[5] Matahari Terbenam

Membahas tentang disparitas tidak akan pernah tuntas. Persamaanlah yang bisa menyatukan perbedaan. Lagi pula, farak itu niscaya. Perbedaan adalah keindahan. Pelangi yang melengkung elok di angkasa, menambah menarik atensi karena warnanya yang beraneka.

Diiringi gerimis tipis yang mulai mereda, Lian berjalan menuju kendaraan yang dimilikinya di alam bangsa manusia. Dia tersenyum puas karena berhasil mendapatkan surat izin untuk memasuki hutan pinus. Tentu saja dengan usaha yang tidak mudah karena dia berstatus penduduk baru. Tidak masalah. Lian bahkan sudah melalui berbagai urusan yang lebih rumit saat pertama kali diutus ayahnya ke dunia tempat makhluk yang penuh ripuh dan tidak pernah merasa cukup.

Rebas-rebas sudah berhenti. Cahaya matahari sudah kembali. Lian mengecek penunjuk waktu. Kesempatan yang dia miliki hari ini tidak cukup untuk menjelajahi hutan pinus. Bukan dia tidak berani untuk bermalam, hanya saja dia harus bisa mengimbangi bangsa manusia dengan cara hidupnya. Dia memutuskan untuk pergi hanya untuk memantau lokasi. Setelah itu, sekalian pergi ke pantai karena hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam bagi Lian untuk sampai di pesisir. Sesampainya, dia menyusuri garis tepi laut yang tenang. Pemuda dengan setelan baju santai tanpa menghilangkan aura berbeda dari manusia pada umumnya itu, berhenti dan duduk memandangi cahaya dari matahari yang bersembunyi di gumpalan awan sebelah barat. Warnanya keemasan nyaris menjingga.

Benda angkasa bernama matahari merupakan salah satu dari perkiraan 200 miliar triliun bintang di alam semesta. Tidak berlainan, bintang induk dalam solar system di dunia Lian berasal juga indah serupa itu. Hanya saja warnanya lebih terlihat variatif dan hangatnya terasa berbeda bagi bangsa di dunia lithos.

Lian sebagai pendatang, sedikitnya memahami pola kejam kehidupan bangsa manusia bumi yang menguasai darat dan laut dengan perebutan kekuasaan dan eksistensi. Bahkan dengan jalan pertumpahan darah. Lian datang memang bukan di masa peperangan fisik, tetapi peperangan yang lebih dahsyat, yaitu perang pemikiran. Masa di mana siapa pun bisa menjadi penjajah dalam diam, menggerogoti dalam sunyi di riuh kehidupan.

Lian tahu, manusia ada yang begitu zalim, menghancurkan kehidupan lain demi kedudukan dan pengakuan. Termasuk dunia yang bangsanya tinggali. Telah banyak kerusakan dan jika Lian tidak segera menyelesaikan dalam waktu yang sedikit, dunia di mana keluarganya hidup damai selama ini akan sirna. Hingga beberapa hari ini, Lian belum menemukan petunjuk terang. Bahkan ayahnya hanya tahu tentang tugas pencarian lima batu jiwa yang dibawa ke dunia bangsa manusia, lalu hilang tanpa menyisakan kejelasan tanda. Lian menatap pantulan cahaya yang mengambang di permukaan laut. Dia berbicara pada butiran pasir yang didekorasi cangkang-cangkang moluska.

💎💎💎

Zinnia duduk di teras belakang rumah. Tepat menghadap langit barat yang menampakkan guratan-guratan senja menawan. Dia hanya merasakan kehangatan, tidak bisa menikmati keindahan dengan indra penglihatan. Namun, Zinnia mampu melihat dengan hati dan imaji. Apalagi, dia sudah pernah menyaksikan matahari tenggelam sebelum kedua matanya kehilangan cahaya. Tiba-tiba dia merindukan laut. Baginya, matahari terbenam paling indah di sana. Ada kenangan di mana dia bersama mama dan papanya. Dan, itu terjadi sebelum kecelakaan yang menjadi peristiwa perantara luka. Saat di mana nyawa ayahnya direnggut Sang Kuasa. Zinnia tertunduk. Ada butiran basah menitik satu dua butir.

"Zinnia?" Melati muncul dan menyapa anak gadisnya yang sedang terlihat murung.

Zinnia buru-buru mengusap jejak kesedihan di pipi.

"Mama sangat berharap kamu tidak selalu mengingatnya. Kamu perlu mengisi kelanjutan hidupmu dengan lebih baik." Melati duduk di samping Zinnia dan merangkul tubuh Zinnia dengan penuh cinta.

Zinnia mengangguk. "Aku hanya belum bisa memaafkan diri sendiri, Ma." Seolah jejak penyesalan itu adalah miliknya seorang.

Melati menggeleng tegas. "Sudah berkali-kali mama katakan, itu bukan salahmu."

"Tapi ...."

"Cukup." Melati menghentikan ucapan Zinnia.

Zinnia pun tak berani lagi membantah.

"Ayo, masuk ke dalam. Mama membuat puding labu kuning kesukaanmu."

Zinnia hanya mengiyakan dalam diam. Dengan papahan mamanya, Zinnia berdiri. Mereka berdua lalu memasuki rumah.

💎💎💎

"Diamond?"

Lian membuka mata dengan rasa tak percaya. Suara ayahnya terdengar begitu jelas. Bukankah dia sedang berada di tepian laut tadi?

"Kaisar?" Lian tak menyangka, bukannya masih merenung di pantai, dia malah menemui pemimpin kerajaan Wonder Stone, negeri tempat dia berasal.

"Kau lalai dengan tugasmu?" Kaisar Agate benar-benar berada di hadapan Lian saat ini.

Lian tersadar ketika melirik manik di gelang yang digunakannya untuk memberi tanda. Rupanya dia lanjur saat bercakap dengan pasir dan batuan. Hingga akhirnya dia malah datang ke dunia lithos.

"Maaf, Kaisar, belum ...."

"Jangankan menemukan, mendapatkan tanda juga belum, bukan?" Laki-laki gagah yang disebut kaisar oleh Lian memotong ujaran.

Lian menunduk sebagai rasa hormat.

"Teruslah berjuang, Diamond. Ingatlah, masa depan Wonder Stone ini ada dalam bagian usahamu. Kaulah yang saat ini bisa kuandalkan."

"Baik, Ayah. Akan kupatuhi."

"Lihat kecerobohanmu kali ini." Kaisar Agate meraih pergelangan tangan Lian dengan sigap.

"Aku masih belum terbiasa untuk mengontrolnya."

"Lepaskan saja."

Lian mengangguk dan segera melakukan titah Kaisar Agate. Melepaskan manik-manik yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Untuk sementara, jika kau membutuhkan apa-apa. Sampaikan pada Zircon, Emeralda, dan Ruby. Aku akan mengutus mereka."

Lian mengangguk hormat.

"Kemarin apa yang terjadi denganmu di bumi bangsa manusia?" Pertanyaan yang menimbulkan pertanyaan terucap dari Kaisar Agate.

"Apakah ada yang terjadi?" Lian penasaran.

Kaisar Agate mengangguk, "Peti batu jiwa bereaksi. Beberapa hari ini terjadi. Mungkin saja itu adalah petunjuk."

Lian mengingat apa saja yang telah dia lakukan sehingga membuat batu jiwa terhubung dengan aktivitasnya di bumi bangsa manusia. Sungguh, yang berhasil dia ingat hanya momen bersama gadis bernama Zinnia.

"Ada yang kau ingat?" Kaisar Agate menaruh harap.

"Akan kucoba menggali tanda itu. Semoga saja apa yang kupikirkan memang benar."

Kaisar Agate mengangguk, "Pergilah."

Usai titah dari Kaisar Agate terucap, Lian langsung memusatkan diri pada matra bumi. Tepat pada titik entitas yang diajaknya berbicara di pantai dunia manusia terakhir kali dia tempati. Dalam hitungan detik, tubuh Lian kembali menjejak di atas pasir pantai. Masih dengan senja yang memancarkan cahaya oranye keemasan.

Dalam perjalanan menuju tempat tinggal sementaranya, Lian masih memikirkan apakah Zinnia memang berkaitan dengan batu jiwa di Wonder Stone? Dia berpikir begitu karena memang peristiwa berulang yang dia lakukan belakangan ini adalah bersama gadis itu. Mungkin saja menjadi sesuatu yang telah ditetapkan bahwa dia bertemu dengan gadis buta penyimpan hati hangat di balik sikap yang terlihat pongah dan dingin. Lian benar-benar ingin tahu itu. Dia merencanakan untuk sekali lagi bertemu.

💎💎💎

Bersambung ....

CU🌷

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top