Rhapsody 01. Ulang Tahun Sang Putri


Parade!

Kemeriahan memenuhi kota yang telah bersolek sejak beberapa hari sebelumnya. Inilah Heliopolis nan megah, indah, gemerlap. Tiada bandingannya di seluruh negeri. Layaknya ibukota sebuah negara, merupakan kota metropolitan paling maju, sibuk, dengan jumlah penduduk serta perputaran uang terbesar dibandingkan tempat-tempat lain.

Kemudian, hari ini boleh jadi adalah hari tersibuk sepanjang tahun. Orang-orang membanjiri plaza dan jalanan kota. Semua berkumpul. Semua ingin melihat sosok yang sangat mereka cintai. Yang belum tentu bisa mereka lihat, kecuali ada kesempatan langka seperti ini.

Siapa lagi kalau bukan sang Putri Mahkota yang baru saja dinobatkan. Putri Lumina Kylie Lightroad, yang juga tengah merayakan hari ulang tahunnya yang ke-15. Pemilik kecantikan yang begitu murni di usia belia.

Laksana dewi yang turun dari kahyangan, dengan rambut panjang lurus sepinggang. Warna coklat keemasan nan indah berkilau di bawah sinar matahari. Berpadu sempurna dengan gaun panjang hijau lembut yang dikenakannya. Mewah dan elegan, ditambah tiara bertabur berlian di kepalanya. Namun, dibandingkan penampilan, yang lebih memikat hati orang-orang adalah senyumnya yang hangat. Juga sepasang mata beriris hijau cerah miliknya yang senantiasa menyorot teduh.

Sang Putri melambaikan tangan dari dalam kereta kuda yang bergerak pelan di tengah iring-iringan. Ia tampak antusias melihat lautan manusia di kanan-kiri jalan. Orang-orang melongokkan kepala hanya untuk bisa melihat dirinya, meskipun iring-iringan ini dijaga dengan sangat ketat.

Di kanan dan kiri keretanya, masing-masing ada satu orang anggota Kesatria Putih―prajurit elit Kerajaan Luminos―yang mengiringi dengan berkuda. Dan masih ada lagi yang tersebar di beberapa tempat untuk menjaga keselamatannya. Mereka semua adalah kesatria-kesatria pilihan yang dimiliki negeri ini. Belum lagi, para Prajurit Kerajaan yang ikut mengawalnya. Jumlah mereka sampai puluhan orang.

Terkadang, sang Putri berpikir bahwa pengawalan terhadap dirinya terlalu berlebihan. Namun, apa boleh buat, memang seperti itulah prosedurnya. Lagipula, saat ini ia lebih tertarik dengan hiruk-pikuk di luar Istana, yang sangat jarang bisa dilihatnya secara langsung.



Seorang pria muda tengah mengawasi iring-iringan Putri Mahkota, menggunakan sebuah teropong. Dia bernama Klein Arc. Jangkung, tegap, dengan setelan militer formal lengan panjang berwarna dominan putih. Memiliki rambut kelabu keperakan yang agak panjang dan dikucir rapi. Tanda-tanda kepangkatan yang tersemat di pakaiannya menunjukkan bahwa ia memiliki jabatan tinggi. Ditambah sebuah lencana istimewa yang terpasang di dada sebelah kiri. Ukurannya kecil saja, sekitar 3 x 4 sentimeter. Terbuat dari emas murni, berbentuk segiempat dengan emboss bergambar pedang dan perisai berlambang matahari.

Lencana milik Kesatria Putih.

Pemuda itu menurunkan teropongnya, memperlihatkan sepasang mata dengan iris keemasan yang menyorot tajam. Ia melepaskan tatapan jauh ke depan, dari tempatnya berdiri sekarang di dalam ruangan tertinggi di sebuah menara pengawas. Menara itu sendiri tidak terlalu besar, dengan dinding yang bercat putih. Tingginya sekitar 25 meter, dan merupakan satu dari empat menara pengawas yang mengelilingi Istana.

Hanya sekitar dua ratus meter lagi, rombongan sang Putri akan melewati menara ini. Kemudian, seratus meter kemudian akan mencapai gerbang Istana. Sangat pendek, bila dibandingkan dengan rute keseluruhan yang ditempuh iring-iringan sejak meninggalkan Istana, melewati jalan utama Heliopolis, kemudian berputar dan kembali lagi ke Istana. Meskipun begitu, bukan berarti bisa melonggarkan kewaspadaan. Yang dipertaruhkan di sini adalah keselamatan Putri Mahkota, penerus Kerajaan Luminos, yang juga mempunyai julukan Negeri Cahaya.

"Komandan."

Tiba-tiba Klein mendengar suara berat dan dalam, menyapanya. Iapun berbalik dan mendapati seseorang sudah berdiri di hadapannya. Padahal sejak tadi ia hanya sendirian di ruangan itu. Pria yang baru datang itu juga mengenakan seragam militer yang sama, termasuk lencana emas Kesatria Putih. Hanya saja tanda kepangkatannya setingkat lebih rendah.

"Kato," Klein menyebut nama orang yang berdiri di depannya. "Sejauh yang kulihat, tidak ada pergerakan apapun yang mencurigakan. Bagaimana denganmu?"

"Sama," Kato menjawab. "Situasi aman terkendali."

Tatapan mata Klein sempat menajam, sebelum akhirnya ia berkata, "Bagus. Tapi kita harus tetap waspada."

"Baik."

"Apa masih ada yang ingin kaulaporkan?"

Kato terdiam sejenak, sembari menentang tatapan komandannya yang baru berusia 27 tahun, hanya dua tahun lebih muda daripada dirinya.

"Ada suara-suara yang kudengar," katanya kemudian, tampak seperti tengah memilih kata-kata yang tepat. "Seperti yang sudah Anda duga, ketidakhadiran Pangeran Reinhart di dalam iring-iringan ... dipertanyakan."

"Dipertanyakan?" Klein mengerutkan kening, menatap dalam-dalam sepasang mata Kato yang memiliki iris coklat keemasan, serasi dengan rambut pendeknya yang berwarna coklat gelap. "Seperti apa tepatnya?"

"Kurasa, ini karena sebelumnya keikutsertaan Pangeran sudah diumumkan, sehingga banyak yang bertanya-tanya ketika akhirnya beliau tidak jadi ikut," sahut Kato. "Dan tahu-tahu ada rumor yang mengarah kepada ketidaksukaan Pangeran terhadap penobatan Putri Mahkota."

"Gosip murahan. Orang-orang tidak akan percaya begitu saja."

"Ya ... tapi Komandan juga tahu, bukan? 'Rumor kecil' semacam ini bisa sangat berbahaya di kemudian hari."

Sekali lagi, tatapan mata Klein menajam. "Sudah kautemukan dari mana sumbernya?"

"Sulit." Kato menggeleng. "Di tengah lautan manusia seperti hari ini."

"Waktu yang tepat sekali untuk mencoba menjatuhkan seseorang, ya ... " Klein mendengus samar. "Lanjutkan tugasmu. Dan jangan biarkan bahaya apa pun yang mungkin mengancam keluarga kerajaan."

"Siap!"



Angin bertiup lembut dari arah balkon, terus bergerak pelan ke dalam ruangan yang didominasi warna putih. Menyebarkan kesejukan ke setiap sudut dengan leluasa. Sebagian kecil darinya juga sempat membelai lembut satu-satunya manusia yang ada di tempat itu. Tepatnya seorang pemuda yang tertidur sambil bersandar nyaman di sebuah kursi, menghadap ke sebuah meja bundar kecil berukir yang seluruhnya terbuat dari kayu.

Pemuda itu masih remaja, mungkin sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun. Dia memiliki paras rupawan, antara tampan dan cantik, meskipun masih menyisakan sedikit kesan kekanakan di wajahnya. Rambutnya tebal, halus, lurus, serta dibiarkan agak panjang, tetapi tidak sampai menyentuh bahu. Dan warnanya sangat hitam. Kontras dengan pakaian resmi serba putih yang dikenakannya. Secara keseluruhan, penampilannya elegan, meskipun tidak terlalu mewah.

Masih dalam keadaan mata terpejam, pemuda itu menyaksikan kilasan-kilasan. Rangkaian kejadian-kejadian singkat yang bergulir dengan begitu cepatnya.

Dia melihat dirinya sendiri yang masih berusia tujuh tahun. Sangat bosan, di kelas Sihir Tingkat Dasar.

Dia melihat dirinya yang sudah sedikit lebih besar, sekitar sembilan tahun. Sedang berlatih sihir tingkat lanjut, sendirian. Seharusnya tidak boleh, karena terlalu berbahaya.

Kemudian ada teriakan-teriakan, kepanikan, kehancuran. Semua serba tidak jelas. Berpadu dengan suara tangisan anak kecil yang familier. Yang menimbulkan rasa sesak dan pedih di dalam hati tanpa bisa dicegah.

Dia melihat dirinya yang berusia sepuluh tahun. Melangkah ke area upacara ritual nan suci. Ritual Helios, untuk menentukan penerus tahta.

Perasaannya antara bersemangat, cemas, senang, takut, tegang. Merasakan cahaya yang memiliki kekuatan maha dahsyat. Mengayomi sekaligus menguasai. Menenangkan sekaligus menakutkan. Namun ia ingin merengkuhnya. Diraihnya cahaya kecil itu. Ia menggapai dan cahaya itu menjauh. Menjauh. Terus menjauh. Menolak dirinya.

Dia melihat area upacara ritual suci itu lagi. Kali ini bukan dirinya yang berdiri di sana, melainkan seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun yang memiliki rambut panjang coklat keemasan. Ia sendiri sudah berusia tiga belas tahun. Ada di barisan penonton.

Perasaannya kini lebih campur aduk daripada sebelumnya. Separuh dari dirinya berharap dengan tulus agar gadis itu berhasil mendapatkan cahaya yang dulu gagal diraihnya. Separuh dari dirinya yang lain berpikir sebaliknya, dan ia mengutuk dirinya sendiri untuk itu. Namun, sang gadis kecil berhasil. Cahaya itu mendekat kepadanya. Memilihnya.

Ah ... Begitu rupanya. Ini mimpi. Dia sedang melihat mimpi. Tidak, bukan. Ini adalah kepingan-kepingan ingatannya sendiri. Tetapi mengapa ... mengapa sekarang? Mengapa harus sekarang di antara semua hari yang ada?

Aku tidak ingin melihatnya. Tidak mau. Jika memang ini mimpi, maka ... seseorang, tolong bangunkan aku. Siapa saja!



" ... ran? ... Pangeran? Pangeran Reinhart?"

Pemuda itu mendengar panggilan sayup yang terdengar semakin jelas. Kemudian ia membuka mata, memperlihatkan iris berwarna hijau. Hal pertama yang dilihatnya adalah wajah cemas seorang gadis manis yang tengah berdiri di dekatnya. Yang jelas bukan gadis biasa, ditilik dari pakaian ala kesatria dengan paduan warna merah dan kuning gading yang dikenakannya.

"Pangeran baik-baik saja?" gadis berambut pendek merah gelap itu bertanya, ketika sang pemuda tak kunjung bicara.

"Sola?" akhirnya Pangeran Reinhart―pemuda rupawan itu―mengucapkan sesuatu. Nama gadis tadi. "Apa sudah waktunya aku keluar?"

"Posisi Putri Lumina sekarang sekitar tiga ratus meter dari gerbang Istana. Karena iring-iringannya berjalan lambat, sepertinya masih cukup lama sampai tiba di sini," jawab Sola. Sejak tadi matanya tak lepas menatap Reinhart yang kini sedang meregangkan tubuhnya sejenak.

"Kurasa tidak apa-apa kalau Pangeran istirahat sebentar lagi," tambah gadis itu.

"Tidak perlu. Kita sudah membatalkan keikutsertaanku di dalam parade. Apa kata orang nanti kalau aku juga terlambat menyambut adikku."

Reinhart tersenyum tipis, kemudian bangkit dari kursinya. Sejenak, pandangannya bertemu dengan Sola. Sama seperti yang sudah-sudah, ia selalu menemukan kedamaian setiap kali menyelami sepasang bola mata beriris biru kehijauan yang memiliki sorot sedalam samudra itu.

"Tunggulah di sini," kata Reinhart kemudian. "Aku akan cuci muka sebentar."

"Baik."



Sola masih berdiri mematung di posisinya semula, hingga semenit berlalu sejak Reinhart meninggalkan tempat itu. Ia tidak bisa melupakan wajah lembut sang Pangeran yang beberapa saat lalu tersenyum kepadanya, menatap matanya. Hanya mengingatnya saja, sudah cukup untuk membuat dada Sola berdesir, dan jantungnya berdetak lebih cepat. Gadis itu juga menyadari pipinya yang menghangat. Pasti merah!

Plek. Plek.

Sola menepuk-nepuk kedua pipinya, lalu menggeleng keras-keras.

"Tidak, tidak. Apa yang kaupikirkan, Sola Forte? Kau ini sedang bertugas!" marahnya pada diri sendiri.

Benar. Bahkan keberadaannya hari ini, detik ini, di dalam bilik pribadi Pangeran Reinhart, adalah untuk menunaikan tugas negara. Dirinya yang hanya anak angkat keluarga Forte, bisa masuk ke dalam satuan elit Kesatria Putih, adalah sebuah keberuntungan luar biasa. Bahkan kemudian sampai direkomendasikan oleh Komandan Kesatria Putih sendiri, Klein Arc, untuk menjadi pengawal pribadi Pangeran.

Memang ada suara-suara sumbang, hanya karena keluarga Forte masih kerabat dekat keluarga Arc. Apalagi Sola seorang wanita, dan usianya masih sangat muda. Sekarang pun, ia baru sembilan belas tahun, hanya setahun lebih tua daripada Pangeran. Namun, Klein berkali-kali meyakinkannya, bahwa dia telah dipilih karena kemampuannya, bukan karena hal lain.

Akan tetapi, tetap saja ... berada begitu dekat dengan sang Pangeran, setiap hari, hampir setiap saat, bukanlah hal yang mudah bagi gadis muda seperti dirinya.

Reinhart Kyle Lightroad, adalah putra pertama Raja dan Ratu negeri ini. Baik, ramah, cerdas, berbakat, tampan. Pendeknya, sang Pangeran punya segalanya untuk menaklukkan lawan jenis. Ya. Wanita mana yang tidak akan jatuh hati padanya? Namun, Sola tahu diri. Dia adalah pengawal pribadi Pangeran. Tidak kurang dan tidak lebih.

Apa kata orang nanti kalau aku juga terlambat menyambut adikku.

Tiba-tiba ucapan Reinhart terngiang di benak Sola. Sebenarnya, gadis itu ingin sekali mengatakan bahwa itu tidak apa-apa, karena sejak kemarin kondisi tubuh sang Pangeran memang sedang tidak begitu sehat. Namun Sola mengurungkan niatnya. Ia merasa, suasana hati Reinhart hari ini juga tidak terlalu baik. Kata-kata semacam itu hanya akan memperburuk keadaan.

Sola menghela napas dalam-dalam. Antara sadar dan tidak, ia akhirnya duduk di kursi yang tadi diduduki Reinhart. Iapun mengedarkan pandang ke kamar bergaya minimalis dan tertata rapi. Tempat itu didominasi warna putih, berpadu dengan sedikit warna-warna lain. Semuanya warna-warna pastel yang lembut. Cerah.

Pangeran sendiri terlihat sering mengenakan pakaian berwarna putih atau warna gading. Sola ingat, Putri Lumina pernah mengatakan bahwa sang Pangeran cocok dengan kedua warna itu. Warna Luminos, katanya. Padahal Sola tahu, Pangeran Reinhart sebenarnya menyukai warna-warna yang lebih gelap. Hijau tua, biru tua, atau hitam. Sola pun merasa warna-warna semacam itu akan lebih cocok. Meskipun begitu, sang Pangeran selalu memilih apa yang disukai orang lain daripada yang disukainya sendiri. Sampai sekarang pun, Sola tidak mengerti mengapa begitu.



Reinhart kembali ke kamarnya dan melihat Sola masih berdiri di tempat yang sama seperti sebelumnya. Jangan-jangan gadis itu tidak bergerak dari sana, pikirnya.

"Pangeran," Sola berkata sambil tersenyum lembut, ketika Reinhart menghampirinya. "Apa semua baik-baik saja?"

Alis Reinhart terangkat sejenak. Ia sadar sudah terlalu lama berada di kamar kecil. Sebenarnya memang tidak ada apa-apa. Seusai mencuci muka, bahkan mengeringkannya dengan handuk, ia hanya terdiam di depan wastafel. Menatap bayangannya sendiri di cermin, dan menyadari betapa kacau dirinya. Ia tak menyukai pemikiran yang mendadak muncul, bahwa mungkin penobatan Putri Mahkota itu memang mengganggunya.

Jadilah, Reinhart menghabiskan banyak waktu untuk mencoba memperbaiki suasana hatinya. Bukan hal mudah. Namun, kemudian ada satu hal yang terlintas, dan mampu menenangkannya. Hanya sebuah senyuman, milik seseorang yang selama ini selalu ada di sisinya.

Sola.

"Ya," akhirnya Reinhart menjawab pertanyaan pengawal pribadinya itu, sembari balas tersenyum tipis. "Maaf, tadi aku terlalu lama―"

SET.

Tiba-tiba Sola menyodorkan sesuatu ke hadapan Reinhart, sehingga ucapan pemuda itu terputus. Semacam kain hitam yang masih terlipat rapi. Reinhart mengenali benda itu sebagai jubah sutra miliknya.

"Apa?" Reinhart bertanya spontan sembari menatap Sola.

"Ini cocok dengan pakaian Pangeran," sahut Sola. "Pasti kelihatan keren."

"Jangan," Reinhart menyahut spontan. "Terlalu mewah. Tidak baik 'kan, kalau aku kelihatan terlalu menyolok. Yang seharusnya menjadi pusat perhatian hari ini adalah Lu―"

"Pangeran terlalu banyak berpikir!" potong Sola. "Aku yakin, Putri akan senang kalau kakaknya terlihat gagah dan elegan."

Tanpa menunggu persetujuan lagi, Sola bergerak mendekat dan mulai memasangkan jubah itu kepada Reinhart.

"Hey!" Reinhart berseru memprotes, tetapi Sola mengabaikannya.

Dalam waktu singkat, jubah hitam itu sudah terpasang rapi. Sesuai ucapan Reinhart, secara keseluruhan penampilannya jadi terlihat lebih mewah. Apalagi jubah itu memiliki pengait yang terbuat dari emas putih. Belum lagi aksesoris tambahan berupa rantai kecil-kecil bersusun tiga yang menghubungkan pengait di bahu kanan dengan pengait di bahu kiri. Juga berbahan emas putih.

Reinhart menghela napas pelan ketika melihat bayangan dirinya di cermin.

"Benar, 'kan?" ucapnya kemudian sembari melemparkan pandangan menuntut kepada Sola.

"Iya, benar." Sola tersenyum simpul. "Pangeran terlihat luar biasa."

"Kau ini―!"

"Ayo, berangkat!" sekali lagi Sola memotong ucapan Reinhart. "Semua sudah menunggu Pangeran."



Kereta Putri Mahkota berhenti di halaman Istana yang hijau dan sangat luas. Ketika pintu kereta terbuka, Putri Lumina turun bersama seorang gadis muda yang sejak tadi menemaninya. Gadis itu adalah Magi Kerajaan yang telah ditugaskan untuk mendampingi Lumina sejak sang Putri masih berusia tujuh tahun. Lydia Purewater, itu namanya.

Dalam waktu singkat, Putri Lumina telah memasuki Istana. Ia langsung disambut oleh orangtua dan kakaknya yang sudah menunggu di aula depan, bersama beberapa Ksatria.

"Bagaimana perjalananmu, putriku?" tanya sang Raja sambil memeluk Lumina yang mendekat padanya. Pria berusia 45 tahun itu memiliki ciri-ciri kemiripan yang sangat jelas dengan Lumina. Termasuk warna bola matanya, juga warna rambut ikalnya yang panjang hingga menyentuh bahu.

"Sangat luar biasa, Ayahanda," jawab Lumina. "Dan aku juga melihat banyak hal."

Sang Putri tidak menjelaskan maksud ucapannya lebih lanjut. Detik berikutnya ia sudah beralih memeluk sang Ratu, yang hari ini tampil sangat anggun dengan gaun biru muda kehijauan. Rambut hitamnya yang panjang tersanggul rapi, dan sebuah tiara emas bertabur berlian terpasang di kepalanya. Sang Ratu tampak begitu serasi bersanding dengan Raja yang berdiri gagah di sampingnya, dengan pakaian formal serba putih, ditambah jubah hijau tua dan -tentu saja- mahkota raja dari emas yang dihiasi beberapa jenis batu permata.

"Semoga kau selalu diberkati, Nak," sang Ratu berkata dengan hangat sembari melepaskan pelukannya. Kedua bola matanya yang memiliki warna iris hitam sekelam malam, menatap Putri Lumina dengan penuh kasih sayang.

"Doa Ibunda akan selalu menguatkanku," balas sang Putri dengan senyum cerah menghias bibirnya.

Kemudian, Putri Lumina bergeser lagi hingga berdiri di hadapan kakak lelaki satu-satunya, Pangeran Reinhart. Jika Lumina sering disebut mirip dengan ayahandanya, maka sang kakak lebih mirip dengan ibunda mereka. Warna rambutnya yang sangat hitam, juga ketampanannya itu, menurun dari sang Ratu. Hanya saja, ia memiliki warna iris mata yang sama dengan Lumina dan sang Raja. Warna hijau yang cemerlang, sama seperti hampir semua keturunan keluarga Lightroad.

"Kakak!" Lumina langsung memeluk kakaknya, sebelum pemuda itu sempat bicara apa-apa.

Reinhart tersenyum spontan dan balas memeluk adiknya, lalu berkata, "Sepertinya hari ini kau bersenang-senang, Lu."

"Sangat!" Lumina menyahut antusias. Ia lalu melepas pelukannya dan menatap Reinhart dengan mata jernih. "Di kota sangat ramai! Ah, sayang sekali Kakak tidak bisa ikut."

Sampai di situ, Lumina tiba-tiba terdiam. Sorot matanya kini diwarnai kecemasan.

"Apa Kakak masih sakit?" tanyanya. "Kalau masih, istirahat saja. Tidak usah memaksakan diri."

"Aku tidak apa-apa," sahut Reinhart sembari mengelus puncak kepala adiknya sejenak.

"Sungguh?"

Anggukan Reinhart membuat Lumina lega. Namun kemudian, perhatiannya tersita oleh hal lain.

"Omong-omong, hari ini Kakak kelihatan hebat!" puji Lumina setelah memandangi Reinhart dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Pakaian dan jubahnya cocok sekali. Pasti bukan Kakak yang memilih, iya 'kan?"

Reinhart tertawa kecil. "Ini semua berkat Sola."

Kali ini Lumina beralih memandang Sola yang berdiri beberapa langkah di belakang Reinhart, bersama barisan para Ksatria.

"Kerja bagus, Sola," Lumina berkata, yang dibalas Sola dengan satu anggukan penuh hormat.

Sementara itu, sang Raja beranjak mendekati putra-putrinya. Kemudian berkata, "Putriku, pesta ulang tahunmu sudah disiapkan. Sesuai keinginanmu, di Taman Istana."

"Ayo, kita segera ke sana," sambung Ratu. "Para tamu undangan sudah menunggu."



" ... Pada hari ini, negeri kita tercinta, Kerajaan Luminos, tengah berbahagia karena Putri Mahkota telah dinobatkan. Dan sang Putri Mahkota, Putri Lumina Kylie Lightroad, putri tunggal dari Yang Mulia Raja Rheiner Ignis Lightroad dan Yang Mulia Ratu Auriella Rosa Lightroad, juga tengah berbahagia merayakan ulang tahunnya yang ke-15.

"Tentu saja, itu juga merupakan kebahagiaan kita bersama. Semoga di usianya yang semakin beranjak dewasa, sang Putri selalu diberkati dengan kesehatan, kebahagiaan, serta kebijaksanaan. Untuk dapat membawa negeri ini menuju kejayaan dan kemakmuran di masa yang akan datang. Terima kasih."

Para tamu undangan yang hadir di Taman Istana, kompak bertepuk tangan. Yang bicara barusan adalah Edgar Flamewind, mewakili Dewan Kerajaan. Ia putra pertama keluarga Flamewind, yang merupakan keluarga bangsawan paling berpengaruh dalam Dewan Kerajaan Luminos. Usianya saat ini baru 24 tahun, tetapi ia sudah masuk ke dalam Dewan Kerajaan sejak tiga tahun lalu, dan belakangan ini sangat aktif dalam kancah perpolitikan. Bahkan nyaris melebihi ayahnya sendiri, Lord Edward Flamewind, yang saat ini menjabat sebagai Pimpinan Tertinggi Dewan Kerajaan.

Pesta terus bergulir, yang intinya adalah ramah tamah dan jamuan makan. Pada momen seperti ini juga, banyak tokoh penting berkumpul. Bisa bertemu dan membicarakan banyak hal. Sesungguhnya, pesta seperti ini lebih penting daripada kelihatannya. Meskipun sang Putri sendiri mau tidak mau merasa bosan. Ia baru kembali antusias menjelang makan siang. Tepatnya pada saat acara pembukaan kado.

Semua hadiah untuk sang Putri sudah dikumpulkan dan diletakkan di atas meja besar. Meja itu sendiri berada di tengah-tengah taman. Tentu saja, gunungan kado sebanyak itu tidak akan dibuka semua saat ini juga. Hanya kado dari Raja, Ratu, Pangeran, serta beberapa kepala keluarga bangsawan yang berpengaruh, termasuk keluarga Flamewind.

Yang pertama, seorang pelayan wanita membawakan kado dari sang Raja. Terbungkus rapi di dalam wadah kecil yang bisa diletakkan dalam genggaman tangan. Sebuah bros yang sangat indah, terbuat dari emas putih dengan hiasan batu permata hijau. Sang Putri langsung memakai bros itu, karena kebetulan serasi dengan warna gaunnya.

Kado kedua dari sang Ratu. Wadahnya beberapa kali lebih besar daripada kado pemberian Raja. Setelah dibuka, ternyata berisi syal rajutan. Warnanya hijau lembut, warna kesukaan sang Putri. Yang membuatnya istimewa, adalah karena syal itu dibuat oleh tangan sang Ratu sendiri.

Kemudian, tiba giliran Reinhart. Pemuda itu menerima bungkusan kado yang dibawakan oleh pelayan, lalu menyerahkannya kepada Lumina. Sang Putri tampak antusias, tak sabar ingin segera membuka hadiah dari kakaknya. Namun, sebelum ia sempat melakukan itu, tiba-tiba seseorang menyeruak masuk dari kerumunan tamu undangan.

Sosok pria muda, tinggi, tampak gagah dalam balutan seragam militer khas Kesatria Putih, menghampiri Lumina dalam langkah tegap. Seluruh perhatian terenggut olehnya. Setiap pasang mata menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya. Apalagi, semua yang hadir di tempat itu mengenalnya sebagai Kato Iceheart, Wakil Komandan Kesatria Putih.

"Yang Mulia." Kato langsung membungkuk hormat begitu tiba di hadapan sang Putri. "Maaf, bisa tolong serahkan benda di tangan Yang Mulia sekarang juga?"

"Eh?" Reaksi pertama Lumina adalah kaget. Sama seperti semua orang di tempat itu. "Kenapa?"

"Penjelasannya nanti saja, tidak ada waktu lagi!" sahut Kato, sedikit mendesak.

Melihat ekspresi Kato yang begitu serius, Luminapun menyerahkan kado itu tanpa bertanya lagi. Kato segera membukanya, dan terlihat sedikit tegang ketika melihat isinya. Tanpa bicara sepatah kata pun, ia lalu melemparkan kotak kado itu beserta isinya, setinggi mungkin ke langit. Kemudian, sembari berkonsentrasi memandang kotak itu, ia mengarahkan telapak tangan kanannya lurus-lurus ke angkasa. Tepat ke arah benda itu kini berada.

"Venta!"

Yang diserukan oleh Kato barusan adalah mantra sihir angin paling dasar. Seketika itu juga, sejajar di depan telapak tangan kanannya, muncullah lingkaran cahaya berwarna hijau dengan motif tertentu di dalamnya. Ukurannya hanya sedikit lebih besar daripada telapak tangan orang dewasa. Lingkaran sihir untuk elemen angin. Dengan sihir ini, Kato menciptakan pusaran angin kecil di sekitar kotak kado itu, lalu membawanya agar semakin membubung tinggi ke langit yang saat ini cerah.

Tak seorang pun mengerti apa yang sedang dilakukan oleh Kato. Kegelisahan mulai menyelimuti taman yang tadinya ceria. Dan ketika semua orang masih diliputi tanya, hal itu terjadi. Guncangan luar biasa yang sanggup menghancurkan kebahagiaan hari ini.

Ledakan!

Ya. Sebuah ledakan yang cukup besar. Asalnya dari kado yang telah dibuang jauh-jauh ke angkasa oleh Kato. Sedetik sebelum ledakan terjadi, sebenarnya ada seseorang yang masih sempat merapal mantra Shield. Medan energi pelindung tercipta mencakup seluruh area taman, sehingga ledakan itu takkan melukai siapapun. Lagipula, sihir angin Kato sudah membawa sumber ledakan 'terbang' cukup jauh. Namun, seisi taman tetap ketakutan. Panik. Jeritan-jeritan ngeri tetap terdengar dari kerumunan tamu undangan yang kocar-kacir, berlarian menyelamatkan diri.

Di tengah-tengah suasana kacau itu, Reinhart berdiri tegak. Masih menatap langit, bekas tempat ledakan terjadi. Ia menggeretakkan rahang dengan tatapan mata sempat berkaca-kaca, kemudian menajam. Kedua tangannya pun terkepal erat. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa. Begitu pula saat ia menyadari para Kesatria Putih telah bergerak. Tepatnya, empat orang kesatria kini mengambil posisi mengepung dirinya dari empat penjuru angin!


Bersambung ...

Luminos Rhapsody; Heidy S.C. 2016©


=========================================================  

Author's Corner


Halo, jumpa lagi dengan Heidy di sini~! \(^o^)/

Akhirnya kisah di Kerajaan Luminos yang damai telah mulai bergerak. Yah, jadinya enggak terlalu damai lagi, sih. Hmmm ... dibandingkan Luminos Rhapsody versi lama, bagian awal inilah yang paling banyak kuubah. Termasuk chapter (atau yang di sini kusebut dengan istilah 'Rhapsody') ini, yang tidak ada di versi yang dulu. So, this is real fresh~! He he he ... ^_^

Bagian ini masih banyak pengenalan para tokoh (tapi belum mendalam). Segala sesuatu yang masih menimbulkan tanya akan dijelaskan pelan-pelan, supaya enggak terlalu 'penuh'.

Okay, then! Terima kasih buat teman-teman yang sudah sudi mampir ke dunia kecilku ini. Berikutnya, apabila tiada aral merintang, Luminos Rhapsody akan update setiap hari Sabtu kedua dan keempat perbulannya. Segala kritik, saran, unek-unek, atau apa ajalah yang terbersit setelah baca kisah ini, akan diterima dengan senang hati. Yang mau sekedar ngobrol-ngobrol, fangirling-an atau fanboyish-an juga silakaaan~! :3

Have a nice day~! ^_^


Surakarta, 27 Agustus 2016

Heidy S.C.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top