Rhapsody 06. Negeri Yang Berkabung

Awan kelabu menggayut, tersebar merata nyaris di seluruh penjuru langit. Sang bayu membawa hawa dingin. Pertanda tetes-tetes air sudah siap tertumpah ke bumi. Orang-orang bergegas mencari tempat berlindung sebelum hujan benar-benar turun. Entah pulang ke rumah masing-masing, atau berdiam dulu di tempat lain. Yang jelas, Alun-Alun Kota, jalanan, maupun tempat-tempat terbuka yang tadinya ramai, kini mulai lengang.

Kato Iceheart, duduk sendirian di salah satu sudut restoran kecil yang terabaikan. Pria itu baru saja menghabiskan makan siangnya, yang berupa semangkuk nasi plus sayur-sayuran yang disiram kuah sup, serta diberi sedikit potongan-potongan kecil daging sapi. Dan sekarang, ia sedang menikmati secangkir teh hangat yang terbilang murah, tetapi tampaknya diseduh dengan sangat baik. Kato suka rasa maupun aromanya. Apalagi di cuaca seperti ini.

Tanpa menarik perhatian sedikit pun, dari tempat duduknya, Kato sangat leluasa mengamati restoran sederhana itu beserta para pengunjungnya. Jam makan siang membuat tempat itu penuh sesak. Kato pun terpaksa duduk semeja dengan seorang ibu muda yang sejak tadi sibuk membujuk anak balitanya untuk makan. Kalau orang lain melihat, mungkin mereka akan dikira keluarga kecil, dengan sang ayah yang terlalu pendiam, anak yang kelewat aktif, dan ibu yang repot sendiri.

"Kau pengembara, ya?" tiba-tiba ibu muda itu menyapa Kato, setelah sang anak akhirnya mau makan asalkan disuapi.

"Iya," Kato menyahut singkat, sekedar berbasa-basi.

Saat ini, ia memang berpakaian sederhana ala pengembara, dengan kemeja putih berlengan pendek, celana panjang coklat, plus sepatu hitam bermodel boots. Di sandaran kursinya juga ada sehelai jubah bepergian berwarna coklat muda yang sudah lumayan kusam karena sering terpapar sinar matahari.

"Oh, pantas," si ibu muda berkata lagi. "Pasti kaget, ya ... begitu sampai di Heliopolis, semua tempat dipenuhi orang-orang yang sedang berkabung. Hmm ... Memangnya kota-kota lain belum tahu kalau Raja dan Ratu kita baru saja mangkat?"

Kato menatap wanita itu sejenak. Sama seperti hampir semua warga Heliopolis yang ditemui Kato hari ini, wanita itu pun mengenakan pakaian berkabung yang serba hitam. Kesedihan terukir jelas di wajahnya. Namun, sepertinya dia suka berbicara, meskipun dengan orang asing.

"Aku juga kurang tahu," akhirnya Kato menjawab. "Yang jelas, aku baru mendengar beritanya begitu menginjakkan kaki di kota ini."

"Oh, begitu. Apa tadi kau sempat mengikuti upacara pemakaman?" wanita itu bertanya lagi.

Kato menggeleng. "Alun-Alun, plaza, dan jalanan, semuanya penuh sesak."

"Iya sih, memang. Tapi sedih sekali, ya? Padahal kemarin semua orang bergembira merayakan ulang tahun dan penobatan Putri Mahkota. Lalu, tiba-tiba saja Yang Mulia Raja dan Ratu mangkat. Pangeran dan Lady Ignatia katanya juga menghilang."

"Menghilang?" Kato pura-pura tertarik. "Sebenarnya apa yang terjadi?"

"Kata orang-orang, ada kelompok pemberontak menyusup ke Istana! Bahkan kabarnya Putri Lumina juga nyaris terbunuh gara-gara bahan peledak! Padahal ada Prajurit Kerajaan, Kesatria Putih, dan Magi Kerajaan. Apa saja sih, kerja mereka?"

Kato hanya mengangguk-angguk, sementara wanita itu bercerita dengan nada berapi-api.

"Apa kau tahu? Di upacara tadi, tidak ada satu pun anggota Kesatria Putih yang terlihat batang hidungnya." Si ibu muda tiba-tiba mendekatkan kepalanya sedikit ke arah Kato, lalu bicara lagi dengan merendahkan suaranya, "Ada yang bilang, 'kelompok pemberontak' itu sebenarnya ya Kesatria Putih!"

"Apa?" Meskipun sudah menduganya, tetap saja Kato kaget. Jadi, desas-desus itu sudah tersebar ke masyarakat?

"Iya. Gila, 'kan?" Wanita itu memperbaiki posisi duduknya. Nada suaranya pun sudah kembali normal. "Yah ... Itu memang baru kabar burung. Aku juga tidak terlalu percaya. Soalnya, di upacara tadi, Lord Kane masih mengawal Tuan Putri. Maksudku ... kalau memang benar Kesatria Putih memberontak, seharusnya Lord Kane juga sudah ditangkap, 'kan?"

"Karena dia adik kandung Komandan Klein?" Kato menyahut.

"Apa lagi?" Si ibu muda mengangkat bahu. "Tapi ... tetap saja aneh. Kesatria Putih ke mana, ya? Apa mereka masih mengejar para pemberontak itu?"

Kato terdiam. Percakapan itu pun tidak dilanjutkan lagi, karena anak balita wanita itu tiba-tiba rewel.



Kilat menari-nari di atas langit Negeri Cahaya yang dipenuhi mendung. Sudah lewat hitungan seperempat jam, tetapi hujan belum juga turun, meskipun guntur juga sudah mulai bersahut-sahutan. Suaranya sangat samar, seperti berasal dari tempat yang sangat jauh. Cuaca yang sangat mendukung untuk negeri yang tengah berkabung.

Istana Pijar Mentari pun diselimuti duka sekaligus didera kesibukan luar biasa. Tak terkecuali Dante Gravenor, selaku pemimpin tertinggi Magi Kerajaan. Saat ini, ia tengah berada di ruangan yang tadinya adalah markas Kesatria Putih. Tempat itu telah disterilkan, dan kini berada di bawah tanggungjawab Prajurit Kerajaan. Sulit dipercaya, sehari sebelumnya, Dante masih berbincang dengan Klein Arc di ruangan yang sama.

"Jadi, apa maksudmu mengumpulkan kita di sini, Lord Flamewind Junior?"

Suara berat berwibawa itu meningkahi gemuruh di langit yang semakin meningkat volume maupun intensitasnya. Pemiliknya adalah seorang pria sebaya Dante. Ia berperawakan tinggi besar, berpakaian ala militer dengan warna dominan hitam dan jingga. Kulitnya agak gelap terbakar matahari. Rambut pendeknya yang tidak terlalu rapi, berwarna coklat gelap. Garis wajahnya tegas, dengan alis tebal dan rahang kokoh dalam bingkai wajah berbentuk persegi.

"Tolong panggil saja namaku, Edgar," putra tertua keluarga Flamewind itu, berkata sambil menatap langsung kedua mata lawan bicaranya, yang memiliki iris berwarna keemasan. "Aku berada di sini mewakili Dewan Kerajaan untuk membicarakan masalah keamanan negeri ini, Jenderal Arslan. Karena itulah, aku harus menyita sedikit waktu Anda, dan juga Lord Dante."

"Sudahlah, tidak usah banyak bicara," pria yang dipanggil Jenderal Arslan itu menyergah. "Apa yang diinginkan Dewan Kerajaan dari kami?"

Edgar menarik napas sejenak, masih beradu pandang dengan sang Jenderal. Arslan Freyr, pemimpin tertinggi seluruh kekuatan militer Kerajaan Luminos. Kecuali Kesatria Putih, tentunya, yang bertanggungjawab langsung kepada Raja dan bergerak secara independen. Edgar pun mengerti bahwa Jenderal Arslan adalah orang yang lurus dan tidak suka berbasa-basi. Setelah insiden di Istana semalam, tentu saja Prajurit Kerajaan―bekerja sama dengan Magi Kerajaan―telah meningkatkan pengamanan. Kalau perwakilan Dewan Kerajaan sampai memrakarsai sebuah pertemuan, pasti ada hal lain yang ingin dibicarakan.

"Soal Kesatria Putih," Edgar langsung bicara ke pokok permasalahan. "Bagaimana selanjutnya?"

"Tentu saja, kami akan mengejar mereka sampai dapat!" Jenderal Arslan menyahut tegas.

"Kalau yang kautanyakan soal 'status' mereka," Dante ikut bicara, "wewenangnya bukan pada kami."

"Memang benar," kata Edgar. "Putri Mahkota yang akan memutuskannya setelah berdiskusi dengan Dewan Kerajaan, tapi ... kami juga ingin mendengar pendapat Anda berdua."

"Sikap kami sudah jelas. Pengkhianatan terhadap Raja dan negeri ini tidak bisa dimaafkan!"

Jawaban Arslan membuat suasana menjadi tegang. Meskipun begitu, Edgar masih tersenyum samar. Sementara, dilihatnya Dante masih belum bereaksi apa-apa.

"Bagaimana dengan Magi Kerajaan, Lord Dante?" Edgar bertanya. "Sepertinya ... selama ini Anda cukup dekat dengan Komandan Klein―"

"Apa maksud ucapanmu?" Dante memotong, masih tetap tenang. "Kau mencurigaiku terlibat dengan semua ini?"

"Bukan begitu." Edgar diam sejenak. Ia menatap wajah Dante, mencoba menerka isi hati dan pikirannya. Namun, ekspresi sang Magi tak terbaca. "Maafkan aku. Yang ingin kukatakan adalah ... aku ingin mendengar pendapat Anda, sebagai orang yang cukup dekat dengan Komandan Klein."

Edgar melihat Dante balas menatapnya dalam-dalam. Seperti ingin menilai dirinya.

"Jujur saja, aku tidak bisa percaya Komandan Klein melakukan hal seperti itu," akhirnya itulah yang dikatakan Dante. "Apalagi memimpin pemberontakan. Terdengar sangat tidak masuk akal bagiku."

"Aku bisa mengerti, Lord Dante," Arslan menimpali. "Kau hanya percaya sesuatu yang kaulihat dengan mata kepalamu sendiri. Bukankah begitu?"

"Ya," sahut Dante. "Sampai ada bukti yang nyata."

"Tapi ... apa pun keputusan Putri Mahkota dan Dewan Kerajaan nanti, Anda berdua pasti mendukungnya, bukan?" tiba-tiba Edgar mengajukan satu pertanyaan yang membuat Dante maupun Arslan terdiam sejenak.

"Itu tidak perlu dipertanyakan lagi," Dante menyahut mendahului Arslan. "Kesetiaanku dan seluruh Magi Kerajaan hanya untuk negeri ini."

"Begitu pula denganku dan segenap Prajurit Kerajaan," sambung Arslan.

"Terima kasih," ucap Edgar. "Kalau begitu, tinggal satu masalah lagi."



Paviliun Putri Mahkota.

Lumina berdiam diri di teras belakang bangunan indah bercat gading itu. Sudah lebih dari setengah jam, dia hanya duduk di kursi kayu bercat putih, sambil menatap kosong ke depan. Lapangan rumput yang cukup luas di belakang paviliun membuat suasana asri. Belum lagi taman kecil di kanan kirinya yang dipenuhi bunga berbagai jenis dan warna. Namun, keindahan itu tidak bisa menghibur Lumina saat ini. Cangkir porselen berisi teh yang tersaji di atas meja marmer di hadapannya pun, sama sekali belum disentuh. Pakaian berkabung yang tadi dikenakannya, sudah diganti dengan gaun terusan semata kaki berlengan panjang. Namun, warna gaun sutra yang hijau cerah itu sama sekali tak mampu mengubah suasana hatinya yang mendung. Seperti cuaca saat ini.

"Putri."

Lumina tersentak kecil ketika suara Lydia mendadak terdengar begitu dekat di telinganya. Gadis Magi itu baru saja berlutut di sisi sang Putri. Matanya yang memiliki iris keemasan, menatap Lumina dengan lembut.

"Sebentar lagi hujan turun," Lydia berkata. "Sebaiknya kita masuk sekarang."

Lumina kembali mengalihkan pandang, sama sekali tidak merespon ucapan Lydia. Gadis berambut kelabu lurus sebahu itu tidak menyerah. Kali ini, ia meraih tangan kanan Lumina, menggenggamnya dengan hangat. Namun, sang Putri tetap tidak bereaksi.

Kesedihan membayang di wajah Lydia. Ia lalu menoleh sejenak ke arah belakang Lumina, mencari sosok Kane yang sejak tadi berdiri diam di dekat pintu masuk paviliun. Sejenak pandang mereka bertemu, sudah cukup untuk membuat Kane memahami tatapan meminta pertolongan dari mata gadis itu.

Nyaris tanpa membuat suara―lebih karena kebiasaan―, Kane beranjak mendekat, lalu berlutut di sisi kiri Lumina yang masih kosong. Berbeda dengan Lydia, Kane tidak bisa sembarangan mengadakan kontak fisik dengan sang Putri. Sebagai gantinya, ia menatap langsung kedua mata Lumina. Iris berwarna hijau itu masih memesona, tetapi tidak secemerlang biasanya. Tersaput kesedihan mendalam, yang tak ayal membuat Kane ikut merasa sakit.

"Sebaiknya Putri beristirahat di kamar," kata Kane.

Lumina masih tidak merespon dengan kata-kata, tetapi ia membalas tatapan Kane. Barangkali karena melihat kekhawatiran di mata kesatria muda itu, akhirnya sang Putri mau juga beranjak dari duduknya. Namun, baru saja Kane dan Lydia menarik napas lega, terdengar derap langkah kaki teratur yang semakin mendekat. Sepertinya ada belasan orang, yang dari suaranya bisa ditebak adalah para prajurit.

Lumina urung masuk ke dalam paviliun. Alih-alih, ia mendekat ke ambang teras, diikuti kedua pengawalnya. Sementara, rombongan yang baru datang itu berbaris rapi, menempatkan diri di hadapan sang pemilik paviliun. Masih terpisah jarak satu-dua meter, dan dibatasi oleh setengah lusin anak-anak tangga batu. Sang Putri berada tepat di puncak undakan itu, berdiri di bawah kanopi teras sambil menatap barisan dengan sorot mata yang masih cukup tajam.

"Edgar?" Lumina berkata sambil menatap pemuda yang tampaknya memimpin pasukan kecil itu. "Ada apa ini?"

Edgar Flamewind berdiri tegak di depan 15 orang Prajurit Kerajaan yang terbagi dalam tiga barisan. Pemuda itu membungkuk sejenak, memberi salam hormat kepada sang Putri Mahkota.

"Ada sesuatu yang harus kusampaikan, Yang Mulia," Edgar menyahut.

Kening Lumina berkerut. "Soal apa?"

Menjawab pertanyaan itu, Edgar melangkah maju, menaiki anak-anak tangga, hingga berdiri tepat di hadapan Lumina. Dengan sikap hormat, ia lalu menyerahkan segulung perkamen jingga ke tangan sang Putri.

"Silakan Putri membacanya sendiri," ucap Edgar.

Lumina menerima perkamen itu, lalu segera membuka dan membaca isinya. Selama itu, Edgar terus memerhatikan ekspresi sang Putri. Sesuai dugaannya, awalnya Lumina tampak kaget. Kemudian berganti dengan emosi lain yang dikenali Edgar sebagai kemarahan.

"Apa maksudnya ini?" Lumina bicara dengan nada penuh tekanan, sembari mengacungkan perkamen ke arah Edgar.

"Seperti yang Putri lihat." Edgar masih tenang-tenang saja, meskipun tatapan Lumina begitu tajam menusuk. "Surat perintah penangkapan Kane Arc."

Kata-kata itu pun menyentak Lydia dan Kane yang berdiri tak jauh dari Lumina. Lydia langsung beringsut lebih mendekat ke sisi sang Putri. Sementara Kane masih diam di tempat.

"Lancang!" sentak Lumina. "Kane adalah pengawal pribadiku. Siapa yang memberi kalian izin untuk berbuat seenaknya seperti ini?!"

Edgar menarik napas sejenak. Ia tidak ingat, sejak kapan Lumina memiliki aura mengintimidasi seperti itu? Apakah sekedar didorong oleh amarah sesaat?

"Mohon maaf, Putri," Edgar berkata lagi. "Ini adalah sesuatu yang telah diputuskan dengan seksama dalam rapat Dewan Kerajaan. Juga telah disetujui oleh Jenderal Arslan Freyr dan Lord Dante Gravenor―"

"Ya, aku bisa melihat mereka berdua, juga ayahmu, sudah menandatangani surat ini," Lumina menyela. "Kane memang pernah tergabung dalam Kesatria Putih sebelum menjadi pengawalku. Dan dia juga adik kandung Komandan Kesatria Putih. Tapi atas dasar apa kalian berani menuduhnya terlibat dalam peristiwa itu?"

"Sayangnya, kemungkinan itu sangat tinggi, Yang Mulia," sergah Edgar.

"Aku tidak bisa percaya Kesatria Putih berkhianat," Lumina bicara tanpa sedikit pun keraguan di dalamnya. "Tidak sebelum ada bukti yang kuat. Bagaimana pun juga, Kesatria Putih adalah orang-orang kepercayaan ayahku. Jangan lupakan itu!"

Rasanya siapa pun bisa melihat emosi yang menguasai Lumina saat ini. Dia benar-benar marah dan tidak berniat menutup-nutupi kemarahan itu.

"Sekali lagi, mohon maafkan kelancangan kami," Edgar berkata dengan sabar. "Tapi ... Putri harus menyadari pentingnya posisi Putri saat ini bagi kerajaan kita. Kami tidak bisa membiarkan adik dari orang yang dicurigai memimpin pemberontakan, berada sedekat itu dengan Putri Mahkota negeri ini!"

"Kau―!"

"Kenapa Putri begitu berat melepasnya?" kali ini Edgar yang memotong kata-kata Lumina. "Aku mengerti. Sudah menjadi rahasia umum, sebenarnya Kane Arc memang dipersiapkan sebagai calon suami Putri Mahkota. Dan kalau seperti ini, sepertinya Putri benar-benar menyukainya."

Kalau iya, memangnya kenapa?!

Kata-kata itu―walaupun tahu dirinya sedang disindir tajam―hampir saja terucap dari bibir Lumina. Kalau saja Kane tidak segera menempatkan diri di depannya. Kesatria muda itu berdiri memunggungi sang Putri. Ia menatap tajam ke arah Edgar, membuat yang bersangkutan mau tak mau menjadi waspada. Namun, hingga beberapa detik berlalu, Kane belum melakukan tindakan apa pun.

"Lord Edgar Flamewind, kau sedang berhadapan dengan Putri Mahkota negeri ini." Kata demi kata diucapkan oleh Kane dengan nada penuh tekanan, yang rasa-rasanya sanggup menciutkan nyali siapa pun. "Tolong jaga sikapmu."

Edgar berdecak nyaris tak kentara. Tampaknya tidak terlalu terpengaruh oleh usaha intimidasi Kane. Padahal tinggal satu kalimat lagi, seharusnya ia sudah berhasil memojokkan sang Putri supaya tidak bisa lagi melindungi Kane. Harus diakui, kesatria di hadapannya ini memang cekatan dan bisa diandalkan. Kalau begitu, apa boleh buat. Tinggal satu cara yang harus dilakukan, walaupun beresiko. Mengkonfrontasi Kane Arc secara langsung!

"Dengan mangkatnya Yang Mulia Raja dan Ratu, serta belum diangkatnya Putri Mahkota menjadi pemangku takhta secara resmi, berarti surat perintah yang kubawa adalah surat resmi tertinggi yang bisa dikeluarkan oleh Kerajaan Luminos saat ini," Edgar pun bicara tak kalah tegasnya. "Nah, bagaimana sekarang, kesatria pengawal pribadi Putri Mahkota, Kane Arc? Apa kau bermaksud menentang isi surat perintah itu?"

Kane mengatur napas sejenak sambil memejamkan mata. Edgar terus mengawasinya dengan waspada, tetapi ekspresi Kane tidak terbaca. Hingga sepasang mata beriris keemasan itu kembali terbuka, dan sang pemiliknya melakukan sesuatu yang memantik kewaspadaan Edgar ke titik tertinggi: meraih pedangnya yang tergantung di pinggang sebelah kiri!

"Putri, tolong maafkan aku."

Kane mengucapkan kata-kata itu dengan nada yang membuat hati Lumina bergetar. Edgar pun merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ketegangan merayap perlahan di udara. Selama sepersekian detik, Edgar telah bersiap untuk melompat menjauh. Namun, dalam waktu yang sama singkatnya, ia sadar bahwa Kane tidak mungkin bertindak gegabah. Apalagi sengaja melukai siapa pun. Karena itulah, akhirnya ia tetap diam di tempat. Dan―untungnya―tepat seperti dugaannya, tidak ada tindakan anarkis apa pun yang datang dari Kane. Justru pemuda itu menyodorkan pedang ke arahnya, masih dalam keadaan tersarung rapi.

Masih saling tatap dengan Kane, Edgar menerima pedang itu. Bagi seorang kesatria, senjata bagaikan nyawa. Menyerahkan senjata sama seperti menyerahkan nyawanya sendiri. Edgar juga tahu akan hal itu.

Apa yang kaupikirkan, Kane Arc?

Mau tidak mau, pertanyaan itu mengganggu Edgar. Sementara ia memberi isyarat tangan ringan, dan dua orang prajurit segera bergerak mendekat. Kane masih tampak tenang. Bahkan ketika kedua pergelangan tangannya dipasangi belenggu yang terhubung oleh rantai baja, ketenangan itu tetap tidak berubah. Justru Edgar yang tergelitik melihat sikap Kane. Sempat pula ia melihat Lumina seperti ingin melakukan sesuatu, tetapi ditahan oleh Lydia.

"Putri," Kane berkata sebelum dirinya dibawa pergi oleh para prajurit. "Apa pun yang terjadi, aku akan selalu melindungimu."

Lumina tercekat. Ia terus memandang punggung Kane yang bergerak menjauh. Dadanya bergejolak hingga terasa sesak. Gadis itu bisa merasakan airmatanya mulai mengembang di pelupuk, tetapi mati-matian ditahannya. Tidak ada yang boleh melihatnya menangis!

Sang Putri tidak memedulikan Edgar yang berpamitan kepadanya, kemudian pergi bersama para prajurit yang menggelandang Kane layaknya pesakitan. Batinnya memberontak. Namun, ketenangan yang ditunjukkan oleh Kane, telah membuka matanya. Kane benar dengan menyerahkan diri. Tindakan Dewan Kerajaan yang didukung Lord Dante dan Jenderal Arslan sudah tepat, semata-mata demi menjamin keselamatan dirinya. Menentangnya akan menjadi hal yang salah. Meskipun itu dilakukan oleh sang Putri Mahkota sendiri.

Akal sehat Lumina bisa menerima itu, tetapi tidak hatinya. Bagaimana bisa, ia akan membiarkan satu orang lagi direnggut darinya? Namun, dengan segala kedudukannya saat ini, ia justru merasa tidak berdaya. Tidak. Apa pun yang dilakukannya sekarang untuk menyelamatkan Kane, bisa berakibat buruk di kemudian hari. Ia harus diam.

Dan lebih dari apa pun, itu sangat menyakitkan.


Bersambung ...

Luminos Rhapsody; Heidy S.C. 2016©

======================================================

Author's Corner


Halo, Teman-Teman! Apa kabar, nih? Happy weekend, dan selamat berjumpa lagi dengan Heidy di sini. \(^o^)

Luminos Rhapsody sudah mencapai bab ke-6. Masih menepati jadwal terbit pada hari Sabtu kedua dan keempat, seperti biasa. Tapi tempo hari nunggunya berasa lama, karena bulan Oktober kemarin istimewa & punya 5 minggu~! Pada kangen, yaaa ... XD *digetok*

Hmmm ... Sampai bagian ini, udah mulai terlihat, kalau pihak yang paling didesak adalah Kesatria Putih, termasuk Kane yang sebenarnya sudah bukan anggota Kesatria Putih lagi. Jadi, begini ceritanya. Begitu dilantik menjadi pengawal pribadi Putri Mahkota, Kane otomatis melepaskan keanggotaannya di Kesatria Putih, lalu menjadi kesatria yang bertanggungjawab langsung kepada Putri Mahkota, serta Raja dan Ratu. Enggak boleh rangkap jabatan, dooong~he he he ... :3

Jadi ... gimana menurut kalian? Apa benar Kesatria Putih berkhianat, atau enggak? Jawabannya ... ikuti terus cerita ini, OK? ;-) *wink, wink*

Sampai jumpa di Rhapsody berikutnya~! ^____^


Solo, 12 Nopember 2016

Heidy S.C.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top