[7] Selangkah Lebih Dekat

Penampilan asri dan meneduhkan. Berbagai macam tanaman berhasil tumbuh dengan baik. Bunga-bunga juga seolah tak pernah berhenti menunjukkan pesona petal warna-warni, mengundang serangga pengepul nektar dan mengajak bersenda. Sang gadis berjalan tanpa ragu, telah hafal letak setapak. Seolah dia bisa melihat dengan jelas apa yang terbentang di hadapannya meskipun kedua matanya tidak berfungsi.

"Mamamu di rumah, bukan?" Lian memastikan. Dia–bersama Zinnia–baru sampai di kediaman dua wanita yang mampu bertahan hidup meskipun tanpa sosok lelaki sebagai kepala keluarga.

Zinnia mengangguk, "Mama jarang keluar rumah."

Tebersit pertanyaan dalam hati Lian, bagaimana caranya kedua wanita yang hidup tanpa tulang punggung itu bisa survive. Lian belum tahu apa mata pencaharian mereka, bahkan tampak seperti tidak memiliki pekerjaan. Namun, terlintas juga jawaban mungkin saja mereka memiliki usaha yang dikelola orang lain.

"Mari," ajak Zinnia dengan wajah berseri.

Lian suka sekali melihat wajah Zinnia ketika tersenyum. Seperti tersihir, dia mengikuti langkah Zinnia menuju ruang demi ruang rumahnya. Ini adalah pertama kali bagi Lian memasuki wilayah rumah Zinnia bagian dalam. Selama ini, dia hanya bisa bertamu di taman dan teras rumah. Tanpa mata yang liar, Berlian bisa melihat sekilas bagaimana rumah yang dia masuki begitu rapi dan elegan. Tidak banyak perkakas sehingga nuansa sederhana, menunjukkan kiranya begitu pula sifat pemiliknya.

"Zinnia? Sudah pulang?" Melati yang sedang merangkai benang rajut menyambut kedatangan Zinnia dan Lian.

"Iya, Ma. Oh, iya. Aku bilang pada Lian betapa lezat masakan Mama. Jadi aku ingin membuktikannya."

Melati tersipu. "Itu berlebihan." Melati mengelak merasa tak enak hati di puji di depan tamu.

"Silakan, Nak Berlian. Semoga tidak kecewa dengan ucapan Zinnia."

"Saya merasa spesial, Bu." Lian merasa canggung.

"Zinnia suka begitu dari kecil." Melati terkekeh.

"Teman-teman di Siam juga bilang masakan Mama terbaik." Zinnia membela diri.

"Ya, sudah. Ajak Berlian ke ruang makan. Oh, iya, mama belum menyiapkannya." Melati hendak meninggalkan rajutannya.

"Kali ini biar Zinnia yang siapkan. Mama meragukan kemampuanku?"

"Mama percaya kamu sudah ahli dalam hal itu." Melati kembali mengambil rajutan yang belum selesai.

Zinnia dan Berlian melanjutkan langkah menuju ruang makan.

"Kamu tunggulah di sini. Biar aku yang siapkan." Zinnia menarik kursi dan mempersilakan Lian duduk.

Lian terkesan. Ternyata, gadis yang tidak bisa menggunakan indra penglihatannya, bisa begitu baik menjamah rumahnya sendiri. Seolah tahu setiap inchi dari bagian ruang. Zinnia melangkah untuk menuju dapur seperti instruksi Melati, menyiapkan hidangan.

"Aku bantu." Tangan Lian refleks menggapai lengan Zinnia

Zinnia mematung dengan perlakuan Lian yang awalnya tak mengerti. Ketika sadar, Lian langsung melepaskan tangannya dengan gugup.

"Maaf." Lian benar-benar tidak sadar menggerakkan tangannya secepat itu. "Kamu tidak akan menyangka lagi bahwa ini pelecehan, 'kan?" Lian tiba-tiba mengingat peristiwa pertama kali mereka bertemu.

"Tidak. Sekarang aku paham. Tangan dan otakmu suka tidak singkron."

Lian menautkan pangkal alis, berpikir maksud Zinnia berkata begitu. Lalu mengerti secepat dia menalar. "Kau benar. Tanganku tadi mendahului otak untuk bergerak."

Itulah yang disebut gerak refleks. Gerakan yang terjadi tanpa kesadaran otak akibat respons adanya stimulasi dari luar tubuh.

"Aku ingin membantumu," harap Lian.

"Tidak, kamu tunggu saja di sini." Zinnia masih pada pendiriannya.

Lian mengikuti pinta Zinnia, hanya duduk dengan sedikit tidak tenang, melihat Zinnia yang menghilang menuju dapur, lalu datang dengan membawa hidangan. Itu terjadi berulang-ulang. Lian semakin merasa sungkan. Apalagi dengan keterbatasan yang dimiliki gadis itu. Akhirnya, dia pun diam-diam mengikuti.

"Biar aku yang membawanya." Kehadiran Lian yang tiba-tiba mengejutkan Zinnia.

"Sudah kubilang duduk saja di sana," keluh Zinnia.

"Aku tidak bisa diam saja melihatmu kerepotan." Lian berhasil mengambil alih benda dari tangan Zinnia, lalu melenggang pergi.

Zinnia menghela napas, "Aku tidak repot."

Hidangan sudah tersaji. Zinnia mempersilakan Lian untuk segera membuktikan pernyataannya tentang masakan sang mama.

"Aku tidak perlu membantu menuangkan nasi ke piringmu agar kau tak sungkan, 'kan?"

"Tanpa kau suruh aku akan senang hati menikmati hidangan yang disiapkan dengan spesial ini." Lian menuangkan air bening.

Sulit bagi Zinnia untuk menyembunyikan semburat sipu di pipi. Lian hanya tersenyum canggung hingga air yang baru saja ditelan hendak berbalik arah.

"Makanlah, jangan banyak bicara."

Keduanya tenang sesaat. Hingga suara Zinnia kembali memecah sunyi. "Bagaimana?"

"Aku setuju dengan kata-katamu."

Zinnia senang karena tidak membuat Lian kecewa.

"Bagiku, masakan mama yang terbaik. Bagaimana denganmu? Maksudku, ibumu. Pasti bagimu masakan beliau lebih lezat, bukan?"

Lian terpaku mendengar ujaran Zinnia. Bagaimana cara menjelaskan kondisi keluarganya di Wonder Stone yang tentu tidak sama seperti kehidupannya di bumi bangsa manusia ini? Bisa dibilang, masakan ibunya hanya bisa dia rasakan dari lama periode-periode bulan, sebab terlalu banyak menikmati masakan dari juru masak istana.

Lian meneguk air tawar, mencoba mencari jawaban yang masuk akal.

"Masakan ibuku. Tentu saja bagiku yang terbaik."

"Aku tidak boleh penasaran?"

Lian seolah kehabisan alasan. Dari percakapan ini dia kembali menyadari perbedaan yang membatasi.

Ya, tak perlu penasaran. Karena kita adalah makhluk yang berbeda, Zinnia. Lian berkata dalam hati.

💎💎💎

Selesai dari perannya ikut serta, seakan-akan telah menjadi bagian dari keluarga Zinnia—menumpang makan—Lian diajak berbincang oleh Melati.

"Aku tidak menyangka, Zinnia yang begitu sulit menerima teman baru sejak kami pindah dari Siam ke Nusantara, mau menerimamu sebagai temannya. Apalagi kamu laki-laki." Melati mengungkapkan hal tentang anak gadisnya yang sedang sibuk di lain ruangan.

"Mungkin saya yang tidak punya malu, Bu. Kuakui Zinnia awalnya keras kepala. Dia hanya butuh seorang teman yang memaksanya untuk diterima. Andai orang-orang yang selama ini mendekati Zinnia itu tahan malu, mungkin bisa menjadi temannya."

Melati mengerutkan kening, tetapi juga membenarkan ucapan Lian. "Oh, ya? Aku baru sadari itu. Terima kasih sudah berusaha."

Lian hanya mengangguk ringan.

"Kalau boleh tahu, kamu berasal dari mana?"

"Saya warga pindahan."

"Begitukah?"

Lian mengangguk.

"Terima kasih banyak, atas kesediaan Ibu mempersilakan saya mampir. Bahkan mempersilakan untuk ikut makan siang di sini."

Melati tersenyum tulus. "Aku senang. Justru terima kasih sudah mau menjadi teman Zinnia. Kuharap jangan kecewakan kami. Kau mungkin bisa menjadi salah satu alasan Zinnia tersenyum sekarang."

"Benarkah, Bu?"

"Dia anak yang jarang tersenyum. Kurasa karena dia tidak punya teman selama ini. Kegiatannya hanya di rumah. Aku bisa menjadi satu-satunya yang dia ajak berinteraksi."

Lian meresapi ujaran Melati. Tebersit ide bertukar nomor kontak untuk memudahkan komunikasi. Dia berpikir, mungkin suatu saat mereka butuh.

"Akan kuusahakan menjadi teman baik bagi Zinnia." Lian tulus mengucapkan itu. "Saya mungkin pamit sekarang, Bu. Ada yang harus kukerjakan setelah ini, tapi sebelum itu, apakah saya boleh meminta nomor kontak kalian?"

Melati mengangguk, lalu menyebutkan nomor telepon miliknya dan membiarkan Lian menyalin itu ke penyimpanan kontak di ponsel.

"Zinnia belum muncul." Melati mengarahkan pandangan ke pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang keluarga.

"Tidak mengapa. Saya titip pesan saja untuknya. Terima kasih sudah menerima menjadi bagian dari kebahagiaan keluarga ini."

Melati lagi-lagi tersenyum menanggapi ucapan Lian. "Tentu. Kami sangat menerimamu."

Lian menganggukkan kepala sebelum benar-benar beranjak dari hadapan tuan rumah. Melati kemudian mengiringi tamu istimewanya itu hingga teras rumah. Lian pergi meninggalkan sisa senyum yang melekat lama di bibir dan hati.

💎💎💎

CU🌷

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top