38.

A Touken Ranbu ft Twisted Wonderland fanfiction,

-Lueur-

By; aoiLilac.

Credit; DMM, Nitro+. And Disney- Twisted Wonderland, Aniplex, Yana Toboso.

Chapter Thirty-eight: Verendus.

[NIGHT RAVEN COLLEGE|COLISSEUM.]

Tantou; Yagen Toushirou; Fudou Yukimitsu; Taikogane Sadamune; Aizen Kunitoshi dan Atsushi Toushiro. Wakizashi; Nikkari Aoe; Monoyoshi Sadamune. Uchigatana; Kashuu Kiyomitsu; Yamanbagiri Chougi; Yamanbagiri Kunihiro; Heshikiri Hasebe; dan Izuminokami Kanesada. Tachi; Mikazuki Munechika; Shokudaikiri Mitsutada; Juzumaru Tsunetsugu; Daihannya Nagamitsu; Ichigo Hitofuri; dan Tsurumaru Kuninaga.

Terhitung delapan belas bilah-bilah terbaik kini berkumpul di satu titik, bersanding dengan penyihir yang sukses dibuat geming dengan—appearance anggun dari kesatria di sana.

Tak bohong, bahkan Vil Schoenheit sendiri menyimpan keraguan kalau mereka ini berasal dari sebilah logam yang biasa digunakan untuk meladeni peperangan. Wajah-wajah itu—apabila dibawa menemui produser model di mana ia sendiri bergelut dengan dunia entertaint, Vil yakin tak perlu waktu lama untuk menduduki posisi pertama sebagai model kelas dunia. Terlebih yang memakai pita merah jambu yang sempat menolongnya itu—lalu yang memiliki beauty mark di bawah bibir yang ajaibnya masih terlihat lembab sehabis memertahankan dimensi yang tak mereka kenali.

Idia Shroud melihat figur seorang pangeran di dalam sosok yang bersurai tosca. Ia beralih memandang yang lain. Baginya, yang bersurai panjang hijau itu mengirim aura kuat lagi misterius—sama dengan yang bertubuh kecil namun memiliki suara bariton yang cukup berat yang tampak masih berlutut memeriksa luka temannya.

Leona Kingscholar memandang Shokudaikiri dalam diam yang tengah berdiskusi dengan rekannya yang lain—yang memakai sarung tangan putih. Shokudaikiri Mitsutada melempar senyum ke arahnya saat iris mereka bertemu di kali kedua. Leona terkejut, ia meniru hal yang sama. Jarang-jarang Leona begitu.

Izuminokami Kanesada dan Juzumaru Tsunetsugu tampak menarik perhatian si penyihir bawah laut. Ia heran, apa tidak berat kalau orang-orang di sana yang harus bergelut setiap hari seperti barusan tadi memiliki surai panjang begitu? Dari jarak pandang yang tak dekat, surai halus itu tampak melambai mengkilap. Menari sebab ajakan angin dingin yang masih berembus. Sadar diperhatikan, sang Tenka Goken dari penempa Aoe Tsunetsugu itu tersenyum ke arahnya. Azul Ashengrotto mundur satu langkah, tak kuat menahan emanasi tak biasa dari sosok yang tak memerlihatkan warna bola matanya.

Tsurumaru Kuninaga memandang sekeliling saat ia sendiri tak sadar kalau Riddle Roseheart masih memerhatikannya. Tak lama, ia memandang yang kecil berpenampilan serba hitam dengan suara cempreng yang cukup menggemaskan.

Kalim al-Asim yang memiliki banyak adik di kampung halamannya dibuat tertarik dengan sekumpulan kesatria bertubuh mungil nan gesit di sana—dan satunya dengan selendang bahan kain halus dengan sebuah mahkota di kepala yang masih berdialog dengan kesatria kecil bersurai denim bermanik besar nan berkilau macam emas.

Lilia Vanrouge mematung manakala menumbuk pandang ke arah yang lain. Yang memiliki rupa nyaris sama, tetapi dari segi penampilan sungguh berbeda. Namun pahatan wajah itu sama persis. Yang bersurai perak terlihat mengoceh sembari menggunakan sapu tangannya muntuk mengusap wajah si rambut pirang. Yang rambut pirang mengaduh karena usapannya terlalu kuat. "M-mirip Silver... yang itu."

"Yagen, bawa perban, sayang?" Empunya nama menerima serangkaian pertanyaan dari sang tuan. Sekali toleh, Yagen Toushiro melihat wajahmu dari satu sisi yang tengah memandang luka dari Fudou yang ada di kaki; awalnya terkilir, tetapi karena terlambat berdiri, kakinya kena sasaran Chuuwakizashi. Merobek kaus kaki, tak peduli dengan darah yang mengotori tangan, kau mementingkan kesatriamu.

"Bawa, kok. Yagen saja yang mengerjakannya, ya, Jenderal?" Jemari mungilnya menghentikan aktivitasmu. Memaksa wajahmu menoleh, bertemu ekspresi tenangnya. Memandang netra ungu yang kau rindu damba, Yagen terisak sendiri. "Kenapa tidak pulang-pulang, sih?" Suara itu tak lebih dari sekedar gumaman yang menelusup ke dalam gendang telinga. "Tantou rindu. Saudaraku selalu menanyakanmu. Hatiku menjerit melihat air mata bening yang mengalir di pipi gembil mereka, Jenderal. Yagen agaknya lemah akhir-akhir ini."

Kau dibuat bungkam. Bahkan Yagen yang notabene kau tunjuk sebagai kepala Tantou di bentengmu untuk mengurus dan memerintah pergerakan bilah-bilah mungil di sana itu tengah menangis. Ia yang memiliki bahu paling tegar di antara pedang mungil yang lain ini—kalah. Mungkin Yagen selalu membawa kemenangan manakala turun di garis depan, tetapi saat ini, ia tunduk dengan perasaan emosional yang ia tahan seorang diri saat presensimu tak ada di benteng.

Fudou Yukimitsu menerima kecupan singkat di dahinya olehmu selepas Yagen melilitkan kain kasa di kaki kanan. Tak butuh waktu lama bagi anak-anak itu mengerubungi sang tuan sebagai figur kakak perempuan. Mendekap, sedu mengawal setiap aduan yang terus mengirim kabar duka. Kadangkala, kau mendengar tawa kecil dari mereka—yang memuji seorang Yagen Toushiro yang benar-benar memimpin Tantou saat dirimu absen. Kalimat-kalimat penguat darinya yang selalu terngiang di kepala kecil mereka. Rangkulan yang tidak pernah terlewat. Tak pernah abai dengan pengobatan, hingga pengorbanan yang dilakukannya.

Tantou yang mengambil peran sebagai dokter di benteng ini tak kuasa membendung perasaan sesak dalam dada. Berbayang biner violetnya; muara perlahan terbentuk menganak sungai di belah pipi. "Aku masih gagal. Maafkan aku, Jenderal. Maaf... mutiara kita—aku tidak mampu menjaga mereka. Yagen gagal."

Yagen menerima sebuah lipatan kain persegi empat. Hitam dengan jahitan berbentuk naga kecil berwarna hijau. Yang memberi mengukir senyum, Yagen malu sendiri.

"Eh—um—etto—a-ada yang terluka tidak di sana?" Buru-buru mengusap air mata, bergegas menuju pihak penyihir. Malleus yang memberikan sapu tangan itu tertawa kecil melihat Yagen yang tak bisa menerima pemberiannya. Mikazuki tertawa.

"Tidak ada yang terluka?" Suara khas Mikazuki Munechika meloloskan pertanyaan untuk Peri yang berdiri di sisinya. Memandang, membelakangi kesatria dan penyihir.

"Syukurnya tidak ada." Malleus membalas. "Kalian datang tepat waktu. Hanya sihir yang terkuras, tetapi tidak dengan luka fisik. Kalau ada, mungkin baret yang bisa diobati pengobatan manusia biasa."

Mikazuki mengangguk tenang. Dimakan sunyi beberapa detik selepas napas terhela pelan. Sukmanya bergemuruh. Pikirannya berkecamuk bagai neraka yang terus menghukum para pendosa. Ia mampu merasakan bagaimana kulitnya bercumbu dengan dingin yang menambah gigil dua kali lipat. Malleus peka. Yang dirasakan Mikazuki itu membuatnya turut berduka, terkejut dan campur aduk seperti mentega yang terlalu banyak dioles ke permukaan roti. Tak biasa, Malleus baru merasakan hal seperti ini setelah sekian lama ia kehilangan orang tuanya kala perang sihir.

Pihak penyihir; Azul Ashengrotto mencoba abai dengan rasa sakit di kepala. Sepasang permata biru itu mulai mengawang. Pandangan memburam. Kepala terasa berputar, berkunang-kunang saat satu tarikan napas dilakukan. Hingga tubuhnya condong ke depan, dan memilih jatuh dengan mata terpejam. Pedagang laut itu jatuh dalam kedua lengan Vil yang mencegah kepalanya membentur pijakan batu. Ia mencegah tubuh itu membentur tanah, meminjamkan pahanya untuk merebahkan kepala abunya. Yagen dan kau langsung berlutut memeriksa denyut nadi pemuda itu.

"Dia hanya kelelahan." Terang Yagen. "Tidak apa-apa, jangan khawatir."

"Memang dari awal agak kurang sehat." Riddle menambahkan, membuat Yagen harus menyimak. "Azul tinggal di laut. Akhir-akhir ini, ia mengeluhkan kalau laut tak bersahabat."

Tak butuh waktu lama untukmu menemukan jawabannya. "Karena bulan, ya?"

Hima semakin tebal menutup jarak pandang.

Touken Danshi tak menurunkan kewaspadaan.

Tsurumaru masih memandang sekeliling dari tempatnya berdiri.

Ada yang ditangkap ambernya. Di sebalik kabut itu, tetiba sesuatu berkilat menjulur. Mengepang meliuk bagai ekor naga. Memiliki reflek yang cukup baik, Tsurumaru Kuninaga melihat bayang tali yang hendak memecah Kalim al-Asim dari titik buta. Pendar putih sekelibat cepat sampai jubah yang identik dengan warna surainya itu berkibar mengirim suara kain yang tertampar angin. Si kepala asrama merasa kedua lengan kokoh melingkari dada, sebelum akhirnya terlempar karena pergelangannya sengaja dilepas meminimalisir serangan kalau benar kena. Baiknya tidak, Kalim al-Asim selamat. Bangau kesayanganmu hendak menarik katana untuk menahan tali yang diiringi dengan kilat berayun berat, manik emasnya membulat dengan pupil mengecil seakan menampak marabahaya.

Penyihir di sana disuguhkan pergerakan macam slow motion; yang di hadapan mereka bukanlah seorang kesatria. Ini lebih ke... pendar putih yang begitu terang diliputi kirana yang membutakan bagai berlian merefleksikan binarnya dari cahaya yang tepat menjatuhinya. Tak kasar menusuk, tetapi lembut menembus retina. Cantik. Ini—

Bangau.

Burung bangau yang tengah mengepakkan kedua sayap bersihnya.

Mikazuki Munechika dan Malleus Draconia sama-sama memutar tumit. Sepasang netra rumput dan langit malam yang menggantungkan bulan sabit itu membulat. Denyut jantung berpacu lebih cepat dengan sesak yang hadir meremat paru-paru.

"Tidak akan sem—" Belum tuntas keinginan sang bangau untuk memotong kepangan sulur itu dengan katana, ia terseret. Terlempar karena serangan berat yang ia terima mentah-mentah.

Bulu-bulu putih mengudara; Tenka Hitofuri bergetar menjeritkan namanya. Terlambat bagi Ichigo untuk menarik pergelangan Tachi dari era Heian itu. Ia turut terseret, terlempar sejauh dua meter dari titik di mana sang satu-satunya Tachi tempaan Awataguchi Yoshimitsu hendak memertahankan partnernya.

"Tsuru-san!! Ichigo-san!!"

"Ichi-nii!! Tsurumaru!!"

"Tidak mungkin!!"

Touken Danshi berpencar; berdiri kokoh persis di hadapan Great Seven yang masih mencerna kejadian tak terduga ini. Shokudaikiri Mitsutada mengulurkan tangan. Jemarinya meraih, menarik, mengudarakan pergelangan dari sulur cambuk yang masih terlihat. Sekuat tenaga, ia mengayun balik tali yang dialiri elemen petir itu; melempar dan membantingnya kasar. Tak peduli dengan sengatan yang ia dapat, Shokudaikiri berhasil menghempaskan sosok di sana. Memunculkan sebuah praduga baru akan kedatangan dari kebengisan murni.

Tsurumaru Kuninaga; ia tersetrum. Ichigo Hitofuri tak membiarkan partnernya membentur tanah. Terdorong dua meter saat menangkap sang bangau, Tenka Hitofuri bergetar manakala darah memenuhi telapak tangan dan jemarinya. Hangat, dan kental lagi amis seperti karat besi. "Tsurumaru-dono!!" Berteriak sekeras tenaga saat suara sendiri pecah, tiada respon yang Ichigo dapat.

"Ke-kenapa dia melindungiku!?" Kalim ikut panik. Ia bergetar menyaksikan orang asing memertaruhkan nyawa demi dirinya.

Sang bangau tak lagi menunjukkan amber emas. Darah merembes, mewarna merah mantel putih kepunyaannya. Tangan mengudara, membentuk kekkai lapis sempurna, langkah kakimu segera menuju sang bangau. Tenang. Ini sudah ribuan kali terjadi di Kayangan. Namun saat ini, perasaan itu agaknya tak bisa diajak kerja sama. Luka bilur itu tajam; menembus kulit sampai terbelek. Tsurumaru tak sadarkan diri dengan cepat.

"Aku bawa air sungai." Kata Mikazuki. "Namun niatnya, ini kugunakan untukmu nanti."

"Abaikan aku dulu." Tanggapmu sembari merobek paksa kimono di balik mantel putihnya. Tsurumaru merupakan tipe yang tidak akan tumbang apabila tidak merasa sakit luar biasa; tachi yang tidak akan menutup mata kalau rasa sakit itu tidak cukup kuat menggeruskan pertahanan fisik dan kesadarannya. Sia-sia. Perban yang diberikan Yagen pun jauh dari kata cukup untuk menghentikan pendarahannya. "Jangan ada yang melepas mantel dan kain kalian. Itu pertahanan." Ucapmu sekali lagi. Kau melepas haori yang masih melekat. Mengoyaknya, membelit lemah ke dadanya; tak peduli akan darah yang melumuri tanganmu. Napasnya masih tersenggal, mulutnya terbuka tertutup tak menentu.

"Mana airnya?" Mikazuki mengoper satu botol beling kaca berisi air dari sungai utama Takamagahara. Tahu Tsurumaru tak akan merespon apapun, satu-satunya cara agar air itu masuk ke dalam tenggorokannya itu melalui mulut ke mulut. Satu tetes lolos dari dagunya, Tsurumaru masih tak menunjukkan manik dengan biner paling cerah di Takamagahara.

"Tsurumaru..." panggilmu lembut, membelai keningnya, menciumnya berkali-kali. "Jangan begini, nak. Kamu kuat. Lawanlah. Hentikan pendarahannya."

Tolong, pendarahan ini benar-benar tak mau berhenti. Makin deras dan turut mengotori Ichigo yang memangkunya.

"Sebentar—kalau dikembalikan dalam bentuk katana—"

Tidak. Tidak bisa. Kecelakaan tadi menolak respon kemampuanmu untuk mengembalikannya dalam wujud bilah. Kepala berdenyut hebat, untuk saat ini, langkah apa yang sebaiknya diambil? Kau tidak akan melepaskan bangau jahil ini dengan mudah. Tidak. Tidak selama kau masih hidup.

"Tidak bisa, Aruji!" Sada menjerit. "Tsuru-san! Tsuru-san!!"

Kau bertindak cepat. Opsi tersisa hanya sepasang cincin giok yang masih melingkar di jemari telunjuk. Segera, kau melepaskan keduanya. Memindahkan benda suci itu di telunjuk sang bangau, Mikazuki memandang horor atas tindakanmu.

"Apa yang kamu lakukan itu, huh?"

Kau geming, tak menjawab.

"Kamu butuh benda itu untuk bertahan, Akina!!"

"Sejak kapan kamu keras kepala begini, Mikazuki!?" Balasmu tak sadar meninggikan suara. "Tsurumaru tidak bisa kukembalikan dalam wujud aslinya! Anakku tidak akan hancur di tempat ini! Tidak akan. Selama aku masih berdiri, hal konyol itu tak akan mungkin kubiarkan, Mikazuki!"

"Misaki Akina!!"

Bentakan tanpa sadar lolos dari mulut. Memberi bukti bahwa hadirnya sebuah perasaan bisa muncul tak didasari oleh sebuah akal dan nurani.

Yang dibentak itu tuannya. Kekasihnya. Pujaan hatinya. Sosok perempuan yang memberikannya tubuh dan wajah rupawan sempurna itu.

Cerahnya berubah temaram. Mikazuki Munechika terhenyak sendiri saat kompas moralnya tersadar akan perbuatan yang tak pernah dilakukan selama berabad-abad. Ditelan bisu, kau memandang sang bulan.

Tak ada Touken Danshi yang berani mencela jika dua figur pemimpin benteng bercakap hentak. Penyihir muda membisu, tahu mereka tak memiliki tempat untuk masuk dalam lingkar dialog berat kedua orang ini. Berkat ini, penyihir-penyihir di sana tahu siapa kesatria yang paling memikirkan wanita asing yang berdiri kaku di seberangnya.

"Maafkan aku." Penyesalan Mikazuki tak datang terlambat. Kau paham pikirannya tengah kalut. Kau mengerti benaknya kini terombang ambing oleh ombak yang membuatnya tenggelam dalam asa yang gelap. Harapan telah meninggalkannya sejak awal. Tiada kesempatan bagi Mikazuki untuk mengakhiri ini semua. "Maafkan aku, Aruji. Maafkan aku."

Tak kuasa kau menahan senyum. Meraih jemari, menunjukkan segaris lengkung bibir yang membuat wajah gamangnya menguap. Sedikit.

"Aku bertahan di tempat ini tanpa benda dari Kayangan." Tuturmu. "Aku tuanmu. Kamu punyaku. Bisa aku dapat kepercayaanmu, Mikazuki?"

"Namun situasinya saat ini berbeda, tuanku..." Kecemasannya membuatmu memupuk sebuah harapan baru. Mikazuki memandang viridan yang tegas. Penuh sorot keyakinan, kekuatan terkumpul penuh. "Kamu harus bertarung seorang diri. Biarkan aku di sisimu. Kali ini."

Kau tahu ada sebuah getaran di masing-masing hati para kesatria. Sakit. Ribuan bilah menghujam sukma di balik daksa. Membiarkan tiap-tiap nestapa terbalut sempurna dengan sebuah harapan tipis. Berharap lelah terbayar, tetapi kebusukan kembali datang tanpa permisi. Kaki berdiri, memandang Mikazuki yang menunjukkan sorot marah bercampur pilu. Kau tahu, ia tidak marah padamu. Namun pada situasi kurang ajar yang tak terduga ini. Mikazuki sudah tahu kalau sosok busuk itu akan tiba, tetapi ia tidak berpikir sampai di mana Tsurumaru akan menjadi korban—yang membuat segerombolan penyihir itu terkinjat bukan main.

Perputaran waktu akan terus berjalan dalam jiwa. Dan tak mungkin kau akan meninggalkan sebuah tanggung jawab ini. Katana panjang ditarik dari dalam saya, Mikazuki menyembunyikan bola mata yang senantiasa menabuh afsun itu dalam kelopak tipisnya. Mengambil sikap sadrah di mana ia harus menerima ini semua dengan lapang dada.

Dipaksa melihat punggung tuannya yang berdiri di hadapannya, Mikazuki menghela napas.

"Saat aku tidak ada, apa kalian menghadapi kebencian ini seorang diri?"

Lidah terlalu kelu untuk menjawab, suara hati dari para kesatria terdengar begitu larut dalam sebuah nestapa. "Yang palsu itu membunuh sebagian besar keluarga kita dan kami, Aruji."

Kami bukan hanya merujuk untuk benteng Timur. Melainkan tujuh benteng lainnya yang benar-benar mengalami pembantaian massal saat invasi berlangsung. Mereka tidak cukup kuat melihat "tiruan" dari tuan mereka sendiri. Yang mereka lihat adalah sosok-sosok cahaya walau nyatanya tiruan tersebut merupakan wujud kebencian murni dari Pasukan Pengulang Sejarah.

Iblis.

Kejam.

Beginikah yang anak-anak lalui? Luka psikis tidak akan bisa hilang dengan mudah dari kesatria yang selamat. Pasti potongan memori kelam ini akan terus menghujam mimpi mereka di bawah langit temaram penuh gemintang.

"Kodomo-tachi..." Ini mengerikan. Aura tuan mereka berubah. Sebek merasa tak mengenal sosok yang berbicara barusan. "Jika satu langkah saja kalian keluar dari kekkai ini. Aku tidak akan mengampuni kalian apabila kita semua sudah pulang ke rumah."

Kesatria-kesatria milikmu mendadak tegang. Mereka mengambil langkah mundur, bahkan Yagen Toushiro yang selalu memberi advice untukmu terlihat mundur tiga langkah tanpa sadar karena naluri yang mengirimkan suara alarm dalam otak bahwa tuannya ini tidak main-main.

"Apapun yang kalian lihat, apapun yang kalian dengar, jangan pernah berpikir untuk keluar dari kubah ini. Cukup berdoa untuk kita semua." Ucapmu tegas tanpa ada keinginan untuk dibantah oleh para kesatria. "Kita akan pulang setelah ini selesai. Kutegaskan jangan ada yang keluar dari kubah ini, dengar aku?"

Tidak ada yang menjawab.

"Anak-anak?"

Hanya Mikazuki Munechika yang masih berdiri di titik yang ia pijaki sedari awal. Wajahnya menunjukkan raut masam. Tak ingin menjawab permintaan tuannya.

"Dengar ucapanku tadi? Mana jawabannya?"

Suara lesu menyambangi telinga saat ekor matamu dengan pasti memberi sorot tajam ke mereka akan sebuah peringatan jika tak dituruti.

"Baik, Akina-sama."

"Mana jawabanmu, Mikazuki?"

Mencoba ikhlas saat sukma sendiri dilanda keraguan itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Mikazuki nyaris gila dihadapkan pada pilihan harus mendampingi tuannya, atau menunggu di sini. Saliva ditelan berat, jawaban berat hatinya kau terima. "Aku mengerti, Akina. Berjanjilah padaku untuk selamat."

Seperti disuguhi adegan slow motion, satu Higashi asli itu melejit di antara hima tebal yang masih mengelilingi Night Raven College. Sebek menganga, lalu melempar pandang ke arah kesatria yang tampak memejamkan mata saat mendengar suara pecutan beradu dengan benda keras lain. Menyelipkan doa untuk kekasih mereka baik raga maupun batin yang benar-benar lelah. Ada rasa trauma yang terbentuk begitu jelas manakala sosok tiruan itu hadir. Bagai lumpur pekat yang mengurung pertumbuhan teratai untuk memekarkan setiap esensi kelopak dinginnya.

"Kalian!" Sebek menegur murka. Ichigo Hitofuri langsung memberikan tolehan diikuti kepala Yamanbagiri pirang yang entah sejak kapan batu peridotnya berkaca gamang dengan pandangan yang tidak fokus. "Kalian membiarkan tuan kalian bertarung seorang diri!?"

"Sebek." Sebek masih mengoceh, seakan suara rendah Silver tak penah sampai di telinganya. "Sebek!" Si perak terpaksa mengeraskan suaranya sampai-sampai Lilia cukup terkejut mendengarnya. Sebek menoleh, ia langsung dihadapkan dengan raut wajah Silver yang kurang mengenakkan untuk dilihat. Kentara, Silver marah padanya, Sebek kaget. "Kita semua tidak mengerti dengan apa yang mereka alami selama tuan mereka absen. Kau tidak bisa menghakimi mereka begitu saja, Sebek."

"Nee, tuan hijau." Sayup suara samar terdengar dari Yamanbagiri Chougi. "Apa kau tahu bagaimana suara yang dikeluarkan oleh orang mati? Apakah kau tahu warna asli dari darah? Aroma dari daging yang mendingin lalu hancur menjadi keping tak utuh? Suara tulang yang retak?"

Atmosfir benar-benar dibuat turun menuju dingin menusuk masuk ke setiap tulang rusuk. Chougi memandang keruh; menggambarkan hatinya yang turut dipenuhi awan kelabu.

Membuang muka ke sembarang arah. Harap-harap dapat melihat pertarungan di balik kubah, tetapi kabut sialan ini seakan membutakan jarak pandang. Ia menyentuh kubah, ada sengatan listrik yang diterimanya, Sebek mendecak. "Jangan kalah, Misaki!!"

[NIGHT RAVEN COLLEGE|SPORTS FIELD.]

Nihil.

Hawa kehadiran sosok berengsek itu tak kau rasakan sama sekali dalam kolosium.

Kaki berkeliling, membawa raga penuh ke lapangan yang biasa dipakai untuk mata pelajaran pendidikan jasmani. Manik berkeliling, tak ada tanda-tanda bahwa sosok itu akan hadir. Belah bibir mengapit gagang katana, cambuk dililitkan ke pinggang. Membentuk kuda-kuda mantap dengan dua pergelangan mengudara. Satunya ke depan, lainnya lagi menuju atas langit. Petir mulai menyambar riuh merespon tindakanmu. Energinya kau serap, dihempaskan ke tanah.

Kalau tidak ada di atas, sisi kanan kiri, depan belakang... berarti di...

Tangan terkepal, meninju tanah lapangan sampai pecahan bumi itu hancur. Tampaklah sosok hitam yang melesat dari bawahnya, berdiri di bawah kepingan tanah yang ia hancurkan dengan cambuk. "Oh. Kau bajingan—" Katamu. "Aku telah menunggumu, jadi aku bisa menghentikanmu." Suara cambuk yang kembali dilecut mejamah radar telinga. Mengirimkan resonansi atas kesunyian yang membuat bulu kuduk berdiri dengan napas yang semakin dingin seperti membekukan seluruh paru-paru. Darah dalam nadi tak lagi dirasa hangat, setiap alirannya membawa rasa kengerian dari memori-memori yang terekam dengan baik, berharap semua hilang ditelan sang waktu.

Kedua kaki menghindar.

Sulur dilayangkan membentuk suara keras seperti gesekan awan yang menciptakan petir saat hujan hendak turun.

Keadaan masih minim cahaya sebab chandra benar-benar tak ingin menyaksikan bagaimana akhir dari segala cerita yang terbentuk.

Dalam setiap tarikan napas, kiri kanan menjelajah setiap sudut, tubuhmu terlempar dari bayang yang bersembunyi di balik kabut. Tendangan dari titik buta kau terima. Terhempas hingga surai turut bergelombang, jemari mencakar tanah mengupayakan agar tubuh berhenti.

Tak menyangka akan datangnya serangan beruntun, kau mencoba bertahan.

Tendangan sama-sama dilayangkan, membentuk silang dari kaki yang tak lagi menyentuh permukaan tanah. Pergelangan mulai menunjukkan perubahan warna; lebam untuk menghindari sepakan langsung. Sengaja menghindar sampai menemukan titik yang memungkinkan untuk menghunuskan katana, kau maju mengejarnya. Cambuk masih bergerilya dipakai; mengirim benturan sana sini, mengikat dan kembali menghempaskan tubuh itu di antara lapangan yang tak lagi berbentuk.

Memanfaatkan waktu yang tidak akan lama, katana Mikazuki Munechika tak lupa kau tembuskan ke dadanya. Balasan yang datang adalah seringai mengerikan. Menampakkan taring di setiap ujung gigi atas dan bawah dengan kulit hitam legam, kau cukup bergidik ngeri melihatnya.

"Kau tidak memiliki jiwa." Sinismu padanya.

"Dan karena itulah aku tak memiliki rasa takut! Mati!" tangannya hendak meraih kepalamu. Namun kau yang memiliki reflek cukup baik masih mampu untuk menghindar sekaligus mencabut katana sang bulan. Satu kaki menendang sebelum keduanya menjauh dengan melompat rolling, dan kembali menggunakan cambuk untuk mendapatkan kakinya. Tubuhnya melayang sebab ayunan yang kau lakukan, sekuat tenaga membenturkan kepalanya ke atas tanah. Menarik cambuknya, hingga kepala itu terlihat, membenturkannya kembali di atas puing reruntuhan besar, berharap kepala itu hancur sampai berceceran menjadi potongan-potongan kecil.

"AKU AKAN MENCABIK HATIMU! SUNGGUH!! AKU AKAN—"

"DIAM!" Bentakmu dengan kesadaran penuh. "Kau sudah melakukannya! Kau melukai anak-anakku! Kau memberikan mereka rasa trauma dan luka psikis yang tak akan mudah diobati!! Kau mematikan seluruh hati mereka dalam ketakutan! Makhluk busuk! Sudah sepantasnya aku menguburmu hidup-hidup!!"

"Untuk apa kau melindungi tempat ini, hm? Penyihir-penyihir itu akan mati juga apabila kau kalah."

"Ini urusan kita, bajingan. Jangan bawa anak-anak muda di sana. Mereka lebih tangguh dariku, jangan kau hina mereka!"

Kau melayangkan hunusan, ia mampu menghindar.

"Kegelapan sepertimu memang harus disingkirkan. Tidak akan ada bunga yang ingin hidup dalam kegelapan."

Sosok legam ini satu tingkat lebih ganas. Agaknya, ia murka disebut kegelapan.

Kini, kau yang habis-habisan diserang. Ia fokus melayangkan tendangan dan cabikan sana sini saat kau sendiri tak ahli dalam pertempuran jarak dekat. Tangan didapat olehnya, ia memelintir hebat sampai tulang-tulangmu remuk. Cambuk terlepas sebab tendangan yang diarahkan ke tangan, kau lengah sampai kini kaki tak lagi menyentuh permukaan tanah.

Singkat kata, kini ia berhasil mencekakmu. Kuat, erat.

"Kau bilang aku apa tadi? Kegelapan?"

Sesak.

Ini gawat, kau mulai tidak mampu untuk berbicara. Jemari yang lain meronta, menarik lengan sosok ini. Sebuah perlawanan yang sia-sia saat kau merasakan cengkeramannya semakin menekan urat leher, siap menghancurkannya. Liur mulai menetes di sudut bibir. Katana Mikazuki kini berpindah tangan sebelum kau menyadari bahwa tubuhmu dilempar ke sisi lain lapangan yang telah hancur. Terbentur, segalanya tak lagi terlihat dengan jelas. Belum sempat kau berdiri, dagu menerima tendangan telak. Lelangit mulut mulai mencecap rasa anyir. Darah berpadu dengan liur kini mengotori tangan.

Kepala menerima sebuah injakan manakala bilah yang harusnya kau gunakan untuk menghabisi sosok ini kini menusuk pergelangan tanganmu.

"Oh... baru kuingat. Namamu itu berarti bunga musim semi, ya? Kebetulan sekali, bukan? Kau menyebutku kegelapan, dan kau bilang kalau bunga tidak akan mekar dalam kegelapan. Akan kubuat kau layu sekarang juga, Akina."

[NIGHT RAVEN COLLEGE| COLISSEUM.]

Ada jeritan yang familiar terdengar di telinga Touken Danshi.

Itu suara tuan gadis mereka.

Disusul dengan suara benturan seperti genderang di kedalaman.

Heshikiri Hasebe memandang kosong dengan tak sadar ia mengucap rangkaian kalimat yang tak perlu didengar orang lain. "Satu-satunya Saniwa yang ahli dalam pertempuran jarak dekat adalah Seihoku-sama—yang bahkan mampu menghancurkan tempurung musuh dengan tangan kosong."

Shokudaikiri mengangguk pasif. "Aku memikirkan hal yang sama denganmu. Hime adalah ahlinya dalam pertempuran jarak jauh, dan yang palsu itu menggunakan taktik jarak dekat untuk menumbangkan tuan. Hime tidak diuntungkan dalam pertarungan ini."

Benar kata kakek dari penempa Kagemitsu itu.

Ada sesuatu yang tak bisa kau lakukan.

Sebuah pertempuran jarak dekat yang kini memojokkanmu.

Suara tulang yang hancur sampai ke telinga runcing Malleus Draconia yang membisu sejak awal. Ia kaget, ia terkejut, tak mengerti harus mengambil keputusan seperti apa dan langkah yang bagaimana. Ia tak menemukan jawaban sampai bibir gelapnya berbisik sebuah frasa yang membenarkan fakta.

"Rusak." Komentarnya terdengar lemah. "Tulang wanita itu akan hancur akibat benturan yang diterimanya. Mungkin aku bisa membantu teman Sebek dalam hal ini, aku akan keluar dari kubah." Puncak tongkat sihirnya sudah bertemu dengan bagian kubah yang paling dekat dari tempat ia berdiri, siap menghancurkannya sedikit. Namun Lilia menahan pergerakannya, memandang penuh kekaguman, tetapi di saat yang bersamaan, ada sorot yang Malleus mengerti dari iris merah bak anggur milik pengasuhnya. "Aku senang kau ingin menolong orang yang kesulitan, tetapi, yang dihadapi ini adalah pertarungan yang diluar kemampuan kita, nak. Kita memang peri, tetapi wanita itu adalah Dewa. Hormati keputusannya, Malleus. Hormati keputusan Nona itu."

"Tch, amatir!" Leona mencebik. "King's Roar-ku akan menghancurkan yang jelek itu dengan mudah. Minggir, kadal."

"Tidak. Sihir kita juga sudah mati, Leona. Lihat kristalmu." Vil menarik si Pangeran. Tak butuh waktu lama untuk Leona menyadari bahwa apa yang dikatakan Vil itu benar. Kristalnya tak lagi hidup.

"Ta-tapi kita bisa mengeroyok sosok itu!" Kalim berseru polos. "Kita bisa berikan waktu untuk Nona yang tadi!"

"Jika itu yang terbaik, aku ikut." Riddle berseru. "Ayo terobos kubah ini!"

Semua pergerakan mereka terhenti. Kesatria dengan serentak membentang tangan tepat ke arah di mana mereka hendak melantaskan niatnya. Beberapa langkah sebelum mendekati kubah; Kashuu Kiyomitsu, Izuminokami Kanesada, Shokudaikiri Mitsutada, Daihannya Nagamitsu dan Juzumaru Tsunetsugu beserta Mikazuki Munechika telah membentangkan menjadikan tubuh mereka sendiri sebagai tameng hidup. Mencegah para penyihir bergerak lebih jauh dari yang mereka mampu. Kaki sang bulan sabit mulai bergerak pelan, berdiri di tengah-tengah pihak kesatria dan penyihir berbakat di seberangnya.

"Kami sangat menghargai kelembutan hati kalian. Terima kasih banyak, para penyihir muda. Namun tolonglah, hormati keputusan tuan kami untuk tetap di sini. Sungguh, ini urusan internal kami."

"Namun kalian menjadikan sekolah ini sebagai lapangan untuk perang terbuka." Riddle berargumen. "Ini sekolah kami. Tempat untuk belajar, bukan wahana untuk menumpahkan darah."

"Kami tahu hal itu, anak muda." Shokudaikiri kali ini ikut berkomentar. "Namun kalian akan menyulitkan tuan kami di sana. Sungguhlah, tuan kami tidak ingin ada korban dari pihak penyihir."

"Lantas apa kami harus diam saja—dan menunggu?" Suara ini datang terputus. Napas dihidu pelan begitu naluri melawan kelemahan dari dalam diri. Vil terkejut saat manik biru itu dari sosok yang dipangkunya perlahan mulai menunjukkan kemegahannya. "Menunggu—usainya sesuatu adalah hal yang paling menakutkan..."

Azul terbangun kala Vil masih meminjamkan sebagian tubuhnya untuk adik tingkatnya itu bersandar.

"Oh, tuan penyihir ikal," Ichigo yang biasa hanya menyimak, kini memberanikan diri untuk menyampaikan gagasannya. Tangannya masih setia menempel di dada bidang Tsurumaru. Membiarkan darah mengotori kalin satin putihnya. "Kami pernah mengalami hal ini. Berkali-kali semenjak kekasih kami menghilang dan menunggu sebuah kabar yang membuat bunga dalam hati kembali mekar. Dan bagaimana perasaanmu ketika kabar yang dinanti itu adalah kabar duka atas kematian rekan-rekan dan saudara-saudara yang kau butuhkan? Tolonglah. Tiada hal yang kami minta selain memanjatkan doa pada tuan kami yang berjuang untuk kita semua. Adik-adikku yang tersisa hanya ingin figur kakak perempuannya kembali ke pelukan mereka." Manik emasnya berkaca, perlahan mengumpulkan genangan air asin yang perlahan meleleh dari tempatnya, kepala hijau itu mengangguk untuk meyakinkan semua pihak di sana. Lembutnya tutur kalimat yang Ichigo lontarkan rupanya mampu membius relung hati para penyihir untuk diam di tempat seakan berhasil mempersuasi. "Berikan kami kesempatan untuk menyelesaikan ini."

Azul dibuat bungkam, tak mampu menjawab. Riddle tidak tega melihatnya, lantas ia mengumpulkan keberanian diri untuk mendekati sang kesatria yang terduduk memangku rekannya. "Kamu membutuhkan ini," Ucapnya. "Hapuslah air matamu, tuan."

Ichigo terkekeh setengah malu. "Maafkan aku karena menunjukkan sesuatu yang tak pantas untuk kalian."

Leona mengerang tertahan dan mengembalikan tongkat sihirnya menjadi pena ajaib. Vil menutup buku dan menyatukan kedua tangannya. Idia yang menyimak juga tak mampu berbuat banyak sejak awal; ia bukan penyihir berbakat seperti Great Seven yang lain. Idia bertahan hidup juga karena Dewi Keberuntungan yang berpihak padanya. Kalim, Azul, dan Malleus berharap pada pemilik semesta agar diberi kesempatan bagi dua belah pihak untuk kembali menjalani kehidupan yang senantiasa mereka lakukan saban hari.

Hening menyelimuti ruang dalam kubah heksagonal. Semua pihak di sana memanjatkan asa dalam setiap darah yang kau korbankan untuk mereka, akan sebuah tanggung jawab besar untuk menjaga dimensi lain dalam kedamaiannya kini benar-benar berada di dalam tanganmu—yang mulai terpojok.

Energi mulai melemah.

Kekuatanmu sudah tak mampu lagi untuk menahan segala kebencian murni yang mengelilingi tiruan yang menampilkan seringainya.

Detik setelahnya, kubah biru bergetar bersamaan dengan tubuhmu yang membentur cembung pelindung. Melunakkan tanah untuk menangkap daksa yang jatuh, napasmu mulai tak beraturan.

Sebek tahu betul bahwa kau yang benar-benar tak bergerak sedikit pun. Di sisi lain, sosok hitam itu datang dengan langkah yang begitu ringan dengan cambuk pedih yang siap membelah raga menjadi dua saat kesadaran kini tak lagi menjagamu. Terlihat jelas bahwa cambuknya melilit kaki, dan kembali melemparmu ke sisi lain.

Tawa yang menakutkan datang darinya, seakan-akan bangga atas mahakarya yang berhasil ia lakukan; menghabisimu dengan tangannya sendiri.

Saniwa delusif itu terlihat kembali berjalan, dan agaknya, ia mencari tubuhmu yang dilempar olehnya. Dan bukan tidak mungkin kalau niatnya kali ini tidak bisa dijalankan dengan mulus. Touken Danshi dalam bahaya, tuan mereka bisa mati hari ini juga. Night Raven College bisa terancam—tidak. Twisted Wonderland juga akan terkena dampaknya!

"Gadis merepotkan itu! Tidak adakah yang bisa kulakukan untuk membantunya!?"

"Sebek!!"

Sayup suara itu mengalihkan pandangan; Silver memiliki pikiran yang sama dengannya. Entah bagaimana caranya, pemuda itu berhasil membuka sedikit kubah birumu dengan penetral putih yang ia miliki. Tangannya gemetar lantaran menahan sesuatu yang belum pernah ia lakukan. "Cepatlah!!" Serunya mantap. "Haki kubah ini terlalu besar, aku tidak bisa menahanya lebih lama lagi!!"

Radar telinga Chougi mendengar sebuah seruan yang memberi sebuah informasi bahwa sesuatu telah terjadi di luar pengawasannya sebagai kesatria dari Dewan. Tepat saat samudera miliknya menangkap pergerakan yang tak terduga, Chougi berusaha berlari untuk mencegah Sebek keluar dari kubah yang berhasil Silver lelehkan sepersekian detik dengan sihir putihnya. Namun sepertinya, Chougi harus menjelaskan hal ini pada tujuh Dewa Keberuntungan nantinya saat konferensi Takamagahara diadakan untuk membahas ini semua. Kesatriamu yang satu itu terlambat menahan untuk Sebek, dan imbasnya, Silver yang mendapat getah. Ia membenturkan tubuh Silver di atas tanah dengan amarah yang meledak-ledak.

Kerah dicengkeram; wajah memerah; Chougi membentak sosok Silver yang masih tenang tak peduli bahwa seseorang kesatria 'sungguhan' kini menindih tubuhnya.

"Kau!!" Getaran suaranya begitu kentara. "KAU PIKIR APA YANG KAU LAKUKAN INI BIJAK, PERAK!? TIDAKKAH KAU PAHAM BAHWA GADIS KAMI SEDANG BERJUANG DI SANA!? UNTUK KALIAN!? UNTUK KITA!!"

"Oya." Nikkari memamerkan senyum tipisnya. "Chougi-kun, kurasa kamu akan lembur setelah ini."

"Harusnya memang mengajak kakek Ichimonji saja." Yamanbagiri pirang berkomentar. "Aku bahkan lupa memberi tahu Aruji kalau kakek itu sudah bangun..."

"Biarkan dia menjaga Honmaru. Bagian eksekutif di sana sudah hancur semua, hanya cintaku yang bisa membangkitkan mereka lagi." Kashuu berusaha menarik Chougi dengan tenang, sementara Yamanbagiri membantu Silver untuk berdiri. Nikkari pun berada di depan Silver, membentang satu tangan mencegah Chougi untuk melakukan hal diluar kendalinya.

"Kamu tidak apa-apa, anak muda?" Wakizashi itu melempar pertanyaan. Silver menjawab dengan gumaman yang mewakili bahwa ia—Silver—merasa baik-baik saja.

"Maafkan aku." Tulusnya permintaan maaf tetiba keluar dari bibir ranumnya. "Maafkan aku, tetapi izinkan aku untuk menyampaikan sebuah gagasan untuk kita semua." Irisnya menelusuri satu persatu kesatria yang ada, lalu memusatkan semua perhatian tepat ke Chougi yang kini ditahan oleh Daihannya Nagamitsu. "Dan dia. Kita mirip. Kau, aku, dan kalian. Kita memiliki sebuah kesamaan." Begitu terangnya. "Aku juga memiliki tuan yang aku layani. Dia berdiri di sana. Salah satu penyihir terkuat dalam dimensi yang tengah tuanmu coba untuk lindungi saat ini. Aku mengerti perasaan kalian, karena pada dasarnya, kita sama-sama kesatria yang berusaha untuk mencapai satu tujuan; melindungi seseorang yang kita kasihi. Aku paham. Aku paham sekali hal yang berkecamuk dalam kepala para kesatria. Semua yang kalian lakukan saat tuan kalian absen itu benar-benar membuktikan bahwa kalian adalah kesatria pejuang yang tangguh. Dan di waktu kalian bertemu dengannya, rasa sayang untuk Nona itu semakin bertambah, benar? Aku paham keinginan kalian untuk membantunya. Namun di satu waktu, kalian pun tidak bisa melanggar perintah yang begitu keras kalian terima, tetapi dalam lubuk hati yang paling dalam, aku yakin, kau dan rekanmu juga tidak ingin diam saja."

Jujur, Malleus terkejut mendengar penuturan Silver yang baru pertama kali didengarnya sepanjang itu. Ini kali pertama pada seumur hidupnya, Malleus mendengar suara Silver yang begitu jelas mengungkapkan bagaimana perasaan yang mungkin selama ini hanya dipendamnya seorang diri.

Senyum bangga terpahat di bibir Lilia. Mungkin, ada untungnya juga Silver bertemu dengan sosok-sosok kesatria 'sungguhan' yang melindungi sesuatu dalam dimensi lain, begitu pikirnya. Walau pertemuan ini bukan melalui sesuatu yang elok, melainkan kehancuran yang ada di depan mata, tetapi Lilia yakin bahwa semua akan baik-baik saja.

"Touken Danshi—jika aku tidak salah sebut, ingin sekali membantu Saniwa-nya. Bukan masalah apabila nyawa sendiri yang menjadi taruhan, yang penting tuan kalian bisa kembali ke pelukan rekan yang masih menunggu. Apa aku salah?"

"Namun ini bukanlah perang kalian." Chougi bergumam saat tangan Daihannya masih bergerak naik turun menenangkannya di punggung. Membuat kepala peraknya tertunduk, membiarkan poni membentuk bayang menyembunyikan samudera. "Tuanku hanya ingin tidak ada korban dari pihak pelajar. Aku gagal melaksanakan tugasku. Gadisku pasti kecewa." Satu derai air matanya terlihat mengalir ke pipi tanpa suara. Sesak Chougi menahan sesuatu yang membuat matanya memanas, tanpa suara; hanya membiarkan pipinya basah oleh sesuatu yang hangat turun deras dari samudera kepunyaan.

Bukankah menahan tangis itu sulit?

Silver memberikan senyum. Mengajak kaki untuk melangkah mendekat, meraih sapu tangan berwarna biru dalam saku almamaternya lalu menjarembakannya untuk Chougi.

"Kesatria yang tangguh adalah kesatria yang tak malu mengeluarkan air mata untuk seseorang yang dicintainya. Kau begitu mencintainya."

Kedua manik itu kembali bertemu dalam hening, tetapi bedanya, iris Chougi sudah basah, sedangkan Silver memberi pandangan lembut dan hangat menutur sebuah kalimat yang diisi asa untuk menyambut hari esok yang lebih baik. "Tuanmu begitu mencintai pejuang sejarahnya. Percayalah. Sebek akan membantu tuanmu sebagai temannya. Dan kita semua akan bisa merasakan hangatnya sang surya dan birunya rembulan esok hari, tuan...?"

"Chougi. Yamanbagiri... Chougi."

"Tuan Chougi." Silver mengulang. "Harapan sudah dinyalakan."

[NIGHT RAVEN COLLEGE|COLISEUM FIELD.]

Iris hijau kekuningan miliknya mencari. Hitam masih menyelimuti bumantara, tetapi Sebek yakin di waktu ini, sang baskara harus kembali bertugas. Entahlah bulan mati atau tidak, tetapi sebagai ras setengah peri, Sebek masih mampu merasakan kekuatan sang chandra yang menjadi kekuatan utama ras peri mengalir dalam tubuhnya—walau tak banyak.

Gadis itu tadi sengaja dibenturkan tepat ke kubah yang ia buat. Sebek melihat sekeliling, daratan sekolah nyaris hancur sempurna. Sebek sendiri tahu, kemampuan kesatria pun bergantung pada bulan—dan setiap menit yang berlalu, kekuatan para kesatria yang menunggu tuan mereka untuk kembali itupun kian melemah.

Hidup mereka dalam bahaya apabila tuan mereka tewas di tempat ini.

"Sukar untukku mencari di tempat gelap seperti ini." Kakinya bergegas ke sana ke mari. "Namun tidak untukku. Aku adalah makhluk malam seperti tuanku. Ini. Sama sekali. Tidak. Sulit. Untukku."

Dalam setiap embusan napas yang mengudara menjadi uap, ada satu daksa yang tergolek di seberangnya. Sebek berlari memastikan, dan berharap kalau yang ia lihat ini merupakan sebuah kesalahan. Namun sayang, yang ia dapatkan adalah sesuatu yang cukup menyakitkan. Dari pelipis, merah mewarna kulit. Mulut sedikit terbuka dengan darah yang mengering di masing-masing sudut. Kelopak mata dengan sempurna menutup iris viridian milikmu. Dengan kehati-hatian, Sebek membersihkan darah yang ia mampu untuk gapai. Almamaternya di lepas, ukurannya yang cukup lebar mampu menutupi sebagian besar tubuhmu yang mungil. Beberapa tulang milikmu retak, di antaranya; tulang belikat; tempurung lutut; tulang kering; dan tulang pipi.

Beberapa informasi yang Sebek dapatkan dari pembicaraan kesatriamu, kau tidak ahli dalam pertarungan jarak dekat, dan Sebek mengambil kesimpulan kalau lawannya ini menggunakan kelemahanmu untuk membuatmu tak sadarkan diri.

"Satu-satunya peluang untuk mengalahkannya adalah dengan beladiri." Sebek menggulung lengannya. "Tak perlu bersembunyi di balik bayang. Aku tahu persis kau sedang mengawasiku."

"Ara, ketahuan." pecutannya datang dan membelah daratan tepat di hadapan Sebek. Namun pemuda itu tidak bergerak sama sekali. Kuda-kudanya terbentuk mantap menahan gertakan sebelum sosok hitam itu menyerangnya dengan sebuah hantaman yang berhasil ia tahan.

"Kau menyerang langsung? Besar juga nyalimu." Sebek mengambil kepalan tangannya, dan memelintir sosok hitam itu sampai ia berhasil menendangnya.

Sosok itu terpental sejauh satu setengah meter. Dan Sebek tidak membuang waktu untuk menunggu serangan selanjutnya. Hal yang dilakukannya adalah berlari menghampiri sosok yang tersungkur, berniat menghakhiri semuanya dengan bilah katana yang ia ambil darimu yang tergeletak. Namun saat ia hendak menuntaskan niatnya, sosok itu menghilang. Dan sialnya, keawasan Sebek lengah sebelum ia menyadari sosok itu di berada di belakangnya. Menendang ke sisi kiri hingga Sebek yang kini terlempar sejauh dua meter hingga punggungnya membentur reruntuhan besar.

"Boleh juga." Ucapnya mengusap mulut yang mengeluarkan darah akibat benturan.

Sosok itu kembali datang, kini dengan nafsu tinggi untuk menyerang. Adu tangan dan gerakan menghindar dari masing-masing pihak dilakukan. Tendangan dan pukulan tak lupa dilayangkan untuk membuat satu pihak terpojok. Dan Sebek mencoba bertahan di tengah gempuran membabi buta yang dilakukan oleh bayangan yang masih menyerang tangguh.

"Mengapa kau membelanya? Mengapa kau membela gadis—yang bahkan tak kau kenali?"

Tangan melayangkan pukulan, dan Sebek menahannya. Kini wajah mereka saling berdekatan dan saling memandang tajam. Bayangan hitam itu memandang rendah pada sosok pemuda di hadapannya, sementara Sebek memandang jijik pada figur tak berbentuk yang ia lawan. Bagaimana mendeskripsikannya? Hitam legam, dengan mata yang gelap dan gelombang misterius yang ia kirimkan. Jahat. Sosok ini adalah kejahatan murni yang terbentuk dari rasa benci, iri dan dengki. Sifat-sifat negatif dari seorang manusia terkumpul sempurna dalam dirinya.

"Kau tak berbentuk. Tak berwajah. Tak bernama."

Kejam sekali.

Sungguh berlawanan dengan gadis merepotkan yang selama ini ia awasi.

"Apa salahnya membantu orang yang tersesat!?" Sebek kembali melawan untuk memukul mundur. "Kau tidak tahu apa-apa! Kau hanya sosok kebencian yang digunakan oleh pihak lain untuk menghabisinya. Lantas jika tujuanmu sudah tercapai, apa kau akan merasa puas, begitu!? Apa yang kau dapatkan dari menuai sebuah dusta nantinya, huh!?" Sebek emosi betul. Perasaan kesal kini menguasai tubuhnya. Sebuah sensasi bertarung dengan tangan kosong yang baru ia rasakan ini, rupanya membanjiri gairah baru yang terpendam dari dalam dirinya. Sebek mencengkram kuat kepala si legam itu, membenturkannya ke atas tanah dengan berang. "MEMANGNYA KAU PUAS DENGAN HAL ITU, IBLIS!?"

Malleus dan Lilia rupanya mendidik Sebek dengan baik.

Saniwa palsu itu tak berkutik di atas tanah.

"Yosh! Setidaknya ini cukup untuk mengulur waktu." Sebek langsung mencarimu kembali.

Kau masih tak bergerak di permukaan tanah. Rudira membasahi pijakan dengan gencar. Kentalnya memberikan perasaan pilu bagi yang melihatnya.

"Misaki." Begitu lirih ia memanggil. Jemarinya mencoba mengusap dahimu, tak banyak yang bisa ia lakukan. Sebek belum memiliki pengalaman yang mumpuni untuk menghadapi ketidakberdayaan orang lain dengan menggunakan mantera bangsanya.

Gagal.

Ia mencoba mantera sihir bangsa Peri, tetapi hasilnya benar nihil. Baru pertama kalinya, Sebek merasa sebuah ketakutan menerjang batinnya. Persis di depan mata.

Lembutnya netra kehijauan mengiringi setiap pergerakan. Saling mengadu dahi, menggumamkan satu, dua kalimat berharap kau bangun dan meresponnya.

"Bangun. Jangan buat kesatriamu cemas. Keberadaanmu di butuhkan dalam buana cermin ini."

Akina-sama.

Agaknya kau mendengar suara lembut itu.

Akina-sama.

Suara itu terdengar kembali.

Putih mengelilingimu sejauh mata memandang. Berdiri di tengah ruang kosong tanpa siapapun yang mendampingi. Menelaah apa yang sedang terjadi, sebelum tanganmu kini digenggam oleh sosok yang familiar dari belakang.

Kau memutar tumit untuk memastikannya.

Pirangnya mengalun. Senyumnya terbentuk tipis dengan kesayuan netra violetnya.

"Koryuu...?"

"Iya."

Disusul sebuah rangkulan dari belakang yang membuatmu mengalihkan atensi. Figur manis dengan jubah asagi Shinsengumi yang mengalun. Lembut memandangmu penuh rindu. Senyumnya terpancar cerah bagai asa yang menaungi fajar.

"Yasusada...?"

Aruji!!

Kini suara lain hadir. Dari suaranya, kau hapal betul siapa yang memiliki intonasi ceria seperti itu.

"Mutsunokami!"

Ia memelukmu. Menenggelamkanmu dalam dada bidangnya. Mendekap penuh rindu dengan hangat yang saling mengikat tanpa jarak memisahkan. Tanpa disadari, kini ia melepas pelukannya. Figur secerah matahari itu memandangmu dalam. Terpancar iris emas tua-nya menilaimu dalam balutan rasa yang tidak pernah ia pikirkan. Aba-aba datang darinya untukmu memutar tumit. Puluhan Touken Danshi kini mengelilingimu dengan wajah setengah pilu.

"Oh, begitu, ya?" Kau menyadari dengan cepat mengapa mereka menunjukkan wajah yang tak pernah mereka lakukan sebelumnya padamu. Mereka ini—kesatriamu yang gugur. Menunggu untuk dijemput kembali.

Kembalilah, Aruji.

Kini, seorang Kasen Kanesada dan Hachisuka Kotetsu meraih kedua telapak tangan. Mengikatnya dalam kepalan saat surai keunguan mulai memudar dalam jarak pandang.

Bernapaslah, dan bangun! Selesaikan ini sebagai seorang Saniwa! Kami mendoakanmu!

Perintah nyata dari Kasen Kanesada dan Hachisuka Kotetsu membuatmu terlonjak. Rasanya seperti terlempar dari tempat yang begitu jauh, lalu menghantam dengan keras. Viridian melotot sempurna saat mengetahui siapa yang kini hadir. Melebar netranya seperti melihat sebuah harapan baru.

"Misaki!! Misaki!! Kau lihat aku!?"

"Sebek-kun! Kepalamu berdarah!"

"Apa? Hal seperti itu kau khawatirkan sekarang!?" Sebek menjerit dan mencoba mengingat apa tujuannya untuk membuatmu siuman. "Baik, lupakan saja. Kau masih mampu untuk bangun, 'kan? Bangunlah, dan akhiri semua ini dengan tanganmu sebagai seorang Saniwa!"

Belum sempat kau merespon seperti apa, Sebek kembali diserang. Tubuhnya membentur kepingan pilar hingga retak dan hancur.

"Sebek-kun!!"

Seluruh tubuhnya mulai merasakan dampak dari benturan dan hantaman sana-sini yang ia terima dan mencoba untuk melawan. Kini, sosok itu memaksanya untuk beradu pandang. Separuh wajahnya telah hancur—yang Sebek duga akibat benturan yang ia lakukan sebelumnya—tetapi, seringai itu terbentuk semakin lebar dan cukup menyeramkan. Lebih seramnya lagi, senyum itu nyaris melewati ambang bibir yang semestinya.

Kepala itu mulai teleng dengan sorot mata yang tampak horor untuk ditengok.

"Kau melihat wajahku, maka hidupmu akan usai!"

Sebelum sosok itu mulai menghacurkan kepala pemuda hijau di hadapannya, sebuah bilah telah menusuk dadanya dari belakang dan bilah itu terus menusuk sampai darah hitamnya menetes di wajah Sebek. Tenagamu yang tersisa digunakan untuk membawa katana Mikazuki membelah dada hingga kepalanya.

Saat tubuh legam itu terpaku saat sosok yang Sebek kenal berdiri di belakangnya. Napasnya terlihat lega dengan beban di pundak yang turut menguap seiring dengan gelap yang sedikit demi sedikit memudar. Kubah biru yang menjadi tameng untuk orang-orang di dalamnya kini lebur seiring dengan pembuatnya yang kembali terjatuh, dan menyerahkan diri pada gravitasi dan lengan Sebek menahan tubuh itu untuk tidak membentur permukaan tanah.

Kunang-kunang mengitari. Malleus dan Lilia datang lebih awal ketimbang yang lain. Disusul dengan para Touken Danshi serta Great Seven yang sama-sama menunjukkan wajah lega atas sesuatu yang nyaris saja membuat jantung mereka keluar dari mulut.

"Kau tampak kacau." Malleus hanya berkomentar tentang apa yang ia lihat. "Terima kasih atas kenekatanmu."

Sebek nyaris menjerit mendengar apresiasi dari tuannya. Maka, hal yang ia lakukan adalah menahan hal itu terjadi dan hanya mengeluarkan suara kecilnya dengan mata yang berbinar. "Maaf menunjukkan rupa seperti ini padamu, Waka-sama."

"Kau sudah berusaha. Ini bagus sekali, 'kan? Malleus."

Malleus tersenyum enigmatik.

"Akina! Akina!" Sayup dari Hasebe terdengar panik.

Lain dengan Mikazuki yang menerobos arah berlawanan. Ia—harus memastikan dengan mata kepala sendiri bahwa sosok yang hitam itu benar mati. Bulan sabitnya memandang, terus memerhatikan sampai gumpalan daging itu menguap.

Mikazuki menyarungkan kembali katana miliknya.

"Masih hidup, tetapi napasnya sangat lemah. Kukembalikan Nona kalian." Sebek dengan dewasa menyerahkan seorang gadis itu pada sosok Kashuu Kiyomitsu. Almamater hitam masih membalut tubuh mungilnya, dan dari yang Kashuu lihat, hanya Sebek yang tidak memakai benda itu. Berarti benda ini milik...,

"Terima kasih. Terima kasih banyak."

Dikira, semua sudah usai.

Namun ada sebuah pusaran lain datang dari langit.

Dahi Malleus mengerut kurang mengenakkan dengan alis-alis yang menukik membentuk garis lurus di atas mata. Sorot matanya tajam bak awas dengan kehadiran dari sosok-sosok yang tak diundang.

Keenam orang itu menampakkan diri dengan wajah yang ditutup oleh topeng-topeng. Pakaiannya serba hitam, tetapi dengan aksesori yang menunjukkan bahwa mereka memiliki sebuah peran penting dalam dimensi ini. Serta satu kepala yang tak mengenakan penutup wajah. Surainya putih pendek dan mata yang hitam dengan wajah yang tak menampakkan senyum. Kulitnya pucat, kontras dengan pakaian gelap yang ia kenakan. Membawa satu tongkat sihir dengan pita merah maroon dan bel di tengahnya, ia mementungkan tongkat dengan keras sampai suara loncengnya bergema.

Kepala Departemen Sihir termuda sepanjang masa; Rollo Flamme kini hadir.

Leona Kingscholar yang berasal keluarga kerajaan mendekati Malleus saat tahu siapa orang-orang itu. Yang datang tanpa permisi, mengirim bunga spider lily jingga yang mengikat yang tengah dililit kembali oleh duri hitam dari sang Peri; mencegah bunga yang Touken Danshi sungguh familiar itu bertemu kulit subtil mereka.

"Departemen Sihir, ya?"

Malleus membenarkan. "Ya..." Sang Raja mendengus malas. "Flamme dan pengikutnya kini hadir, Kingscholar."

Daihannya Nagamitsu menghela napas panjang. Agaknya, problematika baru telah lahir, dan akan membuat semua rekan-rekannya termasuk sang tuan menunda mereka untuk pulang lebih awal. "Demi Tujuh Dewa Keberuntungan. Demi Tujuh Pengawas dan Penjaga Sejarah, tak bisakah kami semua pulang dengan damai?"

date of update: March 07, 2023,
by; aoiLilac.

revision: March 24, 2023.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top