6
Radit memaksa ikut menemaniku berbelanja bahan-bahan kue yang sudah Ismail laporkan hasil stock obname-nya. Di sinilah aku sekarang. Berada satu mobil dengan buaya brengsek itu. Tidak ada satupun dari kami yang memulai obrolan, dan aku pun tak sudi memulainya. Boro-boro memulai, membalas ucapannya saja aku enggan.
Aku memasukkan macam-macam bahan kue ke dalam troli yang sedang didorong Radit. Tidak ada obrolan dalam kegiatan kami. Radit tak ubahnya seperti robot yang mengikuti kemanapun langkahku pergi.
Sampai kami kembali ke tokoku dan memberikan bahan-bahan yang tadi kubelanjakan kepada Ismail untuk disimpan olehnya, Radit masih saja setia menemaniku tanpa mau membuka percakapan apapun. Astaga, aku lelah. Aku tak tahu apa maunya melakukan ini semua kepadaku.
Kulihat Radit berjalan agak menjauh dariku dan menelepon seseorang. Entahlah, Nesya mungkin. Ah, apa kabarnya anak itu. Andai dia bukan Anaknya Radit, pasti aku sudah menyukainya.
Lantas jika dia anak Radit, apa aku boleh membencinya?
"Yang kudengar dari Mami, saat ini kamu bekerja sebagai kepala cabang sebuah bank. Seharusnya kamu berada bersama anak buahmu dan para nasabah itu, alih-alih di toko kueku yang tak seberapa besar ini." Aku menyandar pada meja kerjaku di toko, sambil memindai pergerakannya yang baru selesai menghubungi entah siapapun itu.
"Ini aku sedang kerja," jawabnya seraya mengetikkan sesuatu di ponselnya, entah apa.
Dahiku terlipat menanggapi jawabannya.
Ia tersenyum kepadaku, setelah menyelesaikan urusannya dengan ponsel dan mengantungi benda canggih itu. "Memperhatikan kamu, menjaga kamu, dan mencintai kamu. Itu tugas utamaku, Win," jelasnya seraya tetap menarik kedua sudut bibirnya.
Aku berdecih penuh ejek, sebelum membalikkan badan dan menyusul Ismail yang sedang mengeluarkan cupcake dari panggangan.
"Ini akhir minggu. Waktu libur untuk kami para pekerja kantoran." Radit setengah berteriak. "Aku memutuskan untuk menghabiskan waktuku bersamamu setiap libur kerja."
Aku memutar mata dan berusaha tuli terhadap apapun yang ia ucapkan. Luka dalam hati tak semudah itu terobati. Hatiku bukan mainan, juga benda yang bisa seenaknya dibuang dan diambil lagi. Daripada menggubris kehadirannya dan membuatku sakit hati kemudian hari, lebih baik aku fokus membantu Ismail sebelum para pelanggan datang pada sore dan petang hari. Sabtu memang hari di mana tokoku selalu ramai. Biasanya, sore hari akan banyak datang tamu yang membeli cupcake atau popcake dengan berbagai permintaan penataan dalam keranjang aneka ukuran.
Aku konsentrasi membantu Ismail menghias cupcake dan popcake yang sudah dipesan pagi tadi untuk diambil siang ini. Hana tampak tetap sibuk dimejanya melayani transaksi para pelanggan yang datang silih berganti.
"Mas kamu ngapain, sih!" Aku membentak Radit saat melihat dia memindahkan cupcake yang sudah terhias kedalam wadah yang siap diletakkan di display. Sejak tadi pria ini memang tak ada kegiatan. Ia hanya sibuk berkeliling dan sekarang dengan lancang memasuki dapurku bersama Ismail.
"Bantuin bos Winda yang sibuk," jawabnya tanpa menghentikan kegiatannya memindahkan cupcake pada wadah display. "Ini ditaruh di lemari kue itu kan?" tanyanya sambil mengangkat dan membawa satu wadah besar berisi puluhan cupcake.
"Saya gak butuh bantuan kamu, Mas. Kamu pulang saja sana dan urus anak kamu yang mungkin saja sendirian di rumah. Kamu itu justru mengganggu kesibukan saya dan Ismail." Aku berharap suara ketusku ini mampu mengusir pria bermuka tembok ini.
"Anggap saja saya sedang bekerja pada kamu, Winda. Bayar saya setelah membantu kamu sampai toko ini tutup. Lagipula, saya perhatikan koki kamu itu seperti kelelahan. Wajahnya agak pucat pasi."
Perkataan Radit memancing mataku menoleh pada Ismail yang tampak sibuk membentuk popcake. Benar apa kata Radit, Ismail tampak kelelahan. Aku melihat ada lingkar hitam di sekitar matanya. Meski ia pria yang biasa bekerja fisik, tetapi tubuh setiap manusia punya batasanya masing-masing.
Aku menghela napas dan membiarkan Radit tetap melakukan apa yang ingin pria itu lakukan. Aku menghentikan pekerjaanku dan melangkah menuju meja tempat Ismail bekerja saat ini.
"Kamu gak enak badan, Smail?"
"Enggak, Mbak." Ismail menggeleng tegas dan mengentikan sejenak kegiatannya membentuk popcake. "Saya gak apa-apa, kok, hanya agak kecapekan aja, Mbak. Maklum, tugas kuliah lagi banyak. Mau UAS sih soalnya," jawab Ismail dengan senyuman.
Tanganku terulur memegang keningnya. Tanpa permisi, aku menempelkan tanganku di keningnya. Hangat. Suhu tubuhnya agak tinggi. "Smail, habis adonan popcake ini selesai kamu bentuk, kamu pulang saja. Kamu harus istirahat," titahku dengan mata yang tegas, tak bisa dibantah.
"Malam minggu tuh toko biasanya ramai, Mbak. Kalau saya pulang setengah hari, ya kasihan Mbak Hana sama Mbak Winda pontang panting berdua."
"Saya bisa hubungi Mami, minta bantu seperti biasanya. Lagipula," Aku menghela napas lelah, "ada laki-laki aneh yang tak tahu kenapa mengikuti saya terus dari tadi. Saya rasa kita bisa memberdayakan dia hari ini."
Ismail mengulum senyum, dengan mata yang melirik ke arah belakangku. Pasti ia sedang melirik Radit yang entah sedang melakukan apa. "Mas-mas yang setiap hari datang itu ya, Mbak, yang ngobrol terus sama kanjeng Mami tiap siang?" Bibir Ismail menyeringai, menahan tawa.
Sebelah alisku refleks naik. "Tiap siang, Smail?"
"Iya, Mbak." Ismail mengangguk, sebelum melirik atap seakan tengah mengingat sesuatu. "Tiap jam makan siang selama tiga hari, mas-mas itu dateng ke mari, terus makan berdua sama kanjeng Mami di meja toko Mbak Win sambil ngobrol-ngobrol gitu."
Keterangan Ismail mengenai buaya mati suri itu entah mengapa membuatku semakin gemas saja. Apa-apaan dia memenui Mami setiap hari selama aku cuti. Tahu gini, harusnya aku gak usah sok lemah dengan hibernasi segala. Cuti untuk alasan menye-menye seperti kemarin itu benar-benar unfaedah. Dinginnya hanya sebentar, sekarang hatiku sudah panas lagi.
Aku menelepon mami dan meminta tolong untuk membantuku di toko. Mami bilang akan datang sebelum maghrib dengan papi dan membawakan kami makan malam, supaya nanti kami bisa sekalian makan malam di toko.
Aku memaksa Ismail untuk pulang dan beristirahat setelah ia menyelesaikan adonan cake popnya. Nanti, biarlah aku dan mami yang standby di dapur dan papi yang duduk di meja customer service memantau toko. Laki-laki itu? Biarlah. Aku tak peduli pada apapun yang ingin ia lakukan setelah ini.
Aku melirik dari ujung mataku. Laki-laki itu berjalan menghampiri kami. Dia membawa beberapa box makanan dan meletakkan di atas salah satu meja dapur yang kosong.
"Mas saya tadi delivery order ayam geprek. Masnya makan dulu, ya. Setelah itu minum obat" perhatian sekali buaya ini sama Ismail.
"Makasih mas, gak usah repot-repot. Saya jadi gak enak." Lain dimulut lain di tangan. Ngapain pula Ismail ngomong begitu kalau tangannya tetap menerima nasi kotak itu sambil senyum-senyum.
"Kamu juga makan ya, Win, mbak kasir di depan juga udah aku kasih kok. Jadi, kita bisa makan di toko bareng-bareng." Dia mengangkat plastik yang masih menyimpan dua box nasi.
Aku menghela napas berat. Entahlah, ada dia kok rasanya pekerjaanku semakin berat dan semangatku menurun. Namun, aku harus tetap berjualan, demi omset Dapur Winda.
*
Mami dan Papi sampai tokoku pada jam lima sore. Setelah menaruh beberapa box berisi makanan di meja pojok dapur, mami tanpa dikomando langsung memakaikan apron pada tubuhnya dan mulai membungkus popcake yang sudah di buat oleh Ismail tadi.
Aku tetap bergelut dengan cupcake-ku. Menghias cupcake tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi, kalau sudah pakai fondant. Harus jeli dan teliti agar hasilnya bisa maksimal.
"Dari kapan Radit di sini, Win?" Mami melontarkan pertanyaan itu tanpa menghentikan aktifitasnya membungkus popcake.
"Dari toko buka. Sudah Winda usir, tapi orang itu tetap saja gak pulang-pulang," jawabku tanpa menghentikan aktifitas mendekorasi cupcake.
Meski kami berdua memakai masker saat bekerja di dapur, tetapi obrolan tetap bisa berlanjut.
"Dia mau apa memangnya?"
Aku menoleh pada Mami dan meliriknya dengan mata yang sedikit memicing. "Mami gak usah pura-pura gak tau, deh. Masa tiga hari diapelin dia, mami gak tau maksudnya dia disini ngapain?"
Mami balas menatapku, saat tangannya berhenti membungkus aneka popcake lucu itu. "Terus, kamu mau kalau dia ngajak kamu balikan?"
Aku menggeleng seraya angkat bahu, lalu kembali fokus pada aneka fondant ini. "Gak tau, Mih"
Obrolan kami terhenti saat laki-laki yang sedang kami bicarakan masuk ke dapur dan mengambil cake yang sudah jadi untuk diletakkan di lemari display toko. Laki-laki itu menyapa mami dan mengambil keranjang yang sudah terisi rangkaian popcake karya mami.
Aku tidak menjawab atau menanggapi ketika laki-laki itu bertanya atau sekadar berbasa-basi denganku. Sebagai gantinya, Mami yang selalu membalas atau menanggapi setiap ucapan Raditya.
Toko sedang jam-jam ramai pengunjung. Papi terlihat sibuk melayani pelanggan dan memasukan cupcake ke dalam box. Laki-laki itu juga terlihat sibuk membantu Papi melayani pelanggan atau membantu Hana memasukkan cake ke dalam kantong plastik setelah Hana melakukan transaksi dengan pembeli.
Aku dan mami tetap sibuk di dapur. Meski kami selesai memasak cake di jam tujuh malam, beberes dapur juga tak bisa dikatakan pekerjaan mudah. Aku menghabiskan hampir dua jam hanya untuk membereskan dapur bersama Mami.
Alhamdulillah kueku habis sebelum jam sembilan malam, sehingga aku bisa tutup toko tepat jam sembilan. Hana pamit pulang dan tinggallah kami berempat menikmati makan malam lesehan di lantai dapur.
Laki-laki itu sungguh tak tahu malu ikut makan malam dengan keluargaku. Hana saja yang jelas bagian dari timku, memilih pulang dan memberikan waktu untuk aku dan Mami Papi berkencan. Sedang dia, tanpa punya malu tetap duduk untuk ikut makan.
Selesai makan kami membereskan toko dan menutup pintu toko. Aku meminta Mami untuk membantuku lagi esok karena Ismail kuberikan cuti istirahat besok, sehingga butuh bantuan Mami dan Papi lagi.
Saat Rollingdoor toko sudah terkunci, aku berjalan menuju mobilku. Aku melihat Papi memanggil laki-laki itu dan menegurnya, "Radit, saya mau minta tolong. Kalau tidak ada niat untuk berhubungan serius dengan Winda, jangan terlalu dekat dengan anak saya." Kata-kata Papi pelan dan lembut, juga penuh ketenangan.
Aku tersenyum samar dari tempatku berdiri, sebelum melanjutkan langkahku menaiki mobil dan memindai langkah Raditya yang juga melangkah menuju mobilnya.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top