[9] Cahaya Kehidupan
Jenggala gelap dengan pohon tinggi yang berhasil Lian masuki setelah berusaha untuk meninggalkan dunia dengan bau bermacam serangga, seharusnya adalah hutan pinus. Namun, belum juga Lian sempat berpikir, perhatiannya teralihkan pada pemandangan lain. Mengapa ada taman indah tersembunyi dengan aneka bunga bersemi dan menguarkan wangi yang kordial?
Gadis yang kini telah membuka mata dengan sempurna, menatap sosok laki-laki yang dilihat pertama kali. Lalu meninjau sekeliling dengan wajah bingung sekaligus terpana. Digerakkan kedua tangan dengan penglihatan yang lebih fokus dibandingkan pikirannya yang sedang memproses segala objek pancaindra.
"Tempat apa ini? Aku bermimpi?" Ucapan Zinnia semakin membuat Lian tertegun. Dia juga menjadi ragu, apakah sekarang dia yang sedang bermimpi?
"Kau bisa melihat?" Lian memastikan dugaannya.
Gadis yang ditanya kini kembali memandang sosok yang tengah menatap khawatir. Suaranya tidak asing. Bukankah itu suara Lian? Pemuda yang belakangan hadir dalam kehidupannya.
"Lian?"
Berlian mengangguk. Zinnia terdiam.
"Aku bisa melihat?" Gadis itu masih sangsi. "Apa yang kau lakukan di sini?" lanjutnya.
"Itu pertanyaan yang seharusnya kuajukan padamu."
Zinnia menggeleng. Disentuh pipinya yang terasa dingin. Juga mengamati tarian bunga-bunga aneka warna. Memang lebih pantas disebut mimpi. Mengapa senyata ini?
"Bagaimana kau bisa sampai di tempat ini?" Lian penasaran. Walau dalam hati dia merasa begitu bahagia menyaksikan gadis itu kini bisa menggunakan indra penglihatannya.
Zinnia menggeleng. "Tidak tahu. Aku hanya mengingat bahwa aku sedang berjalan di taman belakang rumah. Tiba-tiba kakiku tersandung berkali-kali. Aroma sekitar juga baunya sangat aneh. Lalu, ada cahaya dari atas datang seolah menimpaku dengan benturan keras. Kupikir aku akan mati."
Lian mendengarkan dengan saksama. Cahaya yang dimaksudkan oleh Zinnia, bukankah itu juga cahaya yang tadi dilihatnya, sehingga dia mendatangi tempat ini selain juga karena teriakan gadis itu?
"Kenapa kau juga ada di sini?" Zinnia pun penasaran dengan kehadiran Lian.
"Aku hanya ingin melihat-lihat pemandangan di sini. Asalkan kau tahu, kita berada di dalam hutan."
Zinnia tergemap. "Kenapa bisa pergi sejauh itu?"
"Nanti aku ceritakan. Sekarang kita harus keluar dari tempat ini terlebih dahulu."
Zinnia mengangguk. Dia hendak bangkit saat merasakan telapak tangannya menyentuh sesuatu yang terasa begitu tajam. Dipastikan benda itu dengan mengamati baik-baik. Sebuah batu berwarna hijau tampak tertutupi gaun panjangnya.
"Ada apa?" Lian yang sudah lebih dulu bangkit kembali penasaran dengan sikap yang ditunjukkan Zinnia.
Cahaya lembut menyilaukan terpancar seketika saat Zinnia menyingkap kain. Sinar kehijauan itu berasal dari benda yang berbentuk seperti permata. Zinnia memungutnya dengan hati-hati. "Ini apa?"
Sejurus dengan terpancarnya cahaya dari benda yang kini berada di tangan Zinnia, bunyi teratur dari alarm kecil terdengar dari jam tangan yang Lian pakai. Lian tersadar akan sesuatu.
"Itu?" Lian bereaksi lebih semangat. "Berikan padaku." Diulurkan tangannya.
Zinnia menyerahkan tanpa ragu.
Saat benda serupa permata itu berada di tangan Lian, berhenti pula alarm yang berbunyi. "Aku menemukan satu di antaranya. Terima kasih, Zinnia."
Zinnia terheran. "Aku tidak melakukan apa pun.
Lian dengan wajah berseri menatap Zinnia. "Kau adalah perantara untukku menemukan benda ini. Tuhan juga yang menjadikan benda ini perantara penglihatanmu kembali."
"Benarkah begitu?"
Lian mengangguk. "Asumsi kuat memang begitu."
Zinnia menampakkan bola mata yang berkaca. Setitik air hampir jatuh. Seperti inikah rasa bahagia itu hadir? Gadis itu menyeka cairan bening di sudut mata, mengamati telapak tangannya yang terbasahi.
"Inilah hadiah terindah dari takdir."
"Aku tidak melakukan apa pun."
"Kau adalah orang baik. Kelakuan baikmu juga sebuah upaya, bukan artinya kau diam saja."
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?" Zinnia bingung.
"Kita kembali ke dunia manusia." Lian berkata sembari memasukkan permata berwarna hijau yang masih bersinar dengan menawan tersebut ke dalam sebuah peti kecil.
"Gunakanlah istilah yang bisa kumengerti. Memangnya kita berada di dunia lain?"
"Ya." Lian menjawab yakin.
"Aneh. Lalu, batu itu, mengapa kamu begitu bahagia mendapatkannya?"
"Akan kuceritakan nanti. Sekarang kita kembali." Lian hampir menggapai lengan Zinnia jika saja gadis itu tidak langsung mengelak.
"Aku bukan anak kecil yang perlu digandeng. Lagipula aku sudah bisa melihat jalan sekarang."
Lian terlihat gugup meski wajahnya tetap terkondisikan. "Baiklah, maafkan aku. Ayo kita pergi."
💎💎💎
Lian dan Zinnia duduk di bawah pohon besar dengan akar yang tumbuh di antara cabang-cabang menjuntai ke bentala. Juga akar-akar yang menyembul dari permukaan tanah yang ditumbuhi lumut. Zinnia menunggu Lian yang sedang mencari informasi dari sebuah benda elektronik yang asing bagi gadis itu. Di amati penampakan di sekeliling, lalu menyadari bahwa akar-akar besar yang menggerayangi tanah itulah yang tadi membuatnya terjatuh berkali-kali.
"Aku sudah menemukan caranya. Mudah-mudahan ini berhasil." Lian menutup benda yang sedari tadi menjadi fokusnya. "Kita harus melewati pemukiman penduduk dunia ini. Dan kau tahu?"
"Kenapa?" Zinnia jadi takut dengan prasangka yang tidak-tidak.
"Pemimpin kawasan ini sedang kehilangan benda berharga. Kemungkinan itu adalah batu permata yang tadi kita temukan."
Zinnia terbeliak dan gugup. "Lalu kita harus apa? Bagaimana jika mereka tahu dan menyerang kita?"
"Jangan menunjukkan sikap mencurigakan apa pun. Kita fokus saja hingga sampai di hutan pinus di seberang pemukiman itu."
Zinnia mengangguk menuruti apa petunjuk Lian. Dia memang tidak tahu harus melakukan apa agar bisa kembali menemui mamanya yang kini pasti sedang mencari dengan kepanikan.
Mereka bergegas. Berjalan dengan petunjuk dari insting Lian. Zinnia takut-takut memegang ujung baju Lian, membuat pemuda itu terheran dan berkomentar. "Apa yang kau lakukan?"
"Aku takut tersandung." Jawaban tak masuk akal itu membuat Lian tersenyum menahan tawa.
Sampai di tempat yang mulai terlihat ada pemukiman, Zinnia melepaskan pegangannya di ujung baju Lian. Berjalan biasa seperti pesan Lian tadi untuk tidak bersikap aneh. Mereka menuju keramaian tempat yang terlihat seperti pasar, ada hal aneh terjadi. Ada pasukan prajurit yang tengah melakukan penggeledahan.
"Bagaimana ini?" Zinnia khawatir.
Lian menarik tangan Zinnia untuk menjauh.
"Kita lewat sana."
Pergerakan Lian dan Zinnia diketahui oleh satu prajurit yang sedang berjaga di pinggir toko, tepat di samping jalan setapak yang dipilih Lian.
"Hei, tunggu!" Prajurit itu curiga hingga memutuskan untuk berlari menyusul.
Lian dan Zinnia kini berlari untuk menembus perkebunan yang berujung di setampak hutan pinus. Sebab mengimbangi lari Zinnia, membuat Lian tak bisa bergerak lebih cepat sehingga akhirnya mereka terkejar.
"Kalian berniat buruk, bukan?" tanya prajurit itu setelah berhasil mengejar.
Lian terdiam, menatap tajam.
"Jika kalian tidak berniat buruk, kalian tidak akan menghindari pemeriksaan di pasar tadi."
"Apa aku harus menjawab permintaan sepihak itu?" Lian akhirnya menyahut dengan bahasa ambigu.
"Sial. Kalian harus dibawa ke hadapan Ratu Affin." Sambil berkata mengancam, prajurit itu sigap menyerang Lian yang sudah bersiap untuk menghadapi.
💎💎💎
Bersambung ....
CU🌷
Semangat adalah bentuk apresiasi terhadap diri sendiri ♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top