Rhapsody 00. Matahari Negeri Cahaya
Pada zaman dahulu kala, di tanah ini, di bumi ini, terlahir kekuatan dahsyat yang tiada bandingannya. Tujuh kekuatan, mewakili tujuh elemen alam: air, api, angin, tanah, petir, cahaya, dan kegelapan. Sihir pertama yang paling murni. Tak tersentuh. Mengambil wujudnya dalam bentuk tujuh batu sihir, yang dikenal sebagai Orb Awal Mula.
Kemudian, ketujuh Orb menyebar ke seluruh dunia, sehingga setiap jengkal bumi terjaga dalam keseimbangan. Tersembunyi. Dalam rengkuhan pertiwi. Dalam tabir rimba. Dalam dasarnya samudra. Di sudut-sudut bumi yang tak terpikirkan. Melewati masa demi masa, tanpa pernah terlacak. Tiada terjamah tangan manusia.
Waktu berlalu, era berganti. Planet berubah. Pun orang-orang berubah. Tanah ini telah berbagi kekuatan dengan setiap Orb. Sebuah negeri menerima pengaruh dari satu Orb, dan sebuah negeri lagi menerima kekuatan dari Orb yang lain. Manusia mulai mengenal sesuatu yang disebut "sihir". Mempelajarinya, mengembangkannya, memanfaatkannya, hingga saat ini. Namun, keberadaan Orb Awal Mula tetaplah sebuah misteri.
Pria muda berkacamata itu berhenti membacakan buku tebal di tangannya yang berjudul Sihir Tingkat Dasar. Dari tempatnya berdiri di depan kelas, ia bisa melihat dengan jelas hingga ke setiap sudut ruangan ini. Kelas ini, tempatnya mengajar saat ini, terbilang luas dengan jumlah murid hanya belasan anak. Bukan sembarang kelas, jika dilihat dari interiornya yang megah, meja, kursi, dan lemari yang terbilang mewah, juga koleksi buku-buku pelajaran yang berjajar lengkap di rak. Dan tentu saja, murid-muridnya yang rata-rata berusia tujuh tahun, adalah anak-anak istimewa. Dari putra-putri bangsawan, petinggi militer, Magi Kerajaan, hingga pejabat-pejabat tinggi negeri ini.
Adalah satu anak yang paling istimewa. Reinhart namanya. Untuk kesekian kalinya, pria muda yang mengajar kelas ini melihat anak itu melepaskan pandang jauh keluar jendela. Seperti biasa, anak itu selalu duduk di deretan terdepan paling tepi. Tepat di samping jendela.
Sang pria muda menghela napas, lalu meletakkan bukunya di atas meja guru. Ia sangat menyadari pentingnya posisi anak itu dibandingkan anak manapun yang pernah menjadi muridnya. Namun sebagai seorang guru, sudah kewajibannya untuk menegur murid yang melanggar tata-tertib. Meskipun murid itu adalah Reinhart Kyle Lightroad, satu-satunya pangeran negeri ini!
"Pangeran?" sang guru memanggil, begitu sudah berdiri di depan meja anak itu. Namun, yang bersangkutan tidak bereaksi. Tatapannya masih menerawang jauh ke luar kelas melalui jendela kaca yang setengah terbuka. Sang gurupun mengikuti arah pandang Reinhart. Di seberang bangunan ruang kelas ini, yang masih berada di dalam kompleks Istana, tampak beberapa Magi muda yang tengah melatih sihir mereka.
'Oh ... jadi itu yang menarik perhatian Pangeran?' pikir sang guru.
Sebelum menjadi seorang guru, ia juga pernah menjadi murid. Tentu saja, ia sangat mengerti antusiasme seorang murid yang ingin segera praktek. Akan tetapi, pelanggaran disiplin tetap tidak boleh dibiarkan. Apalagi jika seorang guru sampai mengistimewakan seorang murid, untuk alasan apa pun. Itu akan menciptakan kesan yang tidak baik bagi murid-murid lain.
Berpikir begitu, sang pria muda berlutut untuk menyejajarkan tinggi badannya dengan batas pandangan Reinhart. Setelah itu, ia mengetuk pelan punggung tangan Reinhart dengan jemari tangan kanannya.
"Pangeran Reinhart?" sekali lagi ia memanggil.
Kali ini sang Pangeran tersentak pelan, lalu menoleh. Ia terkejut melihat sang guru tiba-tiba sudah ada di dekatnya. Reaksi pertamanya adalah tersenyum dengan ekspresi malu-malu. Sungguh, Pangeran Reinhart benar-benar rupawan, meski di usianya yang masih kanak-kanak. Bahkan hati sang gurupun sontak tertawan, hanya dengan satu senyuman polos yang menggemaskan itu.
"Magi Kerajaan, ya?" katanya lagi, sembari mengarahkan pandang keluar jendela. "Hebat ya, mereka?"
Sang guru kembali memandang Reinhart. Anak itu dengan cepat mengangguk.
"Apa Pangeran suka pelajaran di kelas kita?"
"Suka sekali."
"Hmmm ... Pangeran juga ingin menjadi Magi?" Kali ini, pertanyaan sang guru membuat antusiasme yang memancar di wajah Reinhart, berubah menjadi mendung.
"Memangnya bisa, jadi Pangeran sekaligus Magi?"
Gantian sang guru yang tercenung. Anak sekecil itu ternyata sudah mengerti posisinya sebagai anggota keluarga kerajaan.
"Iya, ya ... Kalau Magi Kerajaan, mungkin tidak bisa." Sesuai dugaan guru muda itu, ucapannya memancing raut kecewa sang Pangeran.
"Tapi Pangeran tetap bisa menjadi Magi yang hebat." Kata-kata yang sontak kembali menarik perhatian Reinhart. "Bukankah paman Pangeran, Lord Alfa, adalah Magi yang sangat hebat?"
"Iya, pamanku sangat keren!" ujar Reinhart sambil tersenyum cerah.
Sang guru ikut tersenyum, lalu berdiri. Kali ini mengarahkan pandangan ke seluruh kelas.
"Siapa di kelas ini yang ingin menjadi Magi?" tiba-tiba guru muda itu melontarkan pertanyaan.
Satu-dua anak mengangkat tangan dengan cepat, sambil berseru penuh semangat, "Aku! Aku!"
"Wah, Pak Guru sangat senang kalian bersemangat seperti ini. Kalau begitu, kalian semua harus lebih fokus pada pelajaran kita, oke?"
"Iya, Pak Guru!" para murid berseru kompak seperti paduan suara.
"Dan Pangeran?" Guru itu menoleh ke arah Reinhart sekali lagi. "Mungkin pelajaran dasar memang membosankan, tetapi sangat penting untuk dipelajari. Jadi ... Pangeran bisa 'kan, fokus ke kelas kita?"
"Iya, Pak Guru Dante. Maafkan aku," Pangeran Reinhart berkata sambil menunduk. Namun, detik berikutnya, anak itu sudah mengangkat wajahnya lagi, bahkan berani menentang tatapan gurunya yang memiliki iris mata hijau gelap. "Tapi aku mendengarkan, kok!"
Dante Gravenor―nama guru muda itu―mengangkat sebelah alisnya. Pikirannya mengatakan bahwa itu hanyalah pembelaan diri. Jelas-jelas ia melihat perhatian Reinhart tersita oleh kejadian menarik di luar jendela. Dan bukan hanya sekali ini saja ia memergoki Reinhart berperilaku demikian. Namun, nalurinya sebagai seorang guru mengingatkan agar jangan semudah itu mencap seorang anak sebagai 'pembohong'.
"Benarkah?" kata Dante kemudian. Diputuskannya untuk sedikit mengetes muridnya yang satu itu. "Kalau begitu ... coba Pangeran sebutkan nama-nama ketujuh Orb Awal Mula."
Sang Pangeran kecil menatap Dante dengan bola matanya yang hijau cemerlang. Lama, ia tidak bicara apa-apa, tetapi jelas sekali sorot matanya penuh pertanyaan. Dia bingung, begitu pikir Dante.
"Tadi 'kan Pak Guru belum menjelaskan sampai di situ," akhirnya Reinhart berkata.
Dante agak terkejut dengan jawaban muridnya. Sebab itu berarti Reinhart memang benar-benar mendengarkan pelajarannya.
"Tapi tidak apa-apa, aku bisa menjawabnya," kalimat Reinhart berikutnya semakin mengejutkan sang guru. "Orb Awal Mula menyimpan kekuatan sihir yang sangat besar, sesuai dengan elemen-elemen alam. Ada Flame Ruby, yang berkekuatan api. Drop Aquamarine dengan kekuatan elemen air. Lalu, elemen angin, Wind Sapphire. Elemen tanah, Earth Emerald. Elemen Petir, Spark Diamond. Elemen kegelapan, Dark Albatross. Dan elemen cahaya, Holy Albireon, yang konon ada di negeri kita, Kerajaan Luminos."
Angin semilir menyusup masuk dari jendela, bergerak pelan membelai rambut pendek hitam Reinhart yang terlihat begitu lembut. Sementara Dante menatap anak itu, setengah takjub. Jawaban Reinhart tadi begitu runtut, sesuai urutan yang tertulis di buku.
"Pak Guru Dante," Reinhart berkata lagi. "Katanya Holy Albireon terbagi dua, lalu menjadi Helios dan Lunar yang sekarang dijaga oleh Keluarga Kerajaan. Apa itu benar?"
Dante kembali dibuat takjub oleh kenyataan bahwa ternyata sang Pangeran sudah tahu sejauh itu. Namun ia segera menguasai diri dan menjawab, "Itu benar sekali, Pangeran."
"Kenapa?" Reinhart bertanya spontan. "Padahal Orb Awal Mula lain tidak ada yang begitu."
Dante terdiam sejenak. Ia tidak mengantisipasi akan ada muridnya yang bertanya seperti itu. Tidak hari ini. Guru muda itupun bangkit, lalu kembali ke tempatnya semula, berdiri di depan kelas.
"Ada yang bisa menjawab?" akhirnya Dante melontarkan pertanyaan itu. Sesuai perkiraannya, tidak ada yang mengangkat tangan untuk menjawab. Seharusnya, pokok bahasan ini masih beberapa bab ke depan. Namun, mayoritas anak didiknya di kelas ini memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Meskipun mungkin tidak sekritis Reinhart. Dante berpikir, tidak apa-apa sedikit membahas soal itu sekarang.
"Sampai sekarang, belum ada yang bisa menjawab pertanyaan itu dengan pasti," kata Dante lagi. "Ada beberapa teori. Salah satunya, yang paling populer, disebutkan bahwa di antara semua Orb Awal Mula, ada dua yang kekuatannya paling besar, sekaligus tidak stabil. Yaitu cahaya dan kegelapan. Karena itulah, Holy Albireon terpecah menjadi dua bagian, yaitu Helios dan Lunar, yang menjadi pusaka kerajaan kita sampai sekarang."
Jelas sekali, penjelasan itu membuat seisi kelas antusias. Dan ini sangat menggembirakan bagi Dante. Sempat pula, ia melihat sang Pangeran tampak tidak puas dengan jawabannya. Namun Dante hanya tersenyum tipis, memutuskan untuk membiarkannya dulu. Yang penting sekarang adalah mengembalikan pokok bahasan kelas ini ke materi semula.
"Akan tetapi, seperti yang sedang kita bahas tadi, keberadaan maupun segala sesuatu tentang Orb Awal Mula, masih merupakan misteri."
"Jadi ... sekarang kau bingung dengan perkembangan pelajaran Reinhart?" wanita anggun itu berkata―dan sempat tertawa kecil―ketika Dante mengutarakan kegalauannya.
Dante mengangguk hormat kepada sosok elegan yang duduk berhadapan dengannya di beranda Paviliun Ratu. Di antara mereka masih ada meja marmer kecil berbentuk bundar. Namun, Dante tetap merasa gugup. Betapa tidak? Yang ada di hadapannya adalah Ratu negeri ini, istri dari sang Raja, ibu dari Pangeran Reinhart dan Putri Lumina yang sekarang berusia empat tahun.
"Yang Mulia Ratu," pria muda berambut panjang coklat kemerahan yang diikat longgar itu, berkata, "Pangeran adalah anak yang istimewa. Jika harus mengikuti kecepatan belajar anak-anak lain, Pangeran akan bosan. Tapi, jika kita ingin memberikan materi yang sesuai ... artinya Pangeran harus belajar sendirian di bawah bimbingan seorang guru khusus."
"Aku paham maksudmu." Sang Ratu tersenyum lembut. "Kalau begitu, tanyakan saja langsung kepada Reinhart, apa yang diinginkannya."
"Eh?"
"Reinhart yang akan menjalaninya, bukan kau atau aku. Atau ayahnya. Atau siapa pun."
"... Itu memang benar, tapi ... apakah Pangeran tidak terlalu kecil untuk mengambil keputusan sepenting itu sendiri?"
"Bukankah kau tidak menganggap Reinhart terlalu kecil untuk diberi materi pelajaran yang melebihi tingkatan kelasnya?"
Kali ini, pertanyaan sang Ratu membuat Dante terdiam.
"Yang Mulia Ratu memang benar," kata Dante akhirnya. "Kalau begitu, saya mohon izin untuk bicara langsung dengan Pangeran."
Dante melangkahkan kaki di sepanjang koridor istana, melewati pilar-pilar besar di kanan dan kirinya. Mendadak ia teringat ketika pertama kali menginjakkan kaki di Istana megah ini, sebagai salah satu orang yang beruntung terpilih menjadi Magi Kerajaan. Saat itu ia begitu terpesona pada tempat ini. Istana Pijar Mentari. Bukan hanya karena bangunannya yang luar biasa indah, tetapi juga aura magis yang seolah meliputi setiap bagiannya. Bukan dalam artian menakutkan. Sebaliknya, justru sangat menenangkan. Kastil pualam yang terlindung oleh kehijauan. Kuat sekaligus nyaman.
"Tuan Dante, awas!"
Membiarkan pikirannya mengembara, Dante nyaris tidak sadar sudah sampai di tempat yang ditujunya, Taman Istana nan hijau. Yang menyambutnya di sana adalah seruan panik seorang pelayan wanita, dan sesuatu yang tengah memelesat cepat ke arahnya.
"Shield!"
Refleks Dante lebih cepat daripada pikirannya yang masih bertanya-tanya apa yang sedang mendatanginya itu. Lebih cepat daripada helaan napas, telapak tangan kanannya sudah terarah lurus ke depan, sementara ia merapal satu kata yang merupakan sebuah mantra sihir. Tepatnya sebuah sihir perlindungan paling dasar, di mana ia mengendalikan energi untuk menciptakan perisai kasat mata di depan tubuhnya.
Apapun yang tadi mendatangi Dante, tertahan oleh perisai energi itu, lalu jatuh ke rerumputan. Lebih tepatnya, tertumpah.
"Air?" gumam Dante sembari melepaskan perisainya.
"Pak Guru Dante!"
Dante sangat mengenali suara yang memanggilnya itu sebagai suara Pangeran Reinhart. Dilihatnya anak itu sedang berlari ke arahnya dari bagian taman yang berupa tanah lapang dan seluruhnya tertutup rumput yang terawat dengan baik. Tampak pula dua orang pelayan wanita yang mengikuti langkah Sang Pangeran.
"Tuan Dante! Anda baik-baik saja?"
"Mohon maaf! Seharusnya kami lebih ketat mengawasi Pangeran!"
Para pelayan yang masih muda itu -mungkin berusia dua puluh tahunan- berkata begitu tiba di dekat Dante. Masih terlihat panik. Dan di hadapan Dante, berdirilah Pangeran Reinhart. Matanya yang jernih menatap Dante penuh penyesalan.
"Tidak, ini salahku," kata sang Pangeran. "Aku minta maaf."
Daripada marah, sebenarnya Dante lebih merasa antusias, bahkan takjub. Jelas, Reinhart tidak membawa mainan atau benda apapun yang bisa menyemprotkan air. Berarti, dari mana air tadi berasal? Di dalam pikirannya Dante menyimpulkan satu hal.
"Pangeran," Dante berkata lembut sambil berlutut di depan Reinhart. "Apa yang Pangeran lakukan?"
"Aku ... mencoba membuat bola air," Reinhart berkata sambil menunduk. "Dengan sihir."
Ternyata benar, begitu pikir Dante. Di usia sedini itu sudah bisa mempraktekkan sihir praktis, adalah hal yang luar biasa. Apalagi -jelas- itu belum diajarkan pada tingkatan kelas Reinhart sekarang. Meskipun begitu, ada satu hal yang harus diluruskan terlebih dahulu.
"Yang Pangeran lakukan itu hebat, tapi ...," Dante menggantung kalimatnya sejenak. "Pangeran tahu, apa kesalahan Pangeran?"
Reinhart mengangguk pelan. "Harusnya tidak boleh berlatih sihir sendirian."
"Bagus kalau Pangeran mengerti," kata Dante lagi. "Seperti bola air tadi. Walaupun 'cuma' air, tapi kalau kecepatannya setinggi itu, tetap bisa melukai orang lain."
Reinhart menegakkan kepala perlahan, lalu menatap gurunya.
"Apakah tadi Pangeran kehilangan kendali?" tanya Dante lagi.
Reinhart mengangguk. Katanya, "Iya. Maaf, Pak Guru Dante. Tidak akan kuulangi lagi."
Dante menatap langsung kedua mata sang Pangeran dan bertanya, "Apa Pangeran sangat ingin cepat-cepat berlatih sihir?"
Pangeran kecil itu tidak menjawab. Jelas sekali ia terkejut ditanya seperti itu.
"Kalau Pangeran memang ingin belajar lebih cepat, kita bisa mengaturnya," Dante menambahkan.
Mata Reinhart membulat. "Benarkah?"
"Iya, tapi ...," sekali lagi, Dante menggantung kalimatnya sejenak. "Pangeran nanti harus belajar secara terpisah. Tidak bersama teman-teman di kelas. Bagaimana?"
Dante meninggalkan Taman Istana dengan senyum tipis di wajahnya. Ia tidak terlalu terkejut ketika Reinhart menyetujui usulannya begitu cepat. Anak itu telah membuat keputusan penting hanya dalam beberapa detik. Kalaupun ada yang sedikit mengejutkan, itu karena Reinhart meminta agar Dante tetap menjadi gurunya.
Yah, soal itu bisa diatur nanti. Yang masih menyita perhatian Dante sampai detik ini, adalah jawaban Reinhart saat ia bertanya dari mana anak itu belajar cara melakukan sihir praktis.
"Aku hanya melihat Magi Kerajaan berlatih. Dari membaca buku di Perpustakaan Istana juga. Dan bertanya sedikit pada Ayah."
Begitu kata sang Pangeran tadi. Artinya, bisa dibilang, dia memang belajar sendiri.
"Menarik sekali, kalau aku bisa terus mengajar Pangeran setelah ini," Dante bergumam sendiri.
Berjalan pelan menyusuri koridor, ia masih bisa melihat area Taman Istana yang luas itu. Yang jelas pasti lebih dari empat ratus meter persegi, dengan pepohonan rindang dan taman bunga mengelilingi tepiannya. Ada beberapa pohon lagi tersebar di seluruh bagian taman sebagai peneduh. Tidak lupa, kursi-kursi taman di beberapa tempat strategis. Dan tentu saja, rerumputan yang terawat dengan baik, menutupi seluruh area taman.
Di atas rerumputan itulah, Dante melihat Pangeran Reinhart masih bermain dengan kedua pelayan wanita pengasuhnya. Berlarian lincah ke sana-kemari sambil tertawa lepas, sama seperti anak-anak pada umumnya.
Sekali lagi, Dante tersenyum tipis. Membiarkan dirinya terjerat oleh pesona sang Pangeran Kecil yang begitu memikat. Semua orang yang melihatnya pasti akan mencintainya. Senyumnya, tawanya, tatapannya, kesantunannya. Belum lagi kecerdasannya.
Apabila ditanya, kekuatan apakah yang menopang Luminos, mungkin orang-orang akan menjawab Helios dan Lunar. Seperti mentari yang menerangi siang, dan rembulan yang menyinari malam. Namun tampaknya, pada era ini Luminos akan memiliki satu matahari lagi. Dante bisa melihatnya dengan jelas setiap kali menatap Reinhart. Bahwa sang Pangeran ditakdirkan untuk hal-hal besar di masa depan. Tak ada keraguan, Pangeran Reinhart akan menjadi pemimpin besar yang bahkan mampu menerangi kegelapan di setiap sudut negeri ini. Dia akan menjadi matahari.
Matahari negeri cahaya!
Bersambung ...
Luminos Rhapsody; Heidy S.C. 2016©
=========================================================
Author's Corner
LUMINOS RHAPSODY sudah memulai kisahnya~! Terus terang, aku deg-degan. >___<
Bagian kisah yang ini termasuk yang baru ditambahkan pada edisi revisi ini. Jadi masih benar-benar fresh dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Kali ini berpusat kepada Pangeran Reinhart, tetapi ketika dia masih kecil. Dan tentu saja, penjelasan dasar tentang Orb Awal Mula. Chapter ini masih "zero", seperti yang kalian bisa lihat di judulnya, belum masuk ke cerita utama.
Oke! Karena masih awal banget, Author's Corner kali ini cukup sekian saja yah~! Nantikan chapter berikutnya ... eh, enaknya kapan yah? Kalau Luminos Rhapsody yang dulu, aku update-nya sebulan sekali loh, hahaha ... Untuk sementara, saya putuskan dwi-mingguan dulu, yah. Dengan kesibukan kerja saat ini, takutnya enggak keburu, atau kualitasnya malah mengecewakan.
Btw, tetiba nemu gambar menarik pas lagi nanya2 sama mbah gugel. Dan aku langsung kepikiran Reinhart kecil. Sayang sekali, keterangan yang kudapat cuma, anak ini lagi cosplay jadi Prince Charming-nya Cinderella (versi kecil). Real charming, isn't he? :3
Oh, ya! Ini tanggal 14 Agustus, yah? Selamat Hari Pramuka, semuanya~! ^__^
See you~! \(^o^)
Surakarta, 14 Agustus 2016
Heidy S.C.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top