[11] Azmat
Keramaian pengunjung di rumah makan tidak sampai pada pendengaran Zinnia. Bukan dia mendadak tuli setelah penglihatannya kembali. Dia hanya masih sibuk dengan segala pertanyaan yang belum terjawab.
"Aku bisa mendengar penjelasannya sekarang?" Zinnia menghentikan aktivitas makan. Dia membalik sendok di piring yang masih menyisakan sebagian dari makanan yang dipesannya dan menutup santapan dengan meneguk air mineral.
Berlian yang masih fokus pada suapan hanya menatap gadis di dekatnya tanpa segera menyahut. Setelah menghabiskan kunyahan, barulah dia berkata.
"Kau tak menghabiskan makananmu?"
"Entah kenapa sudah tak bisa tertelan. Lagi pula yang kubutuhkan sekarang jawaban dari pertanyaanku tadi."
"Terlalu gegabah aku menceritakan di tempat umum tentang sesuatu yang tidak boleh semua orang tahu."
"Lalu di mana?"
"Bersabarlah. Tidak baik mendesak sesuatu yang sepatutnya hati-hati."
"Baiklah."
Zinnia pun menunggu Lian menyelesaikan makan. Sebetulnya dia juga merasa tidak enak hati terkesan memburu-buru. Diperhatikan sesekali wajah sosok yang tidak sadar menjadi objek tatapan. Seolah maaf membaur dengan tuntutan untuk sebuah penjelasan. Tiada selesai rahasia sehingga keduanya pada akhirnya memilih bangku taman yang tidak terlalu sepi untuk mengobrol. Pohon rindang yang menaungi memberikan perlindungan dari pancaran matahari.
Lian mengulurkan jus kotak dingin pada Zinnia, dan disambut oleh gadis yang telah duduk terlebih dahulu sembari menikmati keindahan semesta yang sebelumnya terhijab oleh ketidakmampuan untuk melihat dengan mata kepala.
"Aku akan mengatakan sesuatu yang mungkin tidak akan pernah kau sangka, atau bahkan tidak akan kau percaya." Lian duduk di bangku dengan menjaga jarak dari posisi Zinnia.
"Tolong, perjelas apa maksudmu." Zinnia menoleh, menatap wajah pemuda yang disadarinya memiliki garis tegas dan berwibawa. Dan, itu melebihi ekspektasi tentang pemuda yang selama ini dia sangka tampak ramah dan lucu.
"Aku bukan berasal dari dunia ini."
Matahari yang semula memancar terik, tertutup awan perlahan. Suara kepak sayap burung-burung yang berpindah pohon secara gerombolan terdengar jelas. Kesunyian sesaat menjadi ruang Zinnia untuk mencerna dengan baik kalimat yang terlontar dari lisan pemuda yang tanpa keraguan terucap.
"Berlian, itu hanya nama yang kugunakan di dunia ini. Sekali lagi, aku akan memperkenalkan diri padamu. Namaku Diamond Zephyr." Tatapan Lian yang lurus dan tak goyah memberikan kesan pada Zinnia bahwa pemuda itu tidak berbohong.
"Diamond Zephyr?" Zinnia mengulang nama itu.
"Aku datang untuk melakukan tugas menyelamatkan negeri kami yang terancam musnah karena ulah makhluk rakus bernama manusia. Aku mengerjakan tanggung jawab untuk menemukan lima batu cahaya yang telah dicuri. Benda serupa permata yang kaulihat di arthropoda itu adalah satu dari batu cahaya yang sedang kucari."
Zinnia termangu seolah ucapan Lian kali ini tidak masuk akal. "Maksudnya ...." Zinnia belum sempat menuntaskan kebingungan karena Lian memotong dengan kata-kata penekanan.
"Jika sampai waktu yang ditentukan aku tidak berhasil menemukan semua, Wonder Stone akan hancur. Keluargaku, tempat tinggalku, dan rakyat yang seharusnya hidup makmur, semua akan musnah. Aku tidak mungkin membiarkan itu terjadi."
Zinnia bangkit dari duduk, memejamkan mata dan mengepalkan jemari kuat. Dia ingin sekali membantah dan menyerbu Lian dengan pertanyaan-pertanyaan baru. Namun, kepalanya pening. Satu lagi, fakta bahwa penglihatannya kembali dan juga petualangannya di alam yang menyusahkan, dia rasa cukup sebagai bukti.
"Mungkin aku bermimpi," gumam Zinnia mencoba menyangkal.
Lian diam saja melihat reaksi Zinnia, membiarkan gadis itu mengekspresikan diri lebih banyak.
Zinnia terduduk kembali, tubuhnya terasa tak memiliki daya untuk berdiri lama. "Terlalu lucu bukan, aku bisa mengenalmu?" Zinnia protes, tanpa melihat ke arah Lian.
"Perlahan, kau akan mengerti jika masih sudi bersamaku, berteman denganku. Kau akan mengerti lebih banyak." Lian memberikan penguatan.
Zinnia menoleh, menemukan manik mata yang tajam tanpa ada sorot intimidasi. "Berarti kita makhluk yang berbeda?"
Lian tertegun, "Kita tetap makhluk yang sama. Latar belakang kita yang berbeda."
Zinnia menggeleng, "Jelas-jelas kamu mengatakan bahwa kamu berasal dari dunia yang berbeda. Bukankah mustahil untuk kita?"
"Mustahil untuk apa? Bukankah selama ini kita bisa saling berkomunikasi dengan baik?"
Zinnia menundukkan kepala.
"Aku minta maaf karena telah melibatkanmu dalam urusanku. Aku pun tidak ingin membuatmu kesulitan."
"Aku bahkan tidak mengerti mengapa harus masuk ke dalam urusanmu itu."
"Aku pun masih tak mengerti. Sebisaku, aku akan menghindari itu terjadi lagi."
"Jika tidak bisa?" Zinnia ragu.
"Aku akan melindungimu." Kalimat itu menutup percakapan eksentrik di telinga manusia. Penyebabnya adalah deringan ponsel. Melati memanggil nomor Lian dan barulah Lian sadari berderet pesan belum terbaca dari wanita yang menantikan kepulangan putrinya.
"Aku akan mengantarkanmu pulang. Mamamu sudah menunggu."
Zinnia mengangguk patuh.
💎💎💎
Tugas Lian untuk mengantarkan Zinnia pada Melati selesai saat keduanya akhirnya bertemu dengan haru tepat di beranda rumah yang asri. Melati gelisah dari beberapa waktu lalu saat putrinya menghilang tiba-tiba.
"Mama." Zinnia mempercepat langkah, memeluk tubuh Melati yang menyambut dengan dekapan.
"Syukurlah, mama khawatir terjadi hal-hal yang buruk padamu." Melati merengkuh Zinnia begitu erat.
"Maaf, Ma," sesal Zinnia.
"Ceritakan pada mama, kenapa kamu menghilang tanpa pamit?" Melati melepaskan pelukan, menatap bola mata putri cantiknya yang tampak berbeda.
Melati baru menyadari sesuatu. Bola mata yang selama ini redup, kaku, dan tiada tanda kinerja, kini memiliki pancaran kegembiraan.
"Apa yang terjadi padamu?" Melati mengamati pergerakan bola mata, wajah, dan juga gestur Zinnia.
Zinnia menitikkan air mata. "Zinnia bisa melihat, Ma." Senyum itu tampak begitu sempurna di mata Melati.
Dengan ekspresi tidak percaya, Melati menangkup wajah putrinya. "Sungguh?"
Melati meraba pipi Zinnia. Isak semakin terdengar saat dia melihat kenyataan yang tidak pernah diduga. Dia sudah putus asa saat tak ada kemungkinan Zinnia sembuh.
Zinnia mengangguk-angguk, memeluk mamanya sekali lagi.
"Terima kasih." Melati mengucap syukur tak terkira. Tak terkatakan. Hanya air matanya yang berlomba turun.
"Apa yang terjadi?" Melati menyadari keberadaan Lian melepas pelukan dan mengusap pipi yang basah.
"Apa ini ada hubungannya dengan kepergianmu yang tiba-tiba?"
Anggukan Zinnia mengiyakan pertanyaan Melati.
"Terlalu panjang untuk diceritakan. Nanti kuberi tahu pada Mama." Zinnia sudah memiliki cara sendiri untuk menjelaskan tanpa perlu mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal.
Melati mengangguk, "Baiklah. Ayo masuk."
"Bolehkah saya pamit, Bu." Lian berniat langsung pulang. Dia paham, Zinnia dan mamanya perlu waktu untuk berdua. Lian juga percaya, Zinnia tidak akan mengatakan yang tidak-tidak kecuali yang bisa diterima oleh logika.
Melati mengernyitkan dahi, "Kamu tidak ingin menjelaskan sesuatu?"
Lian langsung menampik, "Tentu saya ingin, Bu. Hanya saja, ada keperluan mendesak saat ini."
Melati mengangguk paham. "Baiklah kalau begitu. Terima kasih telah mengembalikan Zinnia dengan baik sesuai permintaanku. Kuharap Zinnia tidak merepotkan."
Lian tersenyum tulus. Zinnia terenyuh melihat lengkungan yang baru dia sadari begitu berharga di matanya. Keramahan yang selama ini hanya mampu ditangkap oleh hatinya.
"Tentu tidak, Bu. Kapan pun ibu butuh bantuan untuk menjaga Zinnia, saya akan menjaganya."
"Terima kasih. Hati-hati di jalan, salam untuk keluarga di rumah."
Lian mengangguk, lalu bergegas pergi. Punggungnya diiringi oleh tatapan Zinnia dan Melati yang masih bernaung di bawah lingkupan rasa bahagia.
💎💎💎
Bersambung ....
Thanks for reading❤️
CU🌷
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top