Rhapsody 09. Mulai Bergerak!
Tiga hari telah berlalu sejak upacara pemakaman Raja dan Ratu. Suasana berkabung masih terasa di mana-mana, terutama di Ibukota, Heliopolis. Kato Iceheart pun masih berada di kota ini. Bebas berkeliaran tanpa dikenali. Saat ini pun, ia tengah duduk santai di lantai dasar penginapan tempatnya tinggal selama ini. Lantai dasar itu merupakan sebuah sebuah restoran, dan Kato kini sedang menikmati sarapannya.
Kato menyesap teh perlahan. Tamu-tamu penginapan yang lain juga telah turun memenuhi restoran. Seperti halnya para warga Heliopolis, hari ini pun mereka mulai ramai membicarakan penobatan Putri Mahkota sebagai penguasa baru.
Terlalu cepat? Bisa jadi. Apalagi Istana juga masih berkabung, sama seperti seluruh negeri ini. Belum lagi, Pangeran Reinhart dan Lady Ignatia yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya. Namun, tampaknya kekosongan takhta telah membuat masyarakat gelisah. Istana memang harus mengambil tindakan secepatnya.
"Hm?"
Tiba-tiba Kato memusatkan pandangannya ke seberang jalan, tepat di depan penginapan. Hanya sekelebat, ia merasa telah melihat seseorang yang dikenalnya. Sosok orang tersebut dengan cepat menyelinap ke gang kecil dari jalanan ramai, tanpa menarik perhatian sama sekali. Kecuali bagi Kato, yang justru merasakan sesuatu yang sangat tidak biasa dari orang itu, dan semakin menguatkan kecurigaannya.
"Gillion Starlight," Kato berbisik kepada dirinya sendiri, sementara tatapan matanya menajam.
Beberapa menit kemudian, Kato sudah berada di sebuah jalanan kecil yang sepi, setelah sebelumnya cepat-cepat keluar dari restoran agar tidak kehilangan jejak. Ia tidak mengejar langsung ke gang sempit yang dimasuki orang tadi. Alih-alih, ia mengambil jalan memutar, hingga tiba di jalanan kecil yang lurus menuju ke pinggiran kota. Ia tahu, satu-satunya jalan tembus dari gang sempit tadi, hanya menuju jalanan ini. Benar saja. Sosok yang diyakininya sebagai Gillion Starlight itu, muncul dari dalam gang, lalu langsung berbelok ke kiri, tepat menuju daerah pinggiran kota. Dia tampak berjalan dengan tenang, tetapi berhati-hati, dan tetap tanpa menarik perhatian. Sekarang Kato bisa mengamati dengan jelas dari tempat persembunyiannya di balik sebatang pohon peneduh di pinggir jalan. Dilihatnya juga, orang itu berpakaian ala pengembara seperti dirinya. Seolah-olah tidak ingin dikenali.
Tapi, kenapa?
Pertanyaan ini sontak mengusik benak Kato. Tidak ingin dikenali, berarti dia tidak ingin apa yang sedang dilakukannya saat ini sampai diketahui orang lain. Mengapa Gillion Starlight, seorang pengawal pribadi Edgar Flamewind, harus bertindak seperti itu? Kato langsung merasa, ada sesuatu yang sangat besar di balik semua ini. Sebuah rahasianya yang harus bisa diketahuinya, apa pun yang terjadi.
Kato berhenti mendadak, karena Gillion juga melakukan hal yang sama. Dari balik tembok tinggi sebuah rumah di salah satu sudut perempatan jalan, Kato melihat Gillion bersandar ke dinding sebuah rumah lain di ujung jalan sana. Jalan buntu yang tidak tembus ke mana-mana lagi. Kato mengerutkan kening, sedikit heran dengan Gillion yang hanya diam sambil bersedekap. Apa dia sedang menunggu seseorang? Hanya itu yang terpikir oleh Kato.
Beberapa menit lewat, barulah Gillion bergerak lagi. Ia menegakkan tubuh, ketika di dekatnya tiba-tiba muncul seseorang diselimuti cahaya keemasan dari sebuah lingkaran sihir.
Sihir perpindahan!
Pemikiran itu spontan melintas di kepala Kato, sementara ia memerhatikan orang yang baru datang tadi. Sosoknya tidak begitu jelas, tetapi mungkin laki-laki. Ia sedikit lebih tinggi daripada Gillion, serta berpakaian ala pengembara dengan jubah bepergian warna abu-abu lusuh dan bertudung. Gillion tampak hanya berbincang singkat dengan orang itu, lalu menyerahkan sesuatu yang berukuran kecil. Orang tersebut segera menyimpan benda itu di balik jubahnya, kemudian langsung pergi lagi, juga dengan sihir perpindahan.
Kato agak terkejut saat melihat Gillion berjalan dengan cepat ke depan, yang berarti ke arahnya. Baru saja ia berpikir untuk menyingkir, tiba-tiba Gillion berbelok ke kanan, lalu sosoknya menghilang. Sekali lagi, Kato dibuat terkejut. Arah tempat Gillion berbelok tadi sederet dengan rumah yang temboknya ia jadikan tempat persembunyian. Ia tidak bisa melihat ke mana Gillion pergi, karena titik itu ada di sudut mati penglihatannya.
Apakah Gillion masuk ke salah satu rumah yang ada di sini? Atau mungkin ada jalan kecil yang tidak terlihat olehnya? Atau gang kecil? Untuk mengetahuinya, Kato harus mendekat ke sana. Namun, di depan sana adalah jalan buntu, dan di tempat ini tidak ada cukup tempat untuk bersembunyi. Dan tidak ada orang. Resiko untuk ketahuan jauh lebih besar.
Yang jelas, kalau terlalu lama menunggu, pasti akan kehilangan jejak.
Berpikir begitu, Kato memutuskan untuk melihat langsung ke tempat Gillion menghilang. Dengan cepat, ia menemukan ternyata ada gang kecil di sana. Sambil menyembunyikan diri di balik rumah yang ada di ujung, Kato mengintip ke dalam gang itu. Sempit dan sangat panjang, sama sekali tak terlihat ujungnya. Yang aneh, sosok Gillion pun sudah tak terlihat lagi. Kato melihat rumah-rumah di kanan dan kiri mulut gang. Semua berpagar tembok tinggi, dengan pintu masuk berada di sisi lain. Tidak salah lagi, satu-satunya kemungkinan, Gillion pasti masuk ke gang itu. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia bisa menghilang secepat itu?
Tak mau membuang waktu lebih lama, Kato bergerak cepat, masuk ke dalam gang. Sampai di tengah-tengah gang, ia berhenti. Dari situ, akhirnya ia bisa melihat ujung gang yang satu lagi. Ternyata terhubung ke jalan kecil lain. Masih di daerah pinggiran kota. Kato meneruskan langkah. Namun, belum juga satu meter ia beranjak, tiba-tiba Wakil Komandan Kesatria Putih itu merasakan bahaya. Arahnya dari atas!
Kato melompat mundur dua langkah. Tahu-tahu di tanah tempatnya berdiri tadi, sudah tertancap tiga bilah pisau lempar berukuran kecil. Pisau-pisau berikutnya menyusul. Arah asal serangannya masih sama. Semua masih bisa dihindari oleh Kato. Namun, kemudian ia merasakan bahaya yang begitu tiba-tiba dari arah belakang. Kato berbalik sambil menyilangkan kedua tangan secara refleks di depan dada. Tepat waktu untuk menahan tendangan menusuk yang diarahkan kepadanya. Serangan yang cukup bertenaga itu membuat Kato terdorong mundur sampai tiga langkah. Penyerangnya pun terdorong balik ke belakang, setelah tendangannya gagal mencapai sasaran. Ia bersalto di udara, lalu mendarat dengan ringan di tanah, tepat menghadap ke arah Kato.
"Gillion Starlight!" ucap Kato yang kini berhadapan satu lawan satu dengan orang yang sejak tadi dibuntutinya.
"Kupikir siapa yang berani mengikutiku," Gillion yang berdiri di depan Kato, berkata dengan sinis. "Ternyata kau ... Kato Iceheart. Wakil Komandan Kesatria Putih. Berani sekali kau, masih berkeliaran di kota ini setelah semua yang terjadi. Dan sekarang, kau malah muncul di hadapanku?"
Gillion mendengus sinis. Kato masih tampak tenang, walaupun tetap waspada. Pengawal pribadi Edgar Flamewind. Hanya sebatas itulah ia mengenal sosok Gillion. Selebihnya, pemuda yang mungkin sebaya dengan dirinya itu, masih diliputi misteri. Bahkan tidak ada seorang pun yang pernah melihat seperti apa kemampuannya. Namun, setiap melihatnya, Kato bisa merasakan bahwa dia bukan orang biasa.
"Apa yang kaulakukan di tempat seperti ini, dengan penampilan seperti itu?" tanya Kato tanpa basa-basi. "Siapa orang tadi, dan apa yang kauberikan padanya?"
"Kenapa kaupikir aku akan memberitahumu?" Sekali lagi, Gillion mendengus sinis. "Sepertinya ... kau sudah tahu terlalu banyak!"
Dalam sekejap, Kato mendapati Gillion memelesat ke arahnya sambil melayangkan sebuah pukulan. Masih dapat ditangkis, dan keduanya segera terlibat dalam pertarungan tangan kosong. Kato cukup kerepotan. Kecepatan dan kekuatan, Gillion memiliki keduanya. Kombinasi yang cukup mematikan. Sampai pada suatu kesempatan, Kato dan Gillion beradu pukulan yang menyebabkan mereka berdua sama-sama terdorong sampai tiga-empat langkah ke belakang. Segera setelah itu, Kato melihat Gillion―entah sejak kapan―sudah mengambil beberapa pisau lempar yang tadinya masih tertancap di tanah. Dengan cepat, dilemparkannya empat pisau sekaligus ke arah Kato!
"Venta!"
Kato merapal mantra itu, sambil mengarahkan telapak tangan kanannya lurus-lurus ke depan. Lingkaran sihir kecil bercahaya hijau, muncul sekejap di depan telapak tangan itu. Dinding penghalang dari angin segera tercipta, membuat gerakan keempat pisau Gillion tertahan, lalu berjatuhan ke tanah. Namun, setelah itu, tiba-tiba Kato mendapati sosok Gillion sudah lenyap dari hadapannya!
Hanya sedetik, Kato sudah merasakan bahaya lagi yang membuatnya refleks mendongak. Benar saja, Gillion tengah memelesat ke arahnya dari atas, atau mungkin lebih tepat bila disebut terjun bebas. Kilatan samar terlihat dari kedua tangan Gillion, membuat Kato segera melolos pedang pendek yang tersembunyi di bagian belakang pinggangnya, tertutup oleh jubah. Tepat waktu untuk menangkis dua kali tebasan senjata tajam di tangan kiri, lalu tangan kanan Gillion. Bukan pisau lempar, melainkan sepasang belati yang berukuran lebih besar.
Selama beberapa waktu, keduanya terlibat pertarungan dengan senjata masing-masing. Sampai Kato berhasil membuat senjata di tangan kanan lawan terlepas. Namun, dengan satu belati yang masih ada di tangan kirinya, Gillion membalas serangan, sambil berputar sekali untuk menambahkan momentum. Cukup berat, saat Kato menangkis belati itu dengan pedangnya. Dan ia terlambat menyadari, bahwa setelah itu pertahanannya di sisi kiri jadi terbuka, sehingga Gillion bisa bebas menyarangkan sebuah pukulan ke sana!
Hantaman keras dari telapak tangan kanan Gillion tepat mengenai dada kiri Kato. Bukan cuma itu, rasa sakit membuat pegangan Kato pada senjatanya goyah, sehingga Gillion bisa memanfaatkan kesempatan untuk membuat pedang pendek itu terlepas dari tangan lawan. Kehilangan senjatanya, Kato juga terdorong mundur tiga langkah akibat pukulan keras tadi. Nyaris saja ia roboh akibat rasa sakit dan sesak yang kini mencengkeram dadanya.
Kato melihat Gillion mundur sejenak untuk mengambil kembali belatinya yang terjatuh. Ia pun cepat-cepat merapal mantra, sebelum Gillion menyerang lagi.
"Venta: Wind Cutter!"
Kali ini angin yang diciptakan Kato bergerak sangat cepat dan tajam. Berembus ke arah Gillion, angin penyayat yang tak terlihat oleh mata. Namun, Gillion merasakan bahayanya dan berusaha menghindar. Cukup sulit, tetapi ia akhirnya selamat, walaupun angin itu mengenai tas pinggangnya. Benda itu robek, tersayat memanjang, dan satu-satunya benda yang ada di dalamnya, terjatuh ke luar.
Sepucuk surat!
Kato melihat Gillion sedikit panik dan berusaha mengambil surat dalam amplop putih itu, bahkan sebelum jatuh ke tanah. Ia sampai rela menjatuhkan belati di tangan kanannya.
"Venta!"
Sekali lagi, Kato merapal mantra itu. Kali ini, ia membuat angin untuk menerbangkan surat itu sehingga lebih dekat ke arahnya. Walaupun terkejut, Gillion tidak tinggal diam. Ia melompat ke depan mengejar surat itu sebelum sampai ke tempat lawan. Melihat itu, Kato ikut melompat ke arah yang sama, dan berhasil mendapatkan surat itu lebih dulu. Namun, Gillion yang sudah sampai di dekatnya, langsung berusaha merebut surat itu.
Satu-dua kali Kato masih bisa menghindar sambil mempertahankan surat di tangannya. Akan tetapi, Gillion menggunakan belati di tangan kirinya untuk menyerang. Senjata itu berhasil melukai lengan kanan Kato, meskipun tidak dalam. Mungkin karena terkejut, pegangan Kato pada surat itu terlepas, sehingga Gillion berhasil merebutnya. Gillion cepat-cepat melompat mundur, lalu menyimpan surat itu baik-baik di balik jubahnya. Yang membuat kening Kato berkerut, adalah karena Gillion kemudian malah menyarungkan kembali kedua belatinya di pinggang, setelah mengambil kembali satu belatinya yang tadi terjatuh.
"Kau ini ... benar-benar tidak bisa dibiarkan," kata Gillion kemudian. "Apa boleh buat!"
Kato yang berdiri di hadapan Gillion, tiba-tiba merasakan konsentrasi energi yang begitu besar di tubuh lawannya. Sangat cepat terkumpul, terpusat. Detik berikutnya, mendadak tercipta sebuah lingkaran sihir di bawah pijakan Gillion, yang warna cahayanya belum pernah dilihat oleh Kato.
"Apa itu?" Kato berkata spontan dalam keterkejutan. "Lingkaran sihir ... merah muda?!"
Cahaya merah muda―atau lebih tepatnya magenta―segera menyelimuti tubuh Gillion. Sebelum Kato sempat bereaksi apa pun, tanpa peringatan, Gillion sudah memelesat langsung ke arahnya. Benar-benar cepat, dan tahu-tahu Kato sudah harus merasakan hantaman keras yang nyaris mengenai ulu hatinya.
Dia cepat sekali! Aku tidak bisa melihat gerakannya!
Berpikir seperti itu, Kato bermaksud untuk lebih mengandalkan naluri. Namun, tiba-tiba sebuah hantaman lagi mengenai punggungnya dengan telak. Kato merintih tertahan, sementara matanya hanya bisa menangkap kelebatan bayangan yang bergerak dengan begitu cepatnya. Bukan hanya jauh lebih cepat, kekuatan serangnya pun bertambah berkali-kali lipat.
"Pilihanmu cuma dua!" Di sela-sela serangan, Kato mendengar suara Gillion. "Berakhir di tanganku, atau membusuk di penjara bawah tanah bersama Kane Arc!"
Kalimat terakhir Gillion membuat Kato tersentak, tetapi tidak ada waktu untuk terkejut. Bertubi-tubi, serangan demi serangan dari Gillion menghantam tubuh Kato dari berbagai arah. Telak dan keras. Kato sama sekali tidak sempat menahan satu pun serangan itu, dan serangan lain sudah mengincarnya lagi.
Sampai suatu ketika, gerakan Gillion terhenti. Hanya sekejap, Kato melihat sosok Gillion berdiri tepat di sisi kirinya. Masih sama cepatnya, Gillion melepaskan hantaman dari lutut sebelah kanan. Kali ini, Kato bisa menahan dengan kedua tangannya, meskipun tubuhnya tetap terdorong ke belakang akibat efek benturan yang keras. Sebelum Kato siap, Gillion sudah melepaskan serangan berikutnya. Sebuah tendangan memutar, yang menghantam perut Kato dengan telak.
Tubuh Kato terlempar, kemudian terhempas keras ke tanah dalam posisi telentang. Gillion masih mengejarnya, dan langsung menghantamkan kaki kanannya ke dada Kato. Gillion tidak juga melepaskan injakannya setelah itu. Namun, pada saat yang sama, tiba-tiba tangan Kato menyentuh sesuatu yang tergeletak di tanah. Tanpa melihat pun, Kato sangat mengenali benda apa itu. Pedang pendek miliknya!
"Venta ...," sambil menahan sakit, Kato merapal sebuah mantra, cukup mengejutkan Gillion, "Wind Blade Cutter!"
Dengan cepat, Kato menebaskan pedangnya ke arah Gillion. Pemuda bermata hitam itu melompat mundur tepat waktu, tetapi angin penyayat yang tercipta dari pedang, terus mengejarnya. Ia pun mengkonsentrasikan energi, terwujud sebagai cahaya magenta yang menyelimuti tubuhnya. Berfungsi sebagai energi pelindung yang cukup kuat untuk meniadakan angin penyayat.
Gillion kembali memfokuskan perhatian kepada musuhnya. Namun, pada saat itu, ia baru menyadari bahwa sosok Kato sudah tidak tampak di mana pun.
"Ck!" pemuda itu akhirnya hanya bisa berdecak kesal. "Dia melarikan diri!"
Aria Sapphire Lightroad, Tuan Putri tomboy Kastil Pendar Rembulan yang dicintai semua orang. Ia gadis muda enerjik yang selalu mengikuti kata hatinya, tak segan melawan apa pun atau siapa pun yang dianggapnya bertentangan dengan kebenaran. Kadang kata-katanya pedas, tetapi di balik itu, ia memiliki hati yang tulus dan penuh kasih sayang. Karena itulah, seluruh penghuni Kastil gemas, melihat sang Putri yang tidak menunjukkan ketertarikan terhadap lawan jenis sampai sekarang. Kecuali yang ditunjukkannya terhadap Reinhart, yang masih terhitung sepupu jauhnya. Hanya saja, tak seorang pun bisa memastikan, apakah itu sekedar rasa sayang terhadap saudara, atau lebih dari itu. Yang jelas, saat ini Aria memang menunjukkan perhatian lebih kepada sang Pangeran.
"Rein ke mana, ya? Hari ini aku belum melihatnya," Aria bergumam sendiri sambil menyusuri salah satu koridor Kastil. Kebetulan, di dekatnya ada seorang prajurit jaga yang sedang bertugas. Ia pun berhenti sebentar di depan prajurit itu, lalu bertanya, "Apa kau tahu di mana sepupuku?"
"Pangeran Reinhart?" sahut sang prajurit. "Tidak, Putri. Tapi ... hamba melihat Pangeran keluar dari kamarnya sekitar dua jam yang lalu."
"Oh ... Apa dia pergi ke tempat latihan lagi, ya?" lagi-lagi Aria bicara sendiri.
"Kalau Putri mencari Pangeran Reinhart, tadi hamba melihat beliau sedang menuju ruang perpustakaan."
Yang bicara tadi adalah seorang pelayan wanita yang kebetulan sedang lewat di dekat Aria, dengan membawa nampan berisi teko dan cangkir-cangkir teh.
"Baiklah," kata Aria. "Akan kulihat ke sana."
Ruangan perpustakaan Kastil Pendar Rembulan cukup luas, dengan rak-rak penuh buku menutupi hampir seluruh bagian dinding, menjulang tinggi nyaris menyentuh langit-langit. Koleksi buku yang ada di sini adalah yang terlengkap kedua setelah perpustakaan Akademi Sihir Lunapolis. Dan tentu saja, didominasi buku-buku tentang sihir. Aria segera menemukan sosok Reinhart sebagai satu-satunya penghuni perpustakaan saat ini selain dirinya. Pemuda itu tampaknya sedang serius membaca sesuatu, sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Aria. Sendirian, di sudut ruangan yang terjauh dari pintu masuk. Cukup mengherankan, karena biasanya ada Sola yang selalu mengikuti Reinhart ke mana pun ia pergi. Namun, Aria tidak terlalu memedulikan hal itu, dan segera menghampiri sepupunya.
"Rein?"
Ketika sampai di dekat Reinhart, Aria baru menyadari bahwa ternyata sepupunya itu tidak sedang membaca. Tubuh sang Pangeran bersandar santai ke kursi. Kepalanya tertunduk, sedangkan kedua tangannya menahan sebuah buku yang terbuka di atas meja. Setelah memerhatikan baik-baik, barulah Aria melihat bahwa kedua mata Reinhart terpejam. Apa dia ketiduran? Begitu pikir Aria.
"Segel sihir, ya?" gumam Aria sambil membaca sekilas buku di hadapan Reinhart. Memang, sepertinya Reinhart sangat tertarik dengan subyek itu. Bahkan sudah sejak dulu, Aria sering melihat sepupunya mempelajari macam-macam segel sihir.
"Hm?"
Tiba-tiba perhatian Aria tertuju kepada kedua tangan Reinhart yang saling bertumpuk di meja. Tangan kanan menutupi punggung tangan kiri. Sebersit kecurigaan―yang hanya berdasarkan naluri―membuat Aria menyingkirkan tangan kanan Reinhart ke samping. Benar saja, di punggung tangan kiri Reinhart, Aria melihat semacam lingkaran sihir kecil bercahaya keemasan, dengan pola rumit di dalamnya.
"Jangan-jangan ini ... segel sihir?" Aria berkata, mau tak mau merasa cemas. "Rein ... apa yang kaulakukan?!"
Reinhart menyusuri lorong Istana Pijar Mentari di dalam sosok dirinya yang berusia sembilan tahun. Pikiran sang Pangeran sepenuhnya menyadari, bahwa ia sedang berada di alam bawah sadarnya sendiri. Beberapa menit yang lalu, ia sengaja membuat segel sihir―Segel Memori―di tubuhnya sendiri, lalu membiarkan dirinya terperangkap di tempat ini.
Semua memori masa lalu yang ingin dilupakannya, masih tersimpan di sini. Ia sengaja 'datang' ke sini, untuk menghadapi semuanya. Ia bertekad untuk tidak melarikan diri lagi. Dengan mempertaruhkan segalanya. Sebab, dengan segel yang telah dibuat di tangan kirinya, jika ia sampai tertawan oleh kenangannya sendiri, maka dirinya tidak akan bisa kembali.
"Reinhart, kau benar-benar ingin menemui pengasuhmu sekarang?"
Reinhart mendengar suara sang ibunda, begitu dekat di sisinya. Dan memang, Ratu ada tepat di samping kirinya, menggandeng tangannya. Sementara dirinya sedang berdiri di depan sebuah pintu kayu yang tertutup rapat. Reinhart tahu, di balik pintu ini adalah kamar pengasuhnya, Ella. Wanita muda itu terluka berat ketika sihir Reinhart lepas kendali di Taman Istana.
"Iya, Ibunda," Reinhart menjawab pertanyaan Ratu tadi, sembari mempererat pegangan pada rangkaian bunga lily yang dibawanya. Ia tahu, itu bunga kesukaan Ella.
"Kalau begitu, Ayahanda akan masuk lebih dulu," di samping kanan Reinhart, berkatalah sang Raja yang juga ikut mendampingi putranya. "Biar Ayahanda bicara sebentar dengan Ella, ya?"
Pintu dibuka. Dari luar kamar, Reinhart melihat Ella duduk setengah bersandar di atas ranjangnya. Setengah tubuh bagian bawahnya tertutup selimut. Ella sedang menangis. Duduk di tepi ranjang, adalah Mira, pengasuh Reinhart yang satu lagi, dan merupakan sepupu Ella. Mira juga terluka akibat kecelakaan itu, tetapi tidak parah. Hanya lebam-lebam dan sedikit terkilir.
Kejadian berikutnya berputar dengan cepat. Raja berlutut di sisi tempat tidur, hingga mengejutkan Ella dan Mira. Beliau menyatakan keprihatinannya, sekaligus meminta maaf atas nama putranya dan keluarga Lightroad.
"Reinhart ingin bertemu denganmu, Ella," Raja berkata kemudian.
Ella menggeleng, lalu berkata, "Tidak perlu, Yang Mulia. Saya ... Saya tidak bisa melihat wajahnya lagi ..."
"Ella, apa yang kaukatakan?" Mira mencoba menenangkan sepupunya yang mulai histeris kembali.
"Mira ... Mira, gara-gara dia, kakiku lumpuh! Aku tidak bisa berjalan lagi!"
Ella menangis. Mira tidak tahu harus bicara apa.
"Ella ...!" Mira menarik napas, lalu memandang sang Raja. "Yang Mulia, tolong maafkan Ella. Dia tidak tahu apa yang dikatakannya."
"Tidak apa ... aku mengerti," kata Raja. "Mungkin sebuah ketidakberuntungan, sehingga pohon itu tumbang menimpa kaki Ella. Tapi ... penyebabnya memang ... adalah putraku. Karena itulah, dia ingin datang dan meminta maaf. Ella ... tolong jangan menolak maksud baiknya."
"Tidak ... Tidak bisa ...!" Ella tetap bersikeras sambil menangis. Sia-sia usaha Mira untuk membujuknya.
"Aku ... tidak akan bisa berjalan lagi ... untuk selamanya! Aku tidak bisa bekerja lagi ... Aku tidak bisa lagi ... menafkahi keluargaku," Ella meratap, mengingat dirinya yang memang menjadi tulang punggung keluarga.
"Soal itu, kau tidak usah khawatir," kata sang Raja. "Mulai saat ini, kehidupan keluargamu akan ditanggung oleh keluarga kerajaan."
Ella menatap nanar ke arah sang Raja. Airmata masih terus mengalir di pipinya. Ia kemudian menatap Mira, setengah kosong.
"Aku tidak mau ... Aku mau kakiku ... Mira ..."
Ella kembali menangis di pelukan Mira. Dari luar kamar, Reinhart pun melihat dan mendengar semuanya dengan jelas. Sebagai bocah berumur sembilan tahun yang hanya bisa ikut menangis di pelukan ibundanya. Hatinya sangat terluka, tetapi ia mengerti bahwa Ella saat itu merasa jauh lebih sakit. Dan semua terjadi karena kesalahannya.
Masih sambil menangis, Reinhart akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar. Mendekati Ella, kemudian menyerahkan rangkaian bunga lily itu tanpa kata-kata. Ada jeda canggung satu-dua detik, tetapi Ella mau menerima lily-lily putih itu.
"Maafkan aku," Reinhart kecil berkata sembari terisak. "Maafkan aku, Ella ..."
Ella memeluk rangkaian lily putih di tangannya, menghirup harumnya, lalu memandang Reinhart. Tatapannya masih penuh kesedihan, tetapi hatinya luluh ketika melihat sang Pangeran berlinang airmata.
"Lily ... bunga kesukaanku," akhirnya Ella berkata sambil tersenyum lembut. "Terima kasih ... Pangeran ..."
Setitik cahaya kecil mendadak muncul di antara Reinhart dan Ella, kemudian terus membesar. Menjelma menjadi cahaya terang tanpa batas, menelan segalanya. Nyaris membutakan, sehingga Reinhart harus memejamkan mata rapat-rapat. Ketika membuka mata kembali, Reinhart sudah kembali menjadi dirinya yang sekarang, yang berusia delapan belas tahun.
Ia berada di tempat luas yang tidak ada apa-apanya. Serba putih, tetapi sejuk di mata. Seperti dimensi terisolasi yang damai dan tenang. Namun, tiba-tiba Reinhart mendengar suara tangisan anak kecil di belakangnya. Ia pun berbalik, dan mendapati dunia serba putih itu telah terbagi dua. Yang dipijaknya masih dunia serba putih yang sama, tetapi yang membentang di hadapannya telah berubah menjadi tempat yang bertolak belakang. Gelap. Meskipun begitu, sebuah sosok tertangkap oleh matanya, berdiri di tengah-tengah kegelapan itu. Anak kecil yang tadi didengarnya menangis. Yang dikenalinya sebagai sosok dirinya sendiri yang berusia sembilan tahun.
Anak itu masih terus menangis.
"Ella sudah memaafkanmu," kata Reinhart. "Waktu itu."
"Aku tahu," Reinhart kecil menyahut dalam isakan, "tapi ... aku ... tidak akan ... memaafkan diriku sendiri ...!"
"Itu salah," Reinhart berkata lagi. "Sembilan tahun adalah waktu yang lama. Sudah cukup. Kau harus mulai memaafkan dirimu sendiri. Jika tidak, maka kau tidak akan bisa maju. Kau akan terkurung selamanya di dalam kegelapan ini."
Sepasang mata Reinhart bertatapan dengan anak itu. Ia merasa seperti sedang melihat ke dalam cermin.
"Apa kau ... mau memaafkanku?" anak itu bertanya, dengan isakan kecil yang tersisa.
Reinhart tersentak pelan, sebelum tatapan matanya melembut. Ia pun melangkah maju, lalu berhenti di ambang cahaya.
"Kemarilah," ucapnya sambil berlutut, lalu mengembangkan kedua tangannya lebar-lebar.
Reinhart kecil benar-benar mendekat, meskipun awalnya tampak ragu. Sampai ia akhirnya berdiri di ambang kegelapan.
"Apa kau mau memaafkanku?" anak itu mengulang pertanyaannya.
Reinhart merengkuh anak itu ke dalam pelukannya, sementara matanya mulai berkaca-kaca.
"Ya," ucapnya dengan suara bergetar menahan tangis. "Aku memaafkanmu."
Reinhart memejamkan matanya ketika cahaya dan kegelapan mulai menyatu. Ia bisa merasakan 'dunia' tempatnya berada ini mulai runtuh. Namun, hatinya terasa damai. Ia tahu, setelah ini, semua akan baik-baik saja. Pemuda itu membiarkan tubuhnya, jiwanya, ditarik menuju 'dunia' yang lain. Dunia di mana orang-orang yang dicintai dan mencintainya berada.
"Rein!"
Suara pertama yang didengar Reinhart adalah suara Aria yang sarat kecemasan. Ketika membuka mata, dilihatnya memang hanya Aria satu-satunya orang yang berada di sisinya saat ini. Reinhart mulai mengumpulkan ingatannya kembali dan menyadari dirinya masih berada di perpustakaan. Masih duduk di kursi yang sama. Ia juga masih sempat melihat Segel Memori di punggung tangan kirinya, memudar, kemudian hilang dengan sendirinya.
"Rein, kau baik-baik saja?" tanya Aria.
Sebelum Reinhart menjawab, sang Putri tiba-tiba melepaskan pukulan ringan ke dada sepupunya itu. Hanya pukulan main-main, didasari rasa kesal sekaligus lega.
"Apa sih, yang kaupikirkan?" Aria berkata lagi dengan nada memprotes. "Kalau memang mau melakukan itu, setidaknya biarkan aku mengawasimu! Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?"
"Maaf, sudah membuatmu khawatir," Reinhart menyahut sambil tersenyum tipis. Ia lalu mengulurkan tangan dan menepuk puncak kepala Aria dengan lembut. "Terima kasih. Aku ... sudah tidak apa-apa sekarang."
Bersambung ...
Luminos Rhapsody; Heidy S.C. 2016-2017©
======================================================
Author's Corner
Syukurlah warnetnya bukaaa. Syukurlah akhirnya bisa update~! TTATT
Halo, Teman-Teman. Maaf, harusnya ini update kemarin, tapi mundur sehari gara-gara kemarin Heidy sakit. Tepat di hari pertama tahun 2017 ini, Heidy persembahkan Rhapsody 09, dengan seporsi adegan aksi antara Kato dan Gillion (yang selama ini selalu dipanggil 'Gill' oleh Edgar). Semoga Teman-Teman semua bisa menikmatinya.
Udah, gitu aja. XD //dilempar belati
Sampai jumpa di Rhapsody berikutnya~! Hmmm ... tampaknya ada tokoh baru yang akan muncul, nih. :3
Solo, 1 Januari 2017
Heidy S.C.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top