Rhapsody 05. Tempat Perlindungan
Sepasang kaki melangkah pelan melewati jalan setapak di antara pepohonan berbagai jenis dan ukuran. Ialah pemilik sepasang kaki ini, Reinhart, tengah berjalan sambil melihat ke kiri dan ke kanan. Di mana-mana hanya ada pohon, perdu, dan sesemakan. Sinar matahari pun tak bisa leluasa sampai ke sini.
Hutankah? pikirnya. Kenapa aku bisa ada di sini ...?
Reinhart terus berjalan lurus, hingga akhirnya keluar dari hutan tadi. Kini pemuda itu berada di semacam tanah lapang yang tertutupi oleh rumput dan bunga-bunga liar. Cukup terpana dengan pemandangan indah ini, ia meneruskan langkah hingga ke tengah-tengah padang bunga. Sampai panggilan itu menghentikannya.
"Kakak!"
Yakin sangat mengenal suara barusan, Reinhart terkesiap, lalu cepat-cepat berbalik. Benar saja. Tak jauh di hadapannya kini, tiba-tiba saja telah berdiri adik semata wayangnya. Lumina. Cantik seperti biasa. Rambut panjang coklat keemasan dan bola mata hijau miliknya, terlihat begitu padu dengan pakaian indah berwarna dominan hijau-biru yang dikenakannya. Namun, wajah gadis itu basah oleh airmata.
"Lu ...," Reinhart berkata, sembari hendak mendekat, tetapi Lumina memotong ucapannya.
"Kenapa Kakak meninggalkan aku?!"
Reinhart membeku di tempatnya berdiri. Dilihatnya wajah Lumina begitu penuh kesedihan.
"Tidak, Lu. Aku―"
"Reinhart."
Kali ini kata-kata Reinhart terpotong oleh sebuah panggilan yang terdengar dari belakangnya. Suara wanita dewasa yang lembut sekaligus berwibawa, yang membuat Reinhart langsung membalikkan badan. Dan di sana, hanya beberapa langkah di depannya, telah berdiri Ratu Auriella, mengenakan busana mewah berwarna dominan putih. Di sampingnya ada sang Raja yang tampak gagah dengan pakaian kebesarannya yang juga didominasi warna putih. Keduanya juga mengenakan mahkota dari emas bertabur batu mulia, yang tampak serasi seperti pasangan.
"Ibunda, Ayahanda ...."
Ucapan Reinhart terputus lagi, demi menyadari tatapan lembut kedua orangtuanya, memandangnya penuh kasih, tetapi juga tampak sedih.
"Reinhart, putraku," Ratu berkata.
"Tidak apa-apa, Nak," sang Raja menyambung. "Kami senang kau baik-baik saja."
Mata Reinhart mulai berkaca-kaca. "Tidak ...."
Sekali lagi, kata-kata pemuda itu terputus, kali ini karena mendengar panggilan adiknya.
"Kakak, aku takut ...."
Reinhart berbalik dan melihat tubuh Lumina sudah diselimuti cahaya keemasan. Lalu sosok gadis itu menjadi samar, pelan-pelan memudar.
"Lu!"
Belum sempat Reinhart berbuat apa-apa, sudut matanya menangkap pancaran cahaya lain dari arah belakang. Ia kembali berbalik, hanya untuk menemukan sosok kedua orangtuanya pun telah diselimuti cahaya yang sama, lalu semakin menghilang.
"Ayahanda! Ibunda!"
Entah dari mana sumbernya, tak terhentikan, cahaya itu menguat. Membutakan mata. Meluas. Seolah ingin menelan segalanya.
"TIDAK!"
Reinhart terbangun dalam keremangan kamar, hanya diterangi cahaya purnama yang menerobos jendela kaca. Sampai lama, ia tetap dalam posisi terakhirnya, duduk di atas ranjang. Dadanya sakit oleh detak jantung sendiri yang begitu keras. Entah sudah berapa menit berlalu, barulah detakan itu kembali normal. Begitu juga dengan napasnya yang sejak tadi terengah-engah.
"Mimpi ...," akhirnya pemuda itu berkata sembari mengusap wajah dengan sebelah tangan. Gemetar di tubuhnya belum sepenuhnya hilang.
Klek.
Suara pintu terbuka menarik perhatian Reinhart. Seseorang masuk ke dalam kamar, langsung mendekat ke ranjangnya, setelah menutup pintu kembali dan menyalakan lampu.
"Rein! Kau sudah bangun?"
Reinhart menatap pemilik suara centil menggemaskan itu dengan sorot mata setengah kosong. Duduk di tepi ranjangnya, seorang gadis berbusana sederhana saja, sepertinya gaun tidur, berlengan pendek dan hanya berwarna gading. Modelnya terusan, dengan panjang bagian rok sejengkal di atas lutut. Namun, gadis itu memadukannya dengan celana ketat tiga perempat yang berwarna hitam legam. Sang gadis sendiri masih remaja, paling-paling baru berusia enam belas atau tujuh belas tahun. Ia memiliki kulit kuning langsat yang halus dan lembut, rambut panjang sedikit di bawah bahu dengan warna baby blue, serta iris mata sebiru laut. Ciri-ciri fisik yang sangat tidak lazim di Kerajaan Luminos.
"Aria?" Reinhart menyebut sebuah nama, pelan saja. Nama gadis itu, yang sangat dikenalnya. Ia pun mulai mengingat kembali semua peristiwa yang membawanya sampai ke tempat ini.
"Rein? Kau baik-baik saja?" gadis bernama Aria itu bertanya cemas. Dilihatnya Reinhart tampak sedikit bingung, dan kini tengah mengedarkan pandang ke seantero kamar yang dindingnya bercat warna gading itu.
"Ya," Reinhart menyahut, lalu kembali menatap gadis itu. "Ini ... benar-benar Kastil Pendar Rembulan, ya?"
"Hm-mm. Lihat saja, ada aku di sini, 'kan? He he he ...."
Tawa kecil Aria memancing Reinhart untuk tersenyum tipis. Masih terlihat agak dipaksakan. Sebenarnya pemuda itu sangat ingin menanyakan sesuatu, tetapi ia takut mendengar jawabannya.
"Sayang sekali, sampai sekarang belum ada kabar apa-apa dari Istana," tiba-tiba Aria berkata, seolah bisa membaca isi pikiran Reinhart.
Pemuda itu masih terdiam. Saat ini pikirannya dipenuhi praduga, sampai terasa begitu menyesakkan. Hingga sebuah ingatan tiba-tiba menyentak kesadarannya.
"Sola! Di mana dia?"
Aria berjengit nyaris tak kentara mendengar pertanyaan Reinhart. Namun, gadis itu menyahut juga, "Pengawalmu ada, sedang berjaga di luar kamar ini."
"Bisa tolong panggilkan dia?" pinta Reinhart. "Aku ... ingin bicara berdua dengannya."
" ... Baiklah."
Dua menit berselang, di dalam kamar itu kini hanya ada Reinhart dan Sola. Satu menit lagi berlalu dalam kebisuan. Reinhart duduk diam di tepi ranjang, tanpa memandang siapa pun. Sola berdiri di dekatnya sambil menunduk. Sampai akhirnya Reinhart yang memecah keheningan.
"Kau tidak mau bicara apa-apa?" tanya Reinhart. Sola mengangkat wajah, menatap sang Pangeran yang masih tidak mau memandangnya. "Pertanyaanku masih sama."
Sola menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Sepertinya tidak ada pilihan lagi. Mungkin memang sudah saatnya sang Pangeran mengetahui rahasia itu. Sisi gelap Negeri Cahaya ini.
"Meridian .... Nama pemuda itu," Sola memulai ceritanya. "Saat melihat dia, apa yang Pangeran pikirkan?"
"Assassin," desis Reinhart.
"Ya," Sola menyahut. "Dia ... agak berbeda. Tapi hampir seperti itu."
Untuk pertama kalinya, Reinhart menatap Sola lagi, sejak kejadian di halaman belakang Istana Pijar Mentari. Gadis itu kembali terdiam.
"Kenapa dia bilang tidak bisa memaafkan keluarga kerajaan?" Reinhart bertanya dengan nada menuntut.
"Dia ... kehilangan ayahnya ... dalam suatu peristiwa yang disebabkan oleh perintah Yang Mulia Raja."
Jawaban Sola begitu di luar dugaan, sehingga Reinhart nyaris tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Pemuda itu merasa, jika bertanya lebih lanjut, maka―mungkin―ia akan menyesalinya. Namun, jika tidak bertanya sekarang, barangkali ia akan merasakan penyesalan yang berbeda.
"Peristiwa apa?" akhirnya Reinhart bertanya lirih.
Sekali lagi, Sola menarik napas panjang, kemudian menghelanya pelan-pelan. Seolah sedang menyimpan kata-kata yang sangat berat untuk diucapkan.
"Pembubaran Kesatria Hitam."
Akhirnya terucap juga. Dan Sola tahu, ia takkan bisa menariknya lagi. Dilihatnya mata hijau cemerlang Reinhart menatapnya penuh tanya. Sola maklum, apabila sang Pangeran sama sekali tidak memahami jawabannya barusan.
"Apa?" sesuai perkiraan Sola, Reinhart langsung bertanya lagi dengan kening berkerut.
"Peristiwa itu, bahkan keberadaan Kesatria Hitam sendiri, tidak diketahui umum. Wajar kalau Pangeran tidak tahu," kata Sola. "Aku ... juga tidak tahu banyak ... tapi sepertinya, Kesatria Hitam adalah semacam prajurit elit seperti Kesatria Putih. Hanya saja, mereka bergerak di balik bayangan, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor untuk Istana ... dan Raja."
Reinhart terkesiap. "Maksudmu ...?"
"Ya. Seperti anjing penjaga ... yang tak segan membunuh siapa pun yang membahayakan Raja dan negeri ini," Sola diam sejenak. "Karena banyak pertimbangan, sepertinya ayah Pangeran ingin membubarkan Kesatria Hitam. Tetapi malah terjadi pergolakan, sampai jatuh korban. Salah satunya, ayah Meridian."
Reinhart masih berusaha mencerna cerita Sola.
"Jadi ... ayahnya anggota Kesatria Hitam?"
"Benar."
"Kapan peristiwa itu terjadi?"
"Sekitar tujuh tahun yang lalu."
"Tujuh tahun?" Bukankah itu juga pertama kalinya aku bertemu Sola? Tiba-tiba terpikir oleh Reinhart, tetapi tak disuarakannya. "Orang itu ... Meridian ... juga anggota Kesatria Hitam?"
"Ya."
"Sola .... Lalu ... apa hubunganmu dengannya?"
"Dia―"
BRAK!
Sola setengah kaget setengah bersyukur, ketika pintu kamar tiba-tiba terbanting membuka dengan suara lumayan keras. Aria langsung masuk tanpa permisi, lalu menghampiri Reinhart. Jelas-jelas mengabaikan Sola.
"Rein! Bibi Tia datang!"
"Bibi!"
Reinhart menerobos masuk ke dalam kamar bernuansa peach itu. Aria, lalu Sola, mengikutinya dari belakang. Bertiga, mereka segera mendekat ke satu-satunya ranjang tempat wanita anggun itu tengah berbaring. Perasaan Reinhart antara lega dan cemas, melihat bibinya benar-benar sudah ada di hadapannya, tetapi dalam keadaan yang terlihat lemah. Sesuai ucapan Aria, beliau tengah dirawat oleh salah seorang Magi yang dimiliki Kastil Pendar Rembulan.
"Reinhart, keponakanku sayang." Lady Ignatia membalas genggaman tangan Reinhart dengan lembut. "Syukurlah, sepertinya kau baik-baik saja."
Reinhart mencoba membalas senyum hangat bibinya, walau dengan mata berkaca-kaca. "Bibi kenapa?"
"Tidak apa-apa, cuma kecapekan."
Tak percaya begitu saja, Reinhart memandang Magi wanita paruh baya yang baru saja menyelesaikan sihir entah apa kepada sang bibi. Kemungkinan besar, salah satu sihir penyembuhan.
"Saya hanya menggunakan Treat untuk memulihkan kondisi fisik yang menurun," Magi itu berkata dengan nada menenangkan. "Pangeran tidak perlu khawatir. Tapi, sekarang ini Lady Ignatia membutuhkan banyak istirahat."
Reinhart tidak mendalami sihir penyembuhan. Namun, paling tidak, dia tahu dasar-dasar sihir cahaya yang digunakan untuk pengobatan ini. Ada dua mantra pokok yang harus benar-benar dikuasai, yaitu Heal dan Treat. Heal, untuk menyembuhkan sakit atau luka pada tubuh secara umum. Treat, setingkat di bawah Heal, biasanya digunakan untuk membuat pasien rileks. Atau, bisa juga untuk menenangkan pasien yang histeris.
"Sebaiknya, Lady Ignatia segera tidur. Lagipula, ini sudah tengah malam."
Setelah menegaskan hal tersebut, sang Magi segera undur diri. Reinhart masih menggenggam tangan bibinya. Jelas sekali, masih terlihat cemas.
"Kau pasti memikirkan orangtua dan adikmu," Ignatia berkata maklum.
"Bibi tidak bersama mereka?" sang Pangeran bertanya lirih.
"Terakhir, Bibi melihat adikmu bersama Lydia dan Kane," sahut Ignatia. "Kalau orangtuamu .... Ayahmu menyuruh Bibi pergi. Dia sendiri, dan juga ibumu, berkata bahwa mereka tidak akan meninggalkan Istana."
"Apa? Kenapa?"
Ignatia menggeleng perlahan. "Karena di Istana, semuanya masih berjuang. Prajurit Kerajaan, juga Kesatria Putih dan Magi Kerajaan. Sebagai Raja dan Ratu negeri ini, mereka harus bertahan di Istana sampai detik-detik terakhir. Lagipula, ayahmu 'kan punya Helios. Kenapa kau begitu cemas?"
Reinhart tersentak. Kata-kata Meridian yang mengaku telah membunuh sang Raja dan Ratu, sejak tadi terus berputar di benaknya. Namun, sepertinya Ignatia tidak tahu apa-apa tentang itu. Reinhart pun tidak ingin menanyakannya. Tidak bisa. Tidak sekarang, melihat kondisi tubuh bibinya yang sedang lemah.
"Iya ... Bibi benar," kata Reinhart akhirnya. "Kalau begitu, Bibi tidur saja. Lebih baik, kita semua istirahat, sambil menunggu kabar dari Istana."
Sampai fajar tiba beberapa jam kemudian, Reinhart nyaris tidak bisa tidur. Gelisah sepanjang malam. Setelah Ignatia yang datang melalui pentagram teleportasi, tidak ada lagi yang menyusul lewat jalur yang sama. Setelah sinar matahari pertama menandai datangnya pagi, barulah satu rombongan datang menyusul. Tepatnya para Kesatria Putih.
Yang menyambut mereka adalah tuan dari Kastil Pendar Rembulan sendiri, Lord Alfa yang sejak semalam sibuk bersama orang-orangnya, mengambil tindakan apa pun yang dibutuhkan sehubungan dengan berita penyerangan terhadap Istana Raja di Ibukota. Selaku tuan rumah, Lord Alfa mempersilakan para kesatria yang tampak lelah dan terluka itu, untuk dirawat, kemudian beristirahat di kamar-kamar yang tersedia. Kecuali komandan mereka, Klein Arc, yang diminta untuk mengadakan pertemuan kecil bersama Lord Alfa.
Ruangan itu tidak terlalu luas. Perabot yang ada di sana hanyalah meja bundar berpelitur―cukup besar―yang terbuat dari kayu, serta beberapa belas kursi berbahan sama yang ditata mengelilinginya. Sepertinya ruangan ini memang biasa dipakai untuk rapat. Tata ruangnya sendiri sederhana saja, dengan dinding bercat gading, dan lantai pualam yang putih bersih. Tiga jendela kaca yang ramping dan tinggi, berjajar masing-masing di sisi barat dan timur. Setiap jendela memiliki dua helai gorden sutra sewarna buah persik, yang saat ini dalam posisi disibakkan ke kanan dan ke kiri, lalu ditahan dengan tali kain berwarna emas.
"Lord Alfa, apa masih ada orang lain yang kita tunggu?" Klein memecah kesunyian pagi yang hanya ditingkahi cericit merdu burung-burung liar.
Di seberang meja tepat di hadapannya, Lord Alfa duduk dengan tenang, masih belum memulai pembicaraan. Di samping kirinya, duduk dua orang yang tengah berbincang pelan di antara mereka sendiri. Klein mengenali keduanya sebagai pria empat puluh tahunan yang merupakan pemimpin pasukan khusus Magi yang dimiliki Lunapolis, serta kesatria wanita sebaya dirinya yang merupakan pucuk pimpinan pasukan militer pelindung kota ini.
"Putriku sedang menuju kemari," Lord Alfa menjawab pertanyaan Klein tadi. "Dan ... mungkin keponakanku juga akan datang bersamanya."
"Pangeran Reinhart?" kata Klein. "Kupikir beliau masih beristirahat."
"Anak itu hampir tidak bisa tidur semalaman," Lord Alfa menyahut dengan nada prihatin. "Kabar apa pun yang kaubawa, sebaiknya cepat disampaikan padanya."
Klein mengepalkan kedua tangannya yang tertaut di atas meja. Air mukanya pun mendadak muram.
"Bukan kabar baik, kalau menilik dari ekspresimu?" kata Lord Alfa lagi.
Belum sempat Klein menjawab, Reinhart, Aria, dan Sola masuk ke dalam ruangan. Bersama mereka, ada satu orang lagi yang cukup mengagetkan, bahkan bagi Lord Alfa.
"Tia! Kenapa kau ikut kemari?" Lord Alfa berkata, ketika Ignatia mengambil tempat duduk tepat di sebelahnya. "Kau harus banyak istirahat!"
"Sudahlah, sepupuku," Lady Tia menyahut kalem. "Toh aku sudah ada di sini."
Lord Alfa menghela napas pelan. Sementara itu, Aria mengambil tempat duduk tepat di sebelah Ignatia. Sedangkan Reinhart duduk di samping Aria. Disusul Sola yang menempatkan diri di samping sang Pangeran, hanya menyisakan satu kursi lagi di antara dirinya dan Klein.
"Putri Aria, lama tidak berjumpa," Klein menyapa dengan nada hormat. "Anda semakin cantik saja."
"Halo, Klein," Aria menyahut sembari tersenyum manis. "Daripada itu, kekuatan sihirku juga meningkat pesat, lho. Apa kau ingin membuktikannya?"
Sola ingin sekali tertawa, seandainya atmosfer di tempat itu tidak sedang serius seperti ini.
"Mungkin lain kali, Putri," Klein pun berkata.
"Aria, sopanlah sedikit," tegur Lord Alfa. "Komandan Klein adalah tamu kita."
Aria memutar bola matanya. "Iya, Ayah."
Lord Alfa masih menatap Aria beberapa detik lagi dengan tajam. Sempat pula, ia menggeleng pelan, seolah ingin memperingatkan supaya gadis itu jangan macam-macam. Aria cuma memamerkan senyum manisnya yang biasa, membuat Lord Alfa menghela napas pelan, sebelum akhirnya memfokuskan perhatiannya kepada pertemuan yang belum juga dimulai.
"Tolong maafkan putriku. Mari segera kita mulai saja pembicaraan ini."
Lord Alfa mengarahkan pandang lurus kepada Klein. Kewibawaan yang terpancar dari pria berusia 37 tahun itu, mau tak mau membuat sang Komandan Kesatria Putih segan. Iapun spontan menundukkan kepala sejenak, untuk menunjukkan rasa hormatnya.
Alfa Jade Lightroad, tak lain dan tak bukan adalah paman dari Pangeran Reinhart. Tepatnya, beliau adalah saudara sepupu dari Raja dan Lady Ignatia. Ayahnya adalah paman kandung Raja satu-satunya. Ini juga berarti bahwa keluarga Lord Alfa ada di urutan berikutnya sebagai pewaris tahta, setelah keluarga Raja dan Lady Ignatia. Mereka juga berhak mengikuti upacara ritual Helios, seandainya tidak ada penerus tahta yang terpilih dari 'garis keturunan utama' keluarga kerajaan.
Meskipun begitu, Lord Alfa memilih untuk menjauhkan diri dari hiruk-pikuk politik di Istana. Ia mengabdikan dirinya sebagai seorang Magi untuk ikut mengembangkan sihir di negeri ini, melalui Akademi Sihir Lunapolis yang sudah diakui sebagai yang terbaik di seantero Luminos. Tentang dirinya yang kemudian menjadi pemimpin di kota Lunapolis, itu lain lagi ceritanya. Rakyat Lunapolis-lah yang memilihnya, karena melihat sosok Lord Alfa sebagai pemimpin yang bisa mengayomi rakyat. Pendeknya, Lord Alfa bisa menjalani hidup yang cukup damai di kota ini, bersama putri semata wayangnya, Aria.
Omong-omong soal Aria, mungkin orang-orang akan langsung berpikir bahwa gadis itu sama sekali tidak mirip dengan ayahnya. Secara fisik, Lord Alfa memiliki warna rambut coklat keemasan dan iris mata hijau cemerlang yang sama persis dengan sang Raja. Penampilannya pun kalem, dengan kumis tipis dan rambut lurus pendek yang selalu tertata rapi. Sedangkan putrinya yang agak tomboy, Aria Sapphire Lightroad, bagaikan versi remaja dari ibundanya yang telah tiada. Sang ibunda sendiri adalah seorang Putri dari kerajaan nun jauh di seberang lautan, yang bernama Kerajaan Venessia. Karena itulah, Aria memiliki ciri-ciri fisik yang berbeda dengan warga Luminos pada umumnya.
"Komandan Klein," suara Lord Alfa menyita perhatian semua orang di ruang rapat itu. "Tolong ceritakan, apa yang telah terjadi di Istana? Dan kenapa kalian, Kesatria Putih, tidak datang melalui pentagram teleportasi?"
"Tentang pentagram itu," Klein menjawab, "sudah disegel oleh Lord Dante, tak lama setelah digunakan oleh Lady Ignatia."
"Eh? Kenapa?" Sola yang bertanya.
"Sebenarnya, aku dan Lord Dante curiga, ada orang dalam Istana yang terlibat." Jawaban Klein mengejutkan semua orang. "Serangan terhadap Istana terlalu rapi, nyaris tidak bercelah. Aku sangat menyesal harus mengakui ini, tapi ... kami pun dibuat nyaris tidak berdaya."
"Komandan Klein," Lord Alfa menanggapi, "itu tuduhan yang sangat serius."
"Aku tahu. Tapi kemungkinannya sangat tinggi."
"Lalu, apa kalian sudah tahu siapa orangnya?" tanya Lord Alfa.
Klein menggeleng pelan. "Tidak. Belum. Siapa pun orangnya, dia sangat pandai menyembunyikan diri―"
"Cukup!" tiba-tiba Reinhart memotong percakapan.
Semua mata beralih memandang Reinhart. Wajah sang Pangeran dipenuhi kecemasan. Matanya pun berkaca-kaca.
"Aku tidak mau tahu soal itu," Reinhart melanjutkan dengan suara bergetar. Dipandangnya Klein dengan sorot mata seperti menuntut. "Aku hanya ingin dengar bahwa orangtuaku dan adikku baik-baik saja. Tolong katakan itu, Klein!'
Klein terdiam sejenak. Tangannya kembali terkepal.
"Putri baik-baik saja," akhirnya Klein berkata. "Entah kenapa, sepertinya Putri sama sekali tidak diincar. Lagipula, ada Lydia dan Kane yang melindunginya."
Reinhart menarik napas lega. Meskipun begitu, di sudut hatinya ada kegelisahan yang lebih besar. Mimpi itu. Ia sangat takut memikirkan bahwa mungkin mimpi itu adalah pertanda buruk tentang orang-orang yang disayanginya. Kalau bukan Lumina, berarti ...
"Bagaimana dengan orangtuaku?" akhirnya Reinhart melontarkan pertanyaan itu.
Kali ini, air muka Klein berubah. Reinhart jelas-jelas melihat ketegangan di wajah Komandan Kesatria Putih itu. Ia sampai perlu menarik napas panjang terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan sang Pangeran.
"Aku ...," Klein memberi jeda sejenak pada kalimatnya, "tidak tahu."
"Tidak tahu?" Reinhart menyahut tajam, bahkan kemudian berdiri sambil menggebrak meja. "Kau adalah Komandan Kesatria Putih! Bukankah tugas utama kalian adalah melindungi keluarga kerajaan? Terutama ayah dan ibuku! Bagaimana mungkin kau bisa tidak tahu?!"
"Reinhart, tenanglah," Lady Ignatia berkata, mencoba tetap tenang, meskipun hatinya sendiri juga dilanda kecemasan.
"Pangeran, duduklah. Kita dengarkan dulu cerita Komandan Klein sampai selesai," Lord Alfa sengaja bicara dengan nada formal, untuk menjernihkan pikiran keponakannya. Cukup berhasil, karena setelah itu Reinhart kembali duduk di kursinya.
"Maafkan aku," Klein melanjutkan. "Saat itu, semuanya sangat kacau. Dan situasi di Istana sangat ... membingungkan."
"Apa maksudmu?" tanya Lord Alfa dengan kening berkerut.
"Aku juga tidak mengerti." Klein terlihat bingung. "Di saat-saat terakhir, sepertinya keadaan sudah mulai terkendali. Tapi ... entah kenapa ... para Prajurit Kerajaan berbalik menyerang kami."
"Apa?!" hampir semua orang yang ada di tempat itu berseru kaget.
"Maksudmu, Prajurit Kerajaan terlibat dalam penyerangan terhadap Istana?" suara Lord Alfa.
"Tidak, bukan begitu." Klein menggeleng pelan. "Rasanya lebih seperti ... ada pihak yang mengadu domba Prajurit Kerajaan dengan Kesatria Putih. Salah satu anak buahku sempat mendengar, mereka menyebut kami sebagai 'pengkhianat'."
Keheningan menyergap ruangan itu, sementara matahari pagi perlahan merayap naik. Untuk yang kesekian kalinya hari itu, Klein mengepalkan tangannya kuat-kuat. Masih ada satu hal yang harus disampaikannya. Namun, sejak tadi kata-kata itu terus tertahan. Bahkan mungkin tanpa sadar ia telah menghindari pembicaraan tentang satu hal ini. Paling tidak menundanya.
"Kesatria Putih terpaksa melarikan diri, agar tidak jatuh korban yang tidak perlu," akhirnya Klein bicara juga. "Dan aku .... Aku belum sempat memastikannya, tapi ... sebelum kami pergi, aku ... sempat mendengar salah satu prajurit mengatakan bahwa ... Yang Mulia Raja dan Ratu ... telah wafat."
DEG!
Satu debaran keras menghantam dada Reinhart, menyakitinya dari dalam. Klein masih mengatakan sesuatu setelah itu, tetapi ia sama sekali sudah tidak mendengarkan apa-apa lagi. Ia bisa merasakan aura kesedihan yang pekat, perlahan menguasai setiap orang di dalam ruangan ini. Ia bisa melihat mata pamannya yang berkaca-kaca, tetapi tetap berusaha tegar. Ia bisa melihat Aria dan bibinya mulai menangis. Dan Klein .... Reinhart baru menyadari betapa kesatria muda itu terlihat sangat lelah. Sangat sedih, dan mungkin juga tertekan.
Wafat.
Satu kata itu kembali terngiang, mencabik-cabik sanubari Reinhart. Rasanya seperti mimpi buruk yang paling buruk. Beberapa jam yang lalu, sang ibu masih tersenyum sambil membelai wajahnya. Dan sang ayah masih tertawa sambil menepuk pundaknya. Dan sekarang, tiba-tiba ia diberitahu bahwa mereka sudah tidak ada lagi di dunia ini?
"Bohong ... Ini bohong, 'kan?" Reinhart nyaris tidak bisa mengenali suaranya sendiri yang lirih dan bergetar.
Bohong! Ini pasti bohong! Ini tidak nyata!
"Pangeran!"
Reinhart tersentak, ketika ada satu suara yang berhasil mencapainya. Suara Sola. Dan sekarang gadis itu menatapnya prihatin sekaligus sarat kecemasan. Pada saat itulah, Reinhart tersadar bahwa ini semua bukanlah mimpi buruk. Ini nyata. Dan kesadaran itu menghancurkan hatinya berkeping-keping.
Sakit.
Namun, pemuda itu sama sekali tidak bisa menangis.
Bersambung ...
Luminos Rhapsody; Heidy S.C. 2016©
=============================================================
Author's Corner
Hello, hello, jumpa lagi di Rhapsody 05 bersama Heidy~! \(^o^)
Mari kita mulai buka-bukaan rahasia dan masa lalu. Cerita sekarang agak berjalan lambat, tapi lumayan banyak informasi yang muncul sekaligus. Dan dalang-nya masih tersembunyi dengan aman. Udah pada nebak-nebak kah? Kira-kira siapa, ya ... :3
Lunapolis adalah kota yang punya peranan penting di dalam cerita ini. Juga kota pusatnya pengembangan sihir Kerajaan Luminos. Omong-omong soal sihir, ada beberapa yang udah muncul dalam cerita. Kita coba review dikit, yah~! :-)
Venta >>> adalah sihir dasar elemen angin yang pernah dipakai oleh Kato, wakil Komandan Kesatria Putih, pada peristiwa bom di Taman Istana. Warna lingkaran sihirnya adalah hijau.
Shield >>> adalah sihir pelindung yang digunakan oleh Kane, pengawal pribadi Putri Lumina, pada peristiwa yang sama. Reinhart juga memakainya saat melawan Meridian. Elemennya adalah cahaya, dengan lingkaran sihir berwarna keemasan.
Summon >>> adalah sihir pemanggil. Reinhart menggunakannya saat memanggil senjatanya dalam pertarungan. Juga ber-elemen cahaya.
Flare >>> sihir elemen api yang gagal digunakan oleh Reinhart. Memiliki lingkaran sihir berwarna merah menyala.
Chain >>> adalah sihir yang mengikat lawan dengan rantai sihir. Digunakan Meridian untuk menghentikan gerakan Sola.
Cage >>> hampir sama dengan Chain, tetapi fungsinya lebih untuk mencegah lawan menggunakan sihir. Berbentuk seperti kerangkeng kecil yang mengurung lawan.
Spark >>> sebenarnya adalah sihir elemen petir. Tapi, khusus untuk Meridian, sihir yang digunakan semuanya ber-elemen kegelapan. Bisa dilihat dari lingkaran sihirnya yang berwarna ungu.
Yang akan muncul selanjutnya masih banyak, nih. Dan sejauh ini baru sihir tingkat dasar yang keluar. Doesn't it excite you? Sampai jumpa lagi di Rhapsody selanjutnya~! ^__^
Solo, 22 Oktober 2016
Heidy S.C.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top