[16] Tikas Meteor

Televisi menyala menampilkan sebuah laporan dari seorang peneliti senior di lembaga penerbangan dan antariksa di bawah badan riset nasional.

“Banyak laporan dan video yang menjadi bukti bahwa benda yang meluncur kencang tersebut memang benar-benar meteor.”

Zinnia kini mulai terbiasa kembali menyaksikan berbagai informasi yang disampaikan melalui benda canggih itu dengan kedua penglihatannya.

“Kemungkinan besar jatuh ke Samudera Hindia.” Lanjutan peneliti tersebut mengakhiri penyimakan Zinnia. Gadis itu agak terganggu dengan suara kendaraan memasuki pekarangan rumah.

Beberapa saat kemudian, Melati muncul dari balik pintu.

“Zinnia, keadaanmu sudah membaik?” Melati masih khawatir atas kejadian kemarin saat pulang bersama Lian. Tubuh yang basah kuyup serta flu mendadak.

“Sudah membaik, Ma.”

“Gilbert menunggumu di ruang tamu.” Melati memberi tahu.
Zinnia ingat, hari ini adalah jadwal les biola. Napasnya tertahan, dan terembus seperti terpaksa. Entah mengapa dia merasa malas dan ingin absen dari jadwal lesnya.

“Halo, Zinny.” Gilbert menyapa dan terus memperhatikan gadis pujaannya itu hingga duduk di sofa. Senyumnya yang begitu merekah menjadi kuncup kembali. Ada yang aneh dengan gelagat dari gadis yang dia tahu memiliki ketidakmampuan dalam penglihatannya. Gilbert tambah merasa curiga saat tatapan matanya bertemu dengan tatapan Zinnia. Jantungnya mendadak berdebar lebih ekstra.
Zinnia menatap heran, “Ada apa?” tanyanya.

“Kau bisa melihatku?” Gilbert ingin memastikan prasangkanya.

Zinnia mengangguk tanpa ragu.
Wajah Gilbert terpana. Dia meyakinkan dengan memandang lekat ke netra Zinnia, menemukan binar indah dan memikat lebih dalam dari biasanya. Zinnia menjadi risi dengan tatapan berlebihan Gilbert.

“Jangan berlebihan,” tegur Zinnia. Dia pun mengalihkan wajah menghindari perlakuan Gilbert yang tidak membuat nyaman.

“Aku menemukan kebahagiaan yang berlebihan, tak bisakah aku mengekspresikannya berlebihan?” Gilbert membela diri.

“Kesembuhanku ini bukan untuk orang lain, tetapi untukku.” Zinnia berkilah.

“Seandainya sejak lama kau sampaikan keinginan sembuh, aku bisa mengajakmu berobat ke rumah sakit yang hebat.”

“Lian mengajakku berobat ....”

“Oh.” Gabriel sengaja memotong ucapan Zinnia. Kebahagiaan atas kabar gembira yang sesaat lalu hampir buncah, berubah menjadi rasa kecewa. Lagi-lagi pria yang dia anggap sebagai saingan itu yang bertindak sebagai pahlawan.

Zinnia menyadari kekecewaan di wajah Gilbert.

“Kamu tidak senang aku bisa sembuh?”

“Apa yang kau katakan?” Gilbert tak terima atas prasangka Zinnia terhadapnya. “Tentu saja aku bahagia mendengar kabar mengejutkan ini. Selamat untukmu.”

Tetap ada tatapan memuja dari sorot matanya, meski canggung. Kecantikan Zinnia tidak berubah, tetapi mengetahuinya bisa melihat lagi adalah anugerah.

“Beberapa hari daddy ada tugas di luar negeri. Hari ini jadwalmu kosong.” Gilbert langsung memanfaatkan momen untuk mengalihkan pembicaraan pada alasannya untuk menemui Zinnia.

Zinnia tentu merasa bahwa itu kabar baik untuknya yang memang sedang ingin libur.

“Selain itu, aku ingin mengajakmu menemaniku ke sebuah acara besok lusa. Bisa?” Gilbert berharap permintaannya dikabulkan.

Zinnia tampak berpikir dan menimbang. Lusa adalah jadwal untuk mengurusi pendaftarannya di program kejar paket. Dia sudah mengulur waktu hingga dua hari akibat kejadian di danau kemarin. Tentu saja dia tidak bisa membatalkan janji sepihak hanya untuk menemani Gilbert pergi.

“Tidak bisa, aku sudah ada janji sebelumnya.”

Gilbert tidak ingin yang dimaksudkan janji oleh Zinnia adalah bersama Lian. Dia akan benar-benar kesal jika itu terjadi.

“Dengan siapa?”

“Lian.” Zinnia menjawab apa adanya.

Sudah tak terkatakan kekecewaan Gilbert hari ini. Wajahnya menjadi tawar, dia menyandarkan punggung ke sandaran sofa.

“Baiklah. Tak mengapa.”

“Mungkin bisa mengajak teman yang lain?” Zinnia mencoba memberi saran.

“Tidak perlu. Aku hanya menginginkanmu yang menemaniku.” Gilbert mengucapkan kalimat itu tegas dan disusul dengan tindakannya berdiri.

“Minumlah dulu, aku buatkan teh?” Zinnia merasa tamunya itu tampak sedang menahan kecewa berat.

“Tidak perlu.” Gilbert pamit dengan ucapan ketus. Tidak biasanya, selama ini selalu dia gunakan kalimat manis untuk meluluhkan Zinnia.

Zinnia mengiringi kepergian Gilbert dengan perasaan tidak nyaman. Dia tahu pemuda itu menaruh rasa padanya, walau entah karena alasan apa. Dia menutup pintu dan segera kembali menuju ke ruang kamar. Namun, urung karena dicegat suara Melati saat dia melintasi ruang keluarga.

“Zinnia, kemarilah!” Melati tampak begitu gembira. Sebuah kotak rapi berada di pangkuannya.

“Ada apa, Ma?” Zinnia langsung mendekatkan diri.

Dengan senyum yang tidak sirna semenjak Zinnia memasuki ruangan keluarga, Melati membuka kotak dan mengeluarkan satu dress yang menawan.

“Ini hadiah untukmu.” Melati memamerkan senyum yang begitu manis.

Zinnia membalas dengan senyuman terharu.

“Terima kasih, Ma.” Dia mengambil dan membentangkan dress berbahan sifon yang sangat elegan. Sangat cocok dengan kepribadian Zinnia yang lembut dan sederhana.

“Cantik,” ujar Zinnia senang.

“Mama bahagia, bisa kembali melihatmu bisa menikmati keindahan dunia. Bisa menikmati wujud benda-benda.” Dua telaga hati itu berkaca-kaca.

Zinnia menggeleng seraya berkata, “Tuhan memberikan kesempatan Zinnia untuk mengurangi dosa dari penglihatan.”

Melati merengkuh tubuh putrinya dengan bangga.

💎💎💎

Tatapan nyalang lurus ke arah jalan. Kesal itu belum hilang. Gilbert merasa tertantang untuk memastikan dirinya bisa mendapatkan Zinnia dibandingkan Lian. Bukankah dirinya yang lebih dahulu mengenal gadis itu?

“Dialah yang merebut apa yang seharusnya bisa kudapatkan.” Gilbert semakin mempercepat laju kendaraan sambil memaki-maki. Gilbert merasa baru kali ini ada yang bisa melawannya. Biasanya dia selalu bisa memenangkan apa pun yang dia inginkan. 

“Negara ini seharusnya bukan tempat sial bagiku.”

Setelah diingat-ingat kembali, sebenarnya Indonesia adalah tempat tepat baginya untuk sukses mencuri perhatian para wanita lokal. Dia tahu betul bagaimana masyarakat di negeri yang sedang dia tinggali sangat memuja-muja bule. Gilbert yang mewarisi darah Eropa dari sang ayah jelas saja memiliki privilege berdasarkan standar manusia pemuja fisik. Mungkin menjadi masalah karena saingannya seperti pangeran dari mitologi-mitologi Yunani? Akan lebih mudah jika Zinnia tidak terpedaya oleh fisik. Yang perlu Gilbert lakukan adalah berusaha lebih maksimal untuk memenangkan hati Zinnia. Sayangnya, tanpa dia tahu, Lian telah lebih dahulu berhasil mencuri perasaan sang gadis pujaan, hanya dengan sikap dan tindakan. Lebih pelik jika tahu bahwa pemuda yang dimaksud memang seorang putra mahkota dari loka yang berbeda.

💎💎💎

Perhatian Lian sedang terpusat memantau lokasi untuk memburu batu cahaya berikutnya, eirene. Tampak satu lokasi asing suatu daerah di pulau seberang. Suatu tempat di mana area jatuhan meteor pernah terjadi, Pulau Celebes. Selama kurun waktu dari milyaran tahun lalu, telah banyak jejak membuminya pecahan komet atau asteroid. Peristiwa yang memiliki kontribusi atas punahnya kehidupan dinosaurus. Kawah-kawahnya diduga menyimpan batu mulia. Di beberapa negara, jejaknya diabadikan sebagai kawasan penelitian dan wisata pendidikan. Setiap beberapa tahun sekali, terdapat fireball jatuh menuju Bumi. Dari keseluruhannya, hanya dua persen meteor yang berhasil menumbuk bumi dan menjadi meteorit dengan ukuran besar.

Lian dikejutkan oleh bunyi pesan masuk. Senyumnya mengembang saat memeriksa pesan yang datang dari Zinnia. Belum sempat dibuka, pikiran Lian kini beralih. Dia merenung mengingat prasangka yang masih utuh tentang pengaruh Zinnia terhadap progres pencarian batu cahaya. Tak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan dari penemuan dua batu cahaya sebelumnya selalu dibersamai gadis itu.

“Aku masih penasaran dengan itu. Apakah hanya kebetulan?”

Lian memiliki ide untuk membuktikan. Dia bisa melihat bagaimana perbedaan reaksi alam dengan bergerak sendirian. Setelah merasa mantap dengan keputusan dan bekal informasi yang memadai. Hari ini juga Lian segera mengurus keberangkatan ke pulau yang menjadi target lokasi keberadaan batu jiwa ketiga.

💎💎💎

Lian melintasi perjalanan menuju ibu kota Bumi Arung Palakka untuk mendapatkan informasi lebih mendalam. Setelah itu, Lian bergegas menuju perairan Teluk Bone, tempat di mana pernah terjadi peristiwa jatuhan meteor sekitar 14 tahun lalu.

Di Tanjung Palette, Lian menatap lautan. Pembicaraannya disahuti alam dengan lirih. Tak ada tanda apa pun yang berhasil didapatkan. Hanya desiran angin dan perairan tenang. Menyaksikan kediaman, membuat Lian mengambil keputusan untuk kembali. Dia akan mengajak Zinnia esok, melihat sejauh mana prediksinya tentang kehadiran gadis itu dalam setiap pemenuhan tugasnya.

💎💎💎

Bersambung ....
CU🌷

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top