Rhapsody 10. Sol y Luna


Libur.

Sepertinya hampir semua orang akan senang jika diberi hari libur dari pekerjaannya. Terutama jika itu adalah jenis pekerjaan yang hampir tidak ada hari liburnya, seperti menjadi pengawal pribadi Pangeran negeri ini. Bisa bersantai-santai seharian kalau mau, jalan-jalan, memanjakan diri sendiri. Benar-benar menjanjikan sebuah penyegaran untuk tubuh, hati, dan pikiran. Tadinya Sola juga berpikir seperti itu, walaupun sempat kaget ketika tiba-tiba Pangeran Reinhart memintanya untuk 'libur sehari penuh'. Namun, kenyataannya gadis itu malah terus-menerus mencemaskan sang Pangeran.

Butuh waktu untuk sendirian dan merenungkan semuanya.

Itulah alasan yang dikatakan Reinhart kepada Sola. Waktu itu, Sola bisa melihat tekad yang kuat di mata Reinhart. Sola merasa, sang Pangeran telah memutuskan sesuatu. Hal yang sangat penting. Dan Sola tidak mau menghalanginya.

Karena itulah, akhirnya Sola memutuskan untuk berjalan-jalan ke hutan kecil yang ada di belakang kastil. Ya, di sini ada hutan yang membelah kota. Di seberang hutan sana masih wilayah Lunapolis. Daerah pinggiran kota yang suasananya seperti pedesaan. Tidak akan makan waktu lama untuk berjalan kaki menembus hutan, lalu berkunjung ke area itu. Apalagi, memang ada jalan setapak yang sengaja dibuat untuk memudahkan warga berlalu-lalang. Namun, saat ini Sola tidak terlalu berminat untuk pergi ke sana.

"Ah! Sungainya masih ada!" Sola berkata spontan dengan riang ketika menemukan apa yang dicarinya.

Sungai kecil yang lebarnya tidak sampai 15 meter. Tidak terlalu dalam atau dangkal, dengan air yang sangat jernih dan beraliran tenang. Dengan wajah cerah, Sola mendekat ke sungai itu, lalu duduk begitu saja di tepiannya yang tertutup rerumputan liar. Gadis itu bisa melihat ikan-ikan yang berenang bebas mengikuti arus sungai. Untuk beberapa saat, perhatiannya tercurah ke sana, sebelum ia tiba-tiba berpikir, betapa anehnya kalimat yang telah diucapkannya tadi.

"Sungainya masih ada," Sola mengulang kalimat itu sambil tertawa kecil. "Kenapa aku bilang begitu, sih? Memangnya sungai bisa pindah ke mana?"

Sola memejamkan mata, lalu menarik napas dalam-dalam, menikmati udara hutan yang bersih dan segar. Senyum belum lepas dari bibirnya yang merah alami. Sebenarnya, ucapan yang ditertawakannya tadi bukan tanpa alasan. Dulu, saat dirinya masih seorang gadis kecil, Sola pernah datang ke tempat ini.



Ketika itu, Sola sedang sangat sedih, dan menangis sendirian di tepi sungai ini. Lalu, datanglah seorang anak laki-laki yang memiliki senyum secerah matahari. Anak itu berusaha menghiburnya, bahkan memberikan beberapa cokelat dan permen yang dimilikinya.

Sola masih ingat, pada akhirnya anak itu ikut duduk di tepi sungai ini bersamanya, sambil memakan cokelat masing-masing. Walaupun laki-laki, anak itu banyak bicara, lalu entah bagaimana jadi menceritakan banyak hal kepadanya. Cerita-cerita yang menarik, dan cukup berhasil membuat Sola terhibur.

"Aku harus pulang," anak laki-laki itu mendadak berkata sambil bangkit dari duduknya. "Hei, ayo kita berjanji! Kita akan bertemu lagi di sini. Suatu hari nanti. Kuharap saat itu sungai ini masih ada."

"Memangnya sungai bisa pindah?" tanya Sola kecil waktu itu.

"Kamu tidak tahu, ya? Ini hutan ajaib yang diciptakan dengan sihir!"

"Bohong!"

"Aku tidak pernah bohong. Yang membuat hutan ini adalah Magi terhebat di dunia! Duluuu sekali. Untuk memisahkan warga di pusat kota dan di pinggiran kota yang suka bertengkar, bahkan berkelahi. Lalu, mereka menyesal dan sadar kalau sebenarnya mereka saling menyayangi. Setelah itu, semuanya bekerja sama membuat jalan untuk menyeberangi hutan. Jalan itu masih ada sampai sekarang, menghubungkan dua bagian kota Lunapolis."

Sola kecil terdiam sejenak, setengah takjub mendengar penjelasan panjang lebar yang cukup tidak masuk akal itu. "Apa itu? Cerita dongeng?"

"Bukan dongeng! Itu legenda daerah sini," anak itu menyahut. "Legenda bisa saja salah, tapi ... pasti ada bagian ceritanya yang benar. Dan aku yakin, Magi terhebat di dunia itu benar-benar datang ke sini!"

Sola kecil memiringkan kepala sejenak, sembari menatap si anak laki-laki. Bisa dilihatnya dengan jelas, anak itu tampak sangat antusias. "Ooh ... Jadi, yang menarik perhatianmu sebenarnya Magi terhebat di dunia itu? Bukan sungainya, bukan hutannya?"

"He he he ..."

Anak itu hanya memamerkan tawa kecil yang cerah.

"Sudah ya, aku benar-benar harus pergi sekarang," katanya kemudian. "Sampai jumpa lagi."

Demikianlah, mereka berpisah.



"Anak itu ...," Sola bergumam sendiri sambil mengulum senyum. "Dia pasti sudah melupakan kejadian itu."

Sungai ini masih ada. Hutan ini juga masih ada. Mungkin cerita itu sekedar legenda. Atau tak lebih dari dongeng pengantar tidur. Akan tetapi, mungkin akan menyenangkan bila janji sepuluh tahun yang lalu dengan anak itu benar-benar bisa terwujud. Janji untuk bertemu lagi di tepi sungai ini.

DEG!

Di waktu yang begitu damai hingga merasuk ke kalbu, tiba-tiba Sola dikejutkan oleh debaran jantungnya yang menguat sekejap tanpa alasan. Bersamaan dengan itu, darahnya berdesir pelan, tetapi tajam. Seperti yang selalu terjadi saat nalurinya memberitahukan datangnya bahaya.

Dengan sigap, Sola bangkit dan segera berbalik, membelakangi sungai. Hanya untuk menemukan di tanah lapang beberapa langkah di hadapannya, tiba-tiba sudah ada lingkaran sihir bergaris tengah hampir dua meter. Yang lebih mengagetkan lagi adalah warna cahayanya. Magenta.

"Tidak mungkin ...!" Sola berucap spontan, sementara tangannya sejak tadi sudah refleks meraba hulu pedang. "Lingkaran sihir ini ..."

Cahaya berwarna magenta dari lingkaran itu perlahan membentuk sosok menyerupai manusia. Awalnya masih tidak terlihat jelas, berpijak di tanah dengan lingkaran sihir di permukaannya. Kemudian, cahaya yang menyelimuti sosok misterius itu semakin pudar, seperti juga cahaya lingkaran sihir.

Sihir perpindahan! Begitu pikir Sola.

Ketika semua cahaya dan lingkaran sihir itu sendiri telah lenyap, yang berdiri di hadapan Sola kini adalah seorang gadis berpakaian ala pengembara. Dia cantik, berkulit agak pucat, bertubuh ideal, dan memiliki tinggi badan kira-kira sama dengan Sola. Rambutnya panjang sepinggang, agak bergelombang, serta berwarna merah terang.

Sama persis dengan warna rambut Meridian.

Sementara itu, Sola berdiri terpaku. Tangannya yang tadi siap mencabut pedang kapan pun dibutuhkan, serta sikap tubuh yang bersiaga penuh, kini telah dilepaskannya. Ia menatap mata gadis di hadapannya yang memiliki iris sewarna dengan miliknya sendiri, biru kehijauan. Wajah gadis itu pun sangat mirip dengan dirinya, kalau tidak boleh dibilang sama. Sola seperti melihat ke dalam cermin. Hanya saja, gadis itu memiliki mata dan raut wajah yang lebih sendu.

Sola masih terpaku ketika gadis itu beranjak mendekat, sampai kemudian berdiri di hadapannya. Mata Sola mulai berkaca-kaca, dan mulutnya seolah terkunci. Ia sangat mengenal gadis itu, walaupun mereka sama-sama sudah banyak berubah. Walaupun ketika berpisah tujuh tahun yang lalu, keduanya masih sama-sama gadis kecil. Ya, tidak salah lagi. Mana mungkin Sola tidak mengenalinya? Sebab gadis itu adalah ...

"Kakak."

Satu kata itu terucap dari bibir sang gadis. Bahkan suaranya pun hampir sama dengan suara Sola, hanya terdengar lebih lembut. Satu kata yang sangat dirindukan oleh Sola, sebesar kerinduannya kepada sosok yang kini tersenyum di hadapannya.

"Miri ...," akhirnya Sola mampu berbicara, meskipun dengan suara bergetar. Sementara, bulir-bulir bening mulai jatuh dari kedua matanya. "Mirianne ... Miri, adikku ... Apa ini ... benar-benar kau?"

Gadis yang dipanggil dengan nama Mirianne itu, hanya mengangguk. Melihat Sola menangis, matanya juga ikut berkaca-kaca.

"Miri!"

Tak mampu lagi membendung perasaannya, Sola segera memeluk Mirianne erat-erat. Dan Mirianne pun balas memeluknya dengan hangat.



Lord Alfa Jade Lightroad berdiri di depan Helios yang melayang tenang di dalam curahan cahaya keemasan dari dua lingkaran sihir besar di lantai dan langit-langit. Sendirian di dalam Bilik Segel, sejak tadi ia hanya diam memandang Helios. Benda yang sarat kekuatan sihir luar biasa itu, kini bersinar dengan lembut. Auranya pun terasa menenangkan.

"Lord Alfa, Anda di sini?"

Lord Alfa mendengar seseorang menyapanya dari belakang. Ia mengenali suara itu sebagai milik Dante Gravenor. Magi berkacamata itu baru saja masuk ke dalam Bilik Segel, kemudian menempatkan diri di samping Lord Alfa.

"Lord Dante," Lord Alfa membalas sapaan Dante. "Ah ... Seharusnya aku meminta izinmu sebelum memasuki tempat ini."

Dante tersenyum, sementara ia ikut memandang Helios yang bersinar temaram.

"Anda adalah Magi Agung," katanya kemudian. "Anda tidak memerlukan izin dari siapa pun untuk datang kemari."

"Tidak, tidak," sahut Lord Alfa. "Segala hal ada sopan santunnya. Tempat ini adalah kewenanganmu."

"Tolong jangan bicara begitu. Saat ini pun, aku bisa mencapai posisi ini berkat pertolongan Anda."

Lord Alfa tertawa kecil mendengar kata-kata Dante.

"Kau adalah Magi yang luar biasa. Seharusnya semua kehormatan ini berada di tanganmu," kata Lord Alfa kemudian. "Sejak dulu memang seperti itu. Pemimpin Magi Kerajaan, juga menyandang gelar Magi Agung, serta memiliki kewenangan di Istana maupun Akademi Sihir Lunapolis. Sangat disayangkan, ada orang-orang picik yang menentang pengangkatanmu, hanya karena kau adalah keturunan suku Soux."

Dante menghela napas pelan, lalu berkata, "Menurutku, Andalah yang paling pantas mengemban tugas sebagai Pemimpin Magi Kerajaan sekaligus Magi Agung. Sangat disayangkan, waktu itu Anda menolaknya."

"Karena 'Pemimpin Magi Kerajaan' adalah jabatan politik," Lord Alfa menukas cepat. "Aku sudah bersumpah tidak akan terlibat di dalam kancah perpolitikan negeri ini. Apa pun alasannya."

"Ya, aku mengerti," sahut Dante. "Karena itulah, diambil jalan tengah seperti ini. Aku menjadi Pemimpin Magi Kerajaan, dan Anda mendapatkan gelar Magi Agung. Bagaimanapun juga, aku sangat berterima kasih karena waktu itu Anda dan Yang Mulia Raja telah berhasil mendesak Dewan Kerajaan untuk menerimaku sebagai Pemimpin Magi Kerajaan."

Lagi-lagi Lord Alfa tertawa.

"Ha ha ha ... Sudahlah," katanya kemudian. "Kenapa kita malah membicarakan masa lalu?"

"Anda benar. Yang harus kita pikirkan sekarang adalah masa depan," sambil tersenyum samar, Dante berkata. "Masa depan negeri ini."

Baik Lord Alfa maupun Dante terdiam setelah itu. Keduanya fokus kepada Helios yang tampaknya sedang berada dalam kondisi paling tenang dibandingkan hari-hari sebelumnya.

"Bagaimana menurut Anda, Lord Alfa?" tanya Dante. "Soal Helios?"

"Aku yakin kau juga bisa merasakannya. Meskipun sekarang kelihatan sangat tenang, tetapi kondisi Helios sangat tidak stabil," Lord Alfa menyahut. Bahkan Dante bisa mengenali sekelumit kekhawatiran dalam suara sang Magi Agung. "Ditambah lagi, Helios telah terlepas secara tidak lazim dari tubuh Yang Mulia Raja akibat kejadian yang ... sangat tidak terduga."

Dante terdiam sejenak.

"Dan sebelum itu kondisi Helios memang tidak terlalu baik," katanya kemudian.

"Ya ...," Lord Alfa mengangguk pelan. "Aku khawatir ... yang kita takutkan selama ini akan terjadi ..."

"Karena itulah, kupikir kita harus segera mengambil tindakan."

Bukan Lord Alfa maupun Dante yang barusan mengucapkan kalimat itu. Keduanya cukup terkejut ketika melihat seorang pemuda telah masuk ke dalam Bilik Segel, lalu segera mendekat.

"Lord Edgar Flamewind," Lord Alfa menyapa dengan nada formal.

Edgar Flamewind menundukkan kepalanya sejenak, memberikan penghormatan kepada kedua Magi di hadapannya. "Mohon maafkan kelancanganku yang telah memasuki ruangan ini begitu saja."

"Tidak perlu seperti itu," sahut Lord Alfa sambil tersenyum. "Dewan Kerajaan juga memiliki kewenangan atas Bilik Segel."

"Lord Edgar," sambung Dante, "pasti ada sesuatu yang sangat penting, sampai kau datang ke sini."

Edgar menatap Lord Alfa dan Dante bergantian. Pria muda itu lalu menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Seolah di ujung lidahnya ada hal yang sangat sulit untuk diungkapkan.

"Soal Helios, sedikit banyak aku mengerti keadaannya. Karena itulah, aku ingin mendiskusikan sesuatu, sekaligus mewakili Dewan Kerajaan," Edgar memulai. "Selagi Lord Alfa juga ada di sini."

Lord Alfa dan Dante saling pandang. Mereka bisa melihat dengan jelas, betapa Edgar kembali didera keraguan.

"Bicaralah," kata Lord Alfa, membuat Edgar menghela napas sekali lagi.

"Baiklah," akhirnya Edgar berkata. "Ini bukan hal yang mudah. Bahkan, terus terang, sampai detik ini pun, sebagian anggota Dewan Kerajaan masih menentangnya. Tapi, aku ... ingin meminta pendapat Anda berdua. Bagaimana ... kalau sekiranya ... Putri Mahkota dinobatkan menjadi Ratu, tanpa mewarisi Helios?"



Sola berdiri di mulut sebuah gua, yang terletak sedikit di bawah permukaan tanah di sekitarnya. Beberapa saat sebelumnya, Mirianne telah memintanya untuk pergi bersama ke suatu tempat dengan sihir perpindahan. Sang adik beralasan, ingin bicara di tempat yang tenang. Sola setuju, dengan catatan, Mirianne akan mengantarnya kembali ke Lunapolis setelah itu.

"Ini 'kan ... gua kecil kita?" kata Sola sambil beranjak ke dalam gua.

"Kakak masih ingat." Mirianne tersenyum.

"Tentu saja! Mana mungkin aku lupa?"

Sola berjalan perlahan menyusuri gua kecil itu bersama Mirianne. Sama sekali tidak berubah dari yang terakhir diingatnya. Dulu sekali, ia dan Mirianne menemukan gua itu, lalu menjadikannya 'tempat rahasia' mereka berdua.

Gua itu sendiri cukup tersembunyi di antara pohon-pohon dan bebatuan, juga kelihatan rapuh. Mungkin karena itulah, nyaris tak ada orang datang kemari. Padahal siapa pun yang mau terus masuk ke dalam gua, melalui jalannya yang cukup berputar-putar dan semakin turun dari permukaan tanah, akhirnya akan sampai di tempat yang sangat menarik.

"Ah ..."

Sola masih terpesona seperti ketika pertama kali menginjakkan kaki di tempat itu bertahun-tahun lalu. Jauh di bawah tanah, terdapat satu ruangan alami yang sangat luas. Di sini pun sama sekali tidak berubah. Gua bawah tanah yang amat indah. Di banyak tempat, terdapat bongkahan-bongkahan batu kristal yang seperti tumbuh dari lantai gua. Kristal-kristal itu bercahaya lembut kuning kehijauan, menjadi penerangan bagi tempat yang harusnya gelap gulita itu. Lebih menakjubkan lagi, di bagian gua ini terdapat aliran sungai! Ya, sungai bawah tanah yang benar-benar jernih.

"Jadi ... sekarang Kakak memakai nama Sola Forte?" kata Mirianne sambil bersandar ke sepasang stalagtit dan stalagmit yang menyatu, membentuk sebuah tiang. Tak jauh darinya, Sola duduk-duduk di tepi sungai.

"Hmmm ... Kelihatannya kau sudah menyelidiki banyak hal tentang aku," sahut Sola. Ia baru saja mencoba menyentuh air sungai yang mengalir tenang di hadapannya. Dingin.

"Begitulah." Mirianne beranjak mendekat, lalu ikut duduk santai di samping kakaknya. "Kalau Kakak 'Sola', berarti aku 'Luna'. Ya, 'kan?"

Sola tertawa kecil. "Untuk apa kau pakai nama lain?"

"Apanya yang 'nama lain'?" sahut Mirianne. "Itu 'kan memang nama kita. Millene Sola Scarletsky dan Mirianne Luna Scarletsky."

Sola terdiam. Selama ini, ia sudah berpikir tidak akan mendengar ada yang mengucapkan nama itu lagi.

"Kakak," Mirianne berkata lagi. "Kakak tidak akan membuang nama keluarga kita, 'kan?"

Sola tersentak, lalu menatap adiknya. "Apa maksudmu?"

"Sampai kapan Kakak akan menjadi 'Sola Forte'?" Mirianne balas menatap sang kakak. "Apa Kakak tidak ingin mengembalikan nama besar keluarga Scarletsky? Kakak akan membiarkan nama ayah kita terkubur selamanya?"

Sola tidak menjawab. Ia pun kembali menatap sungai, sembari mencari kesejukan dengan mencelupkan jemari ke dalamnya.

"Kenapa Kakak diam?" kejar Mirianne.

Sola menghela napas. "Miri ... aku ... sudah punya kehidupan di Heliopolis. Aku punya keluarga, pekerjaan, tanggung jawab. Tidak mungkin semua itu kutinggalkan begitu saja."

"Maksud Kakak ... Kakak mau membuang jati diri Kakak? Membuangku?"

"Bukan seperti itu, Miri―"

"Ternyata benar kata Meridian," Mirianne memotong ucapan kakaknya, "Kakak sudah berubah."

Sola terkejut. "Kau bertemu Meridian?"

"Ya, sekitar seminggu yang lalu. Ada beberapa orang anggota Kesatria Hitam bersamanya juga, tapi aku tidak terlalu mengenal mereka."

Berarti tidak lama sebelum Istana diserang, pikir Sola.

"Apa mereka membicarakan sesuatu?" tanya Sola lagi.

Mirianne mengangkat bahu. "Sepertinya mereka mau membantu orang-orang yang ingin menyerang Istana."

"Kau tahu itu juga?"

"Ya. Setelah itu, Meridian berkali-kali membujukku untuk membantunya, tapi aku tidak mau. Aku sendiri juga menyelidiki macam-macam, dan menemukan beberapa informasi menarik. Karena itu juga, aku jadi tahu tentang Kakak. Tapi yang benar-benar membuatku terkejut, Kakak masuk menjadi anggota Kesatria Putih, bahkan menjadi pengawal pribadi Pangeran."

Tatapan mata Sola menajam. "Apa kau sekarang bersama dengan Meridian dan yang lainnya?"

"Bukan urusanku kalau Meridian masih menemuiku. Aku cuma ingin mengajak Kakak pergi bersamaku." Ucapan Mirianne kali ini mengejutkan Sola. "Selama ini, kukira Kakak sudah tidak ada. Kukira aku tinggal sebatang kara di dunia ini. Aku sudah pergi ke berbagai tempat. Melihat banyak hal menarik, banyak pemandangan indah. Lalu kembali ke sini. Aku sangat sangat bahagia waktu tahu ternyata Kakak masih hidup, sampai rasanya tidak berani menginginkan apa-apa lagi. Dan ... aku berpikir, pasti akan sangat menyenangkan kalau bisa melakukan perjalanan bersamamu."

Sola melihat wajah Mirianne begitu berseri-seri, membuatnya sulit untuk buka suara.

"Miri, aku ...," akhirnya Sola bicara juga, "tidak bisa ikut denganmu."

Keheningan yang tercipta setelah itu, sungguh terasa menyesakkan.

"Apa yang mengikatmu ... Kakak?" tanya Mirianne tiba-tiba.

"Apa?"

"Kau dan Meridian ... Aku benar-benar tidak mengerti," kata Mirianne lagi. "Untuk apa kalian melibatkan diri dalam 'perebutan kekuasaan' konyol ini, sampai mempertaruhkan nyawa?"

"Miri, bukan itu masalahnya―"

"Apanya yang 'bukan'?" Mirianne menyela. "Ini hanya soal para bangsawan yang ingin meraih kekuasaan tertinggi. Mereka mana peduli ... kalau demi itu, para bawahannyalah yang akan menderita, terluka, bahkan mati!"

Kali ini Sola terdiam.

"Ya. Mungkin orang akan melihatnya seperti itu," kata Sola kemudian. "Tapi, masalah sesungguhnya tidak sesederhana itu―"

"Apa pun itu, bukan urusan kita, 'kan?" Mirianne menyela lagi.

"Miri ..."

"Aku benci," Mirianne tak memberi Sola kesempatan untuk bicara lebih jauh. "Di dunia ini, tidak ada yang lebih kubenci daripada Kesatria Hitam. Juga Raja dan keluarga kerajaan. Kesatria Hitam ada karena mereka! Aku ... tidak bisa memaafkannya!"

"Miri ...," Sola tidak tahu harus bicara apa. Ia pun meraih tangan Mirianne dalam genggamannya.

"Kenapa Kakak malah membantu mereka!?" gadis itu menuntut, sembari menentang pandangan Sola. "Kakak masih ingat 'kan, bagaimana dulu kita hidup? Hanya mengingatnya saja, itu sangat menyakitkan! Lalu, kenapa? Bagaimana bisa, sekarang Kakak malah bertaruh nyawa demi orang-orang itu!? Ugh... Uhuk... Uhuk... !"

"Miri!?"

Tiba-tiba saja, Mirianne merintih tertahan dan batuk-batuk kecil beberapa kali. Napasnya tampak agak sesak.

"Tenanglah, Miri. Jangan terlalu emosi ..."

Kecemasan terlihat jelas di wajah Sola, sementara tangannya mengelus-elus punggung Mirianne dengan lembut. Tak lama, napas gadis itu sudah mulai normal lagi. Saat itulah, Sola baru melihat gelang platina di pergelangan tangan kiri adiknya. Sola sangat mengenali gelang itu, yang berhiaskan semacam batu permata berwarna magenta. Bukan batu permata biasa. Itu adalah hasil penelitian Kesatria Hitam, orb buatan yang prinsipnya meniru Orb Awal Mula.

"Miri, kau masih memakai benda itu?" tanya Sola kemudian.

"Aku membutuhkannya," sahut Mirianne, "untuk melindungi diriku."

"Tapi, Miri ... itu bisa membahayakanmu," kata Sola.

"Aku mungkin tidak akan membutuhkannya lagi kalau Kakak ada bersamaku."

Sola menghela napas. "Jangan memaksaku dengan kata-kata seperti itu."

"Kenapa sih, Kak―?"

"Miri ... aku mengerti apa yang kaurasakan," kali ini, Sola yang menyela ucapan Mirianne. "Sangat mengerti. Tapi ... yang telah membubarkan Kesatria Hitam adalah Raja Rheiner. Beliau dalam pemerintahannya, telah membuat banyak perubahan, berusaha menjadikan Luminos sebuah negeri yang lebih baik. Lalu ... aku juga telah diselamatkan. Memang, banyak yang telah terjadi, tapi ... keluarga kerajaan ... telah memberikan cahaya bagi hidupku yang diselimuti kegelapan. Karena itu, aku―"

"Aku tahu," Mirianne menyela. "Kakak ingin membalas kebaikan mereka, 'kan? Sejak dulu, Kakak memang memiliki hati yang baik."

"Syukurlah, kalau kau bisa mengerti."

"Ya. Jadi, itulah yang mengikatmu."

"Eh?"

"Karena terikat budi, sekarang Kakak tidak bisa melepaskan diri. Harus terus mengikuti Pangeran itu, dan mengabdi padanya."

"Apa―?"

"Kalau tidak ada dia, baru Kakak bisa bebas. Iya, 'kan?"

"Mi-Miri!?"

Segala kata lenyap dari ruangan di dalam gua itu. Dan Sola hanya bisa menatap Mirianne yang kini wajahnya dipenuhi bermacam-macam ekspresi. Sedih dan marah. Takut dan kecewa. Sakit hati dan terluka. Entah apa lagi.



Sola berjalan kembali ke Kastil Pendar Rembulan dengan perasaan tak menentu. Tidak mudah untuk meyakinkan Mirianne supaya mau membawanya kembali ke Lunapolis. Kembali ke hutan itu.

"Aku tidak akan menyerah," Mirianne berkata setelah mengantar Sola dengan sihir perpindahan beberapa saat yang lalu. "Aku tidak mau memaksa, tapi aku benar-benar ingin hidup bersama lagi dengan Kakak. Aku mohon ... Apa Kakak tidak mau bersamaku?"

Sola menghela napas dengan berat. Matahari sudah mulai menyembunyikan diri di ufuk barat. Langit senja lembayung warnanya. Begitu memesona, tetapi itu pun tidak mampu mengusir kegundahan hati Sola.

Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin ia tidak mau bersama lagi dengan adik semata wayangnya? Tentu saja ia sangat ingin, tetapi ia juga tidak mungkin meninggalkan tugasnya begitu saja. Meninggalkan kehidupan yang sudah ditatanya di Heliopolis. Di Istana Pijar Mentari. Di rumah orangtua angkat yang sangat menyayanginya. Terlebih lagi, ada Pangeran Reinhart. Saat ini, sang Pangeran sangat membutuhkan segala dukungan yang bisa didapatkannya.

SREK.

Mendekati gerbang belakang Kastil Pendar Rembulan, mendadak ada sesemakan di pinggir jalan yang bergerak-gerak. Dan itu tidak jauh dari posisi Sola. Tadinya, Sola berpikir itu hewan liar. Namun, ternyata ada seseorang yang keluar dari balik semak-semak. Seorang pria muda berpakaian ala pengembara dengan jubah bepergian warna cokelat muda. Seseorang yang sangat dikenal oleh Sola.

"Kato!" Sola berseru memanggil nama pria muda itu, lalu beranjak mendekat.

Kato tampak cukup terkejut dipanggil tiba-tiba seperti itu. Keadaannya sendiri terlihat tidak terlalu baik. Begitu keluar dari sesemakan tadi, ia langsung bersandar ke pohon terdekat. Napasnya tampak berat, sedangkan tangan kanannya memegangi perut di daerah sekitar ulu hati.

"Sola ...," Kato berkata dengan suara lemah. Kelihatan sekali, ia sangat kesakitan.

"Apa yang terjadi?" tanya Sola, mau tak mau merasa cemas. "Kau ... Kau terluka?!"

"Komandan ...," Kato bicara dengan napas tersengal dan mata terpejam, seperti sedang menahan sakit. "Aku ... harus ... bicara ... dengan Komandan ... Aargh―!"

"Kato!"

Tubuh Kato yang masih tersandar ke pohon, perlahan merosot hingga jatuh terduduk. Sola ikut berlutut di sisi Kato, menahan bahunya agar tidak roboh.

"Kato, bertahanlah!" kata Sola. "Aku akan membawamu ke Kastil. Kau harus segera dirawat!"

"Tapi ... Komandan ..."

"Tenanglah, Klein ada di sana."

Kato berusaha membuka mata. Sementara, napasnya masih tampak sesak.

"Dia ... sudah mulai ... bergerak ..."

"Kato?"

Tadinya Sola ingin meminta Kato untuk jangan banyak bicara. Namun, sepertinya pria muda itu sudah mulai kehilangan kesadarannya.

"Kita ... harus ..."

Tepat seperti dugaan Sola, sebelum kalimat itu selesai, tubuh sang Wakil Komandan Kesatria Putih telah terkulai lemas dengan mata terpejam. Tidak bergerak lagi.

"Kato?!"



Bersambung ...

Luminos Rhapsody; Heidy S.C. 2016-2017©

======================================================

Author's Corner


Enggak bisaaa ... Aku enggak bisa menulis nama Lord Alfa tanpa kata "Lord"~! Rasanya enggak sopan gimanaa, gitu ...  //abaikan

Hai, Teman-Teman! Ketemu lagi di Rhapsody 10. \(^o^)

Judul bab kali ini agak tidak biasa karena menggunakan bahasa Latin/Spanyol. "Sol y Luna" yang artinya "matahari dan bulan". Mungkin kalian memperhatikan, penamaan para karakter, nama kota, sampai nama istana & kastil di dalam cerita ini sebenernya ada polanya, loh~! Unsur utama yang sering kupakai adalah "cahaya" dan benda-benda langit, terutama matahari dan bulan. Untuk nama orb milik kerajaan Luminos juga sih, Helios (matahari) dan Lunar (bulan). Bahkan nama "Luminos" sendiri diambil dari bahasa Latin, "illumina" yang artinya "menerangi". Nama "Lumina" juga berasal dari kata yang sama.

Lah ... malah jadi ngomongin nama. Baiklah, mari kita bahas sedikit lagi. :3

Nama Reinhart, sebenarnya adalah nama yang hampir selalu kupakai kalau main game RPG. XD *seenaknya* Artinya? Seperti "ray in heart" yang artinya kira-kira "cahaya hati" atau "hati yang bercahaya". (gitu, deh)

Untuk nama-nama keluarga di Luminos, kebanyakan berasal dari dua kata yang digabungkan menjadi satu. Light + road; Scarlet + sky; Flame + wind; Pure + water; dsb. Ada juga yang hanya terdiri dari satu kata (biasanya pendek/ber-ejaan satu suku kata): Arc; Freyr; dll. Ada juga yang 'beda', seperti nama keluarga Dante: Gravenor. Yah, di bab ini udah terungkap kalau dia keturunan salah satu suku bangsa yang ada di tanah Luminos, suku Soux.

Okee ... cukup sekian dulu bincang-bincang kita. Sampai berjumpa lagi di Rhapsody selanjutnya~! ^__^


Solo, 14 Januari 2017

Heidy S.C.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top