[4] Gatra Rasa
Lian melangkah dari ruang subjek kesenian. Setelah mengikuti perkuliahan terakhir di hari ini, dia bersegera pulang. Tidak, lebih tepatnya mulai beraksi untuk melakukan misi mencapai tujuan utama. Itulah maksud dia datang menyusup di kehidupan manusia biasa.
"Lian!" Cecilia begitu semangat membuntuti pemuda yang belakangan menjadi sosok pujaannya.
Lian menghentikan langkah menghargai panggilan dari teman yang katanya seorang bunga kampus di kelas yang dia ikuti. Namun, bukan itu alasannya respek. Wajah Cecilia begitu berbinar dan senyum yang mampu manarik tatapan laki-laki, tidak berlaku untuk Lian.
"Lian, ke pantai, yuk. Aku ada acara seru dengan teman-teman. Pasti lebih asik kalau kau ikut bergabung." Cecilia berharap undangan itu diterima, sehingga acaranya akan jauh lebih menyenangkan.
"Acara kampus?" Lian yang belum beradaptasi secara menyeluruh bertanya dengan serius.
"Hem, tidak. Ini hanya refreshing. Kita bersenang-senang, menikmati keindahan dunia. Bagaimana?" Cecilia begitu berharap ajakannya berhasil.
"Aku ada kepentingan lain. Jadi maaf aku tidak bisa bergabung dengan kalian." Jawaban yang mengecewakan bagi Cecilia.
"Ayolah, Lian. Kapan lagi kita bisa senang-senang bersama?" Gadis yang sudah menaruh hati pada Lian sejak pertama kali jumpa, masih berusaha merayu. Baginya yang memiliki standar kecantikan seperti artis di layar kaca, laki-laki seperti Lianlah yang dia mau.
"Maaf, aku benar-benar sibuk hari ini." Nada bicara Lian terdengar lebih dingin dari semula. Setelah itu, dengan tanpa merasa bersalah bergegas meninggalkan Cecilia bersama kekecewaannya.
"Lian ...." Cecilia sedikit merengek. Beberapa detik kemudian berlari menyusul pemuda itu dan menggapai lengan kekarnya.
"Aku ikut denganmu bisa?" Kenekatan Cecilia kali ini tampak berlebihan.
Lian yang mulai risi dengan perlakuan itu, menyingkirkan pelan tangan yang menempel sesukanya tanpa izin.
"Maaf, aku tidak bisa." Tatapan Lian benar-benar menghunjam seolah berkata 'jangan ganggu aku'.
Cecilia menatap dengan wajah kaku. Bagaimana mungkin dirinya yang selalu dikejar banyak lelaki gagal merayu satu laki-laki di hadapannya saat ini? Dia merasa terhina.
"Hai!" Ada sapaan dari sosok lain di antara kediaman. Seorang pemuda kini menjadi fokus tatapan Lian. Mahasiswa di kampus yang sama.
"Aku Kusuma, kekasih Cecilia." Pemuda yang mengaku-aku itu mengulurkan tangan pada Lian.
"Lian." Usai berjabat tangan dan berkata dengan nada datar, Lian berbalik lalu melangkah meninggalkan dua manusia yang kini tatap-tatapan. Cecilia menatap jengkel sedangkan Kusuma menatap genit.
"Apa-apaan kamu, Kusuma?! Jangan kurang ajar, ya!" Cecilia membentak dengan wajah marah.
Kusuma menggapai tangan Cecilia, tetapi ditepis kasar oleh gadis itu.
"Psikopat kamu!" Sinis Cecilia beranjak pergi dengan langkah yang menghentak kesal.
Kusuma hanya mengangkat bahu. "It's okay," ucapnya santai.
💎💎💎
Pohon flamboyan warna merah menyala, bunganya begitu rimbun menjadi naungan Lian yang duduk bersila. Dia mengamati denah yang dibuat dari malam-malam lalu. Ada area hutan pinus yang mesti dijangkau. Dia akan masuk ke sana. Harus ada izin terlebih dahulu pada pemerintah setempat atau pemangku kepentingan untuk bisa memasuki hutan tersebut. Ayahnya berpesan untuk tidak sembarangan mengakses wilayah bangsa manusia. Harus memiliki etika. Niat kedatangannya bukan untuk merusak. Niat baik sejalan dengan proses yang baik.
Denah dilipat dan Lian bangkit dari duduk. Untuk mendapatkan perkenan, dia melangkahkan kaki dengan cekatan. Ya, meskipun dia sudah memiliki fasilitas kendaraan seperti manusia pada umumnya, juga terlatih untuk mengendalikan, dia lebih suka untuk berjalan kaki.
Suara mengaduh dari seorang wanita menghentikan fokus. Lian mencari sumber suara dari sosok yang sudah akrab di matanya. Terlihat seorang wanita hampir terjatuh karena tabrakan yang lumayan keras. Bunga-bunga artifisial di keranjang yang dibawanya berjatuhan. Lian gegas dan menangkap seorang pemuda urakan yang baru menabrak tanpa merasa bersalah dan malah mengeluarkan sumpah serapah.
"Cepat minta maaf!" titah Lian. Dicengkeram olehnya lengan si pemuda yang kini meringis merasakan sakit dari cengkeraman itu.
"Maaf." Pemuda itu lekas menuruti perintah Lian.
Lian melepaskan cengkeraman dengan sedikit kasar. Pemuda itu langsung berlari menjauh tanpa memperbaiki akibat ulah telah menjatuhkan barang-barang wanita yang telah ditabraknya.
"Nak Berlian? Sedang apa di sini?" Melati heran.
Lian tersenyum dan menjawab asal, "Saya kebetulan lewat, Bu."
"Terima kasih atas tindakanmu tadi. Padahal sebenarnya tidak perlu sekeras itu." Melati tersenyum tidak enak hati.
"Tidak masalah, Bu. Orang yang tidak punya sopan santun memang harus diberi pelajaran." Lian berkata sambil memungut barang-barang yang terjatuh akibat tabrakan dengan pemuda urakan tadi. Kemudian meletakkan di keranjang yang dibawa Melati.
"Kamu mau ke mana setelah ini?" Melati bertanya dengan sedikit harapan Lian memiliki waktu luang.
Lian mencoba menyembunyikan niatnya yang semula ingin mendatangi pemerintah setempat.
"Saya sedikit longgar hari ini, Bu."
"Kalau begitu mari ke rumah, aku membuat banyak pai dan ingin membawakannya untukmu." Bola mata Melati tampak begitu berbinar.
Lian tersenyum tidak enak hati untuk menolak. Dia pun mencoba mencari jawaban penolakan yang halus.
"Mungkin lain kali saja, Bu."
"Padahal rumah kami dekat." Melati menunjuk ke suatu arah.
Lian tercengang. Sungguh dia baru tersadar bahwa rumah Zinnia tidak berada jauh dari tempatnya sedang berdiri sekarang. Kini Lian tidak bisa mengeluarkan jurus lain lagi. Mungkin, dia bisa mampir sebentar. Lian mengangguk membuat Melati tampak senang. Mereka berjalan beriringan dengan sesekali diselingi tanya jawab ringan.
"Sebentar, ya."
Mereka telah sampai di tujuan. Melati berpamitan masuk ke rumah setelah mempersilakan Lian duduk di kursi tamu yang berada di beranda.
Saat sedang menunggu kemunculan Melati kembali, Lian mengalihkan atensi pada sebuah kendaraan yang memasuki pekarangan. Sedan berhenti di samping taman. Dari sisi pintu kemudi keluar seorang pemuda yang terlihat tak beda jauh umur dengannya. Pemuda itu berjalan gesit menuju pintu di sisi seberang, membukakan pintu dan muncul seorang gadis dengan white cane yang sama sekali tidak mengurangi keanggunan sang gadis.
"Zinnia?" Lian terheran, dari mana gadis itu bersama laki-laki?
Dari kejauhan, pemuda pembawa sedan tampak begitu khawatir. Sesekali meraih tangan Zinnia untuk membantu, tetapi Zinnia menyingkirkan tangan menjauh. Mereka berjalan mendekat ke arah rumah.
"Halo." Pemuda yang asing di mata Lian menyapa. Lian berdiri dan mengangguk.
Raut wajah Zinnia berubah. "Lian, itu kamu?"
"Hem." Lian menjawab datar.
Zinnia mengembuskan napas.
"Siapa dia?" Pemuda yang datang bersama Zinnia bertanya dengan setengah berbisik.
"Lian perkenalkan, Gilbert." Zinnia berucap begitu ringan tanpa merasa terbebani.
Lian dan pemuda bernama Gilbert itu saling beradu pandang.
Lian mengulurkan tangannya, "Berlian."
Disambut salam Lian, "Gilbert."
"Dia putra dari guru lesku. Dia juga yang mengantar jemput aku." Zinnia memberi tahu pada Lian.
Gilbert tersenyum merasa dimenangkan.
"Aku langsung pamit, Zinny." Gilbert menyebut Zinnia dengan panggilan manis buatannya. "Sampai jumpa besok lusa," lanjutnya.
"Mari." Gilbert berpamitan pada Lian sambil tersenyum miring.
Lian mengangguk dan tersenyum datar.
"Apa dia kurang kerjaan sampai mengantar jemputmu?" Lian bertanya sinis setelah kepergian Gilbert.
"Kenapa kau bilang begitu? Itu menyinggungku." Zinnia merasa sedikit kesal dengan tanggapan kekanak-kanakan Lian.
"Kamu sudah kembali?" Melati muncul dari dalam rumah dengan membawa bingkisan pai.
"Gilbert tidak ikut? Ke mana dia?" Melati mengedarkan pandangan ke sana kemari mencari sosok lain selain Zinnia dan Lian.
"Dia baru saja pulang, Ma." Zinnia memberi tahu.
"Aduh, sayang sekali. Mama juga mau memberikannya pai." Ucapan Melati membuat Lian tidak lagi merasa spesial.
"Lian, ini untukmu. Semoga suka." Melati mengulurkan bingkisan pai pada Lian.
Lian menerimanya. "Saya terima, Bu. Terima kasih banyak."
"Dengan senang hati. Ibu merasa sangat berterima kasih pada pemuda baik sepertimu." Melati tersenyum tulus.
Lian membalas dengan wajah berseri, menambah aura menarik di wajah. Dia akan membalas semua kebaikan wanita di hadapannya itu. Hatinya begitu putih.
"Saya langsung pamit, Bu. Maaf ...."
Melati mengangguk. "Jangan sungkan jika kamu ingin kemari."
"Mama?" Zinnia ingin protes.
Melati menoleh sejenak pada Zinnia. "Dia memang suka begitu. Padahal sebenarnya hatinya terbuka untuk berteman dengan siapa saja."
Lian mengangguk. "Saya mengerti, Bu."
Zinnia terdiam. Tidak tahu mengapa mamanya dan Lian bisa kompak membuatnya mati kutu.
"Saya pergi, Bu."
"Hati-hati. Salam untuk keluargamu di rumah."
Ucapan Melati cukup membuat Lian terhenyak sejenak. Namun, dia hanya mengangguk. Dalam kepalanya membayangkan keluarga di sebuah kehidupan berbeda. Andai Zinnia dan mamanya tahu asal-usul dirinya, apakah mereka masih bersedia menerima keberadaannya? Lian berjalan membelakangi Zinnia dan Melati dengan pikiran yang mulai mempertanyakan tentang perbedaan.
💎💎💎
Bersambung ....
CU💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top