[21] Ungkapan Hati yang Tersisih

Cicit kukila mengusik indra pendengar sekaligus menyampaikan berita kedamaian pagi hari. Lian menyingkap selimut yang masih menutupi bagian bawah tubuhnya setelah membuka mata perlahan sembari mengintip cercah cahaya dari celah tirai jendela. Dia bangkit melipat selimut serta membenahi susunan perlengkapan tempat tidur hingga tampak rapi. Kemudian menghampiri persegi kaca dan menyeret gorden warna krem itu sampai pemandangan di luar ruangan terpampang jelas. 

Masih ada embun tersisa dan melembabkan udara. Beberapa tumbuhan memamerkan warna selain ragam monoton kayu dan dedaunan. Tepat di tengah aneka rupa bunga khas iklim tropis, ada seorang gadis tengah menyambutnya dengan senyum manis yang sangat Lian sukai, bahkan sejak pertama kali mengenalnya.

“Zinnia?” Lian menyadari bahwa bayangan itu hanya ada dalam pikiran, bukan nyata adanya.

Mengapa gadis itu mudah sekali merisak? Lian membatin bahwa ada kekesalan tak tergambarkan saat Zinnia datang tanpa izin ke dalam benaknya. Naga-naganya, gadis yang selalu membersamai petualangan dalam mencari batu-batu cahaya itu memang telah bersemayam di tempat khusus dalam hatinya. Bukan hanya atas sekadar ungkapan terima kasih, tetapi juga rasa nyaman untuk memupuk perasaan lebih jeluk.

Lian bergegas untuk menyegarkan tubuh dengan air, agar hilang kantuk serentak menyapu khayalnya.

💎💎💎

Sosok yang tak diundang datang dalam pikiran Lian kini sudah duduk manis di meja rias. Belum sempat merapikan mahkota kebanggaannya ketika datang suara dari benda pipih yang menampilkan panggilan telepon dengan nama kontak Gilbert. Zinnia yang belum merasa sepenting itu untuk dihubungi, hanya melihat ponsel yang dibelikan mamanya itu sampai kembali sunyi. Zinnia mengingat bagaimana sang mama membelikan benda canggih yang dulu juga sempat dimilikinya saat masih kecil dan belum mengalami kebutaan. Beberapa hari setelah kesembuhan matanya, sang mama menjelaskan bahwa benda itu memiliki posisi penting di zaman sekarang. Zinnia pun menggunakan alat komunikasi itu walaupun baru sekadar terbiasa mengoperasikan aplikasi telepon dan pesan.

Zinnia mengecek panggilan yang tak diangkat, membaca nama yang barusan melakukan panggilan terlewat. Ponselnya memang hanya menyimpan beberapa nomor dari orang-orang yang dikenal. Saat handphone masih dalam genggaman, dering panggilan kembali berbunyi dari nomor yang sama. Zinnia pun menggeser ikon terima panggilan.

“Iya?” Zinnia menyapa.

“Zinny, aku ingin bertemu denganmu hari ini.” Gilbert langsung menyampaikan maksud.

“Bukankah ayahmu masih belum kembali?”

“Ini bukan tentang les musik.” Gilbert menyanggah pertanyaan Zinnia yang seolah menolak secara halus.

Zinnia merenung. Lagi-lagi teringat pesan Melati untuk tidak terlalu dekat dengan laki-laki. Meskipun dia akan kesulitan jika itu Lian, tetapi mudah untuk Gilbert. Entah mengapa, dia yang kesepian dan tidak memiliki teman sejak membawa kekurangan yang dia miliki, hanya ada dua laki-laki yang menembus kehidupannya yang lengang. Syukurnya, sejak dia mengikuti program kejar paket, ada orang-orang baru yang bisa dia ajak berteman.

“Adakah yang ingin kau sampaikan?” Zinnia masih mencoba menghindari pertemuan dengan Gilbert.

“Aku hanya ingin menyampaikannya secara langsung, bukan di telepon. Oke?” Gilbert mulai rusuh.

“Baiklah, kau bisa datang kemari dan mengatakannya di rumah.” Zinnia menawarkan jawaban.

“Tidak. Aku akan mengajakmu keluar,” sanggah Gilbert.

Zinnia mengerutkan kening, tidakkah sifat Gilbert memang pemaksa?

“Apakah sepenting itu?” Zinnia masih mencoba berprasangka lurus.

“Ya. Tak lama lagi aku akan pergi ke Wina untuk melanjutkan sekolah musik seperti pesan daddy. Apakah tidak ada kesempatan untukku sebelum kita berpisah?” Gilbert memberikan alasan besar yang dia pikir bisa meluluhkan gadis yang telah menjadi prioritas hati sejak mengenalnya pertama kali.

“Baiklah.” Zinnia larut menerima ajakan Gilbert untuk bertemu.

Setelah bersiap ala kadarnya, Zinnia menyampaikan pada Melati bahwa Gilbert akan menjemput seperti biasa.

“Tuan Lehrer sudah kembali? Mama sudah lama tidak bertemu. Mama sangat berterima kasih dia telah sudi mengajarimu belajar.” Melati meninggalkan sejenak aktivitasnya yang sedang menyiapkan bahan-bahan untuk membuat soto.

“Mama jadi teringat semangatmu dengan biola sudah menggebu-gebu sejak kecil.” Melati melanjutkan cerita dengan antusias. Harapannya memang sudah terbangun semasa mereka masih berada di Thailand. Putrinya memang memiliki bakat tak biasa di bidang musik. Saking mahirnya memegang alat musik dawai yang digesek itu, bahkan setelah Zinnia kehilangan penglihatannya, bakat itu masih ada.

“Maafkan Zinnia tidak membantu mama memasak kali ini.” Zinnia merasa bersalah. Sejak penglihatannya sembuh, Zinnia memang selalu membantu Melati di dapur.

“Jangan pikirkan itu. Masih banyak lain waktu.” Melati memaklumi.

“Apakah Mama cemas kalau Zinnia pergi bersama Gilbert?” Zinnia justru menanyakan itu karena tebersit rasa curiga dalam hatinya. Entah mengapa, sejak tatapan kecewa Gilbert terakhir kali, dia menemukan pancaran resan.

Melati termenung sejenak, lalu menggeleng. “Dia sudah biasa mengantar jemput kamu selama ini. Belum ada alasan mama untuk curiga padanya. Jaga dirimu baik-baik, mama lebih percaya pada sikapmu. Mama tak pernah merasa kamu akan mengingkari rasa percaya mama.”

Selang beberapa lama, Gilbert sampai dan langsung mengajak pergi Zinnia.

“Mamamu sedang sibuk?” Gilbert merasa beruntung tidak mendapatkan pencegahan apa pun, terutama dari Melati. 

“Mama sedang memasak tadi, jadi tidak sempat menemuimu,” jawab Zinnia yang khawatir pemuda yang sedang menyetir dan membawanya menjauh dari rumah itu tersinggung.

“Apakah kau sudah sarapan?” Gilbert bermaksud mengajak Zinnia ke tempat makan.

“Sudah.” Zinnia memang telah sarapan bersama Melati.

“Padahal aku ingin mengajakmu ke rumah makan.” Gilbert menyayangkan. “Kalau begitu kita ke kafe saja,” lanjutnya.

Zinnia tidak menyahut sebagai tanda setuju. Gilbert pun membawa gadis pujaan yang baginya semakin lama semakin terlihat menarik. Apa lagi sejak Zinnia sembuh dari butanya, meskipun masih menyisakan tanda tanya mengapa bisa semudah itu. Sedangkan sejak pertama kali mereka saling mengenal, Gilbert berhasil menanyakan banyak hal termasuk kondisi kesehatan mata Zinnia. Ungkapan bahwa Lian menyertai kesembuhan itu membuat rasa muak Gilbert memuncak terhadap pemuda yang baginya menjadi penganggu. Itulah yang menyebabkan Gilbert enggan menanyakan proses kesembuhan Zinnia. Gengsi Gilbert terlalu tinggi untuk mengakui Lian memiliki peran lebih besar dibandingkan dirinya.

Gilbert dan Zinnia sudah berada di dalam kafe. Mereka berdua memesan hidangan ringan untuk disantap sembari Zinnia menunggu kalimat apa yang akan terungkap dari mulut Gilbert.
Sementara itu di lain tempat, seorang pemuda disibukkan dengan informasi tentang benda-benda amat berharga yang menjadi prioritas utamanya berada di bumi manusia. Dahinya berkerut memastikan tanda merah yang bergerak di peta petunjuk.

“Tanda apa ini?” Lian heran. Dia mencoba mengutak-atik layar dekstop, menyangka ada yang eror. Bersamaan dengan kesibukannya mencari kesalahan operasi komputer, telinganya tiba-tiba berdenging. Lian menutup telinga dan mata menahan berisik. Ketika matanya tertutup, terbayang Zinnia sedang berada di keadaan bahaya.

Gadis yang sedang dikhawatirkan olehnya sedang mendengarkan kalimat demi kalimat dari pemuda yang menyimpan bibit resah.

“Aku menaruh hati padamu, Zinnia. Rasa ingin memiliki yang begitu menggebu sejak aku mengenalmu sebagai gadis yang istimewa.” Gilbert menatap tajam ke wajah Zinnia yang membalas dengan tatapan datar.

Zinnia menundukkan pandangan menatap hidangan yang tampak tak menarik untuk disantap. Apalagi ungkapan Gilbert seolah membuat nafsu makan cerabut. Belum ada ide untuk menjawab ungkapan itu, walau dadanya tetap bergemuruh gelisah.

“Aku berharap perasaanku ini terbalas. Jawablah sekarang.” Gilbert mulai bersikap memaksa.

“Aku belum bisa–”

“Bukan karena Lian, ‘kan?” Gilbert memotong ucapan Zinnia yang terdengar mengecewakan dengan kata ‘belum’. Baginya, Zinnia harus mengatakan ‘iya’.

“Jangan bawa-bawa orang lain. Keputusanku adalah pilihanku.” Zinnia mulai merasa kesal.

“Aku yang mengenalmu lebih dulu!” Suara Gilbert mulai mengeras meskipun tidak sampai terdengar oleh pengunjung kafe yang lain.

Zinnia menatap Gilbert dengan kekecewaan, “Sebatas itukah pertemanan kita?”

“Teman?” Gilbert tertawa setelah mengatakan tanya yang tak membutuhkan jawaban itu. “Kau hanya berpikir kita teman setelah banyak hal kulakukan untukmu?”

Bibir Zinnia bergetar, tak sanggup rasanya menjawab pertanyaan Gilbert yang baginya bukan sebatas kekecewaan, tetapi juga ketidaktulusan. 

“Apakah kau tidak benar-benar membantuku selama ini? Apakah aku butuh membayarmu atas kebaikan yang kau lakukan?” Zinnia tak mengerti.

“Ya!” tegas Gilbert. “Harusnya kau mencintaiku.”

Mata Zinnia merah, dia tak mau menangis walau ingin. Dia benar-benar tak membayangkan jika sikap Gilbert akan sepemaksa itu. Sejak menjadi murid Norbert Lehrer, Zinnia memang banyak terbantu oleh kebaikan Gilbert. Kepolosannya berhasil menemukan kesan bahwa Gilbert adalah laki-laki yang baik.

💎💎💎

Bersambung ....

CU🌷
Fighting!🙌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top