2
Kilau matahari pagi menelisik masuk ke dalam retina mataku. Aku menggeliat merenggangkan tangan dan seluruh tubuh. Perlahan membuka mata dan melihat angka pada jam kecil yang ada di atas nakas tempat tidurku. Jam delapan lewat lima belas menit. Aku menggeram lirih dan sedikit kesal. Perempuan macam apa yang baru bangun saat para pekerja kantoran sudah memulai kegiatan mereka? Ya sudahlah, toh aku ini bukan pekerja kantoran.
Eh, sebenarnya salah juga, sih. Meski aku bukan pekerja kantoran dan memiliki usaha sendiri dengan dua orang karyawan yang baik budi pekertinya, seorang atasan harusnya bisa menjadi pemimpin yang baik dengan memberikan contoh kedisiplinan pada timnya. Seperti datang tepat waktu dan memulai diskusi pagi. Hal kecil dan sepele sih kayaknya, tetapi Papi pernah berujar padaku bahwa contoh dan perhatian kecil dari atasan akan memiliki dampak positif yang signifikan pada kinerja tim nanti.
Entahlah, aku belum pernah mencobanya.
Sejauh ini, sebagai atasan untuk Hana dan Ismail, aku hanya berusaha memberikan beberapa perhatian kecil saja untuk mereka. Alahamdulillah, mereka bukanlah tipikal karyawan yang banyak menuntut. Mungkin paham jika tokoku masih belum berkembang besar dengan omset yang besar juga. Namun, apa yang kami hasilkan alhamdulillah bisa memberikan hidup yang cukup layak untuk mereka. Ismail bisa mengenyam pendidikan di Universitas dan Hana bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang cukup bagus di Karang Anyar, daerah rumahnya. Salut kepada Hana yang seorang single parent dengan satu anak TK. Semangatnya tak pernah terlihat luntur untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak semata wayangnya.
Tanpa mereka tahu, setiap bulan aku menyisihkan sebagian hasil omset yang aku tabung diam-diam untuk bonus tahunan mereka. Mungkin tidak sebesar bonus yang diberikan perusahaan besar, tetapi aku tulus dan berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka.
Aku ingat, semalam menemani Arvian, temanku dari Jakarta, berbincang sampai jam dua dini hari. Kebersamaan kami berakhir saat aku mengajaknya menikmati nasi gudeg yang dijajakan dini hari. Aku baru memejamkan mataku pada jam tiga dini hari dan bangun sesiang ini.
Aku terkesiap ketika handphoneku menyuarakan deringnya dengan nama Ismail tertera sebagai orang yang menghubungiku pagi ini.
"Yes, Smile, Morning," sapaku pada Ismail. Semoga pria itu tak menyadari suaraku yang masih serak dan parau.
"Wes Awan, Mbak. Mbak Win lupa ya, siang ini kita harus kirim sample Cake Pop ke Hotel Istana Indah"
"Astaga! Kok bisa ya aku lupa? Ismail, tolong bantu aku, ya. Buatkan 20 Cake Pop dengan beberapa varian rasa dan topping yang berbeda. dengan topping chips, fondant, almond crumble, spickle warna warni, coklat putih dan hitam,"
"cake-nya mbak? Mau pakai apa? butter, chiffon, atau banana?" tanya Ismail dari seberang sana.
"Pakai semuanya, Smile. Buat sebanyak-banyaknya, karena aku mau presentasi juga di sana nanti, sekalian dealing harga kalau mereka berminat," jelasku seraya beranjak cepat dari ranjang dan bergegas siap-siap membersihkan diri.
"Oke, Mbak. Aku buatin sekarang, ya. Sekitar jam sebelasan semua pesanan Mbak saya usahakan sudah jadi."
"Oke, Smile. Nanti sepulang meeting dari hotel, aku traktir deh. Kita makan bertiga sama Hana." Aku tertawa lirih seraya mengambil baju yang akan kukenakan hari ini.
"Bisa aja ngerayunya, Mbak Win ini," timpal Ismail diiringi tawa.
Aku mengakhiri perbincanganku dengan Ismail dan segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap memulai hariku yang sudah tidak lagi pagi. Aku mengambil pakaian semi formal yang akan kukenakan untuk mengantarkan sample pop cake ke customer yang Insyallah menjadi partner kerjasamaku.
Kukemudikan mobilku perlahan dan menikmati jalanan kota Solo tercintaku ini. Mematikan AC dan membuka jendela mobilku, demi merasakan semilir angin yang masuk mengurai anak rambut yang kucepol pagi ini.
Aku berhenti saat lampu lalulintas menyala merah. Aku menyalakan radio dan melihat pemandangan perempatan ini sepintas. Mataku terhenti pada mobil MPV disampingku. Meski aku menggunakan kacamata hitam saat ini, tapi aku yakin kalau orang yang mengemudikan mobil disampingku itu ... Raditya. Benarkah?
Jantungku berdegup kencang dan telapak tanganku tiba-tiba mengeluarkan keringat dingin. pria itu menoleh padaku sepintas dan aku segera menutup jendela mobilku. Menyalakan Ac dan segera menginjak gas saat lampu berubah menjadi hijau.
Tidak mungkin dia Raditya, kan? Tidak. Tidak boleh ada Raditya di hidupku lagi dan pria itu tak boleh kembali ke dalam hidupku. Aku tak boleh bertemu dengannya lagi dan tak juga sudi.
Kutarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Kulakukan hal itu berulang kali sepanjang perjalanan. Aku tak boleh lengah saat mengemudi dan harus segera sampai tokoku secepatnya.
Aku mendorong pintu kaca dan menyapa Hana yang sedang melayani pelanggan. Aku segera masuk menuju ruanganku yang berada di lantai tiga ruko ini. Kurebahkan tubuhku di kursi dan memijit pelan pelipisku. Pikiranku entah mengapa kembali pada wajah yang sekilas melihatku tadi. Wajah itu, mengapa mirip sekali dengannya?
Segera kuenyahkan pikiranku, karena harus membantu Ismail menyiapkan sample untuk meeting-ku siang ini."Smile, gimana?" tanyaku saat aku sudah sampai pada bagian dapur tokoku. Kulihat Ismail sedang mencetak beberapa cookies sambil sesekali memperhatikan mesin yang sedang mengaduk adonan cupcake.
"Sampun, Mbak. Ada di Showcase itu. Dua puluh, kan? Yang saya kasih stiker kuning pada stick nya brarti dia banana cake, Mbak. Yang putih, artinya butter cake, dan yang hijau tanda untuk chiffon pandan cake," jelasnya sambil tetap mencetak cookies dan meletakkan di atas loyang oven.
"Ismail jinjja daebak," pujiku sambil menirukan gaya girl band Korea.
"Opo sih, Mbak?" Ismail menggeleng pelan sambil sedikit tertawa. Gesturnya saat bekerja sangat santai tetapi matanya selalu jeli melihat dan memantau kue-kue yang ia produksi.
Aku tersenyum samar memperhatikan bagaimana Ismail terlihat menikmati kegiatannya setiap hari di sini. "Ismail, aku minta empat cupcake, ya. Pingin makan cupcake di jalan, nih," pintaku sambil merangkai cupcake ke dalam wadah keranjang yang terbuat dari rotan.
"Yo tinggal ambil, lah, Mbak. Kan Mbak bosnya."
Tawaku menggema riang. "Kan harus ijin kamu dulu, biar kamu gak kira cupcakemu hilang," candaku. Aku membungkus cakepop dan cupcake yang ingin aku makan siang ini, lalu bergegas untuk berangkat menuju hotel calon pelanggan potensial Dapur Winda.
"Hana, aku titip toko, ya."
"Ya, Mbak. Good Luck ya untuk meetingnya." Hana bicara lantang dengan nada ceria dari meja kasir. Wanita itu sedang sibuk mencatat pengeluaran dan rencana pembelajaan bahan-bahan yang habis. Ismail selalu melaporkan stok bahan kepada Hana, lalu wanita itu merekap untuk meminta persetujuanku sebelum memesan ke toko-toko yang menjadi langganan kami.
"Oke!" Melihat bagaimana Ismail dan Hana memulai hari dengan cekatan dan gesit, entah mengapa membuatku bersemangat. Ada hal yang bisa memberikan efek positif kepada kita setelah hal kecil yang sedikit mengguncang hati. Aku memiliki hidupku yang sempurna dan tak akan sudi dirusak oleh masa lalu yang seharusnya sudah hilang sejak dulu.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top