7.
Sudah dua minggu sejak malam di mana Papi menegur laki-laki itu. Dia tidak pernah menunjukan batang hidungnya lagi di depanku. Tenang sih, rasanya. Hidupku seperti kembali seperti semula. Namun, entah mengapa ada satu sisi hati yang terasa seperti ... hampa.
Hampa? Bukankah hatiku memang sudah hampa dari lima tahun lalu ya? Entahlah.
Yang jelas, aku sedikit tenang setelah dia menghilang lagi. Untuk masalah hati, Winda si cantik ini masih bisa menutupi kehampaan ini. Siang ini jadwalku menemui vendor yang mencetak dan membuat box cupcake, Sekalian membuat paper bag sebagai pengganti kantong plastik.
"Hana, aku mau ke Boyolali, ya. Ke percetakan, mau minta ganti desain untuk cupcake box sama mau minta harga kalo kita bikin paperbag ," pamitku seraya mencatat apa saja yang sekiranya akan kutanyakan saat sampai percetakan nanti.
Hana mengangguk sambil terus fokus dengan lembaran neraca dagang kemarin."Iyes, Mbak. Sekalian, Mbak, mampir ke digital print, dong. Bikinin banner tulisan dilarang parkir. Soalnya banyak yang suka parkir sembarangan di area parkir toko kita."
Aku mengangguk, lantas mencatat pesan Hana dalam agendaku. "Owh, oke, nanti aku koordinasi sama mas Bejo dulu, deh," balasku menyebutkan nama salah seorang petugas keamanan kawasan ruko ini.
Saat ini aku lebih mudah untuk keluar toko seperti sekarang, karena sudah punya tambahan kru di Dapur Winda. Ada Rani yang membantu Hana mengkondisikan toko dan Hadi yang menjadi asisten Smail. Juga, pak Rudi yang bertugas untuk bagian kirim pesanan. Lima orang timku semoga selalu solid dan membuatku lebih mudah menjalankan tugas-tugas utamaku.
Aku menaiki mobil dan melajukanya perlahan. Ah, Papi kebiasaan. Meminjamkan mobilnya tapi tidak mengisi tangki bensin. Aku jadi harus mampir SPBU dulu untung mengisi bahan bakar. Aku memakai mobil Papi beberapa hari ini, karena Papi dan mami sedang keluar kota dan mobilku sedang kuistirahatkan di bengkel untuk memperbaiki body yang lecet-lecet.
Aku membelokan mobil Papi ke SPBU, mengisi bahan bakar lalu berhenti sebentar di depan minimarket yang tersedia di area SPBU ini. Membeli donat dan satu cup hot chocolate boleh juga. Mengingat, Solo-Boyolali kadang macet dan perjalanan bisa lebih dari satu jam.
Keluar dari minimarket, aku berjalan ke arah mobil sambil membalas pesan dari Hana dan Mami. Saat aku menarik handle pintu mobil, terdengar suara alarm mobil yang berbunyi dengan kencang. Sontak aku terjingkat karena kaget.
"Duh, ini mobil Papi kenapa, sih? Perasaan gak gini, deh." Aku menggerutu saat autolock pada kunci mobil yang kutekan tidak memberikan efek apapun atau menghentikan alarm yang tidak berhenti berbunyi. Panik mulai menyerangku, karean bunyi alarm yang cukup keras dan banyak pasang mata yang memusatkan perhatiannya kepadaku.
"Mbak, maaf, sepertinya mbak salah mobil." Seorang laki-laki paruh baya menghampiri dan menegurku.
Aku menoleh kepadanya dengan kening yang berkerut jelas. Bagaimana bisa aku salah mobil? Jelas ini warna mobil Papi, juga merek dan tipe kendaraan yang papiku miliki. "Ini mobil saya, Pak." Aku bersikeras dan tetap memainkan kunci mobilku. Mana tahu pria ini sedang melakukan modus buruk padaku di tengah kesempitan kecil yang kualami.
Laki-laki paruh baya itu mengeluarkan kunci mobil, lalu menekan autolock yang ia pegang. Ajaibnya, alarm itu berhenti.
Aku yang bingung dan malu hanya diam dan berusaha memasang wajah tenang.
"Mobil Mbak kayaknya yang itu. Warna dan tipe mobil Mbak sama dengan milik majikan saya ini, Mbak"
"Eh?" Aku melihat dua mobil SUV yang memiliki tipe dan warna yang sama. Benar. Mobil pria paruh baya ini berplat L sedang mobil papi plat AD. Aku menyeringai malu dan memohon maaf kepada bapak itu.
Saat aku hendak berbalik menuju mobil Papi, sebuah suara meneriakan namaku. Kualihkan pandanganku ke arah suara dan mendapati sosok yang lama tak bertemu, ada di depan mataku.
"Mas Ardian!" Aku terkejut dan tak bisa menyembunyikan raut bahagiaku.
"Ini Winda. Benar 'kan?" Pria itu menyapaku dengan wajah yang seakan memastikan tebakannya, juga senyum ramah yang menyenangkan.
Aku mengangguk penuh semangat. "Iya, Mas, ini Winda. Duh, lama banget gak ketemu Mas Ardian. Kangen!" Ucapanku penuh semangat dengan wajah antusias terhadap pertemuan tak sengaja ini. "Mas, sih, pindah ke Surabaya gak bilang-bilang." Tanpa canggung, aku memukul pelan lengannya dan membuat mimik wajah ditekuk.
Mas Ardian tertawa ringan. "Mau kuliah kok pamit-pamit, sih?" jawabnya disela tawa geli hingga matanya menyipit.
"Mas. Coinsidence banget yah ketemu disini. Mas lagi apa? Liburan?"
"Enggak. Aku lagi ada project event disini. Aku sekarang kerja di event organizer, Dek. Ini mau ketemu sama klien."
"Keren." Aku berdecak kagum. "Mas jadi apa? Kru?"
"CEO, Dek."
Aku mengerjap dengan rasa terpukau mendengar informasi ini. "Mas owner EOnya dong?"
Mas Ardianku memberi senyum tipis sebagai jawaban pertanyaanku barusan. Ternyata, pria paruh baya tadi adalah supir mas Ardian apabila dia sedang ada project diluar kota Surabaya dan mobil kami kebetulan sama.
Kami bertukar kartu nama dan nomor ponsel. Mas Ardian memintaku untuk bersedia mengosongkan jadwal apabila ia ingin ditemani berkeliling kota Solo. Mas Ardian juga berjanji mau main kerumahku untuk bertemu Mami dan Papi.
Menjamu kenalan lama yang keluarganya sangat baik padaku dan keluargaku, kenapa tidak? Bagi Papi da Mami, Mas Ardian bukanlah sekadar tetangga saat kami tinggal di Jakarta dulu. Ia lebih dari itu. Mas Ardian sudah dianggap sebagai anak oleh orangtuaku, karena ibu Mas Ardian juga memperlakukanku sama saat kami bertetangga dekat dulu.
Usai menjanjikan akan selalu siap sedia menemani Mas Ardian jika mampir ke Solo nanti, kami saling pamit untuk melanjutkan perjalanan. Ia harus lekas sampai tempat bertemu kliennya, juga aku yang harus lekas sampai di percetakan. Mas Ardian banyak berubah sejak terakhir kami bertemu, entah berapa tahun lalu. Yang jelas, aku berharap jika aku dan Mas Ardian bisa kembali berkomunikasi dan menjadi salah satu mentorku dalam mengembangkan bisnis. Barangkali, event organizernya bisa menggunakan Dapur Winda sebagai vendor penyedia kue dan makanan kecil, mungkin? Tak ada yang tak mungkin untuk kita wujudkan di masa depan, bukan?
Saat mobilku sudah menyala, aku melambaikan tangan pada Mas Ardian yang masih menungguku beberapa langkah dari mobilku. Ia tersenyum manis dan mengangguk saat aku membunyikan klakson tanda pamit. Nanti, aku akan menceritakan tentang pertemuan ini pada Mami dan Papi. Aku yakin, orangtuaku pasti antusias dan senang mendengar kabar Ardian kini menjadi pengusaha sukses Surabaya.
Kurang lebih dua menit dari saat aku keluar SPBU, ponselku berdenting. Aku menunggu lampu merah, lalu mengambil ponsel untuk melihat siapa yang mengirimiku pesan.
Ini Ardian. Jangan lupa janji kita barusan.
Aku tersenyum seraya menggeleng. Mas Ardian ternyata masih sama seperti dulu.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top