[3] Awal Persahabatan

Kegelapan menyelimuti sebagian wajah bumi. Angin malam berembus, dingin menembus kulit. Zinnia masih terjaga.

Ini hanya ketepatan yang terjadi di antara kita. Ucapan pemuda yang mengaku bernama Berlian itu terngiang.

"Sebenarnya, aku memang membutuhkan teman. Aku tak punya itu sejak mataku tak berfungsi begini." Zinnia bermonolog di atas tempat tidur. Dia bersandar pada kepala ranjang.

Di tengah kesibukan mencari-cari seberkas cahaya dalam kegelapan di penglihatan, Zinnia teringat teman-temannya di Negeri Siam. Dahulu, hidupnya normal dengan beberapa teman bermain yang setia. Terasa lengkap saat memiliki dua orang tua utuh yang penuh cinta. Ingatan itu tiba-tiba merangsek paksa dengan berbagai peristiwa yang berlomba masuk tanpa tertata. Seperti Benang kusut yang memenuhi kepala. Potongan adegan menyiksa seolah menusuk-nusuk otak dan hati dalam waktu bersamaan. Slide memori itu berujung pada bergulingnya kendaraan membawa seorang anak perempuan dan seorang laki-laki dewasa menjemput bencana.

"Tidak!" Zinnia berteriak keras dan ketakutan. Bayangan dalam kepalanya begitu mengusik. Kecelakaan yang terjadi sepuluh tahun lalu seolah tak pernah mau enyah. Keringat dingin bermunculan di pori-pori tubuhnya.

"Zinnia?!" Melati yang mendengar teriakan, mendatangi kamar putrinya dengan panik. Pintu yang tak terkunci memudahkannya untuk segera masuk.

"Kenapa, sayang?" Melati cemas.

"Mama ...." Zinnia meraba angin, mencoba menggapai tubuh Melati.

Wanita berhati lembut itu dengan cepat merengkuh, memeluk tubuh gadis cantiknya dengan penuh kasih.

"Aku tak mau, Ma." Zinnia terisak. Kenangan itu sangat menyakitkan hatinya, sehingga membuat kepalanya begitu nyeri.

Melati mengelus punggung Zinnia, "Mama temani kamu tidur malam ini."

Melati mempererat pelukan, menguatkan Zinnia semampu yang dia bisa. Melati tahu, bayangan tentang kecelakaan tragis yang dialami Zinnia masih selalu membayangi, kerap datang tiba-tiba dan mengundang histeria. Melati membelai Zinnia sehingga ketenangan di setiap kali sang mama mendekap tubuh perlahan mengantarkan tidur.

💎💎💎

Sosok pemuda yang memiliki ciri khas dengan garis wajah tegas merentangkan kedua tangan dan merenggangkan otot-otot di tubuh yang atletis. Dia melirik penunjuk waktu.

"Hidup di kerajaan manusia modern sungguh melelahkan. Lebih nyaman tinggal dengan sejuta peraturan dibandingkan sejuta kebebasan."

Dia putra mahkota dari kerajaan bangsa di mana kumpulan mineral menghimpun lapisan kerak bumi. Dunia dalam kancah yang berbeda. Dipandangi gelang dari manik batu mulia yang melingkar di pergelangan tangan. Salah satu manik di antaranya adalah batu berlian, bersinar menampakkan identitasnya sebagai seorang pangeran.

Suara getaran mengalihkan perhatian Lian. Alat canggih yang ada di meja itu menunjukkan layar yang bertuliskan nama teman kampusnya, Agil.

"Iya?" Lian langsung menyapa dengan singkat.

"Besok jogging!"

Lian mengerutkan kening, "Apa itu?"

Sesaat hening. Di seberang Agil terheran, manusia mana yang tidak tahu istilah itu. 'Bukankah dia bilang dia dari luar negeri?' Agil bertanya dalam hati.

"Lari pagi. Sekalian kukenalkan kau dengan pemandangan-pemandangan indah." Agil menjelaskan.

"Aku sudah terlalu sering melihat pemandangan." Lian merespons lugas.

Agil berdecak, "Ayolah, banyak hal baru yang mungkin akan kau lihat."

"Oke."

💎💎💎

Burung-burung mungil bertengger di ranting pohon dan berkicau ramah. Matahari bersinar tipis dari balik celah pepohonan di sebelah timur. Hangat, membuat embun perlahan hirap.

Lian, Agil, dan beberapa pemuda yang juga berstatus sebagai mahasiswa sedang lari laun di jalanan khusus. Kembali tak disangka, Lian menyadari bahwa jalan yang dilalui lagi-lagi melewati rumah Zinnia. Gadis itu tampak dari kejauhan sedang duduk di taman seperti kemarin. Kali ini tidak ditemani mamanya. Lian terusik dan menghentikan kaki yang sedang berlari-lari kecil.

"Hei! Mengapa berhenti?" Gala, salah satu dari rombongan berseru ketika menyadari kelakuan Lian.

"Kalian duluan saja, aku ada urusan sebentar," Lian menyahut.

Agil yang ikut berhenti dan menampakkan raut heran, berkata pada Gala. "Dia memang suka aneh begitu sejak jadi warga negara Indonesia."

Gala mengangkat bahu dan melanjutkan jogging, disusul Agil yang sesekali menoleh, melihat Lian yang mengubah arah langkah menuju pagar masuk sebuah rumah. Lian mendapatkan kesempatan saat tahu pintu pagar terbuka sedikit sehingga ada celah untuknya masuk. Dengan langkah pasti dia mendekati Zinnia yang masih mendendangkan sebuah lagu asing bagi pendengarannya.

"Apa kabar?"

"Siapa?!" Zinnia tersentak.

"Selalu saja tidak mengenali suaraku. Ini aku Lian."

"Lian?"

"Gadis muda jangan termenung, nanti jadi tua." Lian menggoda anak gadis pagi-pagi. Sungguh, sebelumnya dia tidak pernah usil pada siapa pun kecuali tiga adiknya di dunia yang kini sedang dia tinggalkan. Itu pun bisa dihitung dengan jari tangan.

"Cerewet. Pagi-pagi tidak usah tebar pesona. Tidak ada gunanya juga, aku tidak bisa melihat wajah konyolmu itu." Zinnia sinis.

"Aku tidak yakin jika kau melihatku tidak akan jatuh hati." Lian merasa begitu percaya diri mengatakan kalimat narsistik itu. Iya, memang benar, di dunia di mana dia mendapat tampuk strata sosial yang banyak diinginkan orang, dia memang seorang pangeran yang begitu banyak dielu-elukan oleh para gadis. Selalu ada dari dirinya menjadi sumber pujian orang-orang.

"Kukira cuma Narkissos yang mencintai bayangannya sendiri. Ternyata ada satu di hadapanku saat ini." Zinnia menyindir.

Lian mengamati sekeliling, "Mamamu ke mana?"

"Tadi mama bilang pergi untuk membeli sayur-mayur." Zinnia memalingkan wajah meski tidak bisa melihat apa pun.

"Pantas saja pintu gerbang terbuka. Kau pemberani sekali, bisa duduk di sini sendirian. Kalau ada penculik bagaimana?" Lian sadar bahwa ucapannya tidak berbobot. Entah mengapa dia ringan sekali mengatakan itu.

"Kalau ada yang berani menculikku, mungkin kamu itulah penculiknya." Zinnia membalas candaan. "Kalau tidak ada kepentingan kamu pergi saja," lanjutnya.

"Selalu saja mengusir." Lian menatap wajah Zinnia dengan heran. Mengapa ada wanita judes yang menggemaskan di dunia ini?

"Lalu kamu mau apa?" Zinnia melembutkan suara.

Lian mengerutkan dahi, "Mengapa suaramu jadi begitu?"

"Jadi maunya aku marah-marah?!" Suara Zinnia kembali ketus.

"Tidak." Lian menjawab lembut dan tegas. Diperhatikan olehnya air muka Zinnia. Sorotan redup di bola mata. Gadis itu buta, tapi menyimpan rahasia yang menarik hatinya.

"Aku ingin menawarkan sesuatu."

"Katakan saja."

"Kamu bersedia menjadi temanku?"

Ucapan Lian sukses membuat Zinnia kehilangan kata-kata. Sunyi merambah di antara jarak mereka. Zinnia merasa ada yang aneh di indra penglihatan yang tidak berfungsi. Sudut bibirnya berkedut seperti ingin mengungkapkan luapan emosi tertahan.

"Maaf jika ucapanku menganggumu. Jika kamu tidak bersedia, aku terima. Ini hanya tawaran dariku yang kekurangan teman di sini. Sejujurnya, aku baru pindah kewarganegaraan pekan lalu. Jadi tidak begitu paham bagaimana cara hidup di sini, termasuk cara berhubungan dengan orang-orang apalagi lawan jenis." Lian mengungkapkan bagian dari keadaan dirinya.

"Kamu benar. Terima kasih atas tawaran itu. Aku juga tidak begitu mengerti kehidupan di sini. Aku juga sama sepertimu yang pindah kewarganegaraan. Hanya saja bertahun-tahun sudah berlalu, aku masih kesepian. Tidak memiliki teman."

"Jadi?" Lian meminta kepastian.

"Ya, aku mau menjadi temanmu." Zinnia menjawab tegas. Ada senyum di wajah yang cantik itu.

Lian ikut tersenyum.

"Terima kasih." Zinnia berucap tulus. Ada yang berdesir di dada.

Dari kejauhan, Melati yang baru pulang berbelanja menatap Lian dan Zinnia. Meluap setitik air mata haru. Akhirnya ada seseorang yang bersedia disambut oleh hidup anak terkasihnya yang selalu kesepian.

💎💎💎

Bersambung ....

CU🌷

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top