. Sesak sekali. Ia memejamkan mata. Bayangan tragedi 9 tahun yang lalu memenuhi benaknya. Kehancuran. Korban yang berjatuhan. Kesedihan.
Apa kau mau memaafkanku?
Kedua mata Reinhart kembali terbuka. Mendadak ia teringat semua yang dilihatnya di alam bawah sadar. Di bawah pengaruh Segel Memori yang dilakukannya pada diri sendiri. Ia ingat telah memeluk anak itu, sosok dirinya sendiri yang berusia 9 tahun. Ia ingat telah menerima kesalahannya. Dosanya. Lalu memaafkan dirinya sendiri. Kesadaran itu membuat batin Reinhart lebih tenang. Namun, kini ia sadar, ternyata masih ada satu masalah lagi yang menghalanginya untuk maju.
"Takut?" Reinhart mengulang satu kata itu sambil mendengus sinis. "Ya. Benar. Aku takut. Aku sangat takut ... Aku—Aku bahkan tidak bisa mengendalikan kekuatanku sendiri! Lalu, apa jadinya kalau aku memiliki kekuatan Lunar yang sebesar itu?"
"Rein—"
"Waktu itu aku sudah melukai banyak orang, Bibi!" Reinhart menyela, lalu berbalik kembali ke arah bibinya. "Kalau sampai terjadi lagi ... dengan Lunar di tanganku ... kehancuran macam apa yang bisa kusebabkan? Berapa nyawa yang bisa hilang karena aku—"
"Reinhart, cukup!" kali ini Ignatia yang menyela ucapan sang Pangeran. "Itu cuma ketakutanmu! Dengarkan Bibi! Kau yang sekarang berbeda dengan kau yang dulu. Kau harus lebih percaya pada dirimu sendiri, Nak!"
Reinhart menggeleng pelan. "Aku tidak bisa mengambil resiko itu."
"Bagaimana dengan Lumina?" Pertanyaan Ignatia sukses membungkam Reinhart. "Bibi yakin, kalian berdua bisa melakukan sesuatu soal Helios dan Lunar. Lumina membutuhkanmu, Rein. Apa kau mau membiarkan adikmu menanggung semuanya sendirian?"
Kehilangan kata-kata, sekaligus merasa terpojok, sang Pangeran hanya bisa menunduk dengan tangan terkepal. Membisu. Ignatia mendesah, lalu bangkit perlahan dari pembaringannya. Wanita anggun itu mendekati Reinhart, sampai akhirnya berdiri dua langkah di hadapan sang keponakan yang masih menunduk dalam-dalam.
SET.
Tanpa bicara sepatah pun, Ignatia mengulurkan tangan kanan untuk membelai wajah keponakannya. Reinhart yang terkejut, spontan membuka mata. Namun, ia membiarkan Ignatia meraih dagunya, lalu membimbingnya untuk mengangkat wajah. Selama beberapa detik, bibi dan keponakannya itu hanya saling tatap tanpa kata-kata.
"Hari ini kau banyak bicara, ya?" kata Ignatia tiba-tiba, sembari menarik tangannya. "Biasanya kau tenang, pendiam. Selalu memendam perasaanmu sendiri."
Reinhart tidak menyahut. Ignatia pun tersenyum tipis, lalu melanjutkan, "Kau tahu, apa yang baru saja kaulakukan? Kau sudah mengakui bahwa kau takut. Kau mengakui kelemahanmu. Yang harus kaulakukan sekarang ... adalah menghadapinya."
"Bibi ... aku ..."
SET.
Reinhart tidak mengantisipasi ketika Ignatia tiba-tiba memeluknya. Mulanya ia kaget, tapi kemudian membiarkannya. Hampir terasa seperti pelukan ibundanya. Begitu hangat dan menenangkan. Satu menit yang terasa sangat panjang bagi Reinhart, membawa kedamaian yang memenuhi sanubari.
"Dengar, Rein," Ignatia berkata ketika akhirnya melepas pelukan. "Bibi tidak bisa membantumu. Karena yang bisa mengatasi rasa takutmu, hanyalah kau sendiri."
Sebelum Reinhart sempat bereaksi apa pun, Ignatia sudah menyelipkan sesuatu ke tangan pemuda itu. Sang Pangeran memandangi benda yang kini ada di tangannya. Sebuah wadah kaca yang indah bersegi-segi seperti berlian. Ukurannya tidak lebih dari telapak tangan. Melalui kacanya yang transparan, Reinhart tidak bisa melihat apa pun, tetapi ia merasakan suatu kekuatan yang sangat besar dari dalam wadah itu.
"Bibi sudah melepaskan Lunar, lalu menyegelnya di dalam wadah itu," jelas Ignatia, membuat Reinhart tersentak. "Nah! Sekarang Bibi mewariskannya kepadamu."
"Tapi, Bibi—"
"Dengan mangkatnya ayahandamu, Bibi yakin, saat ini Helios berada di dalam Bilik Segel," Ignatia tidak membiarkan Reinhart bicara. "Saat Helios dan Lunar sama-sama dalam keadaan tersegel, untuk sementara keduanya akan tenang. Tapi, cepat atau lambat, Helios harus diwariskan kepada Lumina. Kau mengerti 'kan, Rein?"
Reinhart tidak menyahut.
"Bibi serahkan keputusan itu sepenuhnya di tanganmu, apakah kau akan mengambil tanggungjawab itu atau tidak. Kau masih punya waktu untuk memikirkan semuanya baik-baik. Tapi Bibi dan Lunar telah memutuskan untuk memilihmu."
Reinhart merasakan jantungnya berdetak begitu cepat. Sementara, Ignatia menatap lurus, langsung ke dalam matanya.
"Rein, Bibi percaya padamu."
Aria sudah sangat bosan menunggu di luar kamar Ignatia, ketika pintu tiba-tiba terbuka. Dilihatnya Reinhart keluar, lalu menutup pintu kembali.
"Rein! Kenapa lama seka—"
Protes Aria terhenti saat melihat raut wajah sepupunya yang suram. "Kau kenapa? Apa ada masalah?"
Reinhart menatap Aria. Matanya menyiratkan seperti ingin mengatakan sesuatu.
"Aria ... pergilah duluan ke tempat latihan." Aria merasa, bukan itu yang tadi ingin dikatakan oleh Reinhart. "Ada sesuatu yang harus kulakukan. Nanti aku menyusul."
Aria tersenyum manis.
"Baiklah. Kutunggu di sana, ya?"
Reinhart sudah berada di dalam kamarnya, sendirian. Ia duduk bersila di lantai, di tengah-tengah ruangan. Wadah kaca pemberian Ignatia diletakkan tepat di hadapannya. Benda itu dilindungi oleh segel sihir yang sangat kuat. Sebenarnya Reinhart bisa saja membuka segel itu, tetapi sejauh ini ia tidak melakukan apa-apa.
Setelah bermenit-menit hanya memandangi wadah kaca itu, akhirnya Reinhart menghela napas. Kemudian ia menegakkan tubuh. Berkonsentrasi, mempersiapkan sebuah mantra.
"O Sanctuary of Light, grant me thy protection to hold my precious."
Sebuah lingkaran sihir bercahaya keemasan muncul di bawah wadah kaca. Garis tengah lingkaran itu kira-kira setengah meter, dengan pola bertingkat yang sangat rumit di dalamnya.
"Summon Pact, complete!"
Cahaya lingkaran sihir itu menguat, lalu pelan-pelan memudar, seiring ukuran lingkaran sihir yang terus mengecil dengan wadah kaca sebagai pusatnya. Setelah lingkaran itu hilang sepenuhnya, Reinhart membuat sebuah lingkaran sihir lagi di bawah wadah kaca. Kali ini lingkaran sihir yang biasa digunakannya untuk melakukan mantra sihir pemanggil.
"Unsummon: Lunar!"
Dalam sekejap, wadah kaca itu berpendar dalam cahaya keemasan, lalu menghilang. Sekali lagi, Reinhart menghela napas. Dengan demikian, ia telah 'menyimpan' Lunar di dimensi lain—sama seperti yang ia lakukan terhadap senjatanya—untuk kemudian bisa 'dipanggil' lagi sewaktu-waktu. Entah kapan.
"Bibi ... maafkan aku ..."
"Flare!"
Sola mendengar mantra sihir api diucapkan, bersamaan dengan bahaya yang tiba-tiba dirasakannya dari belakang. Gadis itu berbalik dan melihat bola api meluncur cepat ke arahnya. Refleks tubuh yang sangat baik, membuatnya langsung berkelit ke samping. Bola api itu meleset. Namun, ia masih merasakan bahaya yang sebenarnya, sedang bergerak dengan kecepatan tinggi tepat ke arahnya. Langsung dari depan!
CTING!
Suara logam beradu langsung terdengar begitu Sola melolos senjatanya yang berupa sepasang pedang. Dengan benda itu, ia menahan sebuah pedang lain berukuran lebih besar, yang tadi diarahkan padanya. Pemiliknya, siapa lagi kalau bukan Klein?
"Tipuan murahan," kata Sola.
Klein hanya tersenyum samar, lalu melanjutkan serangan dengan pedangnya. Cepat, tepat, dan mematikan. Namun, Sola mampu mengatasi semuanya dengan cukup mudah, meskipun lebih banyak menghindar. Klein menyadari hal itu, lalu mengambil jarak. Ia mengulurkan tangan kirinya yang bebas ke arah depan, dengan telapak terbuka dan mengarah ke Sola.
"Flare!"
Bersamaan dengan seruan itu, muncul lingkaran cahaya bermotif rumit dan berwarna merah terang di depan telapak kiri Klein. Sebuah lingkaran sihir. Lagi-lagi sihir elemen api dasar. Akan tetapi, itu hanya serangan lemah yang gampang diprediksi ...
Baru saja Sola berpikir begitu, tiba-tiba di depan lingkaran sihir Klein muncul satu lingkaran sihir lagi yang berwarna sama. Lingkaran pertama ukurannya kecil saja, tidak melebihi luas telapak tangan. Sedangkan lingkaran kedua berdiameter lebih besar, hampir dua kali lipat. Lalu muncul lagi lingkaran ketiga yang lebih besar. Ketiga lingkaran itu hanya muncul sekejap. Ketika ketiganya menghilang tak sampai setengah detik kemudian, tiba-tiba saja Sola mendapati dirinya sudah dibombardir bola-bola api berkecepatan luar biasa.
"Ck! Shield!"
Kali ini, Sola pun terpaksa menggunakan sihir. Ia menyilangkan lengan kiri yang masih menggenggam pedang, di depan tubuh. Di depan gadis itu muncul lingkaran sihir bercahaya keemasan. Tepat sebelum bola api pertama menyentuhnya, Sola sudah terlindungi oleh perisai energi. Serangan ini berlangsung sampai belasan detik. Sola agak terganggu dengan panasnya api, juga silau dengan cahayanya, sehingga pandangannya ke depan agak tidak fokus. Ketika itulah, ternyata Klein sedang menyiapkan serangan lain. Kali ini, ia menggenggam pedangnya dengan dua tangan dan mengarahkannya lurus-lurus kepada Sola.
"Spark!"
Mengiringi mantra dari Klein ini, di ujung pedangnya muncul tiga lingkaran sihir bertingkat seperti sebelumnya. Satu-persatu dengan jeda sangat cepat, kali ini berwarna kuning. Belum sampai detik berganti, dari pedang yang telah diberi mantra itu muncul kilatan-kilatan seperti halilintar yang menyambar-nyambar liar. Targetnya, Sola!
"Speed! Accelerate!"
Sola tak tinggal diam. Secepat mungkin ia mengaktifkan dua mantra sekaligus. Dua jenis lingkaran sihir yang sama-sama bercahaya keemasan, tetapi dengan pola berbeda, muncul susul-menyusul di bawah kakinya. Dengan begini, Sola mampu bergerak cepat dan lincah menghindari sambaran-sambaran petir Klein. Sambil bergerak, Sola menyiapkan kedua pedangnya, menerjang ke arah Klein. Ia berhasil mendekat tanpa terkena satu serangan pun, dan langsung menebaskan pedangnya tanpa ampun!
"Spark: Thunder Blade!"
"Shield: Reflector!"
Hampir bersamaan, Klein dan Sola mengaktifkan satu mantra terakhir pada pedang masing-masing. Dengan Thunder Blade, Klein dapat mengirimkan serangan petirnya lewat pedang yang beradu. Sedangkan mantra Sola, sesuai namanya, dapat membalikkan serangan lawan. Siapa pun yang kekuatan sihirnya lebih besar, dialah yang akan menang.
Saat kedua pedang Sola dan Klein benar-benar beradu, detik itu pulalah semua energi magis dan tekanan yang ditimbulkan oleh pertarungan mereka, menghilang. Tampaknya, kedua orang ini sama kuat, sehingga serangan mereka saling meniadakan.
"Dengan begini, kita seri lagi, ya?" ucap Klein kemudian sambil menarik dan menyarungkan pedangnya kembali. Sola pun melakukan hal yang sama.
"Apa?" Sola berkata sambil mendengus pelan. "Kau masih penasaran juga?"
"Tentu saja! Di antara semua orang yang pernah menjadi anggota Kesatria Putih, hanya kau yang belum bisa kukalahkan."
"Komandan Klein Arc," Sola sengaja mengucapkan nama lengkap Klein, sekalian beserta pangkatnya. "Apa kau tidak merasa, kau itu kekanak-kanakan, ya? Sudah berapa umurmu?"
"Memang apa hubungannya dengan umur?" Klein menyahut. "Kurasa bukan cuma aku yang penasaran akan kemampuanmu."
Sola mendengus lagi.
"Merepotkan saja!" katanya. "Mungkin sebaiknya, lain kali jangan terlalu banyak pakai sihir. Kalau lebih mengandalkan beladiri dan jurus-jurus pedang, kurasa kau bisa menang."
"Oh ya?" Klein tertawa. "Jangan merendah, Sola. Semua orang tahu, kemampuan berpedang dan ilmu beladirimu itu sangat hebat. Karena itu 'kan, Yang Mulia Raja mempercayaimu untuk menjadi pengawal pribadi Pangeran."
"Apa maksudnya nih, tiba-tiba memujiku?" Sola langsung waspada.
"Hahahaha... 'maksud' apanya? Aku tulus, kok."
Sola mencibir, tetapi Klein tidak ambil pusing.
"Kurasa latihan kita cukup untuk hari ini," Klein berkata lagi. "Apa kau akan kembali ke Pangeran sekarang?"
"Hmmm ... Sudah hampir waktu makan siang, ya?" Sola menyahut ragu. "Entah Pangeran masih berlatih atau tidak. Kau sendiri?"
"Aku ingin melihat keadaan Kato."
Ucapan Klein mau tak mau mengusik Sola.
"Dia masih belum siuman?" tanya gadis itu.
Klein menghela napas. "Terakhir kali aku melihatnya pagi ini, belum."
"Jujur saja, aku sangat penasaran. Siapa orang yang bisa membuat Kato sampai terluka separah itu?"
"Entahlah. Tapi ... ini benar-benar membuatku cemas."
"Yang sempat dikatakannya waktu itu ...," kata-kata Sola terputus. Ia menatap Klein, baru kemudian melanjutkan, "Sebenarnya kau menyuruhnya menyelidiki apa, atau siapa? Masih belum mau memberitahuku?"
Klein menggeleng pelan. "Semuanya masih belum pasti. Paling tidak, aku harus menunggu sampai Kato sadar dan melaporkan semuanya padaku."
Bersambung ...
Luminos Rhapsody; Heidy S.C. 2016-2017©
======================================================
Author's Corner
I was having a hard time deciding the title for this one. Hahaha ... Judul bener-bener baru ketemu di saat-saat terakhir~! XD
Omong-omong soal judul, mungkin ada yang bertanya-tanya, kenapa di awal bab selalu ada judul dalam bahasa Inggris. Sebenarnya, itu kebiasaan sejak cerita ini diserialisasikan di dua tempat sebelumnya. Bedanya, waktu itu judul versi English yang ditaruh di depan. Dulu, aku memang merasa, untuk serial fantasy, lebih keren pakai English. Tapi sekarang sebaliknya, hehehe ... :3
Oh ya ... aku sedang bertanya-tanya, apakah mantra yang panjang-panjang itu perlu diterjemahkan? Tapi, baiklah. Buat jaga-jaga, aku coba kasih terjemahannya di sini yah~! ^__^
"O Sanctuary of Light, grant me thy protection to hold my precious."
= Wahai Suaka Cahaya, berikan perlindunganmu untuk menyimpan milikku yang berharga.
"Summon Pact, complete!"
= Perjanjian (Sihir) Pemanggil, selesai.
Kalau mantra-mantra yang pendek, perlukah diterjemahkan juga? Silakan tulis soal ini di kolom komentar. Oh ya, kalau soal mantra Unsummon, itu adalah kebalikan dari mantra Summon.
And see you in the next Rhapsody~! \(^o^)
Solo, 11 Pebruari 2017
Heidy S.C.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top