[22] Spirit Mara?
Zinnia seharusnya yakin memutuskan kata ‘tidak’ pada tawaran Gilbert untuk keluar rumah. Bukan perkara tak mau balas budi, hal seperti yang saat ini Zinnia rasakan adalah sebabnya. Zinnia tak mau memberikan harapan palsu, bahkan sejak awal pun memang tidak menganggap Gilbert lebih dari sebatas teman dan anak dari gurunya.
“Aku pulang.” Zinnia tanpa peduli lagi dengan makanan ringan yang sama sekali belum dia sentuh, memutuskan untuk kembali.
“Aku belum selesai berbicara.” Gilbert menatap tajam walau sepihak.
“Aku akan pulang sendiri.” Dalam pikirannya, Zinnia bisa mencari jalan agar sampai ke rumah sendirian. Apa lagi, kesan yang didapatkan saat ini tentang Gilbert cukup buruk.
“Kau ingin aku menjadi laki-laki yang tak bertanggung jawab setelah membawamu kemari lalu membiarkanmu begitu saja?” Gilbert tersinggung.
Zinnia menggeleng.
“Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya ....”
“Aku yang mengantarmu!” Gilbert mulai memasang wajah serius. Setelah gagal memperdebatkan caranya pulang, Zinnia kini telah berada di dalam kendaraan milik Gilbert. Pemuda itu masih memasang wajah tak tertebak. Zinnia tidak bisa menjelaskan prasangkanya.
Di sepanjang perjalanan, keduanya diam. Sibuk dalam pikiran masing-masing. Sampai kemudian Zinnia menyadari bahwa dia tidak hafal jalan.
“Kau sungguh mengantarku pulang?” Zinnia curiga.
“Ya.”
Gilbert berbohong. Bukannya mengantarkan Zinnia pulang, Gilbert mengarahkan tujuan ke alamat rumahnya sendiri.
Sejak Gilbert mulai bertindak keras dan kaku, Zinnia menepis anggapan lama tentang Gilbert yang tulus. Dia hendak mengirimkan pesan pada Lian untuk berjaga-jaga. Cara Zinnia yang terkesan buru-buru dan tidak tenang mengetik pesan membuat Gilbert gerah. Tanpa berkata-kata, Gilbert merebut ponsel Zinnia dan mengintip layar sekilas. Lalu pemuda itu tersenyum sinis.
“Kau benar-benar menguji kesabaranku, Zinnia.”
Panggilannya yang normal semakin membuat Zinnia takut karena itu adalah tanda bahwa Gilbert sedang tidak baik-baik saja.
Di kediaman Lian, kesibukan teralihkan pada radar yang ditunjukkan benda serupa jam tangan. Si empunya mengerutkan dahi heran. Beberapa saat yang lalu bayangan Zinnia dalam bahaya tiba-tiba muncul. Sekarang, arlojinya memberikan suatu tanda yang Lian belum tahu maksudnya apa.
“Apakah Zinnia baik-baik saja?” Pertanyaan itu menggiring tindakannya untuk menghubungi gadis yang mendadak dia khawatirkan.
“Tidak aktif?” Lian mengulang sekali lagi dan tetap tidak menerima jawaban. Lian pun menghubungi Melati.
“Dia sedang pergi bersama Gilbert. Kukira hari ini ada jadwal pertemuan dengan Tuan Lehrer,” sahut Melati saat menerima panggilan telepon dan mendapatkan pertanyaan dadakan Lian tentang keberadaan Zinnia.
“Baik, Bu. Terima kasih atas informasinya. Saya khawatir karena nomor Zinnia tidak aktif.”
Melati terheran, “Mungkin dia sedang masuk kelas.”
Lian teringat ancaman Gilbert yang bisa melakukan apa yang tak bisa dia lakukan. Gilbert mungkin saja bisa nekat sebagaimana yang pernah dikatakan saat pertemuan mereka terakhir kali. Lian pun bergegas pergi walau tanpa arah. Yang sekarang menjadi tujuan pertamanya adalah rumah Gilbert. Dia tahu karena pernah ke sana sebelumnya.
Sementara itu, Zinnia tengah menyadari sesuatu saat Gilbert menghentikan laju kendaraan di sebuah rumah yang menumbuhkan kecurigaan semakin besar.
“Kenapa kau bawa aku kemari bukannya rumah kami?” protes Zinnia.
Gilbert memasang wajah datar sambil memberi perintah, “Turun.”
Zinnia merinding seketika. Dia terpaksa turun dan berdiam diri, memperhatikan rumah yang dia sangka adalah rumah Tuan Lehrer yang selama ini dikunjunginya untuk mengikuti les biola. Zinnia fokus mengamati detail jalan menuju rumah dan mengingat bagaimana dia berjalan menuju ke suatu gedung yang dia tebak sebagai kelas musik. Saat sedang konsentrasi, Gilbert tiba-tiba menyuruhnya masuk.
“Ayo masuk.” Belum ada tanda-tanda Gilbert melakukan pemaksaan yang kasar.
“Aku ingin pulang ke rumahku, bukan rumahmu. Kenapa kau jadi egois dan culas seperti ini?”
“Jangan membuatku marah. Ikuti saja perintahku.”
“Tidak. Sikapmu telah membuatku tak percaya padamu saat ini?” Zinnia masih berdiri kokoh melawan keinginan Gilbert.
“Aku bisa memaksamu,” ancam Gilbert.
Zinnia tersenyum miris. “Menyedihkan.”
“Ikut aku.”
“Tidak.”
Geram dengan kekeraskepalaan Zinnia membuat Gilbert seketika melakukan tindakan kasar dengan menarik paksa tangan gadis itu.
“Lepas!” Zinnia berontak.
Penolakan Zinnia tidak mendapatkan tanggapan baik, justru semakin menguatkan tarikan tangan Gilbert.
Zinnia sangat marah dan tanpa disadari ada energi penolakan bergejolak seolah menembus dari dalam jiwa gadis itu. Beriringan dengan amarah dan hempasan tangan Zinnia, membuka gerbang matra alam lain dan membawa serta Gilbert dalam arus perjalanan melintasi batas dimensi.
Kejadian yang dialami oleh Zinnia dan Gilbert tidak hanya menenggelamkan keduanya menuju loka sepanas api. Lian yang baru saja sampai dan turun dari mobil yang dikendarai, ikut terseret energi yang sama. Ketiganya menghilang, serentak meninggalkan dunia manusia.
💎💎💎
Guncangan yang terjadi di rumah batu jiwa, Wonder Stone, kembali terjadi dengan intensitas lebih dari biasanya. Kabar itu telah sampai pada Kaisar Agate yang kini melanjutkan perenungannya sambil menatap pegunungan di kejauhan. Awan-awan merupa selimut alam menutupi sebagiannya. Suara burung-burung migrasi mengantarkan ingatan Kaisar Agate pada percakapan dengan ayahnya yang menjadi pemimpin Wonder Stone sebelum dirinya.
“Raja dari dunia nabatah mengadakan kerja sama dengan Kaisar Jadeite, buyut kalian. Saat itu para tetua dua kerajaan berbeda alam itu mengadakan perjanjian, bandit kelas kakap datang mengadu domba. Sehingga mengagalkan kerja sama dari dua pemimpin yang sudah menjadi orang besar di dunia manusia pada abad 19. Zaman saat jual beli permata mulai berjaya. Keserakahan Israf yang menjadi bagian dari golongan elit dunia mengikuti Kaisar Jadeite kemari dan mencuri lima permata yang sangat berharga bagi Wonder Stone.” Kisah itu membekas di ingatan Kaisar Agate.
Batu cahaya memang dianggap sebagai bagian jiwa dari dunia Wonder Stone. Hilangnya lima permata perlahan membuat Wonder Stone mengalami pengikisan dan harus segera diselamatkan.
“Hanya pangeran terpilih yang bisa menemukannya kembali. Dia adalah anak pertama dari keturunan ketujuh Kaisar Jadeite yaitu anakmu.” Kegundahan Kaisar Agate tak sampai di situ.
“Pilihannya mungkin saja korbankan Wonder Stone, atau makhluk setengah manusia yang telah berperan serta atas kehilangan itu.” Ini adalah kalimat yang masih menjadi teka-teki. Kaisar Agate teringat dengan perkataan permaisuri Rhana. Sudah waktunya dia bertanya sekarang.
Kaisar Agate mendatangi Permaisuri Rhana yang sedang berkutat dengan aktivitasnya memberikan pembekalan pada para petugas istana perempuan. Kedatangan Kaisar Agate membuat pertemuan yang digagas sang permaisuri dihentikan. Semuanya undur diri sehingga menyisakan Kaisar dan istrinya.
“Beri tahukan tentang tanda yang kau temukan kemarin.” Kaisar Agate langsung bertanya pada pokok kegundahan.
“Tanda mungkin datang marabahaya?” Permaisuri Rhana memastikan.
“Ya.”
Keduanya berpindah ke kawasan lebih privat.
“Itu datang dari energi yang berada di dekat Diamond saat ini.” Permaisuri Rhana langsung membuka suara saat keduanya berada di sisi danau taman istana.
“Sepertinya Diamond perlu beritahukan banyak informasi. Dia harus kemari.”
💎💎💎
Bersambung ....
TBC🌷
Semangat!🙌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top