39.

A Touken Ranbu ft Twisted Wonderland fanfiction,

-Lueur-

By; aoiLilac.

Credit; DMM, Nitro+. And Disney- Twisted Wonderland, Aniplex, Yana Toboso.

Chapter Thirty-nine: Hiraeth.

Tak mengalihkan pandangan tepat dari figur yang masih geming membiarkan sihirnya bergerilya mengirim bunga kematian; spider lily. Malleus Draconia tak mengalah. Duri hitam masih mengincar serangkaian kembang jingga yang tak dihentikan untuk melilit Touken Danshi.

Berjengit meminjamkan paha saat memeluk tubuh lain yang tergolek, Kashuu Kiyomitsu memerhatikan bunga-bunga yang kini mengelilinginya. Satu tangan menarik katana, memotong langsung tanaman yang bergerak mengincar tuannya tercinta. Kesatria yang ada di sana juga tak diam. Katana terayun sana sini memotong setiap bunga yang ada. Tak semua pihak penyihir di sana—begitu juga dengan Touken Danshi. Mereka sibuk membawa Tsurumaru Kuninaga dalam ruang tertutup begitu kubah biru luruh.

"Tak akan kubiarkan bunga ini menyentuh Jenderal!!" Atsushi Toushiro berseru. Sulur bunga ditarik, efeknya tak terasa.

Penyalur sihir dengan media bunga spider lily di sana mulai merasa kebingungan; lantaran bunga yang ia kirim tak memberi efek ke orang-orang asing berpenampilan aneh itu. Terbias dengan jelas di mata bahwa mereka mampu menghancurkan bunga-bunga yang ia kirim dengan tangan kosong. Setiap kelopak jingganya mulai luruh; terkoyak; terinjak. Di balik duri, Malleus melempar senyum remeh. Anehnya lagi, apa yang dilihat netra arangnya ini bukan sesuatu yang tak biasa. Pria-pria di seberangnya terlihat melindungi penyihir yang ada dengan benda panjang yang Rollo yakini sebuah bilah untuk memertahankan diri. Sementara penyihir di sana tak membiarkan satu bunga pun melilit seorang wanita yang tengah dipangku oleh figur merah yang memandangnya tajam menyerong.

Rollo menarik seluruh sihir.

Ichigo Hitofuri kembali menunjukkan eksistensinya bersama Great Seven yang lain. Tak peduli darah semakin memberi warna gelap pada pakaiannya; ia melayangkan serangan untuk Rollo dari belakang.

Seperti yang diharapkan, pemuda itu mampu menahan serangan kejutan yang datang dari Tenka Hitofuri itu dengan tongkat sihirnya semata. Saling beradu, sampai sekiranya, kepala Departemen Sihir termuda itu mundur beberapa langkah sebab tekanan yang dibuat. Ichigo Hitofuri memasang kuda-kuda sempurna dengan katana yang menyilang paripurna bagai puncak keindahan—di depan pihak penyihir. Menjadikan tubuhnya sebagai tameng hidup.

Luar biasa jiwa kesatria-kesatria ini. Bisik Riddle Roseheart dalam hati.

Disusul dengan ketibaan Vil Schoenheit; Silver; dan Azul Ashengrotto yang bersanding dengan Touken Danshi

Dan Dire Crowley.

"Siapa orang-orang itu!?" Satu antek-antek Rollo Flamme bertanya gahar. Menunjuk; memerlihatkan kuku-kuku hitam panjangnya persis ke arah Touken Danshi. Seperti memberi label ke para pelaku kejahatan.

Kejahatan dari mana kalau yang ditunjuk adalah sekelompok Pembela Sejarah yang senantiasa menghapus kejahatan itu sendiri?

Ada dua yang paling berani di sana. Kecepatan penyihir muda yang mengawal Roro Flamme tak perlu diragukan. Tongkat sihir beradu dengan bilah-bilah logam kilap yang mampu merefleksikan sepasang mata dari biasnya.

Kelopak yang senantiasa tertutup itu mulai membuka tirainya perlahan. Memerlihatkan sorot prihatin lagi iba dengan pilihan yang mereka lakukan; menyerang tanpa berniat mendengarkan jawaban. Agahnya memberi sebuah peringatan tanpa suara sebelum memukul mundur sosok berjubah yang tidak ingin ia pandang lebih lama. "Iblis seperti apa yang bersarang dalam hatimu, anak muda? Mengapa kalian tidak mendengarkan penjelasan kami?"

Nikkari memertahankan senyum enigma sembari menyalurkan segala kekuatannya ke pergelangan lalu mendorong dan sembari mengayun bilahnya tepat ke leher penyihir itu. "Ah, sayang sekali. Tidak kena, ya?"

"Kalian bilang ini sekolah, 'kan?" Hasebe menunjuk dengan dagu, ke arah pelajar. "Namun kami sama sekali tidak melihat itikad baik dari kalian. Sopan santunnya di mana? Beginikah cara kita menyelesaikannya?"

Yamanbagiri perak mengangkat lengan. Menggenggam mantap pegangan katana; bilah yang sudah bersih itu tampak kilap dengan puncak tajam yang siap memenggal siapapun yang mengancam sang tuan. "Tak lihat kalau tuan kami masih tidak sadarkan diri? Hm? Beliau perempuan!! Tak pantas kalian menyerangnya begitu!" Koar Chougi emosi menunjuk nista sehingga membuat Yamanbagiri Kunihiro harus menurunkan pergelangannya dengan lembut. Mencegah amarah semakin membentuk pikiran sang utama.

"Jangan halangi aku!" Selorohnya menunjuk bilah tepat ke arah Crowley. "Dan kau! Aku sudah menahan ini sejak tadi. Kau memberikan tuan kami tempat berlindung, dalam bangunan kosong yang tak hanya reyot, tetapi itu juga tak layak huni! Otakmu di mana!? Kau jual!?"

"Honka." Yamanbagiri membalas tenang guna meredam emosi Chougi yang terpantik. "Turunkan katanamu."

"Tidak sebelum aku memenggal Kepala Sekolah berengsek itu!!"

"Chougi." Yamanbagiri memanggil namanya. "Aku mengerti perasaanmu, tetapi apa kamu dengar rintihan Aruji? Aruji tidak ingin ada korban di sini."

Yamanbagiri paham dengan perasaan Chougi. Ia menahan kekesalannya sejak awal; lalu bertemu orang-orang gila yang bisa saja melilit tuannya itu makin membuatnya murka. Benar-benar tidak ada itikad baik yang datang dari pihak Departemen Sihir. Terlebih saat iris arang itu bertemu dengan manik samuderanya. Semakin memicu bara api yang ada di dalam dada seorang Yamanbagiri Chougi.

"Ayo turunkan katanamu, Yamanbagiri Chougi."

Chougi membuang napas kasar. Menyarungkan katana dalam saya.

Touken Danshi di sana membentuk banjar persis demi melindungi tuannya yang tak sadarkan diri. Para Tantou—termasuk Fudou Yukimitsu yang berdiri paling dekat denganmu itu sudah menggenggam bilah mungil mereka. Satu saja mereka tangkap pergerakan dari pihak seberang, jangan salahkan apabila darah benar-benar tertumpah di sini.

"Kalian, ya? Kalian yang menimbulkan kekacauan di sini!!" Balasan ketus datang dari seberang sana. "Kami tidak akan memberi pengampunan bagi siapapun yang mengacau buana cermin."

"Memang dunia kalian itu isinya orang-orang egois, ya?" Kiyomitsu pusing sendiri menyaksikan aksi mereka yang tidak mampu bersikap tenang. "Benar-benar, deh, bikin ribut saja. HEH, itu seharusnya kalimat kami untuk kalian. Sosok yang kalian sebut Kepala Sekolah itu menyembunyikan identitas Saniwa kuulangi SANIWA yang ada di sini; makhluk setengah Dewa—dan kalian tidak bisa seenaknya melakukan hal senonoh pada gadis kami. Punya otak? Gunakan dengan baik sebelum aku merebusnya."

Daihannya Nagamitsu memasang raut wajah prihatin. "Tuh, dengar? Kalian membuat pedang paling sabar ini marah. Bahaya, loh."

"Namun memang benar apa yang dikatakan Kashuu." Senyum psikopat Yagen terbit. "Aku bawa pisau bedah. Siapa yang kepalanya mau aku bongkar terlebih dahulu? Kau? Yang berkantung mata tebal itu? Majulah."

Yagen persis memandang Rollo.

Ichigo menggeleng pelan, memberi sinyal ke Yagen agar diam menyimak.

"Konflik di berbagai zaman itu selalu ada, ya? Ha-ha-ha."

"Mikazuki, ini bukan hal yang bisa ditertawakan." Kashuu Kiyomitsu menggulirkan rubynya malas. "Memangnya kami ingin kejadian ini menimpa kalian? Dan kami? Kurang kerjaan sekali kalau kami mengurus dimensi kalian apabila tidak memiliki keperluan. Bisa kami abai tadi, membiarkan sekolah ini hancur. Namun tuan kami terjebak di sini. Sekarang aku tanya." Cetus. Benar cetus. Jangan pernah mencolek ketenangan seorang Kashuu Kiyomitsu jika menyangkut kekasihnya. "Jika pemimpin kalian terkena musibah seperti apa yang kami alami. Dengan sihir yang terkuras, dan tak mampu membuka mata. Lalu mendapat perlakuan kurang ajar tanpa memberikan kesempatan untuk menyelesaikannya, kalian marah tidak? Hm? Marah tidak?"

Departemen Sihir bungkam.

"Kenapa diam?" Lontaran pertanyaan itu datang dari orang yang sama. "Kenapa... kenapa kalian selalu menghalangi jalan kami." Suaranya mulai tak terkendali. Terasa getaran dalam setiap gelombangnya, memandang ke arah lain. Tangan mulai menunjukkan pergerakan, hanya untuk menghilangkan bukti bahwa anak sungai telah mengalir dari bias merah. "Tidak ada yang kami inginkan selain pulang. Hanya itu. Kalian tidak akan paham apa yang sudah kami lalui di sana."

Dia menangis... Ujar Silver dalam hati. Hatinya pasti sakit sekali.

Bagai benang perak yang tak terlihat mengendalikan sebuah boneka, ada pergerakan diluar pengawasan tertangkap; dua penyihir sekaligus melesat tajam membabi buta untuk melancarkan serangan tanpa keraguan. Izuminokami Kanesada mencegah kepalamu terbentur saat sosok yang sebelumnya meminjamkan paha kini melakukan perlawanan balik dari apa yang dilihat.

Namun—segalanya terhenti.

Kala figur lain menunjukkan presensinya persis di tengah-tengah tongkat sihir dan ujung katana yang siap merobek dada.

Berhenti di antara jemari telunjuk dan tengah, darah mengalir dari luka sobek nan dalam. Menetes, membentuk kubang kecil di permukaan tanah. Satu tangan menahan tongkat sihir lain yang dihempas kuat.

Touken Danshi dibuat menganga, Kashuu Kiyomitsu menjerit shock. Gemetar sampai katana miliknya terjatuh lantaran tak memiliki tenaga selepas irisnya menangkap siluet yang familiar itu terhunus bilahnya—walau di antara jemari. Putihnya kannushi kini ternoda merah, tenangnya suara yang sempat hilang kini mampu membiusnya sesaat.

"Tenanglah mawar merah kesayangan Higashi..." Titahnya. "Tenanglah, Kiyomitsu."

Sosok itu—

Helaian panjang light green yang begitu lembut kini mengalun tatkala manik berbeda warnanya mengintip demi memastikan sang mawar kembali tenang.

"Minami...sama?" Chougi langsung menundukkan kepala. Ditiru dengan beberapa figur Touken Danshi yang ada di sana.

Wewangian baru hadir menjamah indera penyihir.

Sebagai roh suci yang datang langsung dari Takamagahara, Minami pun memikirkan beberapa cara agar konflik ini tak melebar.

Astaga. Higashi terjebak di tempat seperti ini?

"Aku... sudah kehilangan seluruh anak-anakku di sana." Begitu mulainya. Pecahan memori kini hadir kembali dengan kesadaran penuh dalam benak yang berusaha untuk tenang saat ia sendiri tahu bahwa faktanya, Touken Danshi milikmu ini tengah menggebu untuk melakukan penyerangan sebagai final. Sebisa mungkin, Tatsuya harus menahan emosi para kesatria gagah itu untuk mencegah konflik yang semakin melebar. Walau sesungguhnya, ia tengah berdiri di dalam konflik itu sendiri. Apalagi—Touken Danshi milik Akina ini agak sulit dibelokkan. Ia memutar otak agar tak ada hal yang tak diinginkan. Maka, dengan bijak, Tatsuya sedikit membagikan nelangsa yang masih ia rasakan hingga detik ini.

Meleburkan emosi kesatriamu.

"Mereka hancur sekejap mata, persis di depanku. Hatiku hancur—sampai detik ini, masih aku dengar tangisan mereka. Aku dengar. Persis. Seperti bagian yang hilang. Lenyap oleh takdir." Senyum tipis terukir, pandangan langsung menuju Rollo yang menyimak bisu. "Tak bisakah kamu mendengarkan anak-anak lugu ini? Tak bersediakah kamu mendengarkan mereka. Jika kukatakan bahwa—"

Belum sempat Minami menuturkan semua yang ia ingin luruskan, dua figur lain kini berdiri di depannya. Persis, berpakaian sama, serba hitam dengan topi yang memiliki dua kerucut. Sedikit sihir mengubah pakaian seragam menjadi pakaian khas Diasomnia.

Surai hijau yang selalunya jigrak itu kini lepek. Menghalangi kening. Disusul figur yang agak kecil darinya. Berhelai perak.

Berkerut dahi sang Saniwa.

"Tuanku belum melepaskan tugas yang beliau sematkan padaku." Tegas suaranya, mantap berkata demikian. "Aku masih dalam sebuah misi untuk melindungi gadis ini dari kalian; Departemen Sihir."

"Lagipula yang berambu mawar juga menutur kalau Kepala Sekolah menyembunyikan identitas gadis ini, 'kan? Bahkan Great Seven tidak mengetahui hal ini." Lilia menunjuk menistakan pihak sekolah. "Anak muda zaman sekarang tidak ada yang bisa diandalkan, ya? Sia-sia, dong, aku hidup lama."

Sepatu tinggi Riddle memecah hening; ia berdiri di depan Sebek. Leona dan Azul memberikan punggungnya untuk Silver. Vil bersanding dengan Leona; bermaksud melindungi dua adik tingkatnya yang turut membela kesatria itu. Mereka mengamatinya. Mereka menyimak. Mendengarkan dan menilai. Tak butuh waktu lama untuk mereka mengambil sebuah keputusan. Terlebih, sikap semena-mena Departemen Sihir itu bukanlah hal yang pantas dilakukan oleh otoritas tertinggi dalam dunia mereka.

Arogan.

Memang kejadian ini menimbulkan kekacauan di seluruh negeri dalam Twisted Wonderland; tetapi, pihak mana yang ingin semua ini terjadi? Sama-sama akan berakhir fatal apabila tidak melakukan perlawanan.

"Flamme." Suara berat itu hadir mengiringi setiap langkah beratnya. Datang mendekat. Manik hijaunya tak berkilat; tanpa bias. Langkahnya santai, tetapi tak menghilangkan segala tekanan yang ia lakukan. Auranya begitu gelap. Malleus masih mampu menghancurkan segala sesuatu dengan tangan kosong. Tak terkecuali untuk sosok yang kini ia pandang selepas mementung pangkal tongkat sihirnya. Malleus tak kaget kalau Rollo dan antek-anteknya tidak memiliki pengaruh atas waktu yang ia hentikan. "Ajari pengikutmu sopan santun. Kalian tidak bisa melukai orang-orang yang memertaruhkan hidupnya demi sekolah ini." Tegas suaranya dengan pembawaan sebagai seorang pemimpin. "Kalian menyembunyikan ini dari kami. Terutama dariku. Dari aku." Kini menyerong pandangnya pada Crowley.

"Crowley." Sadar akan iris hijau lain yang melirik, Crowley menoleh pada suara berat sang Pangeran kedua. "Kenapa kau menyembunyikan hal besar ini dari kami? Wanita itu memiliki tanggung jawab lain dalam tugasnya sebagai Ratu tanpa mahkota. Dan kau malah diam saja saat ada pihak dari Departemen Sihir hendak mengadakan perang terbuka? Heh. Dan kau tetap menyebut dirimu sebagai Kepala Sekolah?"

"Jika dikatakan sejak awal, maka Great Seven pun tidak akan diam saja." Ratu lain menimpali setengah kesal. "Aku merasa cukup malu sebab tidak tahu menahu mengenai hal ini."

"Aku pun merasa bodoh karena realita menamparku." Riddle mencetus emosi. "Jika semua terkendali, maka tidak perlulah ada hal seperti ini."

"Maa. Aku juga tidak ingin citra sekolah ini jelek untuk orang-orang yang tiba dari atas langit." Azul mendesau. "Musyawarah bisa menyelesaikan ini semua."

Touken Danshi menyimak. Sibuk membersihkan darah yang mengalir di tubuh sang tuan dengan kain bersih yang dibawa oleh Silver dari ruang kesehatan sekolah.

"Anak-anak muda ini benar." Minami melihat ke arah para pelajar yang tak ragu untuk melindungimu dan kesatriamu. "Tidak ada niat kami untuk mengacaukan buana cermin kalian."

Tolonglah jangan ada kejutan lagi. Lima kirana menyambar dari atas langit dengan jutaan kelopak sakura meledak membawa warna merah jambu sejauh mata memandang. Aroma-aroma asing kini merebak ke seluruh pulau akan kedatangan sosok-sosok cerah bagai ribuan purnama diiringi jutaan gemintang di langit malam. Tak biasa.

"Maaf terlambat."

Ada satu yang lebih cerah dari ribuan matahari.

Menyilaukan—begitu menusuk sampai-sampai para penyihir harus menghalangi netra dengan punggung tangan.

Jubah-jubah haori berkibar, menunjukkan simbol mata angin saat punggung mereka melindungi Great Seven serta Kita—Bishamon yang berdiri paling depan.

Kepala asrama di sana terkesiap menyadari cahaya putih yang tepat berdiri di hadapannya. Putih, begitu kalis seperti bulan. Kita memancarkan seulas senyum ramah paling sejuk dari orang lain yang pernah dilihat pihak penyihir sepanjang hidup. "Mari kita bicarakan ini baik-baik. Pertama, mohon izin memperkenalkan roh Penjaga Sejarah yang saya bangkitkan dengan sinar rembulan. Dan Saya sendiri, satu dari Tujuh Dewa Keberutungan, Bishamon, atau anak-anak di sana memanggil saya Kita-sama sebagai figur pemimpin mereka; sang Dewa perang. Saya hadir untuk menangani konflik ini."

"Dewa—" Silver kesulitan menjaga tutur katanya. "Dewa Perang? Anda Dewa Perang?"

Kita mengangguk ramah, tak lupa menyimpulkan seulas senyum di bibirnya.

"Saniwa yang maaf; tersasar ke sini adalah Higashi; yang tak sadarkan diri di sana. Saniwa terkuat dari Divisi Pertahanan untuk Touken Danshi dan Sejarah. Lalu yang masih bercakap dengan Kashuu di sana adalah Seihoku; Divisi Kesekretariat Dewan dari kami semua untuk Tujuh Dewa Keberuntungan. Singkatnya, ialah mulut dan kaki tangan dari Saniwa untuk kami. Yang bersurai hijau tadi adalah Minami; Divisi Kesehatan untuk Saniwa dan Touken Danshi. Kini di sana, tengah mengupayakan segala cara agar Higashi kembali membuka mata."

Great Seven mendengarkan. Staf sekolah pun mengingat, dan utusan Departemen Sihir di sana menyimak dengan tenang.

"Bisa Saya lanjutkan untuk Saniwa yang lain?"

"Tolong lanjutkan, tuan." Balasan datang dari Malleus. "Aku ingin tahu siapa roh-roh tangguh yang melindungi sejarah dari dimensi kalian."

"Baik. Terima kasih, Malleus Draconia-kun." Tanggapnya. "Yang berdiri di sisi kanan Saya, Hakuto; untuk mengatur Perbaharuan Persenjataan untuk Saniwa dan kesatrianya. Di kiri Saya, adalah Saniwa yang melacak dimensi ini; Nishi; dari Biro Penyelidikan. Dan ini adalah." Ia mengangguk ke figur satunya. "Seinan; dari Divisi Pemutakhiran Strategi. Satu dari Saniwa gugur dalam garis depan. Nantou; yang bertugas mengatur Ruang dan Waktu."

"Maaf. Ruang dan waktu?" suara Vil mengalihkan Kita dan beberapa Saniwa yang mendengarnya. "Maaf mencela. Namun, apakah yang Anda sebutkan barusan memiliki kemampuan yang bisa digunakan untuk menjemput Nona kayangan lebih awal?"

"Benar." Kita mengiyakan. "Namun, Nantou gugur saat memertahankan seluruh keluarganya."

Masih ada kabut duka dalam sorot mata sang Dewa.

"Mari kita bahas ini dengan tenang."

[NIGHT RAVEN COLLEGEHEADMAGE ROOM.]

Modifikasi dadakan dilakukan. Dalam ruang itu, ada dua ranjang dari infirmary room yang dipindahkan. Diisi oleh Tsurumaru Kuninaga yang dijaga oleh Kalim al-Asim dan Idia Shroud sejak awal, dan ranjang kosong lain yang digunakan Kiyomitsu untuk merebahkan tubuh tuannya.

Dalam bilik yang dipisahkan pintu sihir besar, pihak Departemen Sihir; Staf Night Raven College; Great Seven dan Diasomnia. Saniwa dengan Bishamonten; Mikazuki Munechika; Yamanbagiri Kunihiro, dan Yamanbagiri Chougi tengah melakukan pertemuan yang dimaksudkan untuk membahas segala anomali ini. Empat jam dilalui. Kashuu Kiyomitsu sempat masuk list sebab ia adalah kesatria pertamamu, tetapi menolaknya. Memilih untuk stay persis di sisimu seperti yang ia lakukan saat ini.

Mengadu tangan. Menempelkan jemari halus tuannya ke kening, berharap cemas.

Satu dua dialog Touken Danshi yang masih terjaga kini menjamah telinga. Tak terkecuali ucapan syukur yang dilontarkan Shokudaikiri Mitsutada pada sesuatu yang ia saksikan.

Tsurumaru Kuninaga telah membuka matanya.

Menahan seluruh rasa nyeri akibat sabetan hebat, satu yang terlintas dalam kepala saat pandang masih berkunang. "Aruji... di mana Aruji?"

Shokudaikiri menunjukkannya. Menunjukkan ke sisi ranjang sebelahnya. Mengabaikan rasa ngilu luar biasa, terseok-seok sang bangau demi menghampiri dirimu lebih dekat. Jemarinya menyisir helai hitam yang ia rindukan, menyingkirkannya perlahan agar wajahmu terlihat jelas olehnya. Lebam di mana-mana. Luka sobek masih menghias kulit. Tsurumaru tersadar akan sepasang cincin giok yang melingkari telunjuknya.

"Jangan katakan..."

Nalar.

Tsurumaru tahu apa yang telah terjadi.

"Maafkan aku, Akina..." Ia berbisik, persis di telingamu. "Aku ini lemah." Lekas ia mengangkat kembali wajahnya. Bibir pucat mengulum senyum. Sakit begitu terasa menubruk hatinya. Tak kuasa membendung bayang dalam netra emasnya, satu likuid membasahi pipi tuannya. "Bijin..." Lirih ia memanggilmu. Begitu sendu sorotnya. "Buka matamu..."

Terhenyak atas deru napas lain yang datang darimu, jantung Tsurumaru berdebar lebih cepat mengetahui kelopak yang mulai berkedut.

Seperti melihat harapan baru, Touken Danshi yang ada di sana memekik tertahan. Menyeru sebuah nama yang mereka rindukan. Mendekap figur yang mereka mimpikan setiap malam walau tak terlelap.

"Aruji..."

Isak terdengar.

Sesak tak lagi masalah akibat dekapan.

Rasa rindu meledak hebat.

Menyerukan rasa syukur yang teramat dalam.

"Maafkan aku..." Begitu sesak kau mengatakannya. "Maafkan aku... maafkan aku."

"Bukan sesuatu yang harus dimaafkan." Kiyomitsu mengadu dahi. "Semua ini takdir."

"Namun keluarga kita—"

"Tidak apa..." Suara Shokudaikiri menjawab sebelum kau mengatakan apa yang ada di pikiranmu. Tangannya mengusap pucuk kepalamu, dengan senyum haru yang ia tunjukkan. "Tak apa... Tak apa, Hime."

Sungguh. Tiada kemungkinan bagi Yamanbagiri ganda untuk menahan rasa gemuruh dalam dada saat mereka tahu bahwa tuannya telah bangun. Keduanya berlari. Tangis pecah saat kau menerima kedua tubuh yang perlahan mengumpulkan semua ketakutannya di tempurung kaki. Merosot; tersedu; sengguk.

"Kamu buat kita khawatir." Kata Chougi. "Aruji... Akina... sudah lama aku tidak memanggil namamu, ya?"

Kau tertawa kecil.

Sedangkan yang satunya masih terisak. Menyembunyikan wajah sembabnya dalam ceruk leher sang tuan. Mengingat ambu yang sempat hilang beberapa waktu, Yamanbagiri Kunihiro makin menangis hebat.

Kau mengulurkan tangan pada figur biru yang keluar ruangan lain—beriringan dengan Malleus. Alangkah terkejutnya dia; bibir lembabnya tak rapat; kelereng heteronya membulat. Setiap detik yang berlalu, netranya membikin binar baru. Lentera hidupnya kini terbias kembali, cahaya mengarungi bulan sabitnya.

Tenggelam dalam ceruk leher sang bulan, terasa tangan besarnya mengusap kepalamu dari belakang. "Terima kasih sudah bertahan sejauh ini, Akina-sama."

Setiap hari, selalu ada tawa yang terdengar atau sebuah isak yang ditutup dengan sempurna oleh seulas senyum tipis yang hadir dalam setiap detik untuk kedipan mata. Sebuah ruang begitu terasa melankolia oleh segerombol kesatria dengan haru biru—menunjukkan sisi rapuhnya.

Silver mengembangkan senyum lega.

Kalim menangis hebat, tahu-tahu memeluk Tsurumaru Kuninaga. Yang dipeluk cengengesan tidak jelas dan salah tingkah. Mengundang tawa ringan nan hangat menghias beberapa pihak di sana.

Pembahasan mengenai kesalah-pahaman di mana kengototan pihak Departemen Sihir dengan Kita dan Saniwa—dan pembelaan yang datang dari staf sekolah yang memutuskan untuk menyembunyikan segala sesuatu tentangmu. Finalnya, semua kembali lurus. Tidak ada yang perlu didebatkan. Hanya saling mengucap kalimat maaf yang dilandasi akal jernih untuk mengawali hari baru. Keputusan Departemen Sihir untuk tidak memperpanjang perkara ini sudah didapat. Kau menerima jabatan tangan dari Rollo Flamme yang berlutut dengan senyum tipis yang ia berikan. Pelukan hangat dilakukan satu persatu dari kesatria dan pihak penyihir serta staf sekolah sebagai simbol sebuah perkara yang sudah usai.

"Kamu hebat, Higashi!!" Nishi mengacak puncak kepala gelapmu. "Selepas ini, istirahatlah."

Dua Saniwa perempuan lain saling dekap. Terisak-isak. Mengucapkan jutaan kata maaf karena tak mampu melindungi kesatriamu saat kau tidak ada di sisi mereka.

"Ayo pulang!!" Seru Aizen. "Ayo pulang, Aruji!!"

Kau tertawa. Yang lain tertawa lepas mendengar seruan polosnya.

"Maaf, kami tidak bisa berlama-lama di sini." ujar Rollo menghentikan segala suara yang ada.

"Oh." Katamu. Kini berusaha untuk berdiri saat Mikazuki menjadikan dirinya sendiri sebagai dinding untuk tuannya. "Sekali lagi, maaf."

"Itulah yang ingin kukatakan padamu, Nona." Balasnya. "Maaf. Maafkan kami."

"Namun jika cara kalian seperti itu untuk melindungi negeri ini, menurutku agak kurang pantas."

Rollo tertawa kecil menanggap. "Jika begitu, datanglah lagi untuk mengajari kami hal yang perlu kami tahu. Twisted Wonderland menyambut kalian dengan tangan terbuka."

Tidak akan kami menginjakkan kaki di sini lagi, berengsek. Hasebe mendengus dalam batin. Kita mendengarnya; menahan tawa. Ragu jika Higashi tak menangkap resonansi dari anaknya yang itu.

Departemen Sihir undur diri lebih awal.

Cincin giok sudah kembali jemari telunjuk. Mengupayakan kepulangan kesatria, tak pantas berlama-lama di tempat ini. Mereka juga harus istirahat dari perjuangan panjang yang menggerogoti akal sehat; batin; dan fisik.

"Tsurumaru duluan, ya?"

"Aku?" Kata sang bangau. "Tapi—mengapa?"

"Tsurumaru-dono, pulang duluan saja. Agaknya, aku dan yang lain masih bisa menginap di akademi ini."

"Tidak adil, Ichigo!!"

Kau tertawa.

"Ehh—boleh, kok. Boleh jika kalian ingin tahu sekolah dan negeri ini." Kata Riddle. "Hubungi saja aku jika kalian bertandang ke mari."

Memangnya siapa yang mau ke sini lagi? Ini batin Izuminokami.

"Benar!" Lilia menimpal. Bertolak pinggang. "Main-mainlah ke asrama kami!"

Memangnya asramamu di mana? Yagen menyimpan pertanyaanya dalam hati.

"Oh—iya." Chougi teringat sesuatu. Langkah kakinya membawa dekat menuju Silver yang masih memertahankan senyum tipisnya. Jika Chougi ingin menghajarnya sekali lagi, Silver menerimanya. Namun apa yang Silver duga sama sekali berbeda. Kini, ambu baru yang lebih samar tetapi maskulin menyeruak dalam indera. Kedua tangan merangkul pundaknya, sampai Silver sendiri mampu merasakan degup jantung samar yang datang dari kesatria yang nyaris memiliki wajah serupa dengannya. "Maafkan sikapku tadi."

Silver terkekeh.

Ia meniru hal yang sama; merangkul pundak Chougi. "Tak ada yang perlu dimaafkan." Katanya. "Pulanglah, tuan. Kembalilah bersama Nona-mu."

Chougi mengangguk.

Napas kau hela.

"Tachi; Hyaku-sanju; Tsurumaru Kuninaga. Higashi toride ni modoru."

Kirana putih perlahan menelannya. Kalim melambaikan tangan, menyeru. "Dadah!! Semoga kita bisa berjumpa lagi, ya!"

Tsurumaru masih sempat membalas sebelum dirinya hirap, seperti bintang jatuh yang melawan gravitasi. "Pasti! Pasti bisa, kawanku!"

"Tantou; Hyaku-nijū; Fudou Yukimitsu. Higashi toride ni modoru."

Begitu terus terulang. Nama-nama, nomor yang tercatat di luar kepala. Satu persatu kembali ke Takamagahara; rumah. Kini menanti kehadiran tuan mereka yang memastikan semua kesatria yang menyusul kau pulangkan lebih dulu. Terlebih, hanya tuan mereka saja yang mampu mengembalikan mereka seperti itu.

Raut wajah Sebek tak terdefinisikan.

Kagum dan terkesima dalam satu waktu.

Lilia yang menyadari hal tersebut menyolek Malleus yang tak memalingkan pandangannya. Tahu apa yang dipikirkan Lilia, Malleus terkekeh kecil. "Ada pelajaran baru lagi yang didapat olehnya. Bukan kita yang mengajarkannya, tetapi kesatria dan nonanya itu."

"Bersyukur aku hidup lama." Lilia bergurau, memegang perutnya.

Napasmu mulai tak beraturan. Mikazuki menyadari hal ini sejak awal.

"Waki...zashi; Juu-kyuu; Nikkari Aoe. Higashi toride ni modoru."

Tidak.

Sebenarnya kau juga sudah tidak sanggup untuk bertahan lebih lama. Ditambah lagi dengan gempuran pertarungan tadi, di mana kau dan kesatria terbaikmu mempertahankan akademi ini. Kau memikirkan masa depan mereka yang masih panjang; masih ada dunia yang harus mereka jelajahi; selalu ada ilmu yang harus mereka kejar; masih ada impian yang harus mereka raih. Dan kau tidak mungkin membiarkan anak-anak muda ini kesulitan. Apalagi saat visusmu sempat mendapati rangkaian film hitam putih bahwa mereka semua kelak berkeluarga dan memiliki keturunan. Kejam sekali apabila penyihir-penyihir berbakat ini menjadi korban perang.

"Tachi; Juu—nana... Juzumaru Tsunetsugu. Higashi... toride ni... modoru."

Pendar putih kemudian menghalangi jarak pandang dan membawa sang Tenka Goken kembali pulang ke Honmaru.

Selepas battle hidup dan mati, tenagamu memang sudah benar-benar terkuras habis.

Dan mengembalikan Touken Danshi dari tempat asing ini juga membutuhkan effort yang tidak sedikit. Apalagi dalam kondisimu yang setengah hidup.

"Tachi..." Suara mulai merendah dengan napas yang mulai lemah. Kau memang berdiri saat mengembalikan kesatria-kesatira, tetapi yang menahanmu agar tak jatuh sebelum semuanya kembali ke Honmaru adalah Mikazuki Munechika. Ia memasang tubuhnya, tidak keberatan bahwa dadanya dipinjam oleh sang tuan untuk bersandar.

Namun kali ini, jemari yang saling bertaut itu gemetar. Di antara jemari lentiknya, ia berusaha mencegah tuannya terjatuh. Ada adegan lucu terjadi kala kau nyaris tak sadarkan diri. Saat lutut tak lagi mampu untuk menahan daksa, sekujur tubuhmu gemetar hebat karena lemas. Di saat yang bersamaan itu pula, Sebek dengan ringannya berlari menghampiri dan menjaremba untuk menadang kepalamu yang benar-benar hilang tenaga. Mikazuki tertawa ramah.

"Uh—me-mengapa—Misaki—"

Mikazuki masih tersenyum. "Kau anak baik." Pujiannya keluar. "Kau mau membantu orang tua sepertiku, kah?"

"Te-tentu saja!" Gagap dan gugup jadi satu. "A-apa yang harus aku lakukan!?"

"Ini. Ini air suci yang kuterima dari Minami-sama. Basuh tanganku dengan air ini, tetapi, mohon lepaskan sarung tanganku dulu, ya? Apa kau mau?"

"Kenapa ditanya lagi!?" Sebek cekatan. Ia memuka simpul sarung tangan sang bulan sabit. Mengikuti apa arahan yang dilontarkan bibir ceri Mikazuki. Pergelangan kanan bersih sementara yang kiri masih menahan beban tubuh, dorongan singkat ditekan persis di dada, Mikazuki berkonsentrasi melakukan sesuatu. Seperti scene yang ada dalam negeri dongeng, ragamu perlahan menguap tak lagi nyata dan bisa disentuh. Hanya bayang dengan kirana kalis yang berkilau membutakan segala penjuru mata angin.

Silver mendekati sosok dewa Perang yang menyaksikan hal langka itu dengan seulas senyum.

"A—i-itu—apa? Mengapa bisa begitu?"

Kannushi ditarik sedikit, Kita memutar tumit. Menggenggam langsung tangan Silver dengan halus.

"Penarikan roh." Kita menanggap halus. "Kamu tahu, Higashi sudah tidak sanggup lagi menahan kekuatannya sendiri. Karena sudah terlalu lama di sini, Higashi memakai daya hidup cadangannya untuk bertahan demi kembali ke "rumah" mereka. Jadi, bisa kamu katakan bahwa Higashi tadi itu sempat mati suri sebelum Mikazuki mengambil rohnya."

"Lu-luar biasa..." Silver masih tak berpaling dan menyaksikan tubuh itu perlahan menguap dan Sebek yang hanya melihat dari dekat dan menyimak penuturan dari Mikazuki. "Mengapa harus kesatria yang biru itu? Yang tadi menjemputnya 'kan tak sedikit?"

"Kamu cerdas, Silver-kun." Kita menjawab. "Namun yang saat ini paling mumpuni untuk melakukan hal tersebut adalah Mikazuki Munechika seorang. Ialah satu-satunya Touken Danshi yang berhasil melewati celah antara roh Saniwa dengan roh para Touken Danshi itu sendiri. Butuh keberanian besar dan kemampuan yang dahsyat untuk seorang Touken Danshi memasuki celah itu."

"Sebesar itukah kemampuannya? Lalu apabila semisal kesatria biru itu tak berhasil, apa yang akan terjadi?"

Getir senyumnya sebelum menjawab. "Bilahnya akan hancur. Dan kekuatan Tsukumogami milik tuannya tidak akan bekerja kembali untuk kali kedua apabila sudah seperti itu."

Silver menarik napas berat. Seakan yang didengarnya ini merupakan bagian dari cerita dongeng. Namun kenyataan kembali menamparnya dan membuat ia kembali sadar bahwa ini sungguhlah nyata. Benar-benar terjadi dalam kehidupan yang lain. Silver merinding.

"Lalu, bagaimana cara kesatria biru itu bisa melakukan hal ini?"

Kita terus tertawa ramah menanggapi kebingungan Silver.

"Seluruh kesatria memiliki cinta dan kasih sayang yang berlimpah dari tuannya. Namun seorang kesatria belumlah tentu melakukan hal yang sepadan untuk tuannya. Untuk saat ini, hanya dialah yang mampu melakukan hal diluar nalar itu. Sebab apa? Rasa cintanya untuk sang tuan begitu besar. Katakanlah seluas langit bumi. Sebesar surga dan neraka. Sedalam samudera, tak terhingga layaknya udara. Hanya kesatria yang paling tuluslah yang mampu melakukan hal tersebut. Dan Higashi memilikinya. Ia memiliki Mikazuki Munechika yang melayaninya dengan tulus dan dalam balutan cinta yang begitu sempurna."

Silver memuntahkan sesuatu dari mata.

Silver tak kuasa menahannya lebih lama. Pengabdian sang biru begitu besar untuk tuannya. Silver juga kesatria, ia pun memiliki keinginan kuat untuk menjaga tuannya. Melindungi "saudara"nya. Dan membuat sang Ayah angkat tersenyum. Silver pun ingin mengabdi pada Malleus hingga akhir hayatnya. Ingin.

Para penyihir di sana terkesima tentang bagaimana wadah tubuh yang mereka "tahu" itu kini berubah hanya menjadi sebuah roh putih yang ada dalam gendongan Mikazuki Munechika. Matanya tertutup rapat dengan kepala yang menempel langsung ke dada sang tachi.

"Terima kasih sudah menjaga roh ini."

Ucapan yang datang dari Mikazuki itu terdengar begitu tulus. Sampai-sampai ia menekuk lututnya untuk Sebek yang masih tidak mampu berkata hingga sosok itu bangkit dan memeluk sebuah roh dengan begitu lembutnya.

"Kita-sama, tolonglah."

Tanpa balasan apapun, bibir mungilnya melakukan permintaan yang dilontarkan oleh Mikazuki,

"Higashi. San; Tachi; Mikazuki Munechika. Aruji-sama no moto-e kaerimasu."

Kirana biru langsung menyelimuti sosoknya, dibarengi dengan kelopak merah jambu yang berputar mengelilingi. Memang tidak tampak terlalu jelas raut wajah apa yang dibentuk sang bulan, tetapi Sebek bisa melihat jelas kalau kepala itu sedikit tertunduk padanya diiringi senyum yang lekat sebelum sosoknya hirap ditelan kelopak sakura.

"Aku sudah melakukan hal yang benar, 'kan?"

Sebek masih bertanya-tanya pada dirinya, sebelum tangan yang ia hapal betul besar telapakannya itu mendarat di pundak kokohnya.

Tangan Silver—yang tampaknya memberi kode tanpa suara. Dan kode itu terjawab dengan lima sosok yang membungkuk kurang lebih sembilan puluh derajat padanya.

Sebek menganga saat melihat sebuah hal diluar dugaannya. Bagaimana bisa—bagaimana bisa makhluk-makhluk utusan Dewa itu membungkuk padanya?

"Terima kasih banyak, Sebek Zigvolt-kun."

"Jika... Jika Nantou-aniki ada, ia pasti akan mengatakan; terima kasih sudah menjaga adikku." Nishi memeluknya, sekali lagi. "Sungguh. Terima kasih banyak."

Tentu saja pemuda itu kelu menjawab rangkaian kalimat terima kasih dari makhluk yang terangnya menyaingi rembulan.

"Aku akan menjalankan waktu saat kami sudah tiba di Takamagahara." Ia berujar pada Malleus. Menggenggam tangan yang dua kali lebih besar dari punyanya. Malleus berlutut—seorang Raja Lembah Duri berlutut padanya—Kita.

"Aku mengerti." Balasnya. "Akan kulakukan hal yang sama."

"Tuan—aku ingin bertanya." Silver masih penasaran. "Em. Apakah kalian semua akan mengunjungi rumah Nona?"

"Tidak, Silver-kun." Minami menimpali. "Yang Higashi perlukan saat ini adalah anak-anaknya. Kami tidak ingin mengganggu mereka. Masih banyak hal yang perlu kami—Saniwa benahi di rumah masing-masing."

"A-ah. Seperti itu?"

Kepala saling tertunduk sebagai simbol respect, sebelum kelima sosok harum memabukkan itu hilang dari pandangan. Menyisakan kelopak-kelopak merah jambu disertai sayup suara yang begitu ringan. Membilang, "Terima kasih banyak."

Malleus memetik jari, melepaskan sihir.

Saat yang bersamaan, ina dari sang baskara membelah langit gulita. Seluruh daratan bersuka cita. Burung kembali memamerkan bakat-bakatnya. Cakrawala kembali menunjukkan canvas biru megah di mana awan-awan tipis mulai memberikan gestur hangat pada cerahnya hari yang mulai beranjak siang, perasaan berkecamuk dalam dada perlahan memudar seiring kedua permata hijaunya menyadari satu hal.

"Sudah tiba di Kayangan, ya?"

[TAKAMAGAHARAHONMARU HIGASHI.]

"Ah—kamu sudah kembali, nak bulan?"

"Maaf membuat kalian semua menunggu."

Ada... sebuah roh yang digendongnya.

Ada sebuah raga yang dipangku oleh Ichimonji Norimune.

Di bawah langit yang tak lagi kelabu.

Sang bulan berlutut, mengembalikan roh tersebut kembali ke tempat asalnya.

"Aruji tidak bernapas." Kata sang founder. "Lakukan sesuatu, nak bulan."

"Apa maksudnya?" Mikazuki balik bertanya. "Aku harus melakukan apa?"

"Ya—memangnya kalau seseorang berhenti bernapas, apa yang harus dilakukan? Kamu pukul?"

"Aduh, Mikazuki. Cepatlah." Kiyomitsu memijat pelipisnya. "Aku ingin bobok."

Menggaruk pipi, Mikazuki lantas menjalankan sesuatu yang ia ingat dari sebuah buku panduan yang sempat ia baca beberapa dekade lalu. Kalau tidak salah, membuka mulut seseorang dengan telunjuk dan ibu jari, lalu beri oksigen dari mulut ke mulut.

Hal itu dilakukannya sekarang.

Sembari memerhatikan dada sang tuan yang mulai memiliki ritme.

Ada degup jantung yang kembali berdenyut lembut.

"Ah. Sudah!" Katanya. "Coba, Kenshin. Panggil Aruji, nak."

Si biru Osafune kecil menurut.

Ia memanggil tuannya pelan. Menggoyangkan tubuh itu lembut, berharap tuan yang selalu dipanggil "Anee-sama." olehnya membuka mata.

Dan benar.

Penantian mereka kini usai.

Kelopak mata itu—mulai terbuka sedikit demi sedikit. Menunjukkan biner hijau. Anila berembus kuat memberi respon pada sosok yang sempat hirap.

"Akhirnya perjalananmu usai." Norimune tak kuasa menahan linang yang membentuk muara di netranya. Jemari panjangnya masih menelusuri pipimu. Berusaha untuk bangkit saat anak-anak tantou yang tersisa memandangmu tak bersuara hanya seguk yang mewakili segalanya, kau membentangkan tangan untuk kesatria kecil yang tak bisa lagi membendung keinginannya lebih lama.

"Maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan aku, ya? Maafkan aku."

Akita Toushiro memeluk erat. Imanotsurugi menangis hebat. Kenshin Kagemitsu mendusal rindu. Gokotai tak ingin figur kakak perempuannya pergi lagi.

"Anee-sama. Anee-sama!!" Kenshin Kagemitsu berurai air mata. "Okaerinasai, Anee-sama!!"

"Aruji-sama..." Imanotsurugi kuat-kuat memanggilmu. "Okaeri!!"

"Shukun..." Akita seguk. "Okaerinasai."

"Aruji-sama." Getar suara Gokotai tak bisa dibohongi. "Jangan pergi-pergi lagi."

"Marahi aku jika hal itu terjadi lagi, ya? Marahi saja aku." Tanggapmu. Dari sekian banyak tantou hebat yang kau miliki, hanya sembilan yang tersisa.

Dari banyaknya kesatria tangguh yang kau miliki, kini hanya tersisa beberapa sosok yang kau punya. Tenka Goken habis, hanya Mikazuki Munechika dan Juzumaru Tsunetsugu yang masih hadir. Shinsengumi tertinggal Kashuu Kiyomitsu dan Izuminokami Kanesada. Tak ada wajah Wakizashi lain yang tampak selain Honebami Toushiro. Tiada lagi tiga kesatria Osafune lainnya. Gou lenyap tak bersisa. Ichimonji hanya Norimune yang masih berdiri. Tiada kembar Genji untuk menyambutmu. Samonji hanya tertinggal Souza yang masih tampak berduka namun terlihat lega karena satu-satunya sosok yang mampu memanggil saudaranya kembali sudah pulang. Sadamune hanya tertinggal Taikogane yang kau ajak untuk bergabung bersama para tantou yang menjemputmu. Harta-harta Okinawa hanya tersisa Chiyoganemaru. Tak lengkap starter jika tak ada Kasen Kanesada, Hachisuka Kotetsu, dan Mutsunokami Yoshiyuki. Tiada Naginata yang tampak selain Tomoe di sana.

Banyak... sungguh tak sedikit roh yang pergi. Masih ada bilah yang harus ditempa ulang. Dalam setiap tangisan, ada suara yang melengking hebat. Dalam setiap jeritan, ada rasa syukur yang dipanjatkan. Dalam tiap detik yang terus maju, tidak ada dusta mencoba untuk tegar. Semuanya tumpah. Dituangkan dalam tangis yang mereka tahan sejak lama. Dilepaskan rasa sesak yang bersarang dalam dada. Membiarkan darah dalam nadi bergejolak sebab perasaan rindu, haru, syukur, dan duka yang tidak mampu digambarkan.

Canvas perlahan kembali biru, menjadi saksi. Rerumput hitam kini perlahan kembali menghijau menumbuhkan daun dan pohon yang hangus karena ledakkan. Hutan-hutan kembali bersenandung, merayakan kedatangan punggawa terkasih. Kubah terbentuk kuat, menggambarkan bagaimana perasaanmu yang semakin dalam untuk melindungi keluargamu walau nyawa taruhannya.

Dalam pandang yang buram, mereka saling menangis. Mengatakan satu hal yang sama. Menyambut kembali kepingan hati yang hilang. Merangkul kembali kebersamaan dalam ketenangan dan kedamaian. Karena sosok yang mereka jadikan tempat untuk beristirahat kini sudah kembali ke genggaman mereka.

Untuk mengawasi; menjaga; melindungi; mencintai; mengasihi mereka sepanjang waktu.

"Okaerinasai, Akina-sama."

Kesatria sejati adalah kesatria yang tak malu mengeluarkan air matanya, benar?

Cumbana terakhir diterima oleh Mikazuki Munechika di keningnya sebelum kau menyadari bahwa mereka kembali menyambutmu dalam hangatnya keluarga. Hangatnya kasih. Serta hangatnya rumah yang kau mimpikan setiap malam. Nyaris kehilangan harapan saat angin keputuasaan mengikis keyakinan. Saat badai tak memiliki belas kasih untuk menghapus setiap memori yang ada. Kini semua terbayar. Doa yang kau kayuh setiap malam saat ini membuahkan hasil yang begitu segar. Anila menyapu setiap isak. Pipi merah, mata nan basah, getaran yang sukses menembus gendang telinga para kesatria dengan ucapan yang mereka nantikan,

"Tadaima, boku no kodomo tachi..."

date of update: March 11, 2023,
by: aoiLilac.

revision: March 24, 2023.


Nb: belom abis, ya, ges. Belom epilog. Tengkiyu udah baca sampe sini. Mwah. 🌸🌸

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top