[17] Ekstraterestrial
Zinnia menunggu Lian yang sedang membeli air minum kemasan di minimarket. Mereka berdua baru pulang dari lembaga penyelenggara pusat kegiatan belajar masyarakat. Zinnia sudah mendaftarkan diri untuk mengikuti program kejar paket. Setelah memberi tahu keberadaannya kepada Lian melalui pesan singkat di aplikasi obrolan, Zinnia duduk di bangku kayu taman. Perhatiannya tertuju pada cuitan-cuitan merdu dari arah pepohonan. Burung yang berkicau kini tak hanya bisa Zinnia dengarkan, tetapi juga saksikan. Embusan napasnya memberitahu kelegaan dan rasa syukur.
“Dunia ini indah, bukan?” Lian meletakkan botol air mineral dingin di samping duduk Zinnia.
Gadis yang masih memandang burung-burung bermain dari dahan ke dahan menoleh dan mengangguk. Ditatap olehnya pemuda yang menunduk menatapi rumput.
“Hanya saja, itu bukan berarti hidup dalam keterbatasan itu tidak indah.”
Lian mengalihkan pandangan dan membalas tatapan. Dia lalu bertanya, “Bagaimana?”
“Kekuranganku membawa ketulusan orang-orang yang bersedia berada di sampingku,” jawab Zinnia sambil tersenyum.
Tatapan Lian tak lepas dari wajah gadis yang memaling kembali ke arah pepohonan.
“Jelaskan lebih sederhana.”
Ucapan Zinnia bukan sulit untuk dicerna oleh Lian. Pemuda itu hanya tak ingin menarik kesimpulan yang silap.
“Kau contohnya, kemauanmu berteman denganku yang saat itu buta. Itu adalah ketulusan. Aku bahagia karena itu, dan itu indah.”
Lian tersenyum tipis. Belum sempat terpikirkan jawaban dari pernyataan Zinnia, dia teringat rencananya untuk mengajak ke tempat yang kemarin dikunjungi.
“Besok ada kegiatan?” Lian berharap jadwal Zinnia kosong.
“Ada apa?” Zinnia balik bertanya.
“Aku membutuhkan bantuanmu.”
Pikiran Zinnia agak terganggu. “Perkara pencarian batu berharga atau apalah itu?” Zinnia menebak.
Lian mengangguk. “Bersedia?”
Sesaat Zinnia terdiam ragu.
“Aku akan meminta izin pada mamamu.”
“Tidak. Mama akan khawatir.”
“Kau serius?”
Anggukan tegas menjawab keraguan Lian.
“Besok ikutlah denganku ke suatu tempat.”
💎💎💎
Udara bergerak membelai ujung-ujung rambut dan pakaian. Lian dan Zinnia memusatkan pandangan ke arah yang sama. Keduanya telah berada di tempat yang dikatakan Lian kemarin.
“Ini adalah kawasan yang pernah menjadi tempat jatuhnya meteor. Salah satu batu yang kucari kemungkinan besar mendapatkan akses melalui jejaknya.” Lian menjelaskan.
“Aku belum mengatakan padamu. Dua hari yang lalu aku menyaksikan berita dari televisi. Ada meteor jatuh. Akan tetapi, belum ada kejelasan. Hanya mengatakan itu menuju ke Samudera Hindia.”
“Bukan. Kejadian di sini telah berlalu belasan tahun.”
“Oh, begitu.” Zinnia mengangguk mengerti. Setelah itu, mereka berdiam sejenak.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang? Bukan mencari lubang kepiting, ‘kan?” Zinnia penasaran. Ada ingatan yang melintas di pikirannya saat dulu Lian mengajaknya mencari lubang di tanah.
Lian masih mencoba berinteraksi dengan alam, tetapi ucapan Zinnia sedikit mengusiknya hingga senyum tipis tersungging di sela-sela fokusnya.
Zinnia bisa memahami. Kini asumsinya yang telah ada sejak Lian mengaku berasal dari dunia berbeda, sedikit terbaca. Entah dunia macam apa itu, Zinnia hanya yakin bahwa pemuda yang sudah memiliki tempat spesial dalam hatinya itu memiliki kemampuan di luar bayangannya sebagai manusia biasa. Tak butuh waktu lama menunggu, angin laut berembus cukup kencang. Ada seberkas cahaya datang dari permukaan air. Kian berjalan detik, kian terang seolah menutupi pandangan.
Respons Zinnia kalah dari gerakan cepat Lian menggandeng tangannya agar tidak terjatuh akibat sulit mengendalikan diri dari kedatangan tanda. Lian pun hampir melupakan tujuan saat sibuk terheran untuk kesekian kali. Reaksi itu ada! Kejadian yang sama terulang untuk ketiga kalinya. Ada poros energi merupa turbin yang menyedot dengan kecepatan yang tak terukur. Di dunia yang mereka tinggalkan, waktu berhenti. Lian dan Zinnia kini berada di sebuah tempat dengan pemandangan gersang. Tanah pasir dan bukit-bukit batu menjadi benda utama yang terlihat.
“Lagi?” Tubuh Zinnia melemas. Ada lasi yang menyisa dari peristiwa-peristiwa sebelumnya.
Lian yang menyadari itu, merasa bersalah. “Maaf jika ini merepotkanmu.”
Zinnia menggeleng. “Tak masalah. Sudah keputusanku juga untuk bersedia. Sekarang apa yang akan kita lakukan di sini? Aku bahkan merasa lebih asing dengan tempat ini dibandingkan dua tempat sebelumnya.”
Belum sempat Lian menjawab, suara gesekan besi terdengar selang-seling. Sesekali dentuman dan tampaklah semburan api di belakang bukit batu di hadapan mereka.
Zinnia memegang dadanya dan hampir merosot jika Lian tak sigap meneguhkan kedua lengannya.
“Tidak apa-apa?” Lian semakin merasa bersalah.
Lagi-lagi Zinnia hanya menggeleng. Tak ada kesempatan untuk bersembunyi saat ada satu sosok makhluk mirip manusia dengan pakaian berbahan logam mendekat.
“Menyingkirlah.” Sosok itu lebih mirip dengan robot dibandingkan orang.
Saat tak ada respons signifikan, makhluk itu kembali berkata, “Ikutlah denganku jika kalian ingin selamat.”
Keadaan Zinnia yang belum bisa dipastikan, membuat Lian mengangguk dan menarik Zinnia ikut bersamanya membuntuti makhluk asing dengan perasaan was-was. Lian menyusun rencana dan mengontrol energinya untuk ancang-ancang. Siap melawan seandainya makhluk itu melakukan hal jahat.
Di sebuah bangunan merupa tabung transparan berbahan kaca yang terbuat dari karbon. Lian dan Zinnia menjadi tamu di markas si makhluk robot. Tidak perlu dipertanyakan kemampuan mereka dalam memahami dan menggunakan bahasa yang digunakan oleh makhluk di mana mereka menyusup.
“Aku tidak tahu kalian datang dari mana. Aku hanya tidak mau saudaraku membunuh kalian.”
Lian dan Zinnia hanya saling berpandangan. Rasa aneh menyelimuti pikiran masing-masing.
“Maksud Anda, ada pertikaian saudara?” Lian memberanikan diri untuk bertanya.
“Benar.” Tanpa menoleh, sosok dengan pakaian logam itu menyingkap display yang tiba-tiba muncul di hadapan. Visual yang ditampilkan itu adalah gambar bumi.
“Kalian tinggal di sana?”
Lian berjalan mendekat. “Lalu planet ini?”
“Planet Cerulean.” Sosok yang masih belum dikenali itu berbalik dan memperkenalkan diri. “Namaku Ksi.”
“Ya.” Lian menyambut dan berkata, “Namaku Diamond. Lalu, dia Zinnia.”
Ksi mengangguk. “Sekarang lihat ini.” Ksi mengibaskan jemarinya di hadapan visual monitor tanpa layar yang memperlihatkan permukaan sebuah planet kering seolah tanpa kehidupan. Ksi melakukan zoom in pada bangkai hardware dan puing-puing roket.
“Lihatlah tingkah makhluk seperti kalian. Selalu berusaha untuk memiliki wewenang terhadap alam semesta ini. Belum juga dihuni sudah meninggalkan sampah. Tak lama lagi mungkin mereka akan menemukan planet ini juga. Luar biasa.” Ksi geleng-geleng kepala.
Lian termenung, mencari alasan mengapa Ksi menunjukkan hal itu padanya. Dia tahu, manusia memang rakus. Keinginan berkuasa tidak hanya merusak bumi, tetapi juga semesta. Lian hanya baru tahu bahwa kini dia dan Zinnia sedang berada di kawasan ekstraterestrial.
“Aku tak tahu kalian tersesat entah bagaimana caranya. Cukup unik tanpa memakai bantuan apa pun untuk bisa bernapas dan beradaptasi dengan kondisi planet ini. Aku hanya bisa membantumu agar tidak dibinasakan oleh Khi. Dia sangat berambisi untuk merusak bumi. Peperangan yang kalian lihat tadi, itu karena sengketa ide untuk menghancurkan manusia. Aku berada di golongan yang tidak setuju.”
Lian tak begitu mengerti semarah apa makhluk-makhluk yang tinggal di planet ini. Planet yang bahkan Lian tak mengerti berada di gugusan bintang mana.
💎💎💎
Bersambung ....
CU🌷
Semangat, ya, diriku🫶
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top