[2] Perkenalan

"Lian!"

Pemuda dengan ransel tipis menyapa rekan barunya dengan diiringi tepukan pada pundak yang kokoh.

"Hai!" Lian membalas sapa dengan raut hangat.

"Kenapa jalan lagi?" Pertanyaan heran ditujukan pada sosok yang mampu menarik perhatian hanya dengan satu kali perjumpaan.

"Aku hanya ingin berjalan. Lebih nyaman dan sehat." Pandangan tertuju pada rekan mahasiswa yang menatap dengan ramah. Kenyataannya, Lian sengaja melakukan itu untuk tujuan tertentu, menyelidiki wilayah destinasi dengan lebih leluasa.

"Lian, Cecilia menitip salam. Katanya, dia menunggumu di dekat gerbang utama kampus." Mereka berjalan beriringan.

"Memang kenapa dengan dia?" Lian heran.

"Oh, aku lupa jika kau mahasiswa pindahan." Diliriknya Lian. Sejak mereka pertama kali bertemu, ada kesan tak terlupakan dari pemuda yang memiliki garis wajah berbeda dari ras negaranya itu.

"Dia itu cewek tercantik di jurusan. Padahal di kelas juga kalian sudah berkenalan, 'kan? Kalau aku jadi kau, sudah kuincar dan bidik dia." Agil, demikian dia kerap disapa, menyenggol lengan bagian atas Lian untuk menggoda.

Lian tertawa kecil. "Serem kamu, Gil."

"Hidup harus banyak hiburan. Dari tampangmu sulit untuk menjadi pemuda baik-baik." Agil mengumbar tawa lebih keras. Tanpa sibuk memperdebatkan pendapat Agil, Lian hanya tersenyum tawar. Mereka lalu berpisah untuk pergi ke tempat tujuan masing-masing.

Fokus Lian teralihkan sejenak untuk mengecek peta digital di smartphone baru. Peristiwa penjambretan kemarin memang menghilangkan beberapa barang berharga miliknya, termasuk ponsel pintar yang harus dia miliki di dunia manusia agar tidak tertinggal informasi. Tak butuh waktu lama bagi Lian untuk bisa mempelajari kehidupan dan sarana yang digunakan manusia pada umumnya.

"Lian!" Suara nada tinggi dan mendayu mengagetkan.

Lian yang masih sedikit kaku menjalani hidup di dunia keduanya itu menoleh dengan ketenangan yang masih terjaga.

"Cecilia?" Lian ingat, sosok itu adalah gadis yang dimaksud oleh Agil.

Mahasiswi bernama Cecilia terpana, "Aku senang, kau menghafal namaku."

Lian mengernyitkan dahi. Jelas saja dia tahu, tadi Agil menyebut namanya seperti itu, bukan? Tanpa dihafal pun, dia bisa ingat.

Cecilia berdeham manja. "Lian, kita bisa pulang bersama?"

Lian tak mengerti maksud gadis di hadapannya. Bukan hal wajar di dunia yang selama ini dia tinggali, jika ada wanita menawarkan sesuatu terlebih dahulu. Ah, ya! Lian ingat. Dia di tempat berbeda saat ini.

"Maaf. Tidak bisa. Aku ada urusan penting yang harus kulakukan saat ini."

Cecilia menekuk wajah kecewa. "Begitukah?"

Lian mengangguk lalu tanpa memberi ucapan apa-apa lagi, dia beranjak meninggalkan Cecilia. Gadis itu menatap kepergian Lian dengan saksama.

Tubuh tegap dan tegas terus berjalan sembari mengamati peta digital pada benda canggih di tangan. Sesekali dia berhenti dan memperhatikan pemandangan sekitar. Ada satu rumah lumayan besar dengan tampilan asri menarik atensi. Dilihat dengan kagum taman luas terawat di halamannya. Tunggu! Ada wujud tidak asing tertangkap penglihatan Lian. Gadis yang duduk di taman itu adalah gadis yang kemarin ditemuinya di jalan. Gadis buta yang sedikit pongah. Terlihat di sampingnya seorang wanita yang Lian tebak itu adalah ibunya, wajah mereka memiliki kemiripan. Lian mendekat ke gerbang rumah asri yang tidak terlalu tinggi itu.

Ketika melihat ada seseorang di dekat pagar rumahnya, Melati tersenyum dan ingin memastikan sesuatu.

"Zinnia, kamu tunggu sebentar ya. Kita sepertinya kedatangan tamu."

Zinnia mengangguk sambil melanjutkan kegiatannya meraba braille.

"Ada apa?" Melati menyapa ramah. Dia pun mendekat ke arah pagar di mana Lian masih terpaku dan tidak bisa tiba-tiba beranjak pergi.

Lian tidak bisa menghindar ketika pemilik rumah memergoki dirinya mengamati rumah orang lain dengan lancang.

"Saya temannya." Lian menunjuk si gadis buta yang sedang fokus pada aktivitas sendiri. "Ada yang ingin saya sampaikan padanya."

Melati menoleh pada Zinnia sembari berbisik dalam hati, sejak kapan anak gadisnya memiliki teman? Melati memastikan pemuda asing di hadapannya, firasat mengatakan bahwa pemuda itu memiliki aura yang baik. Meskipun agak ragu, dia yakin kemampuannya mendeteksi niat jahat masih berfungsi. Melati pun mempersilakan pemuda itu masuk ke halaman rumah.

"Baiklah, mari."

Lian tercengang. Begitu mudahnya wanita itu percaya dengan apa yang dia katakan?

"Terima kasih, Bu." Ucapan Lian terdengar kaku.

Melati mengangguk dan tersenyum. Bersamaan dengan pemuda dengan penampilan rapi itu, Melati kembali mendekati Zinnia.

"Zinnia, ada temanmu."

Setelah memberikan informasi, Melati berjalan menuju rumah berniat mengambil suguhan untuk tamunya.

"Teman?" Zinnia menghentikan aktivitas. Dia menutup buku berhuruf braille di tangan.

Berada di taman rumah gadis yang masih belum menerimanya sebagai tamu, Lian menyadari bunga berkuncup dan mekar mengharum. Beberapa ekor kupu-kupu cantik dan kumbang madu menari di sekitar mahkota warna-warni.

"Hai!" Lian menyapa.

"Siapa?" Zinnia memasang raut wajah yang masih terjaga dari kepanikan.

"Tidak ingatkah dengan suaraku? Orang yang kemarin menabrak tongkatmu." Lian memberikan clue.

"Hah? Masa? Kok kamu tahu aku di sini? Kamu penguntit?!" Zinnia mendadak curiga.

"Tidak perlu kaget seperti itu. Coba hilangkan sifatmu yang suka tiba-tiba menuduh orang." Lian benar-benar mengambil kesan bahwa gadis di hadapannya itu penuh kecurigaan dan tidak mudah percaya pada orang.

"Bagaimana lagi? Kita tidak saling mengenal, untuk apa kamu menemuiku tiba-tiba?" Zinnia memang tidak bisa melihat apa pun saat ini. Namun, dia palingkan wajah dari arah suara pemuda yang asing baginya.

"Ini hanya ketepatan yang terjadi di antara kita. Aku baru pulang dari kampus dan berjalan melewati jalan di depan rumah ini. Kemudian melihatmu sedang duduk. Mengenalimu sebagai gadis yang kemarin, aku jadi tertarik untuk melihat lebih jelas. Sepertinya ibumu menjadi perantara pertemuan kita kali ini." Lian bicara panjang lebar. Sungguh, seolah bukan seperti dirinya saat menjadi sosok penuh kehati-hatian.

"Oh, begitu." Zinnia menjawab simpel.

Lian memperhatikan wajah gadis buta di hadapannya dengan saksama. Memang tidak terlihat jelas ada ciri-ciri kebutaan di wajahnya.

"Oh, iya, kita belum berkenalan, bukan? Namaku Berlian. Namamu siapa gadis galak?"

Zinnia menoleh ke arah suara Lian. Ekspresi wajah Zinnia terlihat seperti ekspresi wajah kesal manusia normal lainnya. "Enak saja. Gadis galak?"

Lian menahan tawa. Gadis ini begitu lugu dan lucu, batinnya. Dia bahkan sampai merasa berubah kepribadian hanya untuk merespons.

"Baiklah, maaf gadis baik dan ramah, namamu siapa?" Anehnya, dia nyaman.

Zinnia menjawab jutek, "Zinnia Hening."

"Nama yang indah." Lian berkomentar. Selama ini, dia sangat jarang memuji.

Zinnia berdecak sebal. Dia tidak suka digoda-goda.

"Sudahlah, kamu pulang saja. Aku tidak suka bahasa basi. Aku bukan gadis normal, jadi lebih baik tidak ada obrolan di antara kita."

"Temannya datang kok disuruh pulang?" Melati muncul membawa dua gelas jus apel dan kue nastar. Mendengar percakapan yang terdengar akrab, Melati menjadi yakin bahwa pemuda itu bisa menjadi teman bagi putrinya.

"Maaf, Bu, jika kedatangan saya mengganggu." Lian mencoba mengalah.

"Tentu saja tidak. Zinnia butuh teman, kok. Ayo, diminum dulu. Oh, iya, siapa namamu?"

"Lian, Bu." Lian menjawab sopan.

"Lian, Zinnia bisa menjadi teman yang baik."

"Mama ...." Zinnia ingin protes.

"Hus, ayo lanjutkan obrolannya." Melati malah kembali meninggalkan dua anak muda yang sedang perang batin itu.

Lagi-lagi Zinnia hanya berdecak kesal.

"Kamu berbeda dengan ibumu."

"Apa?!"

"Ibumu sangat ramah, penuh kasih sayang. Mengapa kamu sinis begitu?" Lian mengambil jus yang dihidangkan, lalu meneguknya. "Jus buatannya pun sedap dan segar."

"Terus?!"

"Jus buatanmu mungkin segetir kata-kata yang kau lontarkan pada orang lain." Lian semakin tertarik menggoda Zinnia.

"Sudah diam! Pergi saja sana. Dasar cerewet. Mengganggu orang saja." Zinnia benar-benar geram.

Lian sungguh ingin tertawa puas. Dia hanya menahan setengah mati agar tidak mengeluarkan suara tawa. Dia masih menjaga perasaan gadis yang kini dikenalnya dengan nama Zinnia.

"Sana pergi!" Zinnia benar-benar tega mengusir tamu yang mengaku-ngaku sebagai temannya itu.

"Iya, galak."

"Kau cerewet!"

Lian tersenyum amat lebar. Dia pun segera beranjak pergi meninggalkan gadis buta berwajah manis itu.

"Oh, iya. Gadis galak." Lian ingin memberikan kata-kata perpisahan.

"Apa lagi? Belum pergi juga kamu?"

"Hati-hati jangan sembarangan keluar rumah. Takutnya bertemu denganku lagi."

"Tidak mau. Enak saja!" Zinnia bersungut.

Lian pergi meninggalkan halaman rumah Zinnia dengan wajah berseri. Dia bahagia sekali hari ini, menemukan gadis yang mampu menarik atensinya untuk melepaskan identitas ketenangan sebagai sosok dari dunia lain. Setidaknya, dia bisa mengalihkan kepenatan dalam menjalankan tugas dari sang ayah.

💎💎💎

Bersambung ....

CU🌷

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top