01 - Luka Membekas
Paul Kim, Swan - Not Fine
🔸🔸
Alunan musik mengayun lembut dan memenuhi tiap sudut ruangan bernuansa putih dan emas. Di balik meja kerjanya, Yoon Soo Ah tengah sibuk memandangi tablet sembari memangku dagu, sesekali ia mengernyitkan dahi dan memoles senyum. Pemilik usaha butik dan wedding organizer WeOwn itu menggulir layar dengan jari telunjuknya, memperhatikan respons positif yang diberikan oleh para pengikut. Setiap kali ia mengunggah potret katalog baru gaun pengantin wanita dan jas pengantin pria, dekorasi venue, atau keseruan yang berlangsung selama acara pernikahan, ia selalu mendapat banyak jumlah suka. Atas apa yang Soo Ah perjuangkan dua tahun terakhir sudah selayaknya memperoleh apresiasi.
Jemari Soo Ah digerakkan di udara selaras dengan irama lagu sebab bahagianya terlampau besar kala menyadari usaha yang tidak sia-sia. Namun, belum lama suka citanya singgah, matanya membelalak pada komentar yang tertulis di salah satu unggahannya. Musik yang sejak tadi menggema di ruangan pun ia hentikan.
jeong_sm:
Harganya mahal sekali, bahkan di paket yang tidak begitu lengkap.
Salah satu alis Soo Ah mengangkat, pun tubuh perempuan itu menegak. Layar tabletnya digulir kembali, akun yang sama juga ditemui pada unggahan lain. Bukan hanya satu, melainkan beberapa.
jeong_sm:
Dekorasinya cantik. Sayang karena harga kurang sesuai. Banyak yang jauh di bawah dengan kualitas yang sama.
Soo Ah tertawa getir. Ia menyugar rambut, kemudian menggeleng. Diraihnya kembali benda tipis berwarna hitam yang masih menampilkan halaman serupa. Mulut perempuan itu menganga, sama sekali tidak menduga.
"Wah! Wah!" Soo Ah takjub hingga sulit berkata-kata. "Kalau begitu, kenapa tidak memakai jasa itu saja dan enyah dari akunku?! Memang apa gunanya membandingkan? Dia pikir ide dan segala perencanaan yang kubuat tidak ada harganya? Astaga."
Satu decakan lolos dari perempuan berambut panjang itu. Tanpa berpikir panjang, Soo Ah membuka profil akun yang berkomentar buruk padanya. Kosong, pun foto profilnya juga tidak ada. Jarinya menekan tombol hapus pada setiap komentar yang diunggah oleh sang pemilik akun misterius.
"Orang iri. Sengaja membuat akun hanya untuk menjatuhkan usahaku? Hah!" gerutu Soo Ah seraya mengembuskan napas kasar.
Niat Soo Ah untuk memantau media sosial bisnisnya menghilang begitu saja. Banyak yang mengatakan jika seseorang tidak pernah luput dari ucapan buruk ketika memulai usaha. Namun, Soo Ah tidak mengira bila kenyataannya terlalu pahit untuk ia terima. Menyandarkan tubuh pada kursi, perempuan berusia 27 tahun itu melamun. Sekilas kejadian masa lalu langsung terputar, mau tidak mau memaksa Soo Ah mengingat hari di mana ia diremehkan oleh Min Ha Jeong, direktur kantornya dulu.
"Direktur Min, ini," ujar Soo Ah sembari meletakkan amplop putih di atas meja Ha Jeong.
Atensi Ha Jeong dari komputer yang ada di depannya pun teralih. Ia memandang amplop pemberian Soo Ah sesaat, kemudian mengamati wajah pegawainya serius.
"Kau benar-benar mengundurkan diri?" tanya Ha Jeong.
"Kau tahu aku tidak pernah main-main dengan masa depanku, Direktur Min."
"Ini baru tahun keempatmu bekerja di sini. Kau tahu itu?"
Sadar dengan kenyataan yang diucapkan oleh Direktur Min, Soo Ah mengangguk.
"Dan ini juga pengalaman pertamamu bekerja, tapi kau sudah berani mengundurkan diri? Apa katamu kemarin? Kau mau membangun usaha sendiri? Atas namamu?" Ha Jeong menoreh senyum sinis, serta-merta membuat Soo Ah memanas. "Bagaimana aku harus mengakatakannya, ya? Kurasa kau terlalu percaya diri dan menganggap dirimu hebat. Berbisnis bukan usaha mudah, Nona Yoon Soo Ah."
Mendengar segala ucapan dan cemooh Ha Jeong, bahkan di hari terakhirnya bekerja, Soo Ah menarik napas dalam-dalam meski jemarinya sudah mengepal sejak wanita yang menjadi atasannya itu menanggapi.
"Terima kasih untuk perhatian yang kau berikan padaku, Direktur Min, tapi aku tahu benar risikonya. Itu lebih baik daripada aku harus menetap di sini dan mengikuti cara kerja yang sama sekali tidak sesuai dengan gayaku. Kau tahu? Segala masukan yang kuberi ketika diskusi tidak pernah dianggap. Mereka berpikir kalau aku hanya anak baru yang tidak punya pengalaman. Aku tidak akan bisa berkembang jika terus bekerja dengan orang-orang berpikiran sempit."
"Apa?" Penjelasan Soo Ah sukses memerangahkan Ha Jeong, pun kening wanita itu mengernyit.
"Kalau begitu, aku pamit." Soo Ah membungkukkan tubuh dan tanpa perlu menunggu persetujuan Ha Jeong, ia melangkah pergi.
Soo Ah jelas mendengar tawa Ha Jeong yang mengiringi kepergiannya. Wanita itu berteriak begitu Soo Ah sampai di depan pintu. "Bertaruhlah denganku! Kau tidak akan bisa sukses dengan sifatmu itu."
Mengakhiri ingatan buruk dua tahun lalu, Soo Ah menyilangkan tangan di depan dada. "Tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkannya menertawakanku lagi."
Semangat yang sempat luntur, seolah-olah terisi penuh kembali. Soo Ah menekan tombol pada telepon dan berbicara, "Jin Hee, bisa ke ruanganku? Tolong bawa daftar reservasi minggu ini juga."
Tangan pemilik WeOwn itu meraih beberapa berkas milik klien, membaca setiap lembaran seraya menanti kedatangan sang sekretaris, Jin Hee. Tidak lama, perempuan dengan setelan blazer dan rok berwarna ungu muda itu masuk dan menyerahkan dokumen yang diminta oleh atasannya.
"Ini daftar satu minggu lalu. Tidak ada klien baru?" tanya Soo Ah sambil bergantian menatap Jin Hee dan daftar yang diberikan.
"Belum ada. Pasangan Jin Sung dan Na Kyung yang akan datang hari ini adalah klien keempatmu dalam minggu ini. Mereka yang terakhir," jelas Jin Hee.
"Setengah jam lagi, ya?" Soo Ah lekas menutup map berisi daftar reservasi dan mengembalikannya pada Jin Hee. "Baiklah, kau boleh kembali."
***
"Apa ada konsep pernikahan yang kalian inginkan, Tuan Jo Jin Sung? Nona Kim Na Kyung?" tanya Soo Ah, kemudian menautkan jemari di atas meja. Dilihatnya pasangan calon pengantin itu menoleh satu sama lain dan berbicara sekilas sebelum akhirnya Jin Sung membuka suara.
"Tidak ada konsep khusus karena yang terpenting adalah acara kami berjalan lancar dan perempuan ini bisa menjadi istri saya," ujar Jin Sung seraya menoleh ke arah Na Kyung, calon istrinya, dan memoles senyum. Baik Na Kyung, maupun Soo Ah turut tertawa mendengar ucapan lelaki itu.
"Tapi," sela Na Kyung, "saya ingin nuansanya berwarna putih dengan bunga-bunga berwarna cerah, seperti perpaduan merah muda dan putih. Alih-alih menggunakan karpet untuk masuknya calon mempelai, saya ingin menggunakan panggung saja dengan gapura bunga di bagian depannya. Tidak masalah, 'kan?"
Soo Ah mengangguk, menanggapi permintaan Na Kyung. Ia beralih ke tabletnya dan menunjukkan benda tersebut ke arah klien begitu sebuah potret telah terpampang di layar. "Kebetulan kami pernah mendapat permintaan serupa. Kurang lebih seperti ini, benar?"
Kedua netra Na Kyung membuka dengan binar, pun senyumnya melebar. "Tepat."
"Baiklah, konsep sudah disetujui. Venue-nya akan kami cari terlebih dulu dan berikutnya akan diinfokan. Selanjutnya, tim kami akan mengirimkan susunan acara dan rincian anggaran sesuai dengan permintaan. Susunan acara ini sifatnya juga tentatif, kami terbuka untuk masukan lain jika ada keinginan khusus dari calon mempelai."
Menyudahi pertemuannya, Soo Ah menutup dokumen milik pasangan yang ada di hadapannya. "Karena paket yang dipilih sudah termasuk busana pengantin, bagaimana kalau saya membawa Anda untuk melihat-lihat koleksi kami?"
"Oh?" Na Kyung yang merasa heran seketika menyunggingkan senyum. "Boleh!"
Perempuan itu beranjak, mengikuti gerakan kaki Soo Ah dan berjalan di sebelahnya. Sementara itu, Jin Sung tidak berkomentar apa pun selain mengangkat kedua sudut bibirnya melihat perilaku calon istrinya yang begitu bersemangat.
***
"Terima kasih atas kedatangannya. Pertemuan selanjutnya akan disesuaikan lagi mendatang, ya," ujar Soo Ah, kemudian membungkukkan tubuh pada pasangan Jin Sung dan Na Kyung.
Sepasang klien WeOwn siang itu menyampaikan pamit dan melangkah menuju pintu keluar. Soo Ah yang memperhatikan pasangan tersebut sampai benar-benar hilang dari pandangan pun akhirnya kembali ke kursinya. Namun, tidak lama seseorang dari balik pintu melongok.
"Soo Ah, mau makan siang tidak?" tanya Jin Hee sembari menunjuk ke arah luar. "Aku ingin makan di luar sekaligus bertemu dengan teman. Kau mau ikut?"
Sang pemilik nama menoleh, kemudian menggeleng. "Aku harus merapikan data-data klien dan menyusun tenggat. Kau pergi saja tidak apa-apa."
Jin Hee merengut. "Hari ini aku tidak bisa menemanimu makan di kantor. Kubawakan saja nanti, ya?"
"Tidak perlu. Tenang saja, aku bisa menghubungi pesan antar nanti. Nikmati saja waktu istirahatmu."
Melihat Soo Ah mengangguk, Jin Hee menghela napas, kemudian mengubah raut wajahnya. Kedua sudut bibir perempuan itu naik seakan apa yang dikatakan oleh Soo Ah adalah hal baik baginya. "Baiklah, aku pergi dulu, ya. Hubungi aku kalau kau berubah pikiran."
Usai melambaikan tangan, sekretaris Soo Ah itu melenggang pergi. Soo Ah menyimpulkan senyum seraya menggeleng. "Teman apanya? Dia bahkan terlihat senang ketika tahu aku tidak mau ikut dengannya."
Soo Ah kembali memusatkan atensi pada kertas-kertas penuh coretan hitam yang ada di atas mejanya. Belum lama memfokuskan diri, pintu ruangannya berderit kembali.
"Masa kau sudah selesai secep-" Ujaran perempuan itu kontan berhenti ketika melihat sosok yang baru tiba di kantornya, pun air mukanya berubah datar. "Ibu? Ada apa lagi datang ke sini? Sepertinya belakangan ini Ibu sering berkunjung."
Hanya melihat wajah sang ibu sejemang, Soo Ah meraih dokumen milik para klien. Sementara itu, Ae Shin-ibu Soo Ah-lekas menanggapi, "Kenapa? Ibu tidak boleh datang ke kantor anak ibu sendiri?"
"Aku tahu Ibu tidak mungkin datang tanpa tujuan. Hari ini apa?"
Ae Shin segera melangkah maju, mendekati meja anak perempuan satu-satunya itu. Ia meletakkan tas tangannya di atas meja. "Tentang kencan butamu minggu lalu, bagaimana kelanjutannya? Bagaimana? Pilihan ibu kali ini bagus, 'kan? Dia pemilik perusahaan pakaian yang terkenal. Kalau bersamanya, kau tidak perlu repot-repot menjalankan bisnis seperti sekarang ini."
Kedua alis Ae Shin mengangkat. Wanita itu menanti tanggapan dari sang anak, sementara yang tengah diajak bicara hanya mendongak guna mempertemukan netranya dengan milik Ae Shin. Selang beberapa detik, decakan lolos dari mulut Soo Ah, pun ia melangkah pergi bersama dengan dokumen di tangan.
Memandang anaknya yang pergi tanpa menanggapi, Ae Shin memutar tubuh dan mendengkus. "Ibumu sedang bicara. Memangnya kau pernah ibu ajarkan untuk pergi begitu saja ketika ada orang yang lebih tua darimu mengajak bicara?"
Soo Ah masih enggan membuka suara. Perempuan itu dengan santai beralih masuk ke ruang busana pengantin, menghampiri satu per satu lemari yang dipenuhi dengan gaun pengantin panjang menjuntai, dan memilahnya sesuai dengan pesanan klien.
"Berhenti mengurus pernikahan orang lain dan pikirkanlah dirimu," ujar Ae Shin lagi. Wanita itu duduk di sofa seraya menyilangkan tangan di depan dada.
"Aku sudah bilang kalau kemarin adalah terakhir kalinya aku mengikuti kencan buta yang Ibu rencanakan." Gerakan tangan Soo Ah berhenti dan ia menoleh ke arah sang ibu. "Ibu melakukannya untuk menekanku?"
"Lihat umurmu sekarang. Sebentar lagi kau memasuki kepala tiga, tapi yang kau pikirkan setiap hari hanya menyusun acara untuk pernikahan orang lain. Ibu bersikap seperti ini juga untuk kebaikanmu. Kau, kan, juga tidak mau menjadi perawan tua," bela Ae Shin.
"Perawan tua bagaimana? Aku masih sangat muda, Ibu. Untuk kebaikanku? Memangnya standar bahagia dan sukses anak perempuan bagi seorang ibu itu hanya menikah di usia muda saja? Jangan samakan aku dengan Ibu dulu."
Soo Ah memutar bola matanya malas. Setiap kali ia berbicara dengan Ae Shin, pembahasan tentang pernikahan tidak pernah luput. Lama-lama Soo Ah juga bisa jemu, rasanya ingin menghilang saja.
"Aku akan fokus pada pekerjaanku," tambah Soo Ah. Perempuan dengan blus hitam itu melangkah menuju pintu ruangan dan membukanya. "Aku sudah cukup bicara. Kalau tidak ada yang Ibu sampaikan lagi, apa Ibu tidak keberatan untuk meninggalkan ruangan ini?"
Mendengar permintaan putrinya, mata Ae Shin kontan membelalak, pun mulutnya menganga lebar. Wanita itu tertawa kecil, tidak percaya.
"Masih banyak pekerjaan yang harus kuurus sebelum jam pulang." Soo Ah melirik arloji di pergelangan tangannya, kemudian beralih menatap Ae Shin.
"Kau benar-benar anakku?" tanya Ae Shin kaget ketika ia sudah beranjak dan menghampiri Soo Ah. Diperhatikannya Soo Ah dari atas hingga bawah, kemudian ia mendecak. "Astaga, apa yang bisa ibu lakukan padamu?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top