[10] Dunia yang Berbeda
Tak kalah tangkas, Lian menghindari setiap serangan dari sosok abdi kerajaan di mana kini dia sadari sedang berada. Belum ada gerak perlawanan, Lian berkelit mencoba agar tidak mencacati. Namun, prajurit itu malah nekat untuk mencoba melukai Zinnia, Lian pun gesit bergerak dengan lebih tega. Dengan tiga kali gerakan, serangan prajurit itu berhasil dipatahkan.
"Biarkan kami pergi atau kau harus mempertaruhkan hidupmu?"
"Lian. Jangan lakukan itu!"
Suara Zinnia membuat Lian berdecak pelan, tetapi tetap menuruti keinginan gadis itu.
"Aku lebih baik mati dengan terhormat daripada berkhianat pada Negeri Arthropoda ini."
Lian membungkam mulut prajurit itu dengan sekali pukulan yang berhasil membuat tak sadarkan diri.
Zinnia membelalak dan langsung protes, "Kenapa kau lakukan itu?!"
"Dia tidak mati. Ayo pergi." Lian tanpa peduli dengan reaksi Zinnia, langsung berjalan melanjutkan tujuan ke ujung perkebunan palawija.
Zinnia menyusul dengan dada bergemuruh. Dunia macam apa yang sedang dimasukinya ini?
"Dunia yang menakutkan," rutuk Zinnia. Dia berjalan di belakang Lian, menoleh ke kanan dan kiri khawatir ada ancaman lain.
"Dunia manusia lebih mengerikan," sahut Lian.
"Apa maksudmu?" Zinnia bertanya sambil berjalan cepat dan hati-hati.
"Kau lihat keburukan perangai manusia, bukan? Sebut saja kerakusan mereka untuk menguasai alam. Apa pun mereka ambil untuk memenuhi kepuasan, walaupun akibat dari itu semua adalah kerusakan. Mereka sama sekali tidak peduli dengan kehidupan lain."
Zinnia tertegun mendengar ucapan Lian, membenarkan fakta itu. Setelah menyusuri jalanan yang dipenuhi tanaman kacang-kacangan, mereka sampai di tepian hutan pinus yang dituju.
"Setelah ini kita harus bagaimana?"
"Mencari lubang tanah," jawab Lian tanpa ragu.
Zinia terheran dan merasa ucapan Lian hanya sebatas candaan. Memangnya mereka semut atau cacing yang perlu mencari lubang di tanah sebagai jalan pulang? Bagaimana juga, dia memang tidak tahu apa-apa, jadi hanya bisa mengekor berharap segera sampai.
Sebelum pasukan prajurit yang lain mengejar, mereka sudah harus menemukan jalan untuk kembali ke dunia bangsa manusia. Bersama dengan Zinnia yang masih memasang wajah bingung, Lian terus menyusuri barisan pinus yang banyak dipenuhi semak belukar.
"Hati-hati, lihatlah jalan dan jangan melamun." Lian berpesan. Dia khawatir Zinnia bukannya masuk ke saung yang dituju malah terperosok ke saung lain. Sebisa mungkin dia mencoba mengingat apa saja yang menjadi tanda, sesaat sebelum dia masuk ke dunia yang disebut dengan nama arthropoda.
Lian memusatkan ingatan dan kekuatan atma menerima sinyal yang diberikan oleh batu-batu di sekitar. Dia pun berkomunikasi dengan entitas yang menjadi bagian dalam dunianya meskipun berbeda matra.
"Di sana." Lian menemukan permukaan tanah aneh.
Zinnia masih setia membuntuti pemuda yang kini berlekas menuju suatu titik dan menyingkirkan tumpukan semak yang menutupi. Tampaklah liang yang seolah memiliki daya magnet meski tidak begitu kuat.
"Apa itu?" Zinnia penasaran.
"Jalan yang bisa membawamu kembali. Kau yang akan masuk lebih dulu." Lian sibuk merapikan benda-benda bawaannya, tanpa terlihat peduli dengan raut bengong Zinnia.
"Aku tiba-tiba bisa melihat, tiba-tiba bertemu denganmu, tiba-tiba tersesat di dunia antah-berantah, dan kini kamu menyuruhku masuk lubang tanah?"
Lian bingung hendak tertawa atau protes dengan keluhan Zinnia. "Lakukan saja yang kusarankan. Aku tidak mungkin berniat mencelakakanmu, karena jika memang maksudku begitu, kau pasti sudah kubiarkan ditangkap prajurit tadi."
Zinnia menghela napas. Benar juga yang dikatakan Lian. Untuk apa pemuda itu bersusah payah menjaganya jika akhirnya ditumbalkan.
"Baiklah."
💎💎💎
Tanpa sibuk berseteru bagaimana cara mereka kembali setelah masuk ke lubang yang ditemukan, Lian dan Zinnia kini telah menemukan langit biru dengan matahari yang hangat. Cahaya yang dipancarkan menembus permukaan hutan pinus dengan penampilan lebih sedikit semak belukar dibandingkan sebelum mereka menjatuhkan diri ke dalam saung. Zinnia merasa pening dan kembali berpikir atas apa yang terjadi.
"Kau tidak apa-apa?" Lian gerun.
"Aku masih ragu dengan apa yang sudah kulalui tadi. Kalau memang bunga tidur, mengapa sakit kepala ini begitu nyata. Juga luka-luka di kaki dan tanganku."
"Kita kembali ke rumahmu terlebih dulu. Mamamu pasti sedang cemas mencarimu."
Zinnia menggeleng, "Kita perlu bicara." Dua tatapan bertemu. "Siapa sebenarnya kamu? Apa hubunganmu dengan dunia dan benda aneh itu?"
Lian tertegun sebelum akhirnya mengangguk. "Aku akan menceritakan padamu nanti. Sekarang yang lebih utama adalah kembali ke rumah agar mamamu tidak khawatir."
"Lebih baik hubungi mama lewat telepon. Kabarkan bahwa aku baik-baik saja. Aku belum siap menemui mama dengan kondisi seperti ini."
"Seharusnya itu kabar gembira. Bukankah sedari tadi pun mamamu yang kau cari? Kenapa sekarang malah menunggu siap?" Lian tidak mengerti arah pikiran Zinnia.
"Aku belum menemukan alasan masuk akal untuk ini. Jadi sambil mencari alasan itu, aku minta tolong hubungi mamaku. Kau bawa alat komunikasi, bukan?"
Perkataan Zinnia dengan nada memohon, mengusik Lian untuk luluh.
"Baiklah." Lian tidak ingin memperpanjang urusan. Dia pun menghubungi Melati untuk memberikan kabar bahwa Zinnia baik-baik saja.
"Nak Berlian? Sedari tadi aku mencoba menghubungi tetapi tidak tersambung." Terdengar suara serak dari Melati yang belum selesai dalam kerisauan besar. Dia bahkan sedang di kantor pemerintahan setempat untuk meminta bantuan.
"Ibu mencari Zinnia?" Lian renyang, wanita itu sepertinya baru menangis.
"Apa dia bersamamu?" Melati bertanya diiringi harap untuk mendapat jawaban tidak mengecewakan.
"Iya, Bu. Zinnia bersamaku. Kami akan pulang. Ibu jangan khawatir lagi, Zinnia baik-baik saja. Dia hanya perlu memahami situasi untuk memberi tahu."
"Oh, syukurlah. Baiklah, ibu titip tolong jaga Zinnia baik-baik hingga kembali ke rumah. Aku sangat khawatir."
"Baik, Bu."
"Aku tidak bisa berbicara padanya sekali saja?" Melati memohon.
Lian menoleh pada Zinnia dengan tatapan tenang, mengulurkan ponselnya setelah gadis itu mengangguk.
Zinnia mengatur napas sesaat sebelum berkata. "Ma, maafkan Zinnia sudah membuat Mama khawatir. Nanti akan Zinnia jelaskan. Mama jangan cemas lagi."
"Syukurlah." Melati hampir-hampir kembali mengucurkan air mata sebagai negasi atas kegelisahannya sejak merasa telah kehilangan putri semata wayangnya. "Mama menunggumu. Hati-hati, dan cepatlah kembali." Masih terdeteksi suara sengau, hingga membuat Zinnia tak tega.
"Iya, Ma." Zinnia terdiam, menatap layar yang menampilkan panggilan yang telah terputus.
Usai meredakan kekacauan yang terjadi pada Melati, Lian mengajak Zinnia bergegas mencari tempat beristirahat. Mereka perlu mengisi tenaga dengan memenuhi kebutuhan makan yang belum terpenuhi, sekaligus memberitahukan hal-hal penting yang perlu dihindarkan dari kesalahanpahaman. Lian tahu, Zinnia menyimpan banyak pertanyaan yang patut terjawab agar kelesah itu berkurang dan tidak menganggu dirinya sekarang dan di kemudian nanti.
💎💎💎
Bersambung ....
Thanks for reading😇
CU🌷
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top