[19] Interelasi

Zinnia sudah bersiap berangkat menuju sekolah kejar paket untuk mengikuti pertemuan tatap muka. Disempatkan waktu untuk berpamitan pada wanita tercintanya yang sedang sibuk merangkai bunga.

“Sudah mulai aktif belajar?” Melati bertanya seraya menghentikan aktivitas sejenak.

“Iya, Ma. Doakan aku bisa melalui dengan lancar hingga ujian nanti.” Zinnia duduk di samping Melati. Dia menatap tumpukan bunga-bunga artifisial beragam bentuk dan warna.

Sejak pindah dari Thailand ke Indonesia, Melati membuka usaha artificial flower homemade dan juga budidaya tanaman hias. Kini usaha itu telah berkembang pesat. Toko-toko floristry yang dikelolanya sudah ada di banyak tempat dan memiliki karyawan berintegritas sehingga Melati tidak bersusah payah untuk menangani secara langsung. Hanya sesekali waktu dia memeriksa jalannya usaha toko-tokonya.

“Hari ini tidak ada kegiatan selain kelas paket, ‘kan?” Melati belakangan khawatir akan kedekatan Zinnia dengan Lian maupun Gilbert. Bagaimanapun, putrinya adalah seorang perempuan. Tidak mudah untuk terlalu terbuka di lingkungan yang masih kental dengan stereotipe dan juga keterbatasan pengetahuan manusia tentang penjagaan harkat dan martabat.

“Tidak ada, Ma,” jawab Zinnia sembari menatap wajah mamanya yang terlihat khawatir. “Ada apa, Ma?”

“Mama hanya ingin kamu menjaga diri dan selalu mawas diri. Mama tahu Lian pemuda yang baik. Akan tetapi, siapa yang bisa menjamin keselamatan akan selalu membersamai kita jika kita tidak mau berhati-hati.” Melati memberikan nasihat.

Zinnia mengangguk mengerti. Dia paham kekhawatiran mamanya adalah wajar.

“Jangan terlalu sering pergi bersama laki-laki. Meskipun sebesar apa pun kamu percaya padanya.”

“Iya, Ma. Zinnia pergi untuk hal yang penting saja. Zinnia akan berusaha menjaga pesan Mama.”

Melati mengalihkan pandangan pada putrinya yang kini menunduk merasa bersalah, membuatnya juga tak tega. Sejak kecelakaan yang telah merenggut nyawa suami dan juga penglihatan putrinya, Melati melanjutkan hidup dengan sayatan hati yang harus dia tutupi. Dia paham bagaimana sulitnya Zinnia hidup dalam kegelapan selama ini. Tak ada teman kecuali dirinya yang selalu berusaha menutupi kesedihan sendiri agar Zinnia tidak merasa sengsara.

“Maafkan mama,” desis Melati.

“Mama tidak bersalah, mengapa meminta maaf? Justru Zinnia yang selama ini banyak merepotkan Mama. Aku tidak tahu bagaimana cara membalas itu semua.”

Melati mengelus kepala bagian belakang anaknya, menarik kepala itu hingga bersandar di pundaknya.

“Jangan pikirkan cara apa pun, karena mama juga tidak merasa memiliki budi yang harus dibalas. Itu tugas mama.”

Zinnia tersenyum sambil menahan air matanya agar tidak luruh.

“Ayo berangkatlah. Nanti terlambat ke kelasmu.” Melati menyadarkan Zinnia untuk segera bergegas.

“Baik, Ma. Zinnia berangkat.”

💎💎💎

Usai dari kegiatan materi di kelas, Zinnia tidak bersegera untuk pulang ke rumah. Dia mengambil kesempatan untuk menikmati pemandangan alam dan sosial di sekitar. Kegemarannya duduk di taman tak lekang oleh waktu dan keadaan. Kini dia sedang merenung melihat anak-anak yang sedang bermain bersama. Ingatannya kembali saat dia masih berada di negeri seberang, negeri di mana keluarga lengkapnya dahulu berada. Dia lahir dan menghabiskan masa kanak-kanak dengan normal. Sayangnya, kejadian yang menyisakan kesedihan selalu mengikutinya sepanjang waktu.

Melati ditinggal pergi oleh sang suami dengan keadaan batin yang payah. Kematian suami yang memilukan membekaskan ingatan. Ada tuduhan dari beberapa kolega, juga keputusan Zinnia untuk keluar dari sekolah menjelma bayang-bayang tragis yang selalu menghantui. Sehingga akhirnya Melati memutuskan untuk pindah kewarganegaraan dan memulai hidup baru. Sebelum menikah dengan Ram yang memiliki kewarganegaraan Thailand, Melati sebelumnya beridentitas sebagai warga negara Indonesia. Itulah sebabnya Melati memilih negeri di mana dia dan Zinnia kini membina hidup.

“Zinnia, sekarang kita akan memulai hidup baru di sini. Jangan khawatirkan apa pun lagi.”

Zinnia mengingat bagaimana perjuangan sang mama untuk tidak pernah menyerah menjadi ibu tunggal yang tangguh. Zinnia meraba wajahnya dengan hati bergetar. Sudah lama waktu berlalu tanpa dibersamai fungsi bola matanya. Hal-hal yang pernah pergi dari hidupnya mungkin tidak bisa kembali, tetapi selalu ada hal-hal baru yang hadir menutupi puzzle yang hilang. Seperti sosok yang berada di kejauhan itu. Tangannya melambai memberi tanda bahwa dia mengenali sosoknya. Juga senyum yang seolah menjadi hadiah terindah paling sederhana.

“Lian?” Zinnia sebenarnya belum ingin berjumpa dengan pemuda itu. Apa lagi baru tadi pagi mamanya memberi wanti-wanti.

“Sedang apa di sini?” Lian sudah berada di hadapan Zinnia yang masih bergeming di tempat duduk taman.

“Hanya menghabiskan waktu. Aku baru selesai kelas tadi, mampir kemari karena ingin melihat anak-anak bermain.”

Lian mengedarkan pandangan ke sekeliling, membenarkan pernyataan Zinnia, banyak anak-anak bermain di sekitar.

“Kau sendiri?” Zinnia balik bertanya.

“Hari ini hanya ada satu mata kuliah. Dua mata kuliah reschedule. Jadi kami pulang cepat.” Lian belum ada keinginan untuk menyusul duduk.

“Tidak ada kegiatan di luar kampus?” Zinnia pernah mendengar bahwa kegiatan mahasiswa tidak hanya berhenti di kelas. Tak jauh berbeda dengan kegiatan siswa di sekolah yang memiliki ekstrakurikuler, mahasiswa pasti akan lebih sibuk dari dugaannya.

“Tidak. Tak ada organisasi eksternal kampus yang kuikuti. Kau tahu sendiri bukan? Ada tujuan yang lebih kuutamakan mengapa aku sekarang berada di sini.”

Zinnia mengangguk mengerti. “Aku penasaran bagaimana kamu bisa mendaftar di kampus itu sedangkan kamu tak memiliki dokumen-dokumen yang sama sebagaimana orang pada umumnya. Apa kamu juga memanfaatkan ilmu tak masuk akalmu itu?”

“Semua bisa selesai dengan uang.”

Mata Zinnia membelalak mendengar jawaban Lian.

“Bukankah itu cara yang tidak baik?”

“Aku tidak merugikan siapa pun dengan menjadi mahasiswa. Aku melakukan itu justru sebagai langkah wajar agar bisa memahami kehidupan manusia pada umumnya. Lagi pula, untuk memahami lumpur memang kita mesti menjadi lumpur. Manusia bisa seenaknya menghancurkan dunia kami, lalu kami tidak bisa menggunakan kekuatan untuk menyelamatkan diri?” Lian tampak gusar.

“Bagaimana kau bisa punya uang?” Zinnia masih memiliki banyak pertanyaan.

“Di duniaku berada, banyak sekali benda berharga yang jika dijual pada manusia akan ditukar dengan tumpukan uang. Kami memiliki akses turun-temurun untuk bisa terkoneksi dengan kehidupan manusia di bumi.”

Zinnia merasa pusing. “Lupakan itu.”

“Ada apa?” Lian memperhatikan gadis yang kini terlihat sedang mencari pembahasan lain untuk mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Semalaman aku susah tidur memikirkan sesuatu. Sebenarnya apa hubungan antara batu-batu yang kamu cari itu dengan diriku?”

Lian sudah memperkirakan pertanyaan serupa itu akan dilontarkan oleh Zinnia. Dia pun memiliki kegundahan yang sama.

“Rasanya begitu nyaman saat aku melihat maupun menyentuh benda itu. Bahkan rasanya ingin memiliki. Maaf ....” Zinnia mengungkapkan keresahannya.

“Aku belum mendapatkan petunjuk apa pun tentang itu,” sahut Lian.

“Maaf jika pertanyaanku mengusik,” sesal Zinnia.

“Tak perlu meminta maaf karena akulah yang membawamu ke duniaku. Aku yang perlu meminta maaf sudah melibatkanmu. Aku hanya bisa menyimpulkan sendiri bahwa sepertinya kau memang menjadi perantara batu-batu itu.”

Zinnia terhenyak, kekhawatirannya semakin subur. Lalu dia menggelengkan kepala menolak asumsinya yang berlebihan.

“Di mana batu-batu itu sekarang? Apakah kau tak takut itu hilang lagi?” Zinnia mengalihkan pembicaraan lagi.
Lian menyadari, tetapi dia juga tak bisa mengabaikan pertanyaan Zinnia.

“Batu-batu itu berada di tempat yang aman. Aku belum bisa membawanya kepada ayahku.” Lian meladeni kepenasaran Zinnia tentang keberadaan batu-batu cahaya yang telah berhasil mereka temukan bersama.

“Aku sungguh penasaran dunia macam apa kamu tinggali itu.” Tatapan Zinnia tampak begitu lugu.

“Belum saatnya kau tahu. Aku punya harapan bisa memberitahukan padamu suatu saat nanti.” Lian membalas tatapan Zinnia untuk memberikan ketegasan.

“Kamu akan kembali ke sana saat semua batu itu ditemukan?”

“Tentu saja,” jawab Lian tanpa ragu.

“Saat kita berpisah nanti, aku tak tahu aku akan menemukan teman sepertimu lagi atau tidak.”

“Kau sedih?” goda Lian dengan diiringi senyum manis.

Zinnia menjadi jengah, “Hem?”
Pandangan Lian menjangkau langit yang cerah.

“Tahukah? Zinnia, kau sangat berarti bagiku.”

Zinnia mengikuti arah pandangan Lian dan menahan semu di pipinya, mengambil makna dari kalimat yang terlontar dari sosok pemuda yang juga telah memiliki keberadaan yang berarti dalam hidupnya.

💎💎💎

Bersambung ....

CU🌷
Selalu semangat 🙌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top