1.

"Dapur Winda, selamat siang. Ada yang bisa kami bantu?" Aku menyapa siapapun yang tengah menghubungi toko kue ini.

Setelah menerima telepon dan mencatat pesanan cup cake fondant dari salah satu customer, aku segera memanggil Ismail, asistenku yang bekerja di bagian dapur, untuk menyiapkan cupcake yang siap kuhias sesuai tema yang diminta pemesan. Membuat cupcake sangat menyenangkan. Apalagi, bagian menghias. Meski membutuhkan banyak konsentrasi dan kesabaran, semua itu terbayar lunas dengan kepuasan jika hasilnya melebihi ekspektasi pemesan.

Namaku Winda Paramitha, putri tunggal Papi Handoko dan Mami Nadia Raharja. Sebenernya aku ini sarjana sistim informasi dari universitas ternama. Lima tahun lalu, saat ijasah sudah ditangan, tawaran kerja sebagai analyst, programmer, maupun web developer membanjiri emailku.

Sayangnya, kenyamanan bekerja dibidang IT hanya bisa kurasakan sekitar dua setengah tahun saja. Bukan karena aku tak kuat dengan bebas kerjanya. Aku tak pernah mengeluh sebarapa lama harus tetap membuka mata dan berpikir keras, sejak pagi hingga dua pagi lagi. Begadang buatku bukan hal besar dan memberatkan.

Semua itu akhirnya harus kuakhiri karena Mami selalu bawel jika aku pulang larut malam atau begadang. Kadang, di akhir miggu aku juga harus ikutan lembur untuk mengejar tenggat. Hingga satu waktu, Mami sepertinya mulai jengah dan mulai mempersuasiku untuk mengundurkan diri dengan berbagai alasan yang menurutku tak masuk akal.

"Kalo weekend gak ada Winda, masa Mami pacaran lagi sama Papi?"

"Anak gadis mami nanti matanya kayak panda. Kasihan yang lihat, dikira ada kuntilanak kesiangan."

"Winda, perempuan kalau kurang tidur nanti kulitnya panuan, lho. Mami gak mau ya punya anak kulitnya rusak gara-gara gak tidur."

Kuyakin kalian pasti bisa membayangkan bagaimana repotnya menjawab dan membantah ucapan-ucapan Mami. Meski kutahu semua itu demi kebaikanku, hanya saja aku tetap harus berjalan pada apa yang menjadi duniaku saat itu.

Setelah beberapa bulan menghadapi rajukan Mami, akhirnya aku memutuskan  resign dan mendapat kompensasi modal dari papi untuk membuka toko kue yang menjual cupcake, popcake, dan beberapa varian cookies.

Mengapa harus ada kompensasi?

Tentu saja harus! Aku memutuskan keluar dari dunia teknologi informasi yang kata Mami berat itu, karena paksaannya. Mami berkeras memintaku untuk resign, meski pendapatanku cukup tinggi dari bidang ini.  Aku meminta kompensasi modal kepada Papi, karena tabunganku bekerja selama dua setengah tahun, masih belum cukup untuk membuka usaha toko kue yang kuinginkan. Sehingga, pihak penuntut harus memberikan kompensasi apapun kepada pihak tertuntut, dan untuk kasus ini, modal buka toko kuelah yang kupinta.

Membuka toko kue, itu artinya pekerjaanku melenceng jauh dari ilmu yang kutimba di perguruan tinggi. Untungnya, aku memiliki satu bakat dan kesukaan yang sering kulakukan bersama Mami sejak SMA. Membuat dan menghias kue. Popcake adalah kue yang sering sekali kubuat dulu. Setiap ada bazar, aku pasti menjual popcake aneka rasa dengan hiasan yang menarik mata pembeli dan membuat meja bazarnya tutup paling awal.

Sebenarnya, aku ingin menjual banyak macam kue dan cakes. Hanya saja, saat ini fans Dapur Winda sudah cukup banyak, dan aku memutuskan untuk fokus saja menjual cupcake, popcake, dan cookies. Jika menuruti keinginanku yang menyediakan semua jenis cakes, aku ragu modalku cukup dan malu jika meminta tambahan investasi lagi pada Papi.

Di toko kue Dapur Winda ini, aku hanya memiliki dua pekerja. Ada Ismail yang jadi Cook Assistant dan Hana yang membantuku menjadi kasir.

Jangan salah. Meski toko kueku masih kecil dan sederhana, semua transaksi dan management sudah berbasis sistim informasi. Jadi, apapun sudah tercatat dengan baik dan itu sangat membantu untuk monitoring market graphic toko kue ini.

Tanpa terasa, tiga tahun sudah toko kueku berjalan dan aku berharap semoga timku semakin solid dan penjualan produk ini semakin baik dan meningkat.

"Smile," panggilku kepada Ismail. Lucu memang. Saat aku memanggilnya dengan “Isma”, dia marah. Katanya, panggilan itu hampir serupa penyakit. Mau manggil “Mail”, entah mengapa membuatku merasa sedang di dunia Upin Ipin. Jadi, kuputuskan untuk memanggilnya dengan “Smile” saja.

"Yes, Mbak Win?"

"Popcake pesenan atas nama Bu Umi dibuat bouquet, ya! Di-mix sama coklat dan sedikit bunga. Tolong siapin semua bahanya, nanti biar aku yang decor kuenya."

"Oke"

Begitulah kira-kira duniaku sekarang ini. Menjual aneka decorative cake setiap harinya, bercanda dengan dua orang timku dan menyapa para pelanggan adalah hal yang sangat kunikmati saat ini.

Sebenarnya, tak sedikit orang yang bertanya mengapa aku belum memiliki pasangan. Aku tak pernah menghiraukan. Apa aku sakit hati dicap jomblo sampai umur 28 tahun begini? Tentu tidak. Aku selalu santai menjalani hidupku. Tak ingin terburu dengan sebuah hubungan

Bukannya aku rendah diri atau tak percaya dengan kemampuanku menarik hati pria. Hanya saja, ada hal yang membuatku masih enggan percaya dengan sebuah hubungan. Anggap saja, aku memiliki luka yang masih menganga dan membuatku enggan berlari lagi, meski sudah tak menangisi kepiluan lalu.
Biarkan aku bahagia menjalani rutinitasku menjadi pembuat kue. Aku menghela napas panjang dan mencoba mengeyahkan satu rasa yang tiba-tiba mengganjal hati. Aku tak boleh terlalu lama meratapi rasa sakit itu dan harus kembali fokus pada apa yang kuimpikan.

Ismail tersenyum simpul saat aku memasuki dapur. Di meja dekor, semua bahan yang kupinta tadi sudah siap. Aku mencuci tangan, memakai sarung tangan plastik, dan menyingsingkan lengan kemeja panjangku. Fondant-fondant ini sudah siap untuk kueksekusi menjadi sangat cantik.

Meja dekor terletak tepat di belakang meja kasir yang ditempati Hana. Dari sana, pelanggan bisa melihat kesibukanku yang menghias aneka kue, juga mengintip bagaimana Ismail memanggang aneka kue dan kukis. Meski sering menjadi pusat perhatian beberapa pelanggan yang bertransaksi dengan Hana, aku selalu mencoba tetap fokus dan tak berinteraksi dengan mereka, sekalipun hanya saling tatap.

Entah berapa lama aku mengerjakan popcake-popcake itu. Aneka bentuk fondant sudah berhasil kucetak menjadi aneka bentuk bunga indah warna warni dengan taburan mutiara yang bisa dimakan, juga beberapa cupcake warna coklat dengan spikle perak. Kepalaku masih tertunduk fokus menata bouquet cupcake dan popcake dengan mata yang tajam memperhatikan setiap detail.

Namun, semua konsentrasiku hilang sesaat, kala runguku mendengar samar-samar suara yang dulu selalu mampu membuatku mabuk kepayang. Tidak. Dia tidak mungkin ada di sini, di tempat ini, di kota ini. Pria itu sudah hilang entah ke mana dan aku tak akan mencarinya.

“Totalnya dua ratus ribu, Pak.” Suara Hana yang ringan dan cerita terdengar bersamaan dengan bunyi mesin print struk pembelian.

“Terima kasih.”

Dan tubuhku membeku tanpa berani menoleh ke arah meja kerja Hana karena bulu kuduk di kulitku seketika meremang.

Aku tak mau bertemu dengannya lagi. Tak mau melihatnya apalagi mengenal pria itu lagi.

*******

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top