37.

A Touken Ranbu ft Twisted Wonderland fanfiction,

-Lueur-

By; aoiLilac.

Credit; DMM, Nitro+. And Disney- Twisted Wonderland, Aniplex, Yana Toboso.

Chapter Thirty-seven: Kalogakathia.

Magis meliputi burung api yang menyambangi tiap-tiap asrama dalam Night Raven College melalui cermin penghubung; memberi sebuah instruksi untuk masing-masing akademi agar "meliburkan" pelajar yang ada di sana pun tiba di tangan kepala asrama yang datang dari Kepala Sekolah; berkas salinan yang seketika diturunkan dari pihak otoritas tertinggi yang mengatur sihir dalam buana cermin. Rembulan mendadak mengalami perubahan warna, pihak Departemen Sihir mengeluarkan taklimat untuk seluruh institusi pemerintah sihir lain, sekolah sihir dan lembaga-lembaga lain untuk tidak sembarangan menggunakan kekuatan mereka saat ini.

Mendadak, dunia cermin rusuh.

Tiada aba-aba, Departemen Sihir langsung menetapkan kondisi darurat untuk sekarang.

Kau mengusap tengkuk, menyisir atensi sana sini selepas mengoper informasi yang Chougi berikan padamu untuk didengar oleh Kepala Sekolah. Memintanya untuk jangan ikut campur apapun yang terjadi—sekaligus meminta maaf lebih dulu karena kemungkinan besar sekolah akan hancur akibat serangan yang akan datang.

"Tolong segel cermin yang terhubung dengan setiap asrama. Tiada yang boleh menerobosnya!" Pintamu tegas pada staf sekolah.

Keempat orang dewasa itu mengangguk paham setelah menerima penjabaran kilat yang kau sampaikan. Memacu langkah tanpa alas kaki menuju tempat yang kau pinjam—jika itu kata yang tepat—untuk meladeni Jikan Shukogun di coliseum, Sebek melambaikan pergelangan mengaba untuk kau mendekat. Di pinggangnya, terpasang sebuah sabuk untuk sarung pedang nan tipis. Lilia dan Silver pun sama, katanya, itu pedang khas Lembah Duri.

"Silver-kun, tetapi Anda pingsan tadi, 'kan?" Rematan di pergelangan ia terima dari jemarimu untuk memastikan keadaannya. Pasalnya, viridianmu menangkap perubahan wajah Silver yang kini satu tingkat lebih pucat ketimbang biasanya. Kau tahu ia cukup kuat—dari apa yang kau lihat beberapa kali tentang tekadnya—tetapi jika bulan memengaruhi tingkat sihir pelajar di sini, benar-benar bisa teruk akibatnya. Tekadnya tetap kuat namun kau tidak bisa memulihkan kemampuannya.

"Tak apa, Nona." Akunya. "Jangan pikirkan aku, apapun yang terjadi, Nona harus tetap hidup sampai kesatria-kesatria Nona tiba."

"Tapi kupikir dua sampai tiga hari dari aku mampir ke asrama kosong itu!!" Vil menjerit. Dalam pelukannya, sebuah buku tebal yang menjadi bukti bahwa ia merupakan Great Seven di akademi itu tampak sudah dibuka dari segelnya, pertanda siap dipakai. Detik berikutnya, kau menerima permintaan maaf yang ia lontarkan sebab memekik tanpa sadar. Kau masih sempat tertawa ramah menanggapinya.

"Saya pikir juga seperti itu, Vil-kun. Saya telah memerkirakan hal ini jauh-jauh hari, dan benar saja perkiraan Saya meleset. Maafkan Saya."

"Tidak ada yang salah." Tongkat sihir diputar, Leona bergabung entah habis dari mana. "Tidak ada yang menginginkan hal ini terjadi. Termasuk kadal di sana yang memandang dirgantara kosong."

"Aku tidak tuli, Kingscholar."

"Kupikir telinga runcingmu hanya pajangan."

"Selapas ini, kita berduel."

"Tentu."

"Kenapa di-acc, sih, Leona!?" Cebik Vil. "Bagaimana kalau Departemen Sihir datang sebelum kalian berdua duel satu lawan satu!?"

Terdengar sayup Lilia yang tertawa di sana. Peri mungil itu sama sekali tidak menampakkan raut wajah tegang, malah sebaliknya; enjoy seperti menunggu kehadiran "tamu" istimewa. "Aku suka semangat kalian."

"Tuan Lilia, kurasa ini bukan hal yang patut ditertawakan." Sebek berkata jujur dengan apa yang ia pikirkan.

Persis setelah Sebek berkata demikian, pijakan mulai bergetar hebat menghilangkan keseimbangan. Penyihir muda di sana memertemukan tempurung kakinya dan menempelkan telapak tangan ke bumi seperti hendak melakukan lari jarak jauh agar tubuh tak terjatuh. Cambuk diraih, kau mengepal erat pada pegangannya. Gemuruh bersahutan; memandang cakrawala, beberapa palang kemerahan di langit mulai terbuka membawa serta merta hujaman bilah kotor dengan sisi lidah api. Perlahan, bilah-bilah di sana berubah menjadi lawan yang kau nantikan.

Leona santai mendekati, meluruskan kepala memandang lebih jelas. "Itu, ya?"

"Iya, Leona-kun." Balasmu. Bagusnya masih Jikan Shukogun. Kalau Kebiishi, akan rumit urusannya. Manik daun milikmu menangkap sebuah pergerakan, mereka lari, mengincar sosokmu yang berdiri tepat di tengah-tengah seakan siap menjumpa kematian. "Mereka datang!!"

Pergelangan mengayun, hentakan cambuk kau lakukan mantap. Melawan seluruh rasa nyeri yang ada, kaki mulai mendekati satu persatu bola di sana yang siap menghabisimu. Suara bilah yang bertemu bilah lain mulai terjamah gendang telinga, itu tandanya, ketiga pelajar yang menggunakan alat pertahanan diri itu juga sudah disibukkan dengan kegiatan mereka sendiri; melawan sebuah pasukan yang sama sekali belum pernah mereka lihat sepanjang hidup.

Malleus Draconia katanya. Ia sudah menghentikan waktu untuk mencegah Departemen Sihir datang lebih cepat dan mengelabui seluruh pelajar dalam Night Raven College saat melirik jam nantinya. Kau mengukir separuh asa pada tindakannya itu; bahwa sihirnya mampu mengurangi waktu ketibaan pasukan sialan yang kini tengah ditangani pelajar yang minimnya pengalaman di medan pertempuran. Apalagi yang mereka hadapi ini sejatinya bukanlah 'makhluk hidup'. Mereka datang dari bhama murni Penghancur Sejarah yang hendak menghapus satu Saniwa di sini. Namun tampaknya, harapanmu perlahan berubah menjadi serdak mengetahui bahwa pasukan ini datang lebih cepat dari yang kau perkirakan. Ya, tidak salah, sih. Tidak salah juga kalau mereka dibilang "Pasukan Pembalik Waktu".

"Tak akan kubiarkan!!" Sebek terdengar geram saat pedangnya beradu dengan bilah Uchigatana musuh yang masih sempat memamerkan taring-taringnya. Pedang ia dorong sekuat tenaga, sampai musuh terjatuh dan Sebek memanfaatkan keadaan untuk memisahkan tangan dan kaki makhluk yang ia anggap tak jelas rupanya ini.

"Bagus, Sebek!!" Lilia mengapresiasi. "Aku juga tidak akan kalah!" Peri mungil itu pun sama. Memanfaatkan tubuhnya yang kecil itu, ia menjadikan tubuh besar lawannya sebagai pijakan untuk dirinya mengayunkan pedang. Benar-benar kecil-kecil cabai rawit, membuktikan siapa Lilia Vanrouge yang sesungguhnya. Manik itu terlihat santai, tetapi sorotnya tak bisa dibohongi; determinasi level maksimal saat vitalitasnya tak lagi muda. Ia yang mengaku pasal usia di hari sebelumnya.

Kolosium terpantau hancur. Leona Kingscholar sengaja menggiring beberapa musuh ke tempat lain agar berjumpa dengan King's Roar miliknya. Vil Schoenheit terlihat mengutuk beberapa Jikan Shukogun tipe tantou yang mengejar dengan penetral hitam, selepasnya, Silver yang membantai tengkorak mengapung itu. Malleus Draconia asyik sendiri dengan duri hitam yang ia lahirkan dari tongkatnya, membelenggu tachi yang mempersulitnya lalu mengobarkan api hijau yang menarik perhatianmu untuk sesaat. Hoo... hebat. Batinmu.

Portal langit terus-terusan terbuka, mengirim bala bantuan yang datang bertubi tiada habisnya. Kau mulai khawatir dengan anak-anak itu—bulan semakin bergemuruh saat cambuk melilit dan membelah Jikan Shukogun sekali hempas. Cambuk suci ini mampu membelah daratan jika kau benar-benar berniat mengakhiri ini. Namun menimang bahwa kau belum berjumpa yang palsu, kau juga harus menyimpan tenaga dan berusaha mencegah korban yang datang dari akademi.

Keadaan mulai terdesak, musuh benar-benar semakin banyak datang. Tujuh orang menghadapi makhluk-makhluk ini saat tiada tanda dari kesatriamu akan turun ke bumi. Silver terbentur. Punggungnya bertemu dengan pecahan pilar batu reruntuhan kolosium, Lilia meneriaki namanya. Pemuda aurora nyaris terbelah sebab pedangnya terlempar cukup jauh dari tempatnya berpijak. Malleus masih sibuk menahan empat ootachi yang menyerbunya. Leona tak terlihat dekat sini. Vil juga tak kalah dibutakan dengan wakizashi yang terus menyerangnya, ia bertahan dengan sihir gelap yang ia miliki. Sebek tak engeh dengan hal yang menimpa "saudara"nya sebab ia sendiri menangani chuuwakizashi yang tahu-tahu datang menyerang. Tidak—tidak akan sempat kalau kau mengayunkan cambuk.

Agaknya, tak di sini tak di kayangan, kau selalu kekurangan jumlah untuk menghapus kejahatan.

"Oasis Maker!!"

Tetiba, volume besar air menyapu bersih beberapa bilah yang nyaris menyerang Silver. Kau berjengit, nyaris jatuh saat kaki berhenti untuk menghampiri. Di sisi lain, api oranye dan biru terlihat menyembur beberapa tipe Jikan Shukogun yang menghadang. Melirik sudut lain, tertangkap retinamu bahwa es membekukan tiga sampai empat Uchigatana—dan sebuah hantaman menghancurkannya detik itu juga sampai pecah.

Silver menganga melihat siapa yang datang. "KALIM!?"

"Kenapa kau tidak bilang ini padaku, Silver!?" Silver sesak didekap erat olehnya. "Kita 'kan sahabat!! Kenapa kau tak bilang!? Aku memang ceroboh, tetapi aku bisa membantumu!!"

"Ta—tapi!!"

"Kau sakit akibat bulan, 'kan? Sama. Kita semua juga terdesak." Suara ini lain. Manik auroranya tertuju pada sosok lain yang bergabung. Surainya merah menyala, wajahnya menampakkan ekspresi percaya tidak percaya dengan kegaduhan ini. Di belakang sosok itu, dua figur lain bergabung. Silver semakin tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Riddle? Azul? Bahkan senior Idia—bagaimana mungkin...?"

"Ketibaanku di sini bukan sebagai Idia Shroud, tetapi sebagai kepala S.T.Y.X yang mengawasi kartu SSR di Night Raven College." Idia membalas jutek. "Tak mau aku berurusan dengan kartu SSR di tempat ini lagi. Tidak—tidak dengan laporan berengsek itu."

"Sempurna sekali, Idia-san. Aku juga tidak ingin menginjakkan kaki ke tempatmu lagi, maaf." Azul mengangkat bahunya acuh. "Aku curiga dengan gemuruh yang tak berhenti datang. Terlebih, senior Vil tak bisa kuhubungi. Aku memutuskan untuk menghancurkan segel cermin itu dengan kekuatanku yang semakin menipis. Dan tak kusangka, bulan benar merah. Luar biasa."

Kau speechless mendengar ceritanya. "Jadi, Anda datang ke sini karena...?"

"Penasaran." Manik biru di balik kacamatanya itu memandang penuh selidik. "Aku, Azul Ashengrotto. Kamu juga kunci dari semua yang terjadi, 'kan? Nona?"

"Maafkan Saya." Ujarmu penuh penyesalan. "Sungguh, Saya tidak ingin keadaan ini kian teruk."

"Tidak... Kami juga minta maaf karena tidak bertanya siapa kamu sebenarnya." Intonasi ringan dari Riddle mengalihkanmu untuk sesaat. "Aku Riddle Roseheart—ketua komite pelajar di Night Raven College. Maaf karena lalai tidak pernah ingin mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya. Harusnya, aku memiliki kewajiban untuk bertanya ini itu padamu, Nona. Namun aku terlalu percaya pada Sebek yang tak ingin memberi tahu siapa dirimu sebenarnya." Kau tergagap melihat kepala merah yang tertunduk. "Maaf karena aku mengabaikanmu. Aku merasa malu, sungguh. Maafkan aku."

"Ti—maksudku—Saya—yang memang tidak berniat memberi tahu identitas Saya."

"MENUNDUK!!"

Yang ada di situ menunduk, sedangkan kau reflek mengayunkan cambuk, memadukan serangan dengan Lilia yang sadar akan kelengahan anak-anak muda itu. "Jangan ngobrol dulu!!" Suaranya bergertar, menegur keras. "Musuh masih belum berhenti memanggil bala bantuan, kita harus bertahan sampai kesatria kayangan itu tiba—sihir semakin terkuras! Cepat, buat pertahanan dari elemen kalian masing-masing untuk mengalahkan yang besar itu!"

"Yang besar—Lilia-kun, maksudnya!?"

"Itu—yang itu, Nona! Portal baru membawa mereka ke sini!"

Kau mengalihkan intensi ke telunjuk mungil yang diarahkan oleh pergelangannya.

Kebishii kini mulai turun berdatangan. Silih berganti dengan Jikan Shukogun yang tak berhenti mengirim bantuan. Kunai-kunai melayang, Silver kembali meraih pedangnya, membentuk kuda-kuda siap menyambung kembali aktivitas berat yang sempat terpotong. "Night Raven College, maju!"

Kau mulai mendesis.

Ada sengatan elektron yang membuatmu sadar kalau anak-anak di sini tidak akan bertahan lebih lama jika yang datang itu terus-terusan makhluk biru yang tiga kali lebih besar dari mereka sendiri. Sihir-sihir itu sudah mencapai batas, dan lagi, kau merasa ada satu dari penyihir muda di sana agak kurang fit. Entah yang mana—tetapi apabila terus dipaksakan begini, ia bisa pingsan karena kelelahan dan sihir yang tak lagi menjadi tamengnya.

Bibir bawah digigit—sampai kau menyadari adanya tiga sampai empat Kebishii yang mendekat. Ini bukan masalah. Sekali hempas, mereka akan terbelah. Namun itu pengalihan, ada yang lain yang datang dari titik di mana kau tidak menaruh perhatian. Dari sudut gelap, sebuah bilah datang hendak menghabisimu dalam sekali penggal, hendak mengayun cambuk, tetapi keberuntungan perlahan menguap darimu. Kaki tetiba lemas dengan tempurung bertemu pijakan, sesak datang tanpa permisi.

Kau yang mendadak jadi sasaran empuk itu tak menyadari adanya musuh yang datang dari berbagai arah. Riddle menyadarinya—ia menyadari itu. "Sebek!! Nona—Nona itu!!"

Si surai hijau langsung menoleh. Wajahnya telah kotor sempurna oleh darah hitam pekat yang terciprat. Melihatmu tersungkur mendadak membuat degup jantungnya berdebar bukan main. Sebuah ancaman baru hadir saat yang lain masih sibuk sendiri dengan kemampuan magis yang berada di ambang batas, kau malah ikut terdesak sebab tidak mendapat sokongan maksimal dari benda yang melingkar di jemari telunjuk. Terlebih, memang dari awal kau tidak sepenuhnya sehat, lalu dipaksa bertarung saat kekuatan dari cincin giok ini kurang memberi perlindungan untukmu.

Ini bukan di Takamagahara atau lintas waktu sejarah yang sering kau lalui.

Ini... lain.

Butuh waktu untukmu menyadari kalau ini dunia pararel—buana cermin dengan sihir sebagai daya hidup; Twisted Wonderland. Ini—gawat—kakimu mati rasa.

"MISAKI!!"

"AAAARUJIIIIIII!!!"

Sayup suara itu datang bersamaan. Namun, ada satu kejanggalan. Siapa yang memanggil dengan sebutan Aruji saat tanda-tanda kesatria belum muncul!?

"Eh—siapa yang panggil?" Lirik sana sini, bulu putih mengitari disusul dengan petal merah jambu yang tiba semakin banyak. Sebelum kau menyadarinya, kirana keemasan melingkar membentuk sabit; lidah api dengan warna merah jambu turut membuat lingkar; pendar putih perlahan berubah menjadi sosok-sosok yang memunggungimu dalam satu waktu, mengayunkan katana, musuh yang nyaris memisahkan kepalamu dengan tubuhmu itu hancur tak bersisa.

"KODOMO-TACHI!? KAPAN DATANGNYA!?"

Sebek berhenti berlari saat "tahu" siapa-siapa yang kini tiba. Perhatiannya teralihkan pada sosok-sosok mungil nan kenes itu lalu lalang untuk membantai makhluk biru besar tanpa ampun.

"Oho. Bala bantuan kita sudah datang?" Malleus menyadari adanya figur lain yang berdiri di depannya. Bersurai panjang, menyentuh pijakan. Dan lebih keren lagi, sosok kurus ini tampak begitu hebat walau dengan mata tertutup.

"Maaf kami terlambat, tuan." Lembutnya suara itu membuat Malleus sedikit terlena. Agaknya, ia sering mendengar intonasi halus ini—namun dari mana, ya? "Mari akhiri ini bersama-sama." Gundahnya tergugah.

Malleus terkekeh kecil. "Aku tidak keberatan."

Kembali padamu yang kini terlihat dikelilingi pedang dewasa. Tak terkecuali Mikazuki Munechika yang harus menahan rasa sakit melihat kondisi tuannya yang cukup mengerikan ini. Tepat di pucuk kepala, kau menerima gagang katana yang diketukan dengan geram. Disusul cubitan bertubi-tubi yang harus kau terima di pipi porselenmu mau tidak mau. Hasebe pelakunya.

"Kamu tahu, aku resah!! Gelisah!! Muram, pusing, pening. Lemah, letih, lelah, lesu, lunglai memikirkan keberadaanmu dan nasib anak-anak tanpa tuannya!!"

"Hasebe, kamu anemia?" Balasmu dengan huruf vokal yang tak begitu jelas sebab pipi masih ditarik sana sini. Sebelumnya hanya Hasebe. Namun kini Daihannya dan Tsurumaru pun tak turut ketinggalan dengan piawai mencubit pipi gadis mereka gemas. Bukan gemas dalam artian romantis, ini lain; gemas geregetan yang diselimuti hasrat rindu untuk mengejek tuannya. "Aduh sakit...." Pipi kau usap. "Sakit, ih!"

Bibir mengerucut kesal, satu tachi kini terlihat memberikan haori dan satu cincin giok lain. Ia tersenyum kecil, dari sorot matanya, kau tahu ia menyesal—merasa bersalah. Tampak gamang ekspresinya. "Maafkan Hannya hari itu." Katanya. "Aku—"

"Bukan hal yang harus dimaafkan." Kau membalas ringan, mengukir senyum mengupayakan agar wajah gundahnya hirap. "Kamu Ayahnya. Sampai kapanpun juga, kamu Ayahnya. Ini semua takdir. Susah, senang. Sedih atau bahagia, suka duka, semua yang kita jalani ini takdir, nak. Jangan begitu, kamu tidak mau dibenci Koryuu nantinya, 'kan kalau terus begini?"

Daihannya Nagamitsu bungkam tak menemukan rangkaian kalimat pembalas yang tepat. Kau tertawa kecil meninju dadanya pelan. "Katanya kuat. Cepat bantu aku di sini."

"Reuninya ditunda dulu!" Yamanbagiri Kunihiro memberi instruksi, melempar pandang ke situasi di mana belasan kesatria yang menjemputmu untuk pulang di sana sibuk mengejar musuh dan seketika menyadarkanmu betapa runyamnya situasi saat ini. "Itu—Akina-sama, nanti dimarahi di benteng saja."

"Padahal aku 'kan juga tidak ingin terlempar ke sini..." Bibir turut menggerutu dan pipi menggembung tak terima. "Maa. Baiklah."

Haori hijau daun dengan simbol '東' sudah tergantung di pundak. Semula seragam Night Raven College yang kau kenakan kini berganti dengan pakaian miko putih dan hakama yang sewarna dengan jubah. Giok yang sebelumnya menuju keruh, kini bersinar menunjukkan kirana yang meledakkan kubah biru heksagon di sekitar bangunan sekolah, kemudian luruh.

Terdengar decakan kagum dari penyihir-penyihir muda di sana saat mereka turut menyaksikan sosok-sosok pria anggun dengan pedang mereka terlihat tunduk pada sang Saniwa—sampai-sampai berhenti melawan menyaksikan sekumpulan makhluk-makhluk yang memancarkan pendar putih lagi harum semerbak itu tiba di tanah sihir. Sebek menganga. Dahsyat betul gadis ini... pikirnya.

"Turunkan perintahmu, Aruji." Dengan tenang sang bulan meminta.

Mikazuki Munechika; Tsurumaru Kuninaga; Daihannya Nagamitsu; Heshikiri Hasebe; dan Yamanbagiri Kunihiro berlutut menunggu titah tak terbatas dari sang tuan. "Lindungi sekolah ini, dan hentikan Jikan Shukogun. Kita kembalikan beningnya warna bulan."

Seringai terbentuk jelas menggambarkan determinasi yang siap meledak.

"Bergerak, Touken Danshi!"

"Haik, Akina-sama!"

Kecepatan suara, tekanan yang dibuat dari kaki-kaki mereka kembali menimbulkan retak dengan keping tanah yang sedikit melayang. Irismu mengikuti setiap pergerakan dan perlawanan yang dilakukan oleh kesatria-kesatria terbaik ini sekaligus bergerak sana-sini tak henti melecut. Namun ada yang turut memerhatikan segalanya. Great Seven tidak bisa menerima mentah-mentah bala bantuan dari 'kesatria' yang baru saja tiba kehadirannya. Datang tak terlihat, tahu-tahu mengirim jutaan kelopak merah jambu, lalu bergerilya menyerokkan kalimat-kalimat tertentu yang mengobarkan semangat.

Memang misterius sekali orang-orang ini... batin tak terucap, lisan memilih diam.

"Sihirku—agak terkuras. Namun masih tersisa sedikit." Vil menarik poni, menghela napas singkat sebelum ia turut mengubah pakaiannya dengan sihir. Pakaian khas Pomefiore dengan mahkota di atas kepalanya.

"Sebenarnya aku malas, sih. Namun, bersanding dengan kesatria asli adalah hal yang langka." Leona Kingscholar bersanding dengan Vil—sekali lagi. "Ayo maju, Vil!"

"Sudah kukatakan jangan memerintahku!"

"Benar." Riddle mengatur napas. "Si-sihirku juga tak lagi banyak. Namun aku harus menebus kesalahanku untuk Nona itu."

"Lah, kalian hendak bersaing? Gzzzz..." Idia memutar bola matanya malas sebelum ia sadar kalau Azul menariknya bergabung menduduki magic carpet milik Kalim.

Jubah putih Riddle Rosehart mengembang saat tongkat sihir menyemburkan api. Di atas magic carpet, Kalim al-Asim, Azul Ashengrotto, dan Idia Shroud turut mempersiapkan segala yang terbaik untuk malam ini. Mereka bahkan tidak pernah berpikir kalau situasi seperti perang ini akan benar-benar terjadi.

Gemuruh langit terdengar menggelegar saat petir kehijauan menyambar satu Kebiishi yang hendak menyerang titik buta Mikazuki Munechika saat sang Tenka Goken masih direpotkan dengan enam musuh sekaligus tipe Tachi Kebiishi. Sialan memang.

"Hoho, sepertinya aku pernah melihatmu."

Dua punggung yang saling bertemu setelah Mikazuki menebas musuhnya dalam sekali ayunan pedang. Malleus menyambar api hijau tepat ke arah Ootachi yang hendak menyerangnya, menarik napas dan membuangnya.

"Aku pun memiliki perasaan yang sama," Peri malam membalas tenang. "Kau selalu mengikutinya."

"Ah-hahaha." Jumawa betul Mikazuki tertawa. "Sebab gadis itu merupakan kekasihku. Maa, lupakan. Apa kau ingin meminjamkan sedikit tenagamu untuk orang tua ini?"

Malleus mendengus geli menahan tawa, agaknya, cocok dengan kesatria yang ini. "Tidak masalah. Hitung-hitung sebagai hadiah perkenalan."

"Ha-ha-ha, yokikana yokikana."

Di sisi lain, iris ruby sempat bertemu dengan sepasang amethyst jernih. Amber emas bertemu dengan iris hijau saling melempar senyum tipis bersamaan dengan Daihannya yang mendorong punggung Vil untuk mencegah adanya luka fatal yang tidak patut ia dapatkan—pasalnya, buku Vil sudah kehilangan daya magis; kristal fluorite miliknya mati. Sedang Shokudaikiri dengan Leona masing-masing saling memadukan serangan tak terduga sampai ledakan timbul. Shokudaikiri tampaknya mengantungi beberapa peledak berwujud bunga sakura dari Takamagahara.

"Aku pernah melihatmu." Leona berkata lebih dulu pada Shokudaikiri. "Kau yang berada di hutan itu. Tidak salah lagi."

Lihat di mana? Osafune itu tertawa kikuk karena posisi dan pikirannya yang tidak sinkron, tetapi ia juga harus tetap bersikap tenang saat isi kepala turut berkecamuk bagai keadaan ini. "Maaf atas kekacauan yang melanda di sini."

"Tidak ada yang bisa disalahkan." Timpal sang Pangeran. "Ini juga merupakan bagian dari kehidupan penyihir. Akan sangat repot jika bulan benar-benar mati."

"Maaf—maaf! Aku tidak bermaksud mendorongmu sampai jatuh!"

Vil menggapai uluran tangan lain. Sosok semampai yang membantunya untuk berdiri ini benar-benar memiliki ambu yang menyengat sampai ia mabuk sendiri. "Terima kasih."

"Gzzz." Idia menghela napas parau. Pasalnya elemen api serta serbuan angin dari Azul dan Kalim secara bersamaan itu tidak cukup tangguh untuk merobohkan satu kebiishi yang mengganggu atap kubah botanical garden yang tak jauh dari coliseum, Azul mendesis melihat kristal sihirnya yang tak lagi hidup.

"Ah! Kalim-san, arahkan pada mereka! Si kecil biru dan merah di sana!!"

Permata merah Kalim turut mengarah pada sesuatu yang ditunjuk oleh Azul. Tanpa bertanya apapun lagi, karpet terbangnya dengan cepat melejit ke arah Taikogane Sadamune yang terlihat membantu Aizen Kunitoshi untuk berdiri.

"Naik!!"

Kedua bocah berbeda warna surai itu cukup dikejutkan dengan dua tangan terulur dari Kalim dan Azul yang meminta mereka untuk naik. Dari raut wajah Idia, bisa dinilai kalau keduanya sendiri agak panik saat melihat sosok Kebiishi itu berhasil membuat kubahnya retak. "Cepat!!"

"Ayo, Aizen!! Kamu masih sanggup membantuku, 'kan!?"

"Jangan bercanda." Semangat menggelora ia membalas. "Festival dalam dimensi orang belum selesai! Ayo kita bantai makhluk itu bersama!!"

Lagi, karpet menuju sosok yang akan menemui ajalnya. Dari sisi lain yang kau perhatikan, Azul Ashengrotto dengan jelas mampu melihat senyum bangga yang terbit di bibirmu saat menyaksikan sendiri kemampuan anak-anak ajaib ini.

"Jangan ganggu—"

"DIMENSI LAIN!!"

Kebiishi itu lenyap terbelah menjadi empat bagian. Dipastikan Idia nyaris menjerit kagum dan hanya terganti dengan sebuah bisikan yang tak akan terdengar siapapun kecuali dirinya sendiri. "Hebat..."

"Ini yang terakhir, Tsurumaru-dono."

"Betul!!" Iris emas Tsurumaru seketika tertuju pada Riddle Roseheart yang tengah susah payah mengatur napas sebelum lututnya bertemu tanah.

"O-oi. Si merah ini, apa kau baik-baik saja?" Riddle disambut dengan wewangian luar biasa manakala Tsurumaru meminjamkan lengannya. "Kau kuat sekali. Siapa namamu, anak muda?"

Mata hitamnya membulat. Terpancar sebuah binar saat Tsurumaru memujinya seperti itu. Senyum tipis dilempar, sang bangau bingung sendiri. "Riddle. Riddle Roseheart."

"Aku Tsurumaru Kuninaga. Yang ini, Ichigo Hitofuri!" Katanya semangat sembari menunjukkan kesatria bersurai tosca dengan wajah yang lembut itu. "Em, kurasa, di sini sudah selesai, ya? Apa kau lihat di mana Bijin-ku?"

"Bijin?"

"Maksunya cantik." Ichigo meluruskan. "Maksud Tsurumaru-dono, apakah kamu melihat tuan kami?"

"Ahhh..." Riddle paham. "Ayo, ikuti aku."

"Duh. Bikin repot saja." Kashuu menggerutu santai, tahu bahwa peluang menang kini berpihak padanya.

"Fufu." Si wakizashi hijau tertawa aneh. "Maa, kurasa musuh habis. Memang habis, sih. Akina-sama, mana?"

"Emm..." Manik mawar berkeliling, pandangan gelap ini kurang membantunya—terlebih, tempat yang sempat menjadi arena pertempuran ini masih asing untuknya. "Eh—kita di mana ini, Nikkari!?"

"Makanya aku bertanya tadi."

"Bingung, ya? Ayo ke sini." Silver menyadari kedua sosok ini linglung mencari tuannya. Kashuu berjengit, kerutan di dahinya bertambah saat pemuda itu masih memandangnya letih. Sosok ini sebelumnya tidak ada, sungguh. Figur ini terlihat tenang dengan wajah kotor yang Kashuu tebak ia peroleh dari Jikan Shukogun saat kesatria milik tuannya belum tiba.

"Aku kira kamu tadi Chougi. Hehe."

Silver tertawa ramah saat sosok merah berambu bunga mawar ini tertawa setengah malu padanya. Cantik. Kesatria ini cantik. "Bukan..."

"Lantas, siapa namamu, anak muda?"

Si perak memandang Nikkari yang menanyakan sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Silver memandang sesaat sosok hijau ini. Hawanya misterius, dengan suara yang cukup membuat dirinya merinding untuk sesaat. Namun perasaan yang membuat bulu tengkuknya sempat meremang itu seketika lenyap kala Silver mengendus ambu yang begitu harum darinya. Entah seperti apa Silver harus menjabarkannya, wangi ini tidak pernah ada di Lembah Duri.

"Silver. Namaku Silver. Mohon ikuti aku, ya. Tuan kalian di sana."

Kesatria-kesatria ini—mengapa harum sekali?

date of update: March 04, 2023,
by; aoiLilac.

revision: March 24, 2023.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top