Rhapsody 07. Para Pengkhianat
Klein berjalan mondar-mandir sendirian di dalam kamar yang ditempatinya di lantai dua Kastil Pendar Rembulan. Sang tuan rumah, beserta putrinya, sedang tidak berada di tempat, sehingga Klein saat ini tidak bisa leluasa bergerak. Kalau ditanya ke mana mereka berdua pergi, jawabannya: Heliopolis. Sedang menghadiri upacara pemakaman sang Raja dan Ratu.
Lunapolis memang terpisah jarak lebih dari 200 mil dari Heliopolis. Namun, dibandingkan tempat-tempat lain yang lebih dekat ke Ibukota, justru Lunapolis yang selalu mendapat kabar paling awal bila terjadi sesuatu. Semua itu berkat keberadaan sepasang Cermin Zonal yang ada di Istana Pijar Mentari dan Kastil Pendar Rembulan. Cermin Zonal adalah benda sihir yang memiliki beberapa kegunaan. Salah satunya, dapat digunakan oleh para Magi untuk saling berkirim kabar.
Berita duka datang tak lama setelah rapat dadakan yang diadakan oleh Lord Alfa. Kemudian, beliau bersama Aria dan beberapa pengawal, langsung berangkat ke Istana menggunakan sihir perpindahan. Pentagram masih tersegel, sedangkan bila menggunakan sihir perpindahan biasa, berarti harus berpindah berkali-kali sebelum sampai ke tujuan. Namun, tetap saja itu masih jauh lebih cepat daripada mengendarai kereta kuda tercepat sekali pun. Bukan berarti pentagram itu bisa bebas digunakan juga. Sebab itu adalah jalur rahasia. Bila rombongan dari Lunapolis datang dari sana, sama saja dengan membongkar kerahasiaannya.
Klein menarik napas panjang, lalu mengembuskannya lagi dengan berat. Begitu banyak yang terjadi dalam waktu singkat. Kalau boleh jujur, semua ini membuat kepalanya serasa mau pecah. Ia sangat resah, sangat cemas. Semua serba tidak pasti. Bahkan ia tidak tahu siapa kawan dan siapa lawan. Belum lagi Kato, yang waktu itu tetap tinggal di Heliopolis untuk mengumpulkan informasi. Dia yang paling dipercaya oleh Klein saat ini, sama sekali belum memberi kabar. Meskipun tahu kemampuan Kato, Klein tidak bisa tidak merasa khawatir.
Tuk. Tuk. Tuk.
Suara ketukan pelan itu membuat Klein tersentak. Asalnya dari arah beranda. Klein menoleh ke sana, dan melihat ada makhluk kecil sedang mematuk-matuk jendela kaca, seperti ingin masuk ke dalam. Tepatnya seekor burung yang sangat mirip dengan burung pipit. Warna bulunya coklat terang, dan putih polos di bagian bawah tubuhnya. Di bagian leher terdapat warna keemasan melingkar, terlihat seperti kalung.
Klein melangkah mendekati jendela kaca, lalu membukanya. Burung kecil itu langsung terbang ke dalam kamar, kemudian berputar-putar mengelilingi Klein. Sang Komandan Kesatria Putih langsung tahu bahwa burung itu bukan burung biasa, sebab makhluk liar berukuran kecil seperti itu biasanya takut pada manusia. Pemuda itu mengulurkan tangan, dan si pipit serta-merta hinggap di telapaknya yang terbuka ke atas. Detik itu juga, si pipit berhenti bergerak. Lalu jatuh lemas di tangan Klein, sebelum akhirnya berubah bentuk menjadi sesuatu yang lain.
Gulungan kertas kecil yang berwarna coklat terang!
Tampak tidak terlalu terkejut dengan semua itu, Klein segera membuka gulungan kertas di tangannya, membentangkannya hingga membentuk lembaran berukuran sekitar 3 x 12 sentimeter. Tidak ada apa pun yang tertulis di kertas itu, kecuali tanda silang merah, tepat di tengah-tengah. Alis Klein terangkat sejenak. Senyum samar sempat tersungging di bibirnya, ketika jemarinya bergerak menyentuh tanda silang itu. Benar saja, ada tulisan yang muncul.
Jangan biarkan Pangeran kembali ke Istana.
Klein membaca tulisan merah menyala itu dengan cepat. Huruf-hurufnya segera memudar dan terhapus, hanya meninggalkan lembaran kertas kosong.
Tok. Tok. Tok.
Lagi-lagi Klein dikejutkan oleh suara ketukan. Kali ini lebih keras dan berasal dari pintu kamarnya. Baru saja ia berpikir untuk menyembunyikan kertas di tangannya, benda itu mendadak mulai lenyap. Sangat cepat, dari salah satu ujungnya. Seperti kertas yang terbakar, hanya saja tidak ada api.
"Klein! Klein, kau ada di dalam?"
Klein masih memandang kertas di tangannya hingga 'terbakar' sempurna. Hilang tanpa jejak.
"Ya."
Sambil menjawab panggilan dari balik pintu, Klein beranjak mendekat. Tak sampai 5 detik, ia sudah berada di depan pintu kayu berukir indah yang senada dengan semua pintu di kastil berarsitektur klasik ini. Begitu pintu dibuka, Klein menemukan sosok Sola yang wajahnya dipenuhi kecemasan.
"Klein! Pangeran menghilang!"
Satu-dua detik Klein tertegun oleh ucapan Sola yang tanpa basa-basi.
"Apa?"
Istana Pijar Mentari, sayap kanan Istana Utama, lantai satu. Markas Magi Kerajaan.
Dante Gravenor sedang duduk sendirian di ruangan serba putih itu. Menghadapi meja berbentuk persegi yang memanjang sampai lima kali lipat dari lebarnya yang hanya satu meter. Kursi-kursi berjajar sunyi di sepanjang kanan dan kiri meja, semuanya berwarna senada dengan meja, putih. Dante bergeming, kedua matanya terpejam di balik kacamata, tak terusik oleh apa pun.
Detik demi detik bergulir, hingga akhirnya Dante membuka mata. Iapun membuka tangan kanannya yang sejak tadi tergenggam di atas meja. Tampak di atas telapak tangannya, burung kertas berwarna coklat terang. Tatapan mata Dante menajam, bersamaan dengan burung kertas yang tiba-tiba melayang naik, hingga sejengkal jauhnya dari tangan Dante.
"Flare!"
Mantra sihir api terucap dari bibir Dante. Lingkaran sihir kecil merah menyala, muncul sekejap secara horizontal di antara telapak tangan Dante dan burung kertas. Detik berikutnya, api sihir muncul dari udara kosong, lalu membakar burung kertas sampai habis tak bersisa.
Dante menghela napas pelan, tepat ketika pintu tiba-tiba terbuka. Magi senior itu segera bangkit. Dilihatnya, Edgar Flamewind tengah berjalan mendekat bersama asistennya, Gill.
"Lord Edgar," Dante menyapa. "Kau sengaja mendatangiku di sini, padahal kita baru saja bertemu, bertiga dengan Jenderal Arslan. Kurasa itu belum sampai dua jam yang lalu. Apa ada masalah?"
"Ah, tidak," sahut Edgar. "Soal Kane Arc juga sudah kutangani. Anda tidak perlu khawatir."
Dante mengerutkan kening. "Lalu?"
"Aku ingin bertanya soal Helios," ucapan Edgar yang tanpa basa-basi, membuat alis Dante terangkat sekilas. "Bagaimana kondisinya?"
"Masih sama seperti sebelumnya."
Edgar melihat tatapan menyelidik terarah kepadanya. "Boleh aku melihatnya?"
Ada jeda sedetik, sebelum Dante menjawab singkat, "Tentu."
Dalam waktu singkat, Dante sudah membawa Edgar ke sebuah ruangan yang terletak di bagian terdalam Markas Magi Kerajaan. Sementara, Gill diperintahkan untuk menunggu di luar oleh tuannya. Ruangan itu sendiri―sama seperti ruangan sebelumnya―serba putih, tetapi jauh lebih kecil. Bilik Segel, begitulah sebutannya. Inilah satu-satunya tempat yang bisa menampung kekuatan Helios dan Lunar. Normalnya, ruangan ini nyaris selalu kosong. Seperti di era kepemimpinan Rheiner Ignis Lightroad yang baru saja berakhir dengan tragedi, Helios selama ini bersemayam di dalam tubuh sang Raja, sedangkan Lunar dibawa oleh adik perempuan Raja satu-satunya, Lady Ignatia.
Tepat di tengah-tengah ruangan, Helios melayang tenang dalam selimut cahaya keemasan. Pada lantai di bawahnya, serta pada langit-langit di atasnya, masing-masing terdapat lingkaran sihir besar yang juga bersinar keemasan. Kedua lingkaran sihir itu bergaris tengah lebih dari satu meter, dan di dalam lingkaran terdapat pola yang sangat rumit. Edgar sama sekali tidak mengerti sihir serumit itu. Namun, ia pernah mendengar dari ayahnya, bahwa lingkaran sihir itu dibuat khusus oleh para Magi Kerajaan ratusan tahun yang lalu. Segel yang merupakan bagian dari sihir kuno, yang saat ini sudah sangat jarang ada orang yang mampu menguasainya.
"Helios terlihat sangat tenang," komentar Edgar.
"Ya, untuk saat ini."
Baru saja Dante berkata begitu, tiba-tiba cahaya yang dipancarkan Helios menguat berkali-kali lipat. Edgar sampai mundur dua langkah karena kaget, sembari melindungi kedua matanya dengan lengan kanan. Dante pun memalingkan wajah dengan mata terpejam. Butuh waktu tak kurang dari tiga menit, barulah cahaya Helios kembali normal.
"Sangat tidak stabil, seperti yang kaulihat," Dante berkata lagi.
Edgar terdiam sejenak. Barusan, ia bisa merasakan tekanan kekuatan Helios yang luar biasa. Padahal seharusnya kekuatan Helios sudah jauh ditekan di dalam Bilik Segel ini. Jujur saja, memikirkan kekuatan sedahsyat itu berada di dalam kuasa penuh seseorang―yaitu penguasa negeri ini―rasanya cukup menakutkan.
"Artinya ... Helios belum bisa diwariskan kepada Putri Mahkota?" tanya Edgar.
Dante menggeleng. "Kita bisa saja mencobanya, tapi ... itu terlalu berbahaya."
"Lalu bagaimana dengan penobatan Putri Mahkota sebagai Ratu?" kata Edgar lagi. "Takhta tidak bisa dibiarkan kosong terlalu lama. Itu juga akan membahayakan kerajaan kita."
Helios berpendar dalam cahayanya yang paling lembut. Menciptakan perasaan tenang dan terayomi di dalam ruangan putih itu.
"Saranku, kita lihat dulu keadaan Helios dalam seminggu ini," kata Dante akhirnya. "Masalah yang lain, Dewan Kerajaan masih bisa menanganinya, bukan?"
Edgar tidak menjawab. Namun, ia setuju bahwa itu adalah pilihan terbaik saat ini.
Gadis cantik itu terbaring di ranjang dengan mata terpejam. Alinea Flamewind―sama seperti kebanyakan penghuni Istana―terkena serangan sihir kegelapan yang membuatnya tertidur ketika penyerangan terjadi. Sebagian besar orang-orang yang tertidur itu sudah terbangun kembali. Sayangnya, Alinea termasuk segelintir orang yang belum memperoleh lagi kesadarannya. Penyebabnya belum diketahui secara pasti, dan mereka masih dirawat oleh para Magi Kerajaan.
Pintu kamar Alinea terbuka, dan Edgar masuk ke dalam. Gill yang mengikuti di belakangnya, baru saja hendak menutup pintu, lalu berjaga di luar kamar seperti biasa. Namun, tiba-tiba saja pemuda itu mencabut satu dari dua belati yang terselip di pinggangnya, kemudian menempatkan diri di depan Edgar dengan sikap waspada.
"Ada apa, Gill?" tanya Edgar.
Sebelum Gill sempat menjawab, ada gerakan dari tirai salah satu jendela kaca tinggi, tak jauh dari ranjang. Seseorang muncul begitu saja dari baliknya. Sosok tinggi tegap berpakaian serba hitam, berambut merah menyala, dengan raut wajah yang keras. Sepasang matanya yang beriris merah gelap, menatap Gill, kemudian Edgar, dengan sorotnya yang dingin.
Edgar cepat-cepat menutup pintu, memberi isyarat pada Gill untuk berjaga di depan pintu berukir indah itu. Gill menyarungkan belatinya kembali, tetapi sama sekali tidak mengendurkan kewaspadaan. Edgar sendiri mendekati sang pemuda berambut merah yang masih berdiri di dekat jendela.
"Ada apa kau memanggilku?" pemuda itu bicara mendahului Edgar. "Seingatku, kau sendiri yang bilang ... berbahaya kalau sampai ada yang melihat kita sedang bersama."
"Meridian," Edgar berkata, tak kalah dingin dengan tatapan mata pemuda di hadapannya. "Kenapa adikku belum sadar juga?"
Meridian berdecak pelan. Pemuda itu merasakan nada menuntut dalam ucapan Edgar, dan ia tidak menyukainya.
"Mana kutahu," Meridian menyahut juga. "Sudah kubilang 'kan, tingkat ketahanan tiap orang terhadap serangan sihir kegelapan itu berbeda-beda. Dan adikmu mungkin sedang berada dalam kondisi mental yang ... kurang baik saat itu. Tunggu saja sebentar lagi."
"Kalau terjadi sesuatu padanya, aku tidak akan memaafkanmu!" ucapan Edgar ini pelan saja, tetapi nadanya penuh tekanan.
"Sihir yang kugunakan itu adalah sihir serangan massal yang tidak terlalu berbahaya." Meridian menatap Edgar dengan mata berkilat tidak senang. "Adikmu pasti akan bangun."
"Kupegang ucapanmu."
Edgar berjalan melewati Meridian begitu saja, terus mendekat ke ranjang. Duduk di tepinya, pemuda bermata biru itu menatap wajah sang adik yang damai dalam tidur. Seolah-olah tidak sedang memendam masalah apa pun.
"Hei, jangan bilang kau memanggilku cuma karena itu," Meridian berkata. Karena sampai beberapa detik kemudian Edgar tidak juga menanggapi ucapannya, ia melanjutkan, "Mengejutkan. Orang sepertimu ternyata punya rasa sayang juga. Padahal kaulah yang sengaja memanfaatkan adikmu sendiri untuk memperkuat kecurigaan orang-orang terhadap pangeran itu. Benar-benar licik."
Ucapan Meridian membuat Gill berjengit tidak senang. Namun, rupanya Edgar sama sekali tidak terpengaruh. Pemuda itu justru tersenyum samar.
"Apa? Kau tidak mau mendebatku?" Sekali lagi, kata-kata Meridian tidak mendapat tanggapan, sehingga pemuda berambut merah itu mendengus sinis. "Terserahlah. Toh, sejauh ini semua berjalan sesuai rencanamu. Termasuk membuat Pangeran tetap datang ke pesta dansa, meskipun kita sudah sengaja mengarahkan kecurigaan padanya."
Kali ini Edgar bereaksi dengan beralih menatap Meridian.
"Apa maksudmu?" katanya. "Bukan aku yang mengatakan bahwa bagaimanapun juga Pangeran harus hadir."
Lagi-lagi Meridian mendengus sinis. "Kau tahu Putri pasti ingin kakaknya hadir. Raja dan Kesatria Putih pasti juga akan berusaha menghapuskan kecurigaan terhadap Pangeran. Kau tinggal memanfaatkan itu dan mengarahkan semuanya sesuai keinginanmu. Tidak terlalu sulit 'kan, dengan posisimu sebagai putra tertua keluarga Flamewind dan anggota Dewan Kerajaan."
Edgar tersenyum tipis. "Kau terlalu menyanjungku. Yang penting dia hadir di pesta dansa itu. Lalu pergi sebelum acara selesai. Tepat sebelum serangan pertama dimulai. Dan menghilang tanpa jejak setelahnya. Kurasa aku harus berterima kasih padamu dan sihir kegelapanmu itu."
Meridian merasakan sorot mata Edgar yang terarah lurus padanya, tiba-tiba menggelap.
"Sayangnya, rencanaku untuk membuat Pangeran Reinhart mati sebagai pengkhianat, sedikit meleset."
Terasa sekali, sindiran tajam di dalam kalimat terakhir Edgar. Tatapan Meridian pun menajam. Tak terhindarkan, ingatannya kembali pada peristiwa yang belum lama berlalu. Pada kegagalannya, yang seharusnya tidak terjadi.
Pada Millene.
"Pengawalnya ... sedikit merepotkan," akhirnya itulah yang dikatakan oleh Meridian. Sementara, ia sadar, dirinya tidak bisa mengelak dari rasa sakit yang menghunjam sanubari. "Tapi kau tidak perlu khawatir. Akan segera kubereskan."
Tanah lapang tertutup sempurna oleh rerumputan. Dikelilingi pepohonan rimbun. Ditemani suara aliran sungai kecil yang bergemericik jernih, sejernih airnya yang lebih bening daripada kolam mana pun yang pernah dilihat Reinhart di Ibukota. Atau di tempat-tempat lain yang pernah dikunjunginya.
Entah sudah berapa lama, Reinhart hanya berdiam diri di situ. Duduk membisu di atas batu kali besar di tepi sungai, yang sangat hitam dan halus. Pasti saat ini semua orang sedang kebingungan mencari dirinya. Di tengah suasana hatinya yang kacau balau pun, Reinhart masih bisa berpikir demikian. Namun, ia tak tergerak untuk kembali ke Kastil. Yang diinginkannya saat ini hanya satu. Sendirian.
Seandainya waktu itu aku menggunakan sihir.
Entah dari mana datangnya, pemikiran ini menyusup ke dalam benak Reinhart. Tidak bisa tidak, semakin melukainya. Seandainya ... Ya, seandainya. Kalau saja dirinya tidak begitu pengecut, mungkin dia bisa melakukan sesuatu. Mungkin semuanya tidak perlu berakhir seperti ini.
Tangan Reinhart terkepal. Gemetar sejenak, sebelum ia mengangkatnya. Pelan-pelan dibukanya kepalan tangan kanan itu, lalu menatap lama ke sana dengan mata setengah kosong. Setitik cahaya kembali muncul di sepasang mata beriris hijau itu, ketika sang pemiliknya tiba-tiba mengarahkan telapak tangan yang sejak tadi dipandangnya, lurus-lurus ke depan. Agak menyerong ke bawah, terarah ke permukaan sungai yang mengalir tenang.
"Flare!"
Tiba-tiba Reinhart mengucapkan mantra sihir api dasar itu. Lebih buruk daripada saat bertarung melawan Meridian, kali ini bahkan tidak muncul lingkaran sihir sama sekali.
"Aqua!"
Reinhart mencoba mantra lain, sihir air. Hasilnya tidak jauh berbeda. Kesal dengan dirinya sendiri, Reinhart bermaksud merapal mantra berikutnya. Sihir petir, Spark. Namun, mendadak satu ingatan menghantamnya. Kenangan yang lebih jauh dan lebih menyakitkan. Memori yang membuatnya nyaris tidak mampu mengucapkan mantra sihir lagi.
"Sial! Aku tidak bisa ...!"
Akhirnya Reinhart menyerah dan menurunkan tangannya kembali.
"Ternyata Pangeran ada di sini."
Reinhart nyaris terlonjak ketika sebuah suara tiba-tiba menyapa begitu dekat di belakangnya. Tanpa menoleh pun, ia tahu itu suara Klein.
"Kenapa Pangeran pergi tidak bilang-bilang?" kata Klein lagi. "Pangeran sudah membuat semua orang panik, terutama Sola―"
"Klein," Reinhart menyela, masih tanpa menoleh. "Aku ini ... lemah."
Ucapan yang tiba-tiba dan tidak ada ujung pangkalnya itu, cukup mengejutkan Klein.
"Pangeran ...?"
"Kalau saja aku lebih kuat ... harusnya aku bisa melindungi diriku sendiri ... juga melindungi Ayahanda dan Ibunda ... dan Lumina ..."
"Pangeran, kenapa tiba-tiba menyalahkan diri sendiri? Kalau soal melindungi anggota keluarga kerajaan, itu adalah tanggung jawab Kesatria Putih. Tanggung jawabku. Kalaupun ada yang harus dipersalahkan, akulah orangnya."
"Aku tidak ingin menyalahkan siapa pun! Aku hanya kesal pada diriku sendiri yang tidak berguna!"
Klein tertegun ketika Reinhart tiba-tiba berteriak seperti itu. Sementara, Reinhart teringat kembali, bagaimana ia dikalahkan oleh Meridian dengan begitu mudahnya.
"Klein!" Tiba-tiba Reinhart bangkit, lalu berbalik menghadap Klein. "Temani aku berlatih!"
"Apa? Tapi, Pangeran, lebih baik tunggu sampai kondisi Anda benar-benar pulih."
"Summon: Onyx Fenrir!"
Mengabaikan kata-kata Klein, Reinhart secepat kilat sudah memunculkan lingkaran sihir keemasan di bawah pijakannya. Diiringi cahaya temaram yang menyorot ke atas dari lingkaran tersebut, di tangan Reinhart muncul tongkat baja yang seolah termaterialisasi dari udara. Onyx Fenrir, senjata milik Reinhart yang sudah dipakainya selama bertahun-tahun.
"Tunggu, Pangeran!" Klein berusaha bicara, meskipun Reinhart sudah langsung mempersiapkan kuda-kuda. "Setidaknya kita tunda sampai besok. Pangeran masih butuh istirahat―"
"Ayo, Klein, cabut pedangmu!" potong Reinhart.
"Pangeran, tolong dengarkan―"
"Kalau kau tidak mau maju, biar aku yang menyerang duluan!"
Reinhart benar-benar menerjang maju sambil menyabetkan tongkatnya. Klein terpaksa melompat mundur dua kali, lalu mencabut pedang untuk menahan pukulan dari senjata Reinhart. Cukup bertenaga, hingga getarannya terasa sampai membebani lengan. Inisiatif serangan masih berada di pihak Reinhart selama beberapa waktu, sementara Klein lebih banyak menghindar dan bertahan.
"Apa yang kaulakukan?!" protes Reinhart. "Ayo! Serang aku!!"
"Pangeran, kalau seperti ini bukan latihan namanya ... Ukh!"
Tampaknya apa pun yang dikatakan Klein, tidak didengarkan oleh Reinhart. Ia terus menyerang bertubi-tubi. Klein pun mengamati, jurus-jurus tongkat Reinhart terasa keras, kasar. Sangat ... emosional. Kesal pada diri sendiri, ya ... Pikir Klein, tiba-tiba teringat perkataan Reinhart tadi.
CTING.
Pedang dan tongkat beradu berkali-kali. Klein memutuskan untuk meladeni Reinhart, menjaga irama pertarungan sepihak itu tanpa mengalahkan atau dikalahkan. Sampai akhirnya, keduanya mengambil jarak sambil mengatur napas. Dibandingkan dengan Klein, Reinhart yang terlihat lebih lelah.
"Kau mengalah padaku, Klein?" kata Reinhart tiba-tiba.
"Apa ...?"
"Kenapa kau tidak menggunakan sihir?" Reinhart menuntut. "Dan Thunder Blade, jurus andalanmu itu ... Ayo, keluarkan!"
Tatapan Klein menajam. Sebenarnya, beberapa kali ia melihat Reinhart seperti menahan sakit setiap hendak melakukan gerakan serangan tertentu. Klein sudah mendengar dari Sola soal assassin yang sempat bertarung dengan Reinhart. Ia menduga, ini pasti luka karena pertarungan waktu itu.
"Anggap saja handicap," sahut Klein. "Bukankah sekarang ini, Pangeran juga tidak bisa bertarung dengan segenap kekuatan―?"
"Jangan meremehkan aku!!"
Belum selesai ucapan Klein, Reinhart sudah maju lagi. Betapa mudahnya Pangeran tersulut emosi, pikir Klein. Tidak seperti dirinya yang biasa. Dalam waktu singkat, Reinhart sudah mendesak lagi dengan serangan bertubi-tubi. Klein masih fokus untuk bertahan.
"Ukh...!"
Beberapa kali, Reinhart merintih tertahan saat serangannya yang sekuat tenaga dipatahkan oleh Klein. Memang benar, luka akibat pertarungan dengan Meridian, masih terasa sakit. Dan itu cukup mengganggunya. Akan tetapi, setiap mengingat hal itu, ditambah kenyataan bahwa ia sama sekali tidak bisa menyentuh apalagi menjatuhkan Klein, benar-benar membuat Reinhart frustasi.
Sementara itu, Klein yang mulai khawatir dengan kondisi sang Pangeran, akhirnya memutuskan untuk menghentikan gerakan pemuda itu. Ketika Reinhart kembali menerjang maju dengan tongkatnya, Klein segera menyiapkan mantra.
"Spark: Thunder Blade!"
Pedang Klein yang telah diperkuat dengan sihir elemen petir, sekali lagi beradu dengan Onyx Fenrir milik Reinhart. Kalau hanya senjata biasa, harusnya takkan mampu menahan Thunder Blade. Namun, Klein tahu, senjata Reinhart memiliki kemampuan khusus untuk meredam serangan magis. Petir Klein takkan bisa menyentuh Reinhart, tetapi getaran kekuatannya tetap terasa, sehingga pemuda itu terdorong mundur selangkah. Sebelum Reinhart sempat menarik napas, Klein sudah melancarkan serangan berikutnya. Sangat cepat, tangan kiri Klein telah terulur ke arah dada Reinhart, sementara tangan kanannya yang memegang pedang masih menahan tongkat Reinhart.
"Spark!"
Lingkaran sihir bercahaya kuning muncul di depan telapak tangan kiri Klein, lalu memancarkan kilatan-kilatan petir, telak menyerang Reinhart!
"Akh ...!"
Pegangan Reinhart pada tongkatnya sempat melemah. Klein segera memanfaatkan kesempatan itu, mundur sedikit lalu menendang senjata itu hingga terlempar beberapa meter ke samping. Meskipun kaget, Reinhart segera berusaha mengambil senjatanya kembali. Namun, sebelum ia berhasil mencapai tongkat itu, Klein sudah menyerang lagi. Kali ini dengan tangan kosong, sedangkan pedangnya entah sejak kapan sudah disarungkan kembali.
Dalam waktu singkat, Klein sudah berhasil mengunci kedua tangan Reinhart di belakang punggung, hingga pemuda itu sama sekali tidak bisa bergerak.
"Sudah cukup, Pangeran!" kata Klein kemudian. "Cukup ..."
Reinhart yang tadinya masih meronta sia-sia, akhirnya menyerah dan berhenti melawan. Klein yang merasakan itu pun melepaskan cekalannya.
Reinhart berdiri diam sambil menundukkan kepala. Klein masih berdiri di belakangnya tanpa melakukan apa-apa. Kemudian kedua tangan Reinhart terkepal, dan ia tiba-tiba menengadah ke langit malam, sambil berteriak sekeras-kerasnya.
"AAAAAAAAAARGH―!!!"
BRUK.
Reinhart membiarkan dirinya jatuh terduduk di tanah. Napasnya terengah dan dadanya mendadak terasa begitu sesak, lebih akibat tekanan emosi yang membuncah. Tangannya masih terkepal dan seluruh tubuhnya mulai gemetar.
TEP.
Pemuda itu agak tersentak ketika tiba-tiba merasakan tepukan lembut di bahu kanannya. Ia menoleh dan melihat Klein yang barusan menepuk pundaknya, kini sudah berlutut di sebelahnya.
"Tidak apa-apa, Pangeran," ucap Klein. "Tidak apa-apa, kalau sesekali ... Pangeran juga ingin menangis."
Kata-kata Klein seolah menjadi katalis yang meruntuhkan tembok pertahanan Reinhart. Seketika itu juga, airmata jatuh membasahi wajah sang Pangeran. Kemudian mengalir semakin deras tanpa bisa dihentikan lagi.
"Ayahanda ... Ibunda ... Ukh ... Lu ... Huwaaaaa ..."
Kali ini, Reinhart benar-benar menangis. Membiarkan segala beban, rasa sakit, dan kesedihan yang selama ini dipendamnya, meluap ke permukaan. Sementara Klein masih setia di sampingnya, membisu seribu bahasa. Hanya sesekali mengusap punggung sang Pangeran dengan lembut.
Bersambung ...
Luminos Rhapsody; Heidy S.C. 2016©
======================================================
Author's Corner
Lucky seven, yaaay~! ^__^
Para pengkhianat (?) bermunculan. Untuk perkembangan cerita, kali ini no comment, deh. Hehehe ... :3
Omong-omong soal komentar, di dua situs terdahulu tempatku mengunggah Luminos Rhapsody versi lama, komentarnya cukup ramai loooh ... Ayo, ayo, yang di sini juga jangan malu-malu~! >__<
Jadi inget, nih. Dari teman-teman di ngomik.com & kemudian.com, aku sudah mendapatkan banyak masukan berharga untuk memperbaiki dan mengembangkan cerita ini (Terima kasih untuk kalian semuanya~! >///< ). Salah satunya, masukan dari Yasfin Fajri (@145 di kekom/kemudian.com), untuk meng-indonesia-kan semua istilah-istilah asing, termasuk nama-namanya. Yah, Luminos Rhapsody yang dulu memang rada berantakan & bahasanya gado-gado. Indonesia campur Inggris, hahaha ...
Makasih buat Yasfin yang menyarankan alihbahasa untuk nama Istana & Kastil, yang tadinya bernama Sunray Palace & Moonlight Castle. Ide nama "Istana Pijar Mentari" akhirnya kupakai di sini, soalnya terdengar indah. Yasfin juga nyaranin "Kastil Rembulan", tapi aku merasa kurang kalau cuma "rembulan", akhirnya nyari-nyari nama yang terdengar bagus, ketemulah "Kastil Pendar Rembulan". Sempat terpikir "Terang Bulan", tapi jadi kayak nama makanan entar, hahaha ... XD
Ah, iya ... ada juga Seal Chamber yang menjadi "Bilik Segel". ^_^
Thanks juga buat saran IchsanLeonhart supaya bahasa Inggris untuk mantra sihir tetap dipertahankan. Sori kalau di awal-awal dulu aku udah telanjur bilang mau nerjemahin mantranya juga ke bahasa Indonesia. Enggak jadi kayaknya. *author galau* Sejujurnya, aku sendiri juga lebih suka tetap pakai English (archaic grammar). :3
Baiklah, cukup sekian & sampai jumpa lagi di Rhapsody berikutnya~! \(^o^)
Solo, 26 Nopember 2016
Heidy S.C.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top