[12] Hari yang Baru

Lian mengamati dengan saksama bongkah permata berwarna hijau dalam kotak hitam yang berhasil dia dapatkan. Juga peristiwa yang membuatnya terpana oleh keajaiban yang terhadiahkan bersama Zinnia. Gadis itu mampu menumbuhkan kagum sekaligus heran. Apa istimewanya hingga bisa masuk dalam lingkaran petualangan? Jelas bukan hanya perkara rasa yang pelan-pelan nyaman tinggal dalam hati, tetapi juga rahasia, siapa gadis itu sebenarnya. Lian mengatupkan penutup box dan menyimpannya di tempat aman. Lian terkejut saat keluar kamar, melihat wujud seseorang telah berdiri sambil memainkan tangan jahil.

"Zircon?" Lian mengelus pelipis melihat tingkah anak laki-laki yang baru memulai masa remajanya itu.

"Ha-ha-ha, hai Kakak! Kaget, ya?" Anak laki-laki itu tertawa meledek.

Lian dengan mode santai, duduk di sofa sambil menuangkan minum yang beberapa saat lalu sengaja dia letakkan di meja, tetapi belum sempat disentuh.

"Kaisar memberi perintah untuk periksa kemajuan Kakak dalam pencarian batu itu."

"Iya."

"Jutek sekali. Belum juga aku selesai bicara." Zircon menyusul duduk di hadapan Lian, merebahkan diri dan melipatkan kaki di atas sofa yang bisa menampung seluruh anggota badannya.

Lian hanya melirik sebentar, lalu hendak beranjak dari ruangan yang dipenuhi cerocosan sang adik. Zircon memang begitu ceriwis mengalahkan semua saudaranya.

"Kakak sudah menemukan batu itu, 'kan?" Zircon langsung pada inti maksud kedatangannya.

"Hem."

"Bagus. Aku tidak sia-sia datang ke sini. Ada yang bisa kulaporkan pada ayahanda yang sudah mulai berisik karena putra pertama yang sangat diandalkan tak kunjung memberi kabar." Zircon melompat dari sofa, menyusul Lian yang berjalan menuju dapur.

Lian membuka kulkas dan mengambil semangkuk kue lumer yang terlihat lezat.

"Makanan apa itu?" Zircon bertanya dengan menahan diri untuk menelan air liur.

Lian menyuapkan sesendok kue itu ke mulut. Semakin membuat Zircon iri.

"Ternyata masuk ke dunia ini bisa membuat lapar." Zircon mengode.

Lian menahan tawa. Setelah mengelap sudut bibir yang disinggahi pulasan cokelat, Lian mengulurkan pada sang adik yang masih menatapnya. Zircon sigap menyambut uluran kue itu dan menyantap dengan perasaan bungah.

"Makanan di sini lezat."

"Makanlah yang banyak." Lian hendak pergi membersihkan diri.

"Kakak tidak berniat mengajakku jalan-jalan?" Zircon berucap sambil terus menyuap makanan legit dan enak di tangannya.

"Jalan-jalan saja sendiri. Dari Wonder Stone kemari saja kau berani." Lian menyahut tanpa menoleh.

"Dasar sumbu bumi." Zircon mencibir kakaknya dengan enteng.

💎💎💎

Lian kembali ke ruangan di mana Zircon berada sebelumnya. Namun, sosok adiknya sudah tidak ada di tempat, meninggalkan beberapa sampah serta tumpahan makanan dan minuman yang tercecer. Lian hanya geleng-geleng kepala. Setelah selesai membereskan ruangan itu, ada panggilan masuk ke ponselnya.

"Lian?" Sapaan di seberang mengundang garis senyum di wajah pemuda itu.

"Zinnia, bukan?" Lian berhasil mengenali suara itu.

"Iya, ini aku," sahut suara dari sambungan telepon.

Lian mengerutkan dahi, rupanya gadis yang sebelumnya tak pernah dia sangka dapat menggunakan gawai sudah bisa beradaptasi dengan benda itu.

"Ada apa? Kau merindukanku?" Lian mulai berani bercanda lebih.

Zinnia hanya mengembuskan napas dan sedikit salah tingkah, lalu berkata, "Mama mengundangmu makan bersama."

"Hem?" Lian merasa sedikit panik.

"Kau tidak bersedia?" Zinnia tampak kecewa.

"Bukan begitu. Aku hanya merasa aneh. Bukankah seperti biasa aku juga bisa bermain ke rumahmu dan tanpa rasa malu akan mengiyakan ajakan kalian untuk makan bersama?"

"Kalau begitu kami menunggumu datang. Kamu juga boleh mengajak keluarga atau teman."

Lian menautkan alis, "Apa ini ada hubungannya dengan kejadian terakhir kali itu?"

Sesaat diam, lalu terdengar suara lebih pelan serupa bisikan, "Aku memberitahu pada mama, bahwa kamulah yang sudah membawaku pergi untuk berobat dan menyembuhkanku," ungkap Zinnia.

Lian mematung. Apa yang akan dia katakan saat Melati menginterogasinya nanti?

"Apa boleh buat. Ini lebih baik dibandingkan menceritakan hal-hal tak masuk akal itu, bukan?"

Zinnia ada benarnya. Mungkin akan menjadi lebih panjang masalah jika Zinnia membeberkan semua kejadian yang dialami saat lalu-lalang di alam antah-berantah dan mengancam nyawa.

"Aku akan datang."

"Terima kasih."

💎💎💎

"Kamu sendirian, Berlian?" Melati menyambut kedatangan Lian dengan semringah. Dia selalu senang menyambut pemuda yang terlihat manis, dan tidak neko-neko itu.

"Iya, Bu. Mohon maaf saya tidak mengajak siapa-siapa sebagaimana harapan ibu." Lian tidak enak hati. Mau bagaimana lagi, dia memang hidup sendirian jauh dari keluarganya di Wonder Stone. Dia sempat mengajak beberapa teman kampus, sayangnya mereka semua sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing.

"Tidak masalah. Ayo, Zinnia sudah menunggu."

Mereka pun bergegas menuju ruang makan. Zinnia sudah di sana sedang menata buah-buah. Untuk kesekian kali, Zinnia selalu berhasil menjadi atensinya. Gadis itu tersenyum dan mempersilakan duduk.

"Ini ucapan terima kasih dariku. Nak Lian adalah sosok berharga yang pernah kukenal. Di saat kusangka tak ada yang peduli akan keberadaan kami, juga ketika Zinnia sudah tak acuh dengan keadaannya sendiri, kamu datang membawa keberkahan."

Lian menggeleng, "Semua ini kehendak Tuhan. Saya hanya melakukan apa yang digerakkan oleh hati dan pikiran."

"Iya, aku setuju dengan pendapat seperti itu." Melati menggunakan gestur mempersilakan Lian sekali lagi untuk duduk.

Mereka makan bersama dengan sesekali mengobrol dan bercanda.

"Zinnia, kamu temani Lian di luar. Biarkan mama yang membereskan."

"Sebentar, Ma."

"Hus ...." Melati menyingkirkan lengan Zinnia saat hendak mengangkat piring kotor.

Dengan setengah enggan, Zinnia pun mengikuti perintah mamanya. "Baiklah."

Angin kering bertiup menggugurkan daun-daun jati. Aster-aster yang tampak lebih kurus dari sebelumnya menemani dua anak manusia berjalan santai menuju suatu tempat dengan jarak dua meter berjauhan. Keduanya masih saling berdiam, sesekali memandangi langit biru dan jalanan yang tidak begitu ramai. Mulanya, mereka akan mengobrol di beranda rumah saja. Namun, sesuai saran Lian agar Zinnia berjalan-jalan melihat dan mengenal lebih dekat pemandangan sekitar, keduanya pun pergi bersama dengan berjalan kaki.

"Dengan keadaanmu yang sekarang, pasti ada hal-hal yang ingin kau jelajahi lebih jauh." Lian yang biasanya betah dengan kesunyian, entah mengapa kali ini tidak nyaman berdiam cukup lama.

Zinnia mempercepat langkah menyusul pemuda yang berjalan lebih cepat demi mendengar ucapan lebih jelas.

"Maksudnya bagaimana?" Zinnia tidak mengerti.

"Kau masih ikut les biola?"

Zinnia mengangguk, "Masih. Kenapa?"

"Kau tidak mau ikut kegiatan lain-lain. Sekarang kau bisa melihat apa pun yang ingin kau lihat."

"Ya."

"Apa yang kau inginkan?" Lian penasaran. Dia menghentikan langkah dan menatap gadis yang kemudian ikut berhenti lalu membalas tatapan.

"Mengenalmu lebih jauh," gumam Zinnia pelan.

"Apa itu? Ucapkanlah lebih lantang." Lian memang tidak mendengar dengan jelas.

Zinnia sedikit menyesal mengucapkan kalimat yang tidak dipikirkan terlebih dahulu sebelum terlontar.

"Mungkin aku akan mengejar paket pelajaran agar bisa belajar sebagaimana orang pada umumnya."

Lian mengernyitkan dahi, "Mengapa kalimatnya jadi panjang?"

"Intinya sama saja. Ayo, pulang." Zinnia melanjutkan langkah dan tersenyum diam-diam.

"Aku akan membantu." Lian menanggapi dan segera menyusul.

💎💎💎

Bersambung ....

CU🌷

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top