[23] Suar Api

Kerosak menyuara di ketenangan suatu daratan yang tampak seperti hutan di masa lampau. Sunyi sekaligus suram. Zinnia dan Gilbert terpaku menyaksikan penampakan yang tidak seperti sebelumnya. Tak ada rumah keluarga Lehrer, tak ada maujud yang mereka kenali. Sungai berwarna kehitaman dan berlumut. Lumpur pekat mengelilingi beberapa bagian.

"Di mana ini?" Gilbert bingung. Dia merasa seperti bermimpi dan kebingungan menatap Zinnia. Niat buruk yang mungkin saja akan dia laksanakan jika tidak terperangkap di alam aneh itu telah sirna.

"Kau sebenarnya siapa?" Gilbert menunjuk Zinnia dengan tatapan menyelidik. "Dan tempat apa ini?" lanjutnya seraya berganti menunjuk lingkungan sekitar.

"Aku juga tak tahu mengapa kita berada di sini." Zinnia membalas tatapan intimidasi Gilbert. Dia melihat ke sekeliling sekali lagi. Kemudian berpikir, apakah itu dunia yang perlu dia datangi bersama Lian untuk menemukan sisa batu yang hilang?

"Kau mengabaikan perasaanku begitu saja." Gilbert teringat bahwa dirinya sedang melakukan misi untuk mendapatkan gadis di hadapannya itu.

"Justru salahmu yang tak mampu menahan diri untuk tidak ceroboh!" Zinnia tak terima.

"Aku mencintaimu, Zinnia!" Suara Gilbert memantul di hutan yang masih misterius itu, dan menarik perhatian satu wujud reptil yang menampakkan kebuasan di matanya.

"Cinta yang memaksa, itu bukan cinta, tetapi kejahatan." Zinnia masih mencoba meluruskan pikiran Gilbert yang semena-mena. "Sejak kapan cinta itu mencelakakan orang lain?" lanjutnya dengan wajah merah bukan hanya menahan amarah, tetapi juga menahan tangis.

Gilbert terdiam. Ada sedikit perasaan bersalah. Benarkah dia semena-mena? Pikirannya yang kalut mencoba ingkar. Belum sempat melanjutkan obrolan, melupakan keselamatan mereka yang mungkin saja terancam, ada suara mendesis diikuti gesekan halus di daun-daun kering. Zinnia dan Gilbert serentak menoleh ke sumber suara dan dikejutkan dengan kedatangan ular berbisa. Keduanya berlari untuk menghindari, tetapi berjumpa dengan buaya yang berada di tepian sungai.

"Apa ini?!" Gilbert merasa kesal dan keder bersamaan.

Saat keduanya memutuskan untuk melarikan diri ke arah lain lagi, muncul satu makhluk reptil besar yang menatap buas, menderam, dan sesekali lidahnya menjulur. Komodo, salah satu reptil pemburu terbesar yang mematikan. Zinnia dan Gilbert panik menyelamatkan diri masing-masing sehingga tanpa disadari mereka terpisah. Malangnya, reptil buas itu memilih untuk mengejar Zinnia. Mereka telah menyusup tanpa sengaja ke alam reptilia, dunia sauropsida.

"Ini?" Lian sedang kebingungan. Dia menyadari bahwa saat ini dia sudah terseret ke alam lain. Namun, saat ini dia tidak sedang bersama Zinnia.

"Apakah kesimpulanku salah?" Lian masih saja terheran. Dia menggelengkan kepala tak ingin ambil pusing. Langkahnya dilanjutkan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan. Bisa saja, dia akan menemukan batu jiwa Wonder Stone dengan upayanya yang tanpa persiapan seperti sebelum-sebelumnya. Penanda di pergelangan tangannya berbunyi. Lalu di saat yang bersamaan dia melihat seorang gadis berlari. Di belakang gadis itu ada hewan serupa monster sedang kalap.

Lian tercengang dan tanpa menunggu lama segera membantu untuk menghentikan pergerakan komodo raksasa.

Zinnia tersungkur tepat saat Lian memberikan satu pukulan di bagian kepala komodo hingga hewan itu terhenti dan terdiam menatap Lian tanpa reaksi untuk melawan. Lian teringat pertemuannya dengan Zinnia pada penemuan batu cahaya pertama. Saat ini, mereka pun tiba-tiba bertemu.

"Apa kau tiba-tiba terseret kemari?" Lian bertanya pada Zinnia di sela-sela menunggu serangan komodo selanjutnya. Lian tak ada niatan untuk membunuh hewan yang mendadak seperti tak ada minat untuk bergerak itu.

Zinnia masih bergetar memandang naga purba yang sedang terdiam menatapnya. Tepat saat matanya beradu dengan mata reptil besar tersebut, Zinnia menyadari warna matanya seperti api, menyala kemerahan. Komodo itu tersungkur menyerupai hewan yang telah ditaklukan, menderam lembut dan pelan-pelan terkulai di tanah. Lian dan Zinnia tambah terkejut ketika sebuah benda tiba-tiba meluncur dari satu mata komodo. Tergelincir ke arah Zinnia yang kemudian memilih untuk terduduk lemas, perasaannya kembali tak menentu.

"Mengapa kamu harus selalu mengikutiku?" Zinnia bergumam lemah.

Lian menyadari kegundahan kembali menyergap Zinnia, dia berjalan mendekat. Namun, bukan berambisi untuk mengambil permata berwarna merah yang kini berhasil ditemukan.

"Batu cahaya itu suka terhadap makhluk yang tulus dan bersih. Itulah alasannya batu-batu itu selalu mendekat denganmu."

"Lalu kenapa harus aku?" Zinnia menatap permata merah itu dan berkata ketus, "Ambillah!"

Lian mengerutkan dahi, tak seperti biasanya Zinnia sekesal itu. Namun, karena dia memang membutuhkan benda yang sedang dicarinya, dia pun memungut permata tersebut. Baru saja ujung tangan Lian menyentuh, ada sensasi terbakar yang mengejutkannya. Percobaan kedua kali masih sama.

"Ada apa?" Zinnia menyadari Lian yang urung mengambil batu permata warna merah itu dan menatap permukaan punggung telapak tangannya dengan keheranan.

"Tanganku seperti tersengat."

"Kenapa bisa begitu?" Refleks tangan Zinnia memungut permata merah itu. Zinnia ingin membuktikan sendiri dengan memegangnya langsung. Berbeda dengan Lian, dia berhasil menyentuh tanpa merasakan seperti apa yang Lian katakan.

"Tanganku baik-baik saja."

Keduanya saling bertatapan, mengutarakan keheranan yang tak dikatakan.

"Kalau begitu mari kita kembali." Lian menggerakkan tangannya untuk menggenggam rangkum permata di tangan Zinnia sebagai cara yang sama seperti apa yang mereka lakukan sebelumnya. Dengan begitu mereka bisa kembali.

"Tunggu. Bagaimana Gilbert?" Zinnia membatalkan gerakan Lian.

"Kau tidak sendirian kemari?" Lian menebak bahwa Gilbert ikut terseret ke alam yang sama.

Zinnia mengangguk. "Gilbert juga ikut bersamaku, tapi sekarang entah di mana." Tiba-tiba Zinnia teringat hewan-hewan buas yang sebelumnya sempat dijumpai dan membuat mereka lari terpisah arah.

"Mengapa bisa begitu?" Lian penasaran.

"Aku berprasangka Gilbert hendak melakukan hal buruk padaku. Lalu, saat aku memberontak, ada sesuatu yang seolah melompat dari dalam dadaku. Itu yang berhasil kuingat sebelum ada pusaran waktu yang membawa kami ke tempat ini."

Lian tertegun. Kemampuan Zinnia untuk bisa memasuki alam yang seharusnya tidak bisa diakses sembarangan manusia pun sudah membuat Lian heran, mengapa sekarang bertambah lagi?

"Aku akan mencoba mencari jejaknya." Lian membuka akses diri untuk mendapat bantuan sinyal dari batu-batu di permukaan tanah reptilia.

"Ikut aku," ajak Lian.

Zinnia mengikuti langkah Lian. Hingga menemukan tubuh Gilbert di kejauhan yang sedang pingsan dan dikelilingi oleh reptil-reptil.

"Tidak." Zinnia menutup mulutnya. Dia hendak nekat menyusul Gilbert, tetapi dicegah oleh Lian.

"Kita tidak bisa menyelamatkan langsung."

"Maksudmu?" Wajah Zinnia pias. Dia merasa bersalah telah menyeret Gilbert ke alam ini.

"Menurutku, kita harus segera pergi dari dunia reptil ini. Jika energi Gilbert mampu masuk ke dimensi ini karena energimu yang sempat bersinggungan di dunia manusia, Gilbert pasti akan ikut kembali bersama energimu juga." Lian menjelaskan.

"Lalu jika dia tidak ikut kembali?"

"Itu yang bisa kita lakukan saat ini. Melawan reptil-reptil itu juga sia-sia. Komodo tadi takluk karena dia memang sengaja mengejar bukan untuk mencelakaimu. Berbeda halnya dengan Gilbert."

"Dari mana kau tahu itu?"

"Ini keputusanku. Terserah jika kau tak ingin percaya. Kita mungkin akan melihat tubuh Gilbert habis dikoyak oleh reptil-reptil."

Zinnia tak ingin hal itu terjadi, dia kemudian menyuruh Lian menyertainya menggenggam permata merah untuk membuka gerbang matra dunia manusia.

💎💎💎

Bersambung ....

CU🌷

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top