Rhapsody 08. Ketetapan Hati


Kastil Pendar Rembulan. Bangunan bersejarah yang sudah berabad-abad usianya. Klasik, memiliki aura magis yang teramat kuat. Begitulah kesan pertama setiap orang yang menginjakkan kaki ke tempat ini. Kesan yang mau tak mau langsung terasa, sebelum sempat memerhatikan hal-hal lain. Seperti kastil yang didominasi warna gading. Atau atap-atap setiap bangunan di kompleks kastil yang berbentuk kubah dan berlapis emas. Atau sekeliling bangunan-bangunan kastil yang penuh hijau pepohonan. Atau satu tempat istimewa tepat di tengah-tengah kompleks kastil, yang biasa digunakan oleh para Magi untuk berlatih.

Reinhart berdiri di tanah lapang itu. Yang dipijaknya adalah satu area di pusat tanah lapang yang tertutup rerumputan. Berbentuk lingkaran dengan garis tengah mencapai 5 meter, terbuat dari bebatuan berbagai warna yang ditata dalam pola tertentu. Jauh dari area itu, nyaris di setiap sudut tanah lapang yang berbentuk segiempat, terdapat pilar-pilar. Empat pilar di empat penjuru, terbuat dari semacam kristal transparan tanpa warna. Sebenarnya tidak tepat bila disebut pilar, sebab tiang-tiang tersebut tidak menopang apa pun.

Sepasang mata beriris hijau kebiruan tak lepas-lepas mengawasi Reinhart dari jauh. Sang pemiliknya, Sola Forte, menghela napas pelan. Sudah bermenit-menit sang Pangeran hanya berdiri di sana. Diam-diam gadis itu mulai khawatir. Ia tahu, saat ini, Reinhart sedang berperang dengan dirinya sendiri. Lalu, apa yang bisa dilakukan seorang pengawal seperti dirinya? Tidak ada.

"Hei!" Sola nyaris terlonjak ketika tiba-tiba disapa dari belakang.

Tanpa menoleh pun, Sola sudah bisa mengenali suara imut menggemaskan itu sebagai suara Putri Aria. Gadis itu langsung menempatkan diri di samping Sola.

"Rein sedang apa?" Aria bertanya sambil menatap jauh ke arah Reinhart.

Sola menatap Aria sejenak. Mau tak mau mengagumi kecantikan sang Putri yang kali ini mengikat rambutnya tinggi-tinggi di belakang kepala. Ia memakai hiasan rambut berbentuk bunga-bunga kecil, terbuat dari kain dengan sulaman benang emas. Serasi sekali dengan pakaian berlengan panjang yang dikenakannya. Kombinasi warna hitam dan putih yang sempurna, dipadukan dengan celana ketat berwarna hitam, serta sepatu boots tinggi berwarna putih. Masih terkesan tomboy seperti biasa, tetapi tetap menawan.

"Putri Aria? Putri sudah kembali dari Istana?" Sola menyuarakan hal pertama yang melintas di benaknya.

"Ya, baru saja. Tapi ayahku masih akan tinggal di sana sampai beberapa hari lagi. Kasihan Lu, dia kelihatan sangat sedih. Aku juga tidak bisa memberitahunya Rein ada di sini. Soalnya Ayah menyuruh begitu," Aria bercerita tanpa diminta. "Tapi kau belum menjawab pertanyaanku!"

"Pangeran bilang, ingin mencoba berlatih lagi," Sola menyahut. "Maksudku ... berlatih sihir."

"Ya, aku tahu. Tempat ini 'kan memang tempat latihan khusus para Magi di kastil ini," Aria berkata tidak sabar. "Yang kutanyakan, kenapa sejak tadi Rein diam saja?"

Alis Sola terangkat sedikit. Kadang-kadang ia merasa Aria suka bersikap sinis padanya. Dan barusan ia hampir yakin bahwa itu memang benar. Meskipun ia tidak mengerti kenapa begitu.

"Aku tidak tahu, Putri," Sola menjawab sejujurnya.

Aria berdecak pelan, tetapi tidak berkomentar apa-apa. Akhirnya putri tunggal Lord Alfa itu hanya ikut mengawasi Reinhart dari jauh, bersama dengan Sola.



Pemuda itu menarik napas panjang dengan kedua mata terpejam, lalu mengembuskannya perlahan. Saat membuka mata kembali, ia berharap dirinya sudah merasa lebih baik. Lebih lega. Namun, ternyata tidak seperti itu. Ia tidak menyangka, hanya dengan melangkahkan kaki kemari―tempat latihan khusus para Magi Kastil Pendar Rembulan―sudah cukup untuk membuat kedua lututnya lemas. Sudah agak membaik sekarang, tetapi tangannya masih gemetaran. Bagaimana bisa ia berlatih kalau begini caranya?

Reinhart, kau benar-benar konyol!

Sambil menggeleng pelan, ia mengutuk dirinya sendiri. Tempo hari, ia telah membiarkan dirinya menangis di depan Klein. Hal yang paling tidak ingin dilakukannya―menunjukkan kelemahannya di hadapan orang lain―sudah dilakukan. Namun, berkat itu, ia jadi menyadari satu hal yang penting.

Bahwa selama ini, yang dilakukannya hanyalah melarikan diri.

Baru sekarang Reinhart benar-benar menyadari, setelah mendengar berita kematian Raja dan Ratu, kenapa ia terus mengurung diri di dalam kamar? Kenapa tidak terbersit sedikit pun di dalam pikirannya untuk kembali ke Istana? Untuk menghadiri upacara pemakaman.

Karena dirinya tidak bisa menerima kenyataan.

Reinhart mendengus samar. Yah, memang semenyedihkan itulah dirinya. Bukan hanya sekarang, tetapi sudah sejak dulu. Ia selalu melarikan diri dari hal-hal buruk, kenyataan pahit, kesedihan, kegagalan, kesalahan, perasaan-perasaan negatif. Hanya menghindar, melupakan, tetapi tak pernah berani menghadapi. Karena itulah, dirinya terus terbelenggu.

Tidak bisa maju.

Benar. Yang harus dilakukannya sekarang adalah menerima segala keburukan dan rasa sakit yang ada di dalam dirinya.



Masih jelas di dalam ingatan Reinhart, peristiwa mengerikan yang terjadi saat dirinya masih berusia 9 tahun. Setengah hidupnya sampai saat ini, dihabiskan untuk mencoba melupakan tragedi itu. Namun, percuma saja. Bagaimana pun juga, 'dosa' itu tidak akan pernah hilang dari dirinya.

Semua dimulai pada suatu hari yang sangat tenang dan cerah. Reinhart kecil sedang bermain-main di Taman Istana, ditemani kedua pengasuhnya. Pada saat itu, ia sedang semangat-semangatnya berlatih sihir. Latihan awalnya sudah dimulai dua tahun sebelumnya, dan selama itu, perkembangan sang Pangeran sangat mengagumkan. Ia belajar lebih cepat daripada murid mana pun yang pernah belajar sihir di negeri ini. Bahkan katanya lebih cepat daripada ayahandanya dulu.

"Aku mau menunjukkan hasil pelajaranku hari ini!" tiba-tiba Reinhart berseru riang pada kedua pengasuhnya.

"Eh? Pelajaran?" Ella, pengasuh yang berambut cokelat pendek, menanggapi dalam senyum.

"Maksud Pangeran ... sihir baru, ya?" Mira, pengasuh satu lagi yang memiliki rambut hitam panjang, ikut bicara.

Reinhart mengangguk penuh semangat. Kedua pengasuhnya yang sama-sama memiliki iris mata berwarna cokelat tua itu, saling pandang sejenak.

"Lebih baik jangan, Pangeran," Ella berkata dengan lembut sambil berlutut di depan Reinhart. "Berbahaya kalau tidak ada guru yang mengawasi."

Raut kecewa sontak menghiasi wajah Reinhart. "Tapi, 'kan ..."

"Pokoknya tidak boleh!" Mira menyambung dengan nada yang lebih tegas daripada Ella. "Pangeran ingat kata Pak Guru Dante, 'kan? Kalau Pangeran tidak patuh, nanti beliau marah."

"Iya. Bagaimana nanti kalau Pangeran terluka?" Ella menatap Reinhart dengan tatapan memohon. "Tidak usah, ya?"

"Iya, deh ..."

Untuk beberapa saat, wajah sang Pangeran kecil tersaput mendung. Ella yang hatinya terlalu lembut itu, hampir luluh karena tidak tega melihatnya.

"Kakak!"

Suara panggilan menggemaskan itu dengan cepat menarik Reinhart dari kesedihan. Putri Lumina yang baru berusia 6 tahun, tampak berlari-lari melintasi lapangan rumput, ke tempat Reinhart berada. Dua orang pengasuh setia, mengikutinya dari belakang.

"Kakak, Kakak!"

Lumina langsung menubruk sang kakak dan memeluknya sambil tertawa gembira. Mau tak mau Reinhart ikut tertawa, sambil balas memeluk adik kecil kesayangannya. Kedua anak itu pun bermain bersama-sama, dengan Reinhart yang kelihatan sangat menjaga adiknya. Ia tampak sudah melupakan kesedihan singkatnya tadi.

Ella dan Mira sudah menarik napas lega, ketika tiba-tiba Reinhart punya ide untuk menghibur adiknya dengan sedikit trik sihir. Keduanya tidak sempat mencegah. Tahu-tahu Reinhart sudah membentuk bola air kecil untuk ditunjukkan kepada adiknya. Lumina terkagum-kagum melihat bola air melayang tenang dan bisa digerakkan sesukanya oleh Reinhart. Benda itu juga tetap membuatnya basah ketika disentuh.

Air mungkin bukan sesuatu yang berbahaya. Namun, ketika Reinhart beralih menggunakan sihir api, para pengasuh mulai panik lagi. Mereka―termasuk pengasuh Lumina―berusaha membujuk Reinhart untuk berhenti, tetapi anak itu hanya tertawa bersama adiknya. Untung saja, ternyata sang Pangeran bisa mengendalikan sihirnya dengan sangat baik.

"Kakak kereeen!" sang Putri kecil berkata sambil bertepuk tangan riang, membuat Reinhart tertawa. Namun, ucapan Lumina berikutnya membuat semua orang terdiam, "Kakak, bikin petir, dong!"

"Putri ... Putri, jangan, ya ... Sihir petir itu berbahaya."

"Iya, Putri ... itu bukan mainan."

Reinhart hanya terdiam ketika kedua pengasuh Lumina berusaha membujuk sang putri kecil yang manis sekaligus keras kepala.

Sementara itu, Ella dan Mira saling pandang sejenak penuh makna. Hanya mereka yang menyadari, bahwa saat ini tubuh Reinhart bergetar pelan. Sang Pangeran nyaris tidak pernah mengatakannya. Bahkan Ella dan Mira sebagai pengasuhnya pun belum lama tahu, itu pun secara tidak sengaja. Sesuatu yang disembunyikan Reinhart dari semua orang, kecuali ibundanya. Dia sangat takut terhadap petir.

Singkat cerita, rasa takut itu juga menghambatnya dalam mempelajari, apalagi menguasai sihir elemen petir. Ditambah lagi, pada dasarnya petir memang elemen yang paling sulit dikuasai.

"Nggak mau! Pokoknya Lu mau lihat!" Lumina kecil masih terus merajuk, membuat kedua pengasuhnya semakin bingung. Semua bujukan―bahkan dengan puding cokelat kesukaan sang Putri―sama sekali tidak mempan. Bahkan kemudian anak itu mulai menangis.

Reinhart tersentak pelan. Kedua tangannya mengepal spontan. Ia tidak pernah suka melihat adiknya menangis. Rasanya ia bersedia melakukan apa saja untuk menghentikan tangisan dan airmata yang membuat hatinya sakit itu.

"Pangeran ... Sesuatu itu menakutkan karena Pangeran pikir menakutkan."

Tiba-tiba ucapan Dante Gravenor, guru pembimbing Reinhart, melintas di dalam ingatan pangeran kecil itu. Benar ... Apa yang ditakutkannya? Di antara lima elemen―api, air, angin, tanah, dan petir―menguasai sihir api hampir sama sulitnya dengan sihir petir. Namun, ia bisa menguasainya dengan mudah. Apa bedanya dengan petir? Mungkin semua tidak sesulit yang dibayangkannya. Kalau saja ia punya keberanian.

"Sudah. Jangan menangis, Lu," akhirnya Reinhart berkata. Lumina memandang sang kakak, masih sambil terisak. "Baiklah. Kakak akan melakukan apa pun untukmu."

Mata sang Putri kecil membulat penuh antusias. Tangisnya pun serta-merta berhenti.

"Sungguh?"

Anggukan Reinhart membuat adiknya bersorak gembira. Anak itu langsung memeluk Reinhart erat-erat. Ia baru melepaskan pelukannya ketika Reinhart mengelus puncak kepalanya dengan sayang.

Begitulah. Akhirnya Reinhart kecil melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Awalnya hanya kilatan-kilatan petir kecil. Itu saja sebenarnya sudah cukup untuk membuatnya berdebar-debar tak karuan. Ia masih takut. Bahkan sangat takut. Namun, senyuman dan tawa sang adik telah memberinya kekuatan. Ia cukup lega ketika akhirnya bisa mengendalikan sihir petir kecil-kecilan yang dilakukannya.

Namun, keberuntungan tidak bertahan lama. Reinhart yang telah mendapatkan rasa percaya diri, mencoba menggunakan energi yang lebih besar untuk sihir petirnya. Perbedaan jumlah energi itu sebenarnya tidak terlalu jauh. Akan tetapi, dampaknya sungguh di luar dugaan. Reinhart kehilangan kendali!

Mungkin karena tidak siap dengan hal ini, sang Pangeran kecil menjadi panik. Akibatnya, energi petir yang tercipta di tangannya semakin besar, tanpa bisa dikendalikan. Menyambar-nyambar liar ke segala arah!

Ella dan Mira mencoba bicara pada Reinhart, memintanya agar jangan panik dan mengendalikan sihirnya pelan-pelan. Namun, percuma. Saat itu, Reinhart justru sangat ketakutan, dan itu malah membuat sihirnya semakin sulit dikendalikan.

Sementara itu, Lumina dibawa menjauh oleh kedua pengasuhnya. Bukan hal yang mudah, karena sambaran petir sihir tampaknya bisa jatuh ke mana saja. Termasuk di rerumputan yang hanya berjarak tiga langkah di depan Lumina dan kedua pengasuhnya yang sedang berlari ke pinggir taman. Salah satu pengasuh Lumina bahkan langsung jatuh terduduk karena kaget. Lumina menangis sejadi-jadinya. Pengasuh yang satu lagi langsung menggendong sang Putri. Sambil menarik rekannya dengan satu tangan, setengah memaksa untuk ikut berlari bersamanya ke tempat yang lebih aman.

Kalau ada hal yang sanggup menyentak kesadaran Reinhart kembali, maka itu adalah tangisan Lumina. Ia berada di tengah-tengah pusaran energi sihir yang sangat besar, yang menciptakan kilatan-kilatan petir liar yang kini sudah jauh lebih besar daripada yang diinginkannya. Seharusnya, di pusat itulah, semua berada di dalam kendalinya. Namun, ia tidak bisa mengendalikan apa pun, bahkan ketakutannya sendiri.

Reinhart menangis tanpa suara. Menyaksikan kekacauan dan kerusakan di sekitarnya. Petir buatannya menyambar rerumputan dan membakarnya, bahkan cukup kuat untuk membuat tanah terbelah beberapa sentimeter lebarnya. Menyambar patung-patung kecil hiasan taman dan menghancurkannya berkeping-keping. Menyambar bunga-bunga dan membuatnya terbakar, tercabik, terserak. Menyambar beberapa pohon besar dan menumbangkannya.

"Pangeran!"

Suara berikutnya yang mampu mencapai Reinhart adalah seruan tegas yang sangat dikenalnya. Suara guru sihirnya, Dante Gravenor. Menyadari sang guru ada di dekatnya, sedikit banyak membuatnya lebih tenang. Namun, sebelum Reinhart sempat melihat sosok Magi berkacamata itu, tiba-tiba seperti ada yang menghantam tengkuknya dari belakang.

Setelah itu, semuanya jadi gelap.



Reinhart menghela napas dengan berat. Masih berdiri di area latihan para Magi Kastil Pendar Rembulan. Masih belum memulai apa pun. Padahal ia sudah memutuskan untuk menghadapi masa lalunya. Untuk terus maju. Namun, ternyata, hanya dengan mengingat kejadian sembilan tahun yang lalu itu saja, sudah sangat membebaninya seperti ini.

Begitu banyak kerusakan dan kehilangan pada saat itu. Setelah sadar kembali, Reinhart baru diberi tahu bahwa Dante terpaksa membuatnya pingsan, demi menghentikan amukan petir. Setelah keadaan relatif tenang kembali, Reinhart mendapati Lumina yang ketakutan setiap kali melihatnya. Selama beberapa waktu, anak itu sama sekali tidak mau mendekatinya atau didekati olehnya. Padahal biasanya Lumina manja sekali kepada sang kakak. Belum lagi, kondisi Taman Istana setelah itu. Benar-benar rusak parah. Hancur. Reinhart kembali ketakutan saat akhirnya nekat datang melihat. Menyadari bahwa semua kehancuran itu adalah akibat perbuatannya.

Namun, yang paling membuat Reinhart sedih dan tak bisa memaafkan dirinya sendiri, adalah saat ia tahu ada beberapa orang yang terluka. Sedikitnya belasan prajurit mengalami luka ringan hingga cukup berat, ketika berusaha menghentikannya. Kebanyakan akibat tertimpa pepohonan tumbang. Dan dibandingkan semua itu, yang lebih tak termaafkan bagi Reinhart, adalah dirinya yang harus kehilangan kedua pengasuh yang sangat menyayanginya. Yang sampai akhir terus berusaha menghentikannya, meskipun tahu itu sangat berbahaya.

DEG!

Tiba-tiba Reinhart merasakan desiran tajam yang amat menyakitkan di dalam dadanya. Pemuda itu memejamkan mata, mencoba meredakan rasa yang menyesakkan itu. Ia bahkan refleks menekankan tangan kanan ke dadanya, meskipun itu tidak terlalu membantu. Rasa sakit ini bukan karena penyakit atau luka fisik.

Satu menit penuh, barulah Reinhart bisa membuka matanya kembali. Saat bermaksud menurunkan tangan kanannya, ia baru menyadari bahwa tangan itu gemetar. Reinhart tertawa kecil, sinis. Menertawakan dirinya sendiri.

"Ini benar-benar konyol," sambil setengah berbisik pada dirinya sendiri, sang Pangeran membiarkan tangan kanannya jatuh terkulai ke samping. Ia menengadah ke langit biru. Matanya berkaca-kaca.

"Tidak bisa," sekali lagi, ia berbisik. "Aku tidak bisa."



Kane Arc duduk bersila dengan tenang di lantai batu yang dingin. Kedua matanya terpejam, dan napasnya tampak teratur. Dalam keadaan biasa, cukup sulit baginya untuk bermeditasi seperti ini. Mengingat kesibukannya sebagai pengawal pribadi Putri Mahkota. Mungkin ada untungnya juga seperti ini, dirinya jadi punya banyak waktu luang.

Entah sudah berapa lama Kane tenggelam dalam meditasi, ketika sebuah suara mengusiknya. Tepatnya suara bergemerincing, lalu suara besi beradu.

Saat membuka mata kembali dan menyudahi meditasinya, hal pertama yang dilihat Kane adalah jeruji-jeruji besi. Ya. Tepat seperti isi surat perintah yang dibawa oleh Edgar Flamewind dua hari yang lalu, ia segera dijebloskan ke sini. Penjara bawah tanah, yang masih berada di kompleks Istana Pijar Mentari. Tepat di bawah Markas Prajurit Kerajaan yang berlokasi di bagian paling belakang kompleks Istana. Konon, tempat ini adalah penjara dengan pengamanan terkuat dan terketat di seluruh negeri.

Bukan berarti Kane punya niat untuk melarikan diri. Sama sekali tidak. Saat ini pun, ia masih duduk bersila di lantai. Jeruji-jeruji besi tertanam dengan kokoh ke lantai dan langit-langit, mengepungnya di empat penjuru. Satu-satunya pintu keluar dari sel tahanan itu, baru saja dibuka dari luar oleh seorang prajurit penjaga. Seseorang melangkah masuk, dan pintu pun ditutup kembali.

"Tinggalkan kami!" ucap orang itu.

Si penjaga penjara memberi hormat sejenak, baru kemudian pergi. Sudah jelas, orang yang baru masuk itu bukan seorang tahanan. Baru saja Kane bermaksud untuk bangkit, orang itu memberinya isyarat untuk diam di tempat. Justru dialah yang akhirnya mendekat, lalu ikut duduk bersila di dekat Kane. Berhadap-hadapan.

"Guru," Kane berkata dengan takzim, lalu menunduk sejenak penuh hormat.

Yang kini berada di depan Kane, yaitu Jenderal Arslan Freyr, tersenyum sambil menatap Kane dengan lembut.

"Kau masih mau memanggilku Guru, setelah semua yang terjadi?" kata Arslan.

"Apa maksud Guru?" tanya Kane. "Sampai kapan pun, Anda adalah Guru yang sangat kuhormati."

Sekali lagi, Arslan tersenyum. Hanya ketulusan yang dilihatnya di sepasang mata Kane. "Aku ikut menandatangani surat perintah penangkapanmu."

"Itu sudah sewajarnya."

Arslan menatap langsung kedua mata Kane. Baginya, Kane adalah murid paling cemerlang yang pernah dimilikinya. Begitu cemerlangnya, sampai Arslan merasa sangat beruntung. Kalau saja ayah Kane tidak meninggal dunia ketika usia Kane masih sangat muda, mungkin ia tidak akan pernah punya kesempatan untuk menjadi guru beladiri anak itu. Kane pasti akan dilatih oleh ayahnya sendiri.

"Bagaimana kabarmu, Kane?" tanya Arslan kemudian.

"Baik," Kane menyahut singkat.

"Dengan kemampuanmu, kurasa kau bisa saja melarikan diri dari tempat ini kalau kau mau." Ucapan Arslan berikutnya terlalu tidak terduga, sehingga membuat Kane terdiam. "Kau tahu apa artinya 'penjara bawah tanah', Kane. Kau akan dipaksa mengakui hal yang tidak kaulakukan. Kau akan disiksa meskipun belum dinyatakan bersalah."

Kane menatap gurunya, lalu tersenyum samar. "Apakah guru akan melakukan itu padaku?"

"Tidak," Arslan menyahut tegas. "Tidak akan pernah. Tapi kau jangan lupa, Kane. Bukan cuma aku yang memiliki wewenang atas tempat ini. Dengan mangkatnya Raja dan ... absennya Komandan Kesatria Putih ... masih ada Lord Dante dan Dewan Kerajaan. Kau mengerti maksudku, bukan?"

Kane terdiam sejenak. "Apa itu artinya, Guru percaya padaku?"

"Aku ingin percaya," jawab Arslan. "Dengar, aku tahu siapa kau. Aku juga sangat menghormati ayahmu. Beliau adalah kesatria hebat yang pernah dimiliki negeri ini. Entah tuduhan terhadap kakakmu itu benar atau tidak, aku tetap ingin percaya padamu."

"Dan guru tidak percaya pada kakakku?" Kane bertanya lagi.

Kali ini Arslan yang terdiam. Kane melihat, gurunya seperti tidak ingin membicarakan soal itu, sehingga ia meneruskan ucapannya, "Jangan khawatir, Guru. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang akan menodai nama ayahku, juga nama Anda sebagai guruku. Dan aku ... juga tidak akan membuat posisi Putri semakin sulit."

Arslan melihat tekad yang begitu kuat di mata Kane. Ia pun menepuk bahu murid kesayangannya itu, kemudian bangkit berdiri, diikuti oleh Kane. Dari kejauhan, keduanya bisa mendengar suara langkah kaki mendekat. Sepertinya penjaga penjara, kalau mendengar ada suara gemerincing anak-anak kunci yang mengiringinya.

"Aku harus pergi," Arslan berkata. "Berhati-hatilah, Kane. Ini adalah saat yang tepat bagi orang-orang yang ingin menghancurkan keluarga Arc. Untuk selamanya."

"Ya. Aku mengerti, Guru."


Bersambung ...

Luminos Rhapsody; Heidy S.C. 2016©

======================================================

Author's Corner


Yen wani aja wedi-wedi, yen wedi aja wani-wani.

"Kalau takut jangan berani-berani, kalau berani jangan takut-takut." Pepatah Jawa ini mengandung makna untuk melakukan sesuatu secara all-out. Ketetapan hati yang setengah-setengah, tekad yang masih goyah, hanya akan mengundang kegagalan. Atau yang lebih buruk lagi: bencana.

Omong-omong, maafkan kalau Rhapsody 08 ini telat seminggu, karena kesibukan author-nya di dunia nyata. Tampaknya tekad dan ketetapan hati Heidy ini juga masih kurang~! XD #PLAK

Kalau tidak ada halangan, Rhapsody 09 dan seterusnya akan tetap update sesuai jadwal.

See you soon~! (^o^)/


Solo, 17 Desember 2016

Heidy S.C.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top