[8] BIOS

Suhu rendah di gelita hari melelapkan sebagian makhluk bumi, memberi jeda dari rasa lelah. Lian membuka catatan yang dikumpulkan dari hasil pantauan melalui berbagai informasi. Kini dia membentangkan sebuah peta, menandai beberapa titik penting dan memberikan simbol khusus.

"Hutan ini besok harus didatangi langsung." Lian kemudian mengalihkan perhatian pada catatan yang diberikan Kaisar Agate sejak sebelum meninggalkan Wonder Stone ke dunia bangsa manusia.

"Bios, kallos, eirene, philos, storge." Lian melafalkan kelima nama batu jiwa yang harus segera ditemukan.

Wonder Stone yang indah, damai, dan tenteram. Lian tak ingin itu hilang. Sejenak direbahkan punggung ke sandaran kursi, mengacak pelan rambut. Lalu memaksakan diri untuk bersemangat melanjutkan penelusuran. Laptop di hadapan dia gunakan untuk membuka laman map, menjelajahi hutan yang besok harus berhasil dia jejakkan kakinya di sana.

"Aku yakin tanda batu bios ada di sana."

💎💎💎

Bumi bergulir menuju cahaya. Malam dan siang tidak saling mendahului, tiada makhluk yang membancang kapan gilirannya penduduk planet kembali jumpa bulatan matahari. Belum sempurna baskara membumbung, Melati sudah menjelajahi seluruh sudut rumah dengan perasaan tak tenang.

"Zinnia?!"

Sosok yang dicarinya tidak seujung kuku pun tampak. Melati semakin gugup mencari ke setiap halaman. Namun, tidak juga berhasil menemukan. Dadanya mulai berdegup lebih cepat dari batas normal. Tadi malam dia masih sempat mengobrol seperti biasa dengan putrinya itu. Kenapa tiba-tiba menghilang tanpa berkata apa pun? Melati masih berharap bahwa Zinnia hanya keluar sebentar sebagaimana kejadian yang pernah dialami.

Melati kembali ke dalam rumah hanya bertahan beberapa menit. Kecemasannya telah memuncak, memeriksa kamar Zinnia untuk mencari sesuatu. Tidak menemukan apa pun. Badannya merosot ke lantai. Lalu bola matanya mulai tak sanggup membendung luruhan air kekhawatiran. Ke mana sebenarnya Zinnia?

💎💎💎

Lian telah sampai di tempat tujuan. Hutan homogen yang tampak bersih dari semak belukar. Bahkan beberapa area telah dijadikan objek wisata dan banyak dikunjungi penduduk. Meskipun begitu, sesuai informasi yang dia dapatkan, di dalam hutan itu terdapat bagian wilayah yang nyaris tak tersentuh. Lian memasuki hutan dalam kondisi pagi yang masih berembun.

Di suatu tempat yang asing. Begitu gelap bagi seorang gadis yang penglihatannya tidak berfungsi. Berkali-kali dia tersandung akar-akar yang menonjol di antara pohon-pohon besar dan rimbun. Kerimbunannya mengundang kelembaban mencekam. Ada bau aneh yang tidak pernah dia cium sebelumnya.

"Di mana? Baunya bukan bau rumah."

Zinnia lalu memanggil mamanya berkali-kali. Tak ada sahutan kecuali suara binatang yang menembus kesunyian dari jarak bermil-mil.

"Oh, Tuhan." Zinnia terjerembab untuk yang kesekian kali. Beberapa permukaan kulitnya bahkan sudah tersayat dan meninggalkan jejak luka tipis yang menampakkan sedikit garis-garis warna merah.

Bersamaan dengan itu, seorang pemuda berhasil masuk ke dalam hutan pinus. Semakin jauh dia melangkah semakin terlihat ada jenis tumbuhan lain. Belum sempat dia mengagumi keindahan yang terpapar di hadapan, Lian menginjak satu lubang yang tidak dia sadari membawanya terjebak di kedalaman yang lebih intens dari sumur.

Ada ruang lain yang Lian masuki, dia belum menyadari itu sampai ketika tubuhnya terguling dan tercampak di bawah talas raksasa setinggi pohon palem.

"Tempat apa ini?" Lian merasa aneh dan sama sekali tidak menemukan spot wilayah serupa di hasil pencariannya semalam. Lian melihat seseorang berjalan mendekat, rupanya seperti bangsa manusia kebanyakan. Pakaiannya juga cukup tradisional, ada serupa antena terlihat di balik penutup kepala, dan bau serangga menguar dari tubuhnya.

"Kau dari kampung mana?" tanya sosok itu.

Lian bangkit dari posisi semula, sejenak membersihkan bagian pakaiannya yang kotor. Lalu menjawab, "Bukankah ini hutan pinus? Mengapa banyak pohon talas di sini?"

Sosok asing itu melotot heran. "Memangnya dari kampung mana?"

Lian berpikir mencoba mengingat nama wilayah di mana dia tinggal. Sayangnya, saat dia menyebutkan wilayah itu, sosok asing yang mengajaknya berbicara menggeleng.

"Aneh. Sepertinya kau datang dari tempat yang jauh." Setelah mengucapkan kata-kata itu, beranjak pergi meninggalkan Lian yang kemudian terbengong.

"Apa maksudnya?" Lian terheran. Bukankah seharusnya mereka ada di satu daerah yang sama?

Lian memperhatikan pemandangan sekitar, jauh dari penampakan hutan pinus sebagaimana pertama kali dia masuk hutan tadi. Dia lalu melanjutkan berjalan hingga menemukan keramaian. Kemudian menyusup ke tengah kerumunan massa, mencuri dengar percakapan untuk memastikan dia sebenarnya berada di mana saat ini.

"Ratu Affin sedang renyang. Tadi malam mengerahkan prajurit istana hingga ke seluruh negeri. Ada pusaka kerajaan yang hilang."

"Maksudnya ada yang sengaja mencuri ke istana?"

"Aneh. Siapa berani melakukan itu?"

"Mungkin sudah saatnya benda itu kembali. Bukankah itu juga tiba-tiba muncul?"

"Kamu tahu sesuatu?"

Seperti itulah percakapan yang berhasil membuat kening Lian berkerut-kerut heran. Sepertinya dia tidak berada di dunia bangsa manusia sejak kakinya terperosok masuk ke lubang tadi.

Lian bergegas tanpa tahu arah yang bisa membuatnya terbebas dari matra di mana kini menjejakkan kaki. Datang dari hutan, bisa jadi keluar juga melalui hutan. Dia pun bergegas ke kawasan yang menampakkan pohon-pohon tinggi dengan akar yang berjuntai dan berserakan di permukaan tanah.

Di lain tempat, seorang gadis buta yang sebelumnya mencium bau sangit, kini mencium bau harum seperti bunga-bunga bermekaran. Kakinya juga menjejak di permukaan yang lembut tanpa benjolan-benjolan akar besar sebagaimana yang selalu membuat dia tadi terus terjebak dan terjatuh. Zinnia berhenti melangkah. Berdiri dan menghadapkan wajahnya ke atas. Ada sesuatu yang bersinar seolah menembus kegelapan di matanya.

"Apakah ini mimpi?" Zinnia tersenyum merasakan kedamaian yang menerpa jiwa seiring dengan belaian angin yang mengajak pakaian dan bunga-bunga di sekelilingnya menari. Dia tidak sedang bermimpi, dan cahaya itu juga kian terang. Seolah ada benda bersinar sebesar matahari yang datang melesat cepat dan menghunjam Zinnia hingga dia seketika berteriak kaget dan ketakutan. Tubuhnya kaku sehingga dia tak mampu bergerak. Cahaya itu seolah menimbun tempat Zinnia berpijak. Dadanya sakit, kepalanya nyeri hebat sekali. Zinnia tersungkur. Rasa pedih di indra penglihatan membuatnya mengaduh dan menutup rapat-rapat mata dengan bantuan kedua tangan.

Lian mendengar teriakan perempuan. Juga pantulan sinar yang menyilaukan datang dari balik rimbun pohon yang masih misteri baginya. Respons tubuh bagus sehingga dia seketika berlari menuju cahaya dan suara yang berhasil membuatnya teratensi mencari tahu. Lian terkejut saat melihat ada pemandangan begitu indah di balik pohon-pohon yang memberikan kesan suram. Lebih terkejut lagi, terlihat seorang gadis tersungkur dan tampak sedang kesakitan di tengah-tengah hamparan lavender dan cosmos, memberikan kesan lanskap menawan di mata. Lian bergegas menghampiri untuk menolong.

"Kau baik-baik saja?" Suara itu membuat sang gadis membuka kedua tangan yang semula menutupi bagian atas wajahnya.

Betapa nanap Lian melihat suatu kenyataan.

"Zinnia?"

💎💎💎

Bersambung ....

CU🌷

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top