Rhapsody 02. Kegelapan Hati


"Venta!"

Kato harus mengambil keputusan cepat, dan mantra sihir angin itulah yang dipilihnya. Saat membuka kotak hadiah dari Pangeran Reinhart yang dibungkus kertas kado hijau dan dihias pita berwarna emas, jantungnya sontak berdegup lebih cepat. Betapa tidak? Yang ada di dalam wadah itu adalah benda yang diyakininya sebagai bom rakitan. Dan pada benda tersebut juga terdapat angka-angka.

00:25

Angka tersebut tadinya diam, tetapi kemudian mulai bergerak sekitar tiga detik setelah Kato membuka kotaknya. Angka 25 berubah menjadi 24, 23, 22, .... Terus bergerak mundur, sehingga Kato segera 'menerbangkan' kotak itu beserta isinya ke angkasa. Sebelum hitungannya berubah menjadi nol.

"Shield!"

DHUARRR!!!

Tepat seperti yang dikhawatirkan Kato, benda itu akhirnya meledak di langit. Ledakan yang cukup besar, hingga sanggup menggetarkan seluruh tempat itu. Bahkan perisai energi kasat mata yang melingkupi Taman Istana laksana kubah pelindung itu pun, ikut bergetar.

Tunggu dulu. Perisai?

Benar juga. Selintas sebelum ledakan terjadi, Kato seperti mendengar seseorang merapal mantra Shield. Siapa yang melakukannya?

Kato mengedarkan pandang, sebelum tatapannya jatuh kepada sesosok kesatria tampan yang berdiri di samping Putri Lumina. Kesatria itu mengenakan seragam militer yang mirip dengan seragam Kesatria Putih, hanya saja didominasi warna kuning gading. Ditambah jubah merah dengan pengait dari emas, memberi kesan gagah sekaligus elegan kepada pemakainya yang berperawakan tinggi tegap. Kato mengenal kesatria itu dengan nama Kane Arc.

Sepertinya dialah yang tadi membuat perisai pelindung.

Baru saja Kato berpikir begitu, tiba-tiba pandangannya bertemu dengan Kane. Setiap melihat Kane, Kato selalu merasa seperti melihat versi muda dari komandannya, Klein Arc. Dari warna rambut dan iris matanya yang sama persis, bahkan wajahnya pun mirip. Belum lagi karier militernya yang sangat cemerlang, sehingga dipercaya menjadi pengawal pribadi Putri Mahkota di usianya yang baru dua puluh tahun. Tidak mengherankan, karena Kane memang adik kandung dari sang Komandan Kesatria Putih.

Kato melihat Kane mengangguk samar kepadanya, yang dibalasnya dengan cara serupa. Benar. Di saat kritis seperti ini, ia harus bertindak cepat. Hanya dengan isyarat tangan ringan dari Kato, empat orang anggota Kesatria Putih langsung bergerak mengepung Pangeran Reinhart, selaku orang yang memberikan kado bermasalah itu. Kato pun ikut mendekat, sementara para Prajurit Kerajaan dan beberapa anggota Kesatria Putih yang lain, juga bergerak cepat mengamankan Raja, Ratu, Putri Lumina, beserta segenap tamu undangan.

"Apa yang kalian lakukan?!" Sola, pengawal pribadi Reinhart, berkata memprotes saat Kato telah berdiri di hadapan sang Pangeran.

"Sola," Reinhart pun angkat bicara. "Mereka hanya melaksanakan tugas."

Ucapan Reinhart membuat Sola terpaksa menahan diri. Sedangkan Kato, memberi hormat dengan sebuah anggukan kecil kepada sang Pangeran.

"Maafkan kelancangan kami," ujar Kato. "Bisakah Pangeran menjelaskan, mengapa di dalam kotak kado pemberian Pangeran untuk Putri Lumina, ada bahan peledak?"

Reinhart menghela napas pelan. Sambil menatap langsung kedua mata Kato, ia menjawab lugas, "Aku tidak tahu."

"Baiklah. Kalau begitu, silakan Pangeran kembali ke kamar," sahut Kato. "Mohon untuk tidak keluar sampai penyelidikan mendapatkan titik terang―"

"Tunggu!" suara Lumina.

Tiba-tiba sang Putri sudah mendekat bersama kedua pengawalnya, Lydia dan Kane. Kato pun memberi jalan, sehingga Lumina bisa berdiri berhadapan dengan Reinhart.

"Lu? Kenapa kau masih ada di sini? Semua orang sudah meninggalkan tempat ini. Ayahanda dan Ibunda juga sudah pergi bersama para pengawal. Sebaiknya kau juga―"

Ucapan Reinhart terputus karena Lumina tiba-tiba memeluknya.

"Jangan khawatir, Kak," kata sang Putri sambil melepas pelukannya. "Kita pasti akan menangkap pelakunya."

Putri Lumina beralih menatap Kato, lalu berkata, "Bukankah begitu, Kesatria Putih?"

"Tentu saja, Yang Mulia."



Reinhart sendirian di kamarnya, berbaring di ranjang dengan lengan kanan menutupi sebagian wajahnya. Kedua matanya pun terpejam, sementara kepalanya terasa berdenyut. Entah sudah berapa lama ia berdiam diri seperti itu. Tidak bicara dengan siapa pun. Tidak melakukan apa pun.

Tok. Tok. Tok.

Sang Pangeran nyaris tersentak ketika tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Iapun bangkit perlahan, hingga akhirnya duduk di tepi tempat tidur.

"Masuk!" kata Reinhart.

Pintu terbuka dan yang muncul dari baliknya adalah Sola. Gadis itu segera menutup pintu, lalu menghampiri Reinhart.

"Sola," Reinhart berkata ketika Sola berdiri di dekatnya. "Apa sudah ada perkembangan?"

Sola menggeleng, membuat Reinhart menghela napas pelan.

"Pangeran baik-baik saja?" tanya Sola, terdengar cemas.

Reinhart menatap Sola. "Apa menurutmu aku bisa 'baik-baik saja' setelah apa yang terjadi?"

"Pangeran―"

"Apa yang akan terjadi padaku kalau pelaku sebenarnya tidak ditemukan?" Reinhart menyela ucapan Sola. "Apa aku akan dihukum mati sebagai pengkhianat?"

"Tidak akan seperti itu, Pangeran! Semua orang tahu bukan Pangeran pelakunya―"

"Tidak semua orang, Sola," lagi-lagi Reinhart menyela. "Aku tidak akan heran kalau kejadian ini dikaitkan dengan 'ketidaksukaanku' terhadap penobatan Putri Mahkota."

Sola tercengang. Ia nyaris tak percaya akan mendengar ucapan seperti itu dari mulut Reinhart. Namun, sebelum ia sempat menanggapi, tiba-tiba pintu kamar Reinhart terbuka.

"Kenyataannya, rumor itu memang sudah tersebar, Yang Mulia."

Sola mengenali suara yang mengucapkan kalimat barusan sebagai milik Komandan Kesatria Putih, Klein Arc. Benar saja, pria muda itu kini tengah memasuki ruangan bersama wakilnya, Kato Iceheart. Keduanya kemudian menempatkan diri di hadapan sang Pangeran, sembari mengangguk sejenak sebagai tanda penghormatan.

"Apa maksud ucapanmu, Komandan Klein?" Sola yang bertanya. Nada suaranya tidak begitu senang.

"Fakta," sahut Klein. "Bahwa rumor tentang Pangeran yang tidak menyukai penobatan adiknya menjadi calon penerus tahta, santer terdengar hari ini. Dan pasti akan semakin buruk setelah kejadian di Taman Istana."

"Ya, lalu apa maksud ucapanmu? Apa kau sedang memojokkan Pangeran?"

"Bukan begitu, Sola." Klein mengalihkan pandangannya kepada Pangeran Reinhart. "Mohon Pangeran jangan salah paham. Salah satu tugas Kesatria Putih adalah melindungi keluarga kerajaan, termasuk Pangeran. Aku merasa, seperti ada pihak yang ingin merusak nama baik Pangeran. Karena itulah ... kita semua harus lebih berhati-hati."

Reinhart dan Sola saling berpandangan sejenak. Sementara Klein terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Apa yang kaupikirkan, Klein?" tanya Reinhart ketika Klein tak kunjung bicara.

"Firasat," akhirnya Klein berkata setelah diam selama beberapa detik lagi. "Firasatku mengatakan, ada sesuatu yang sedang terjadi. Sesuatu yang besar. Rasanya seperti ... ada bahaya yang mengintai."

"Tapi tidak ada bukti," Kato yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba ikut bicara. "Meskipun begitu, kami Kesatria Putih akan tetap waspada. Kami harap Pangeran juga demikian."

"Dan tetap tenang," Klein menambahkan. "Siapapun pelaku teror bom itu, mungkin sasarannya memang Putri Lumina. Tapi mungkin juga sasaran yang sebenarnya adalah Anda, Pangeran."

Reinhart mengerutkan kening. "Aku?"

"Ya," sahut Klein. "Misalnya saja ... ada seseorang yang ingin menjatuhkan Pangeran untuk selama-lamanya."

Sola tersentak pelan. Reinhart pun terdiam.

"Untuk sementara, mohon Pangeran tetap di kamar ini," Klein berkata lagi. "Serahkan semua pada kami, Kesatria Putih."



Insiden ledakan di Taman Istana membuat semua orang―mau tak mau―gelisah. Tidak terkecuali para tamu undangan, yang seharusnya bergembira bersama merayakan hari jadi sekaligus hari penobatan Putri Mahkota. Kebanyakan dari mereka mengurung diri di kamar-kamar tamu yang disediakan, meski seandainya tidak diminta. Setidaknya jaminan keamanan dari para Prajurit Kerajaan dan Ksatria Putih, mampu menenangkan mereka walau hanya sedikit. Kecemasan tetap tidak bisa hilang.

Namun tidak demikian halnya dengan Edgar Flamewind. Pemuda itu justru keluar ke balkon kamarnya yang ada di lantai dua, ketika malam mulai turun. Mentari senja yang kebetulan terbenam tepat di hadapannya beberapa waktu lalu, sudah tidak terlihat lagi. Hanya sisa-sisa semburat merah yang masih menghias langit kelabu. Itupun sudah sangat memudar, sehingga Edgar bisa leluasa menatap jauh ke kaki langit. Menanti bintang satu-persatu datang menghiasi kegelapan.

"Tuanku."

Edgar sama sekali tak mendengar atau merasakan kehadiran siapapun. Tahu-tahu sebuah suara rendah menyapa begitu dekat di belakangnya. Andai tidak mengenali suara milik siapa itu, mungkin jantungnya sudah melompat keluar.

"Gill," Edgar berkata tanpa menoleh. "Biar kutebak. Acara dansa dan makan malam di Aula Besar Istana akan tetap dilaksanakan sesuai rencana semula. Benar?"

"Benar, Tuanku."

"Ya. Memang seharusnya Istana tidak akan goyah semudah itu."

Setelah mengatakan itu, Edgar kembali diam. Masih mengarahkan pandang ke bintang-bintang yang bersinar di langit barat, membentuk sebuah gugusan.

"Seharusnya pada acara malam nanti, dia akan memberikan jawaban," kata Edgar tiba-tiba.

Sejenak, Gill tidak memahami maksud perkataan tuan tempatnya mengabdi sekarang. Pemuda yang memiliki warna langit malam pada rambut serta iris matanya itu, hanya memandang punggung Edgar dalam diam.

"Soal rencana pertunangan Pangeran dengan adikku, Alinea," Edgar berkata lagi. "Bagaimana menurutmu?"

Bukan hanya satu-dua kali Gill tidak mengerti mengapa Edgar mengatakan atau melakukan sesuatu. Pemuda berusia 26 tahun itu merasa, pemikiran tuannya selalu jauh ke depan. Tak terjangkau olehnya. Termasuk saat ini.

"Kemungkinan untuk gagal ... ada," sahut Gill akhirnya.

Bukannya marah atau kesal mendengar jawaban seperti itu, Edgar malah tertawa kecil. Tentu saja, ia juga bisa merasakan keraguan sebelum Gill mengucapkan satu kata terakhir.

"Gill, Gill ... mengapa tidak kaukatakan saja terus terang?" kata Edgar kemudian. "Kemungkinan gagal itu cukup tinggi."

"Mohon maaf, Tuanku―"

"Tidak, tidak," Edgar memotong ucapan pemuda yang sudah cukup lama menjadi asistennya itu. "Kau tidak salah. Aku sendiri sudah cukup lama mengenal Pangeran. Aku paham, Pangeran tidak memandang adikku sebagai 'wanita'. Hanya ... teman masa kecil. Adikku juga tahu akan hal itu."

"Tapi, Tuanku ... kalau Pangeran tidak punya alasan untuk menolak, bukan tidak mungkin, semuanya akan berjalan lancar," Gill berkata hati-hati. "Lagipula, itu akan menguntungkan secara politik."

Edgar mendengus pelan.

"Kaupikir Pangeran peduli dengan hal seperti itu? Dia ... sama sekali tidak punya ambisi."

Tiga tahun lebih mendampingi Edgar, sudah cukup bagi Gill untuk mengenali nada sinis samar dalam kalimat tadi.

"Tuanku, tidak biasanya Anda gagal mengendalikan emosi seperti ini," tiba-tiba Gill berkata.

Ungkapan yang terlalu berani. Namun, Edgar yang sempat tersentak pelan, akhirnya hanya tersenyum tipis. Masih sinis.

"Gill ... semua orang menyimpan kegelapan di dalam hatinya, tidak terkecuali aku dan Pangeran." Lagi-lagi Edgar mengatakan sesuatu yang tak dipahami oleh Gill ke mana arahnya. "Setiap manusia menyadarinya. Karena itulah, manusia selalu bisa menempatkan keraguan terhadap seseorang. Meskipun itu adalah seseorang yang sangat mereka hormati atau percayai."

"Maksud Tuanku, rumor itu―"

"Ya," Edgar memotong kata-kata Gill. "Aku yakin, bukan cuma aku yang menyadari bahwa Pangeran tidak punya ambisi terhadap kekuasaan. Tapi ... prasangka tetap bisa menghancurkannya."

Gill diam sejenak.

"Bukankah masih ada kemungkinan bahwa sebenarnya Pangeran memiliki ambisi itu?" katanya kemudian, membuat Edgar sempat tertegun. "Toh kegelapan di hati manusia bisa menuntunnya kepada kegelapan yang lebih dalam."

Edgar diam, memandang kegelapan yang membentang luas di hadapannya. Kegelapan malam yang semakin pekat seiring waktu. Udara telah kehilangan kehangatannya. Bergerak pelan, menjelma menjadi sepoi yang meniup rambut pendek keemasan Edgar yang tertata rapi. Sementara, sepasang mata beriris biru cerah milik pemuda itu, telah terbiasa dengan pekatnya malam. Cukup awas untuk menyadari adanya pergerakan di halaman samping kanan Istana, tepatnya di antara pepohonan lebat. Sangat samar.

"Tuanku?" Gill berkata lagi ketika Edgar tak kunjung menanggapi ucapannya. "Mohon maaf kalau ucapanku terlalu lancang."

Mata Edgar masih fokus kepada gerakan lemah yang tadi dilihatnya. Namun ia tidak mengatakan apapun tentang itu. Hanya tatapannya sempat menajam.

"Tidak," sahut Edgar kemudian. "Kau benar, Gill. Kau memang benar."



Sayap kiri Istana, lantai satu. Markas Kesatria Putih.

Ruangan yang cukup luas itu, saat ini hanya dihuni dua orang. Yang satu Klein Arc, dan yang satu lagi pria berkacamata serta memiliki ekspresi lembut di wajahnya. Rambutnya panjang mencapai punggung, berwarna coklat kemerahan dan diikat longgar, menambahkan kesan elegan pada penampilannya. Dilihat dari pakaiannya, ia memiliki posisi penting di Istana, tetapi bukan di militer.

"Lord Dante," Klein berbicara kepada pria berkacamata itu dengan sikap hormat. "Tolong beritahu aku, apa saja yang telah Anda temukan."

"Tentu," Dante Gravenor, pria itu, menyahut singkat. "Silakan lihat ini."

Dante mengeluarkan tangan kanannya dari balik punggung, yang ternyata sudah menggenggam sesuatu. Sebuah cermin tangan berbentuk oval, dengan bingkai dan pegangan berukir indah serta terbuat dari perak. Ia memegang benda itu secara tegak lurus, mengarahkan sisi cerminnya menghadap Klein.

"Hoo ...," Klein berkata pendek ketika cermin yang tadinya memantulkan bayangan dirinya, tiba-tiba menampilkan pemandangan yang dikenalnya. Lorong-lorong Istana, aula, balairung, sayap kanan, sayap kiri, ruangan-ruangan di lantai satu maupun dua, halaman depan, halaman belakang, taman, terus berganti-ganti.

"Ini penemuan baru Magi Kerajaan?" tanya Klein. Sementara, matanya yang keemasan masih mengamati dengan cermat gambaran-gambaran yang silih berganti di cermin.

Dante tersenyum lembut, lalu menjawab, "Bukan. Ini adalah alat sihir yang dikembangkan oleh Akademi Sihir Lunapolis. Prinsip kerjanya meniru Cermin Zonal, tetapi area yang bisa dicakupnya terbatas."

"Ide Lord Alfa, kalau boleh kutebak?"

Sekali lagi, Dante tersenyum. Masih lembut seperti biasa, hanya saja terlukis ekspresi yang sedikit kompleks, di wajah Magi senior berusia 35 tahun itu.

"Yah," akhirnya Dante menyahut. "Sebutan 'Magi Agung' itu memang pantas disematkan kepada beliau."

Hening hadir di ruangan itu. Tiba-tiba Klein merasa, mungkin seharusnya ia tidak usah mengangkat topik itu.

"Bagaimana?" mendadak Dante bicara lagi, mengejutkan Klein. "Sudah kauperhatikan baik-baik semuanya?"

Dante menarik kembali cermin di tangannya, sementara semua gambaran yang silih berganti tadi telah berhenti.

"Aku tidak melihat apapun yang mencurigakan," sahut Klein dengan tatapan mata menajam. "Ini ... benar-benar mengkhawatirkan."

Klein berkata begitu karena beberapa waktu sebelumnya, Dante memberi informasi yang cukup mengejutkan. Pada peristiwa ledakan di Taman Istana, ada jejak energi magis―energi sihir―yang samar. Dante sama sekali tidak bisa mengenali, energi milik siapa itu. Bahkan ketika ia berusaha untuk melacaknya, jejak energi itu hilang tanpa bekas.

"Yang jelas, seluruh prajurit, Ksatria, dan Magi Kerajaan, harus meningkatkan kewaspadaan," kata Dante kemudian. "Komandan Klein, aku akan melanjutkan penyelidikan. Bisa jadi, ini akan sangat berbahaya."

"Kenapa?"

"Aku belum sepenuhnya yakin, tapi ...," Dante menggantung kalimatnya sejenak, "pemilik energi magis yang kurasakan itu ... mungkin adalah pengguna sihir kegelapan."

" ... Apa?"

"Ini baru sebatas dugaanku, tapi kemungkinannya cukup tinggi." Dante menatap Klein dalam-dalam. "Berhati-hatilah."



Tok. Tok.

Sola mengetuk pintu kamar Reinhart perlahan. Ia menunggu sampai dua-tiga detik lewat, tetapi tak ada jawaban. Sekali lagi, gadis itu mengetuk pintu yang tertutup rapat. Kali ini, sambil menyerukan nama sang pemilik kamar.

"Pangeran Reinhart, boleh aku masuk?"

Masih tidak ada jawaban. Sola mulai cemas, dan akhirnya memutuskan untuk memeriksanya. Pintu kamar Reinhart sangat jarang dikunci dari dalam. Begitu pun saat ini, sehingga Sola bisa langsung masuk. Hal pertama yang dilihatnya adalah sosok Reinhart, tengah bersandar santai di kursi sambil membaca sebuah buku.

Lagi-lagi Pangeran tenggelam di dunianya sendiri.

Sambil berpikir begitu dalam senyum, Sola melangkah hingga berdiri tepat di samping Reinhart. Bahkan sampai detik itupun, Reinhart tetap bergeming, sama sekali tak teralih dari bacaannya. Sola sendiri sudah maklum, jika sudah berkonsentrasi penuh seperti ini, maka Reinhart tidak akan melihat atau mendengar apapun.

Segel Sihir dan Berbagai Variasinya

Iseng-iseng Sola mengintip judul buku di tangan Reinhart. Uukh ... Lagi-lagi buku yang sulit! Sambil berpikir begitu, Sola beralih menatap wajah sang Pangeran. Pemuda itu tidak tampak kesulitan, meski sesekali keningnya berkerut juga. Perlahan, kedua sudut bibir Sola tertarik ke samping, membentuk sebuah senyum lembut. Gadis itu selalu menyukai sosok Reinhart yang sedang antusias kepada sesuatu. Sebab, pada saat seperti itulah, sang Pangeran bisa jujur terhadap dirinya sendiri. Bisa menampilkan ekspresi yang apa adanya, tanpa harus mempertimbangkan eksistensi di luar dirinya.

Ya. Kadang-kadang Sola ingin Pangeran Reinhart sesekali bersikap egois.

"Ah! Sola?"

Akhirnya Reinhart menyadari kehadiran pengawal pribadinya. Terlalu mendadak, hingga Sola nyaris gagal menyembunyikan kekagetannya. Ah, bukan. Lebih tepatnya rasa malu, karena detik sebelumnya gadis itu masih memerhatikan wajah Reinhart lekat-lekat. Dan sekarang ia cuma bisa mati-matian berharap bahwa tadi sang Pangeran tidak memergoki ulahnya.

"Pangeran ... kenapa belum bersiap-siap?" Sola berusaha mengalihkan perhatiannya sendiri, dengan menanyakan hal lain yang juga mengganggunya. Yaitu kenyataan bahwa Reinhart masih mengenakan pakaian santai yang sederhana.

"Bersiap-siap ... apanya?" sambil berkata begitu, Reinhart menutup buku yang dibacanya, lalu meletakkan benda itu di atas meja tepat di hadapannya. Masih dengan duduk bersandar santai.

"Apa maksud Pangeran?" Sola balik bertanya. "Sebentar lagi pesta dansa akan dimulai."

Ada jeda beberapa detik ketika Reinhart menatap Sola dalam diam.

"Aku harus ikut?" itulah yang akhirnya diucapkan sang Pangeran. "Bukankah aku sudah diminta untuk tetap tinggal di dalam kamar?"

Gantian Sola yang menatap Reinhart. Namun ekspresi pemuda itu sama sekali tak terbaca.

"Aku sudah membicarakannya dengan Komandan Klein," kata Sola kemudian. "Pesta dansa itu adalah acara resmi yang, tentu saja, harus dihadiri oleh semua anggota keluarga kerajaan. Lagipula, bukankah Pangeran harus memberikan keputusan penting di pesta nanti? Soal ... rencana pertunangan dengan putri tunggal Lord Flamewind. Pangeran tidak lupa, 'kan?"

"Mana mungkin aku lupa?" Kali ini Reinhart menegakkan tubuhnya, lalu bangkit dari kursi. "Baiklah kalau begitu. Aku akan bersiap-siap."


Bersambung ...

Luminos Rhapsody; Heidy S.C. 2016©


======================================================= 

Author's Corner


Halo, Teman-Teman~! \(^o^)

Sudah sampai Rhapsody 02 nih. Maaf kalau ceritanya masih terasa bergerak lambat. Dan lagi, ada Edgar di sini. Kalau dia muncul, selalu deh, bawaannya jadi nulis serius-serius gitu, hehehe ... Memperkenalkan 'pengawal pribadi' Edgar untuk pertama kalinya di bagian ini. Ya, Edgar juga punya pengawal pribadi, meskipun dia lebih suka menyebutnya 'asisten'.

Entah kenapa, rasanya aku membuat Reinhart jadi dark gitu yah di sini. Sebenarnya bukan begitu sih mauku, tapi bagus juga. XD *seenaknya*

Oke~! Teaser buat cerita selanjutnya ... "cuaca tenang sebelum badai". :3

Stay tune, everyone~!  >__<


Solo, 10 September 2016

Heidy S.C.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top