35.

A Touken Ranbu ft Twisted Wonderland fanfiction,

-Lueur-

By; aoiLilac.

Credit; DMM, Nitro+. And Disney- Twisted Wonderland, Aniplex, Yana Toboso.

Chapter Thirty-five: Mettle.

[TAKAMAGAHARA FOREST|AFFLUENT.]

"Hahhah... mengapa aku terasa begitu letih, ya? Biasanya tidak pernah seperti ini."

Celetukan kelewat polos dari Tsurumaru Kuninaga selepas menghabisi Jikan Shukogun yang mampu menggapai danau suci pun mengundang sorot Benzaiten yang turut menghentikan pergerakan makhluk busuk itu lebih jauh untuk menghabisi Higashi yang masih tertidur. Terhitung 200 musuh, Taikogane Sadamune; Shokudaikiri Mitsutada; Tsurumaru Kuninaga dan Sang Dewi—Benzaiten—memertahankan Higashi dari serangan apapun yang memungkinkan walau tubuhmu masih disembunyikan di dasar segara.

Celah biru kini berubah warna abu, menggulung lapisan awan yang berarak. Pepohonan aras yang tumbang menjadi saksi bisu bahwa pertempuran sempat terjadi di tanah ini. Ayar beriak, mengirim gelombang kasar saat Taikogane membilas bilah dari rudira hitam yang mengotori kesucian pedang mungilnya. Penampilannya kacau, kemejanya sobek dengan kain biru yang hilang entah ke mana. Pun dengan Shokudaikiri yang mengatur napas di sana. Tsurumaru juga tak baik-baik saja. Pelipisnya koyak, mengalirkan warna merah tiada henti, mengotori mantel bersihnya.

Bahkan anak-anak tangguh ini terasa dampaknya, ya? Bulan sedang berubah, nanti malam, bulan pasti menunjukkan sebuah perubahan nyata. Citta dari sang Dewi hanya diucapkan dalam hati. Keruh perasaannya kini menyelimuti jiwa dengan apik; memikirkan kondisi Touken Danshi yang ada di benteng Timur.

"Shokudaikiri Mitsutada, dengar aku? Apa suaraku masuk?"

Sang empu nama terbelalak mengetahui alat komunikasi yang masih ada di lehernya belum terlepas. Dipikir dengan pergerakan liarnya tadi, benda itu hilang ke mana dan hancur. Nyatanya tidak. Suara radio rusak itu memaksa telunjuknya menekan tombol hitam yang ada di talinya. Manik yang identik dengan bongkahan emas miliknya tercengung bukan kepalang menyadari suara diseberang sana satu tingkat lebih ringan dari milik Ichimonji Norimune.

"M-Mikazuki-san...?"

"MIKAZUKI!?" Tsurumaru heboh sendiri. "MIKAZUKI SUDAH KEMBALI!?"

Satu telunjuk kini mengisyaratkan sang bangau untuk hening sembari mendekat. Taikogane turut menyimak, sedangkan Benzaiten memilih untuk tetap berdiri di titik awal yang berjarak tiga sampai empat meter di mana ketiga kesatria itu tampak berdiskusi.

"Mikazuki-san, kamu—"

"Aku tahu di mana letak kesalahanku."

"Bukan." Balasnya. "Bukan itu yang ingin aku katakan."

"... Lalu?"

"Tidak ada waktu banyak, Mitsu-bou." Tsurumaru Kuninaga memandang kawannya lekat-lekat. "Aku tahu banyak yang ingin kamu tanyakan padanya, aku juga. Namun kurasa, situasinya kurang memungkinkan untuk membahas hal itu sekarang."

Lehernya menegang, mengundang berbagai macam tanda tanya yang tak terkatakan. Tersusun rapi dalam setiap frasa dan klausa tentang apa, mengapa, dan bagaimana. Sekarang, ia harus dihadapkan dengan sikap serius dari Tsurumaru Kuninaga, didesak oleh Taikogane Sadamune untuk memberi kejelasan tentang benteng, dan sorot dalam dari sang Dewi yang menyimak. Shokudaikiri Mitsutada dibuat gila dengan situasi berengsek seperti saat ini.

"Ada apa, Mikazuki-san?"

"Pulang ke benteng. Sekarang."

Alis nyaris beradu, membentuk kerutan sempurna di dahi. "Pulang? Memangnya—"

"Kita akan melakukan penjemputan. Kiku Ichimonji agak—ini salahku. Kamu dan Tsurumaru dengan Taikogane, pulang. Bawa tubuh Akina-sama."

Keterangan itu membawa Shokudaikiri mengarungi fakta yang semakin ingin ia ketahui. "Tunggu—itu tandanya—benteng sudah?"

"Tak banyak yang tersisa."

Benar. Tak banyak yang tersisa. Serangkaian kalimat yang terdengar seperti mantera kutukan itu merambat masuk ke dalam sukma. Mengakar, menumbuhkan bunga akan kedukaan baru menemani rasa kehilangan yang belum usai. Kepalanya berdengung. Memikirkan nasib atas anak, cucu, dan rekan-rekannya di sana yang berjuang saat kekalahan benar-benar sudah tertulis rapi sebagai skenario yang akan mereka terima dalam takdir nyata yang tak bisa diubah.

"Kenshin Kagemitsu masih hidup, anak itu dalam perawatan intensif."

Isaknya terdengar.

"Aku mengerti, Mikazuki-san. Namun butuh waktu perjalanan tiga hari tiga malam untuk menggapai benteng."

"Aku memerlukanmu untuk menempa kembali satu keturunanmu. Kamu tidak akan percaya kalau aku katakan bahwa roh Putramu yang itu berhasil melintasi ruang waktu hanya untuk memberi daya hidupnya pada Akina-sama." Mikazuki berkata begitu seakan ia tidak menyadari bahwa perbuatannya juga tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Daihannya—malah terhitung lebih parah.

"Tunggu—maksudnya Daihannya? Daihannya-kun!?"

"Kamu kuat. Maka tak heran kalau keturunanmu tangguh."

Ternganga Shokudaikiri mendengar penjabaran itu—apalagi ditambah dengan pengakuan yang didapat oleh Mikazuki. Tak ada waktu baginya untuk menjawab, kini tangan sang Dewi mendarat di bahu kokoh sebelah kanan. Kepala menoleh, disambut dengan paras anindhita dari seorang Benzaiten, Shokudaikiri bernapas lega mengetahui suara lembut bagai sutera itu menanggap ringan dari komunikasi yang turut ia dengarkan.

"Jangan khawatirkan jarak tempuhnya. Aku akan mengurus kepulangan kalian dan Higashi. Katakan pada Mikazuki, apa rencananya?"

"Terima kasih banyak, Benzaiten-sama!!" ketiga kesatria di sana menundukkan kepala.

"Apa rencanamu, Mikazuki-san?"

Tenka Goken yang kini bersimpuh di sisi Ichimonji Norimune saat sang founder dari Ichimonji school itu tengah berjuang seorang diri di antara hidup dan mati saat Hotei mengatakan bahwa kini semuanya tergantung pada pedang tua itu; menyerah membiarkan tubuhnya hancur seperti keping sepai terkubur kelopak sakura atau berusaha sekuat tenaga demi berjumpa kembali dengan tuannya, keluarga dan rekan-rekan di benteng. Pendar biru pudar nan teduh miliknya tidak akan terbuka—entah sampai kapan. Mikazuki Munechika bergeming. Hening merangkul suasana. Bulu roma meremang begitu manik seindah bulan sabit miliknya menumbuk pandang tepat ke arah bumantara kelabu. Kosong di sana. Tiada lagi hima tipis yang senantiasa mengiringi gemintang. Binar indurasmi mulai sirna; meredup tak memberi kekuatan. Di saat seperti ini, Mikazuki sempat-sempatnya mengajukan pertanyaan balik pada Shokudaikiri Mitsutada.

"Apa kamu percaya kalau takdir kita adalah sesuatu yang paling pedih?"

Shokudaikiri tertawa lirih. Bahkan sosok kesatria paling tegar seperti Mikazuki pun bisa memiliki rasa goyah saat perasaan dari ketidakberdayaan menggerayangi hati dan pikiran. Menangis pun tiada guna, tetapi sang bulan mendengar suara lain yang retak. Pecah, dan bergetar. Dari intonasinya, Mikazuki sadar bahwa Shokudaikiri membiarkan perasaannya kalah.

"Benzaiten-sama mengajari kami satu hal, Mikazuki-san."

"Apa yang dilektur oleh sang Dewi?"

Shokudaikiri menabuh senyum tipis saat menjawab. "Bahwa pemilik semesta memberikan pertempuran paling berat pada kesatrianya yang tertangguh. Kami akan pulang ke benteng. Aku selalu percaya kalau kamu tak akan pernah menyesatkan kami."

Belum lama, Seihoku dan beberapa punggawanya sudah tiba untuk mengerahkan tenaga untuk pengobatan. Dan beruntungnya, Hakusan Yoshimitsu dan Yagen Toushiro miliknya tidak hancur. Kedua kesatria di sana melakukan pemulihan dan perawatan untuk Touken Danshi milikmu yang memiliki kerusakan parah. Bishamon yang dibantu Monoyoshi Sadamune dan Ichigo Hitofuri masih mengumpulkan beberapa bilah—perhatian utamanya adalah delapan belas kesatria terbaik yang akan dibawa lintas dimensi untuk menghadapi kemungkinan yang terburuk.

"Mikazuki."

Yamanbagiri pirang berdiri di bibir shoji. Sang bulan memutar badan begitu mengetahui siapa yang menghampirinya.

"Jurojin-sama sudah datang."

"Oh." Balasannya singkat. "Terima kasih, Yamanbagiri."

Tanpa mengucap apapun, si pirang kembali berlalu. Meninggalkan Mikazuki seorang diri dengan pikirannya yang kelewat kalut. Kliyengan, dan mengutuk sendiri semua perasaannya yang semula mantap kini benar-benar ragu menuju goyah.

Tidak. Tidak bisa.

Ia sadar kalau posisinya kini diperlukan. Ia sepenuhnya sadar kalau dirinya diperlukan dalam masa kritis seperti sekarang. Langkah yang diambil sudah diperhitungkan dengan matang. Dibalik lipatan kainnya, jemari menjaremba pemberian seorang figur yang ia cukup percayai. Sebuah kristal hijau yang ia terima dari seorang Raja muda di sana. Ia mengklaim yakin bahwa benda ini mengandung sihir yang terhubung dengan akademi itu. Jurojin juga sudah tiba, ini waktunya pembuktian apakah batu ini benar-benar bisa dipakai atau tidak.

"Pergilah, nak. Tak baik membuat seorang Dewa menunggu."

Barusan itu suara yang cukup ia kenal. Pupilnya bergerak lurus-lurus memandang kaku tepat ke raga masih yang tergelintang di sisinya. Kelopak mata itu masih tertutup rapat, menunjukkan segaris hitam bagai lengkungan daun.

"Kamu memang aneh." Si bulan berlalu. "Aku ke depan dulu, Kiku Ichimonji."

"Em. Aku barusan baca buku di perpustakaan yang hancur itu, kalau tempat yang dituju harus memiliki satu benda dan dimensi yang jelas." Terdengar sayup Yamanbagiri Chougi yang mengoceh saat kedua Dewa kini bersanding dengannya dan Yanambagiri lain. Terlihat Yamanbagiri Kunihiro tak menemukan klu untuk kesusahan yang kini melanda.

Di sana, Jurojin tampak membentangkan tangan. Entah apa itu, tetapi Mikazuki menangkap adanya pintu heksagon lain yang cukup besar. Hitam dan tak menunjukkan lanskap apapun.

"Coba ke Edo."

Jurojin melayangkan sebuah anggukan, lalu selepasnya, pintu heksagon itu benar menunjukkan hutan di era Edo yang sering Mikazuki datangi untuk keperluan misi. Chougi mengerang.

"Bagaimana caranya ke sana!? Bagaimana caranya memberikan cincin dan cambuknya?"

Iya. Yang memberikannya Chougi, karena yang satunya tidak akan sanggup melihatmu untuk sekarang.

"Tunggu. Kamu ingin memberikan kedua cincin itu?" sang bulan memperjelas maksud dari si perak. Yang ditanya memberi anggukan. "Karena Akina-sama memiliki dua cincin, jadi, yang satu akan diberikan padanya sebagai pelindung sampai kita semua tiba. Apa tidak boleh?"

"Aku tidak pernah bilang begitu." Balas si bulan. "Yang satunya jangan. Untuk kebangkitan kedua kesatria-kesatria terbaik."

"Mikazuki, apa kita tidak bisa membawa Akina-sama langsung ke mari?" si pirang akhirnya melontarkan pertanyaan yang cukup ia takutkan. Bukan takut bagaimana, tetapi Mikazuki sendiri bingung harus menjelaskannya seperti apa. "Mikazuki?"

Barangkali pertanyaan itu tidak didengarnya, sampai Yamanbagiri Kunihiro harus memanggil namanya kembali dan menggugah kesadaran Mikazuki yang sempat tersita selama beberapa saat.

"Tidak bisa, nak." Suaranya terdengar berat hati. "Pelepasan roh itu membutuhkan waktu yang tak sebentar. Dan cangkang yang saat ini menampung batari Akina sangat rapuh seperti kulit telur. Jika dibawa ke sini, tubuhnya akan hancur dan roh bulan di dalamnya turut mati."

Jurojin dan Bishamon sama-sama geming. Kedua Dewa di sana tahu tak memiliki banyak kewenangan atas urusan dari Saniwa dan Touken Danshi. Mereka hanya melindungi dan mengatur pergerakan atau menghidupkan kembali apabila hal itu diperlukan mendesak. Namun untuk mengurus seluk beluk kehidupan seorang Saniwa, hanya Touken Danshi milik Saniwa yang bersangkutan yang mampu melakukannya. Dalam hal apapun—tak terkecuali menghakiminya.

Chougi mengeratkan kepalan tangan pada tali cambuk yang masih tergulung. "Lalu, apa yang bisa kita lakukan?"

"Pakai ini." Begitu bening kristal yang ia sodorkan. Bercahaya laksana pendar sebuah berlian. "Ada seorang Raja muda yang meminjamkan kita kekuatannya. Aruji masih berada di bawah perlindungan orang-orang itu—jika sesuatu yang buruk terjadi sebelum kita datang."

"Yang buruk? Maksudmu?" Biner biru Chougi menaruh curiga.

"Pihak dengan otoritas sihir tertinggi dalam sana akan memburunya kalau mereka tahu bahwa Akina adalah kunci dari semua yang terjadi."

Merasuki jiwa, membubuhi pikiran dengan reranting bercabang yang mengirim cabikan dari dalam. Chougi menganga, Yamanbagiri Kunihiro memandang tajam seakan musibah kini berada tepat di depan mata.

"Bisa aku minta kristalnya, Mikazuki?"

Tak butuh waktu lama bagi Jurojin menemukan tempat yang dituju saat kristal hijau yang diberikan Mikazuki itu menjadi kuasa atas magis yang menghadirkan sparkle merah, hijau, dan ungu tua. Di sana, di tempat lapuk yang nyaris rubuh itu, Mikazuki menghentikan denah yang ditunjuk sang Dewa. Iris sebiru samudera milik Chougi bergerak lurus-lurus, nyaris keluar dari tempatnya.

"Tuanku—tinggal dalam gubuk seperti itu?"

"Honka, jangan pikirkan itu dulu!" Yamanbagiri Kunihiro menyadari perubahan suasana hati seorang Chougi. Ia kesal. Ia marah kekasihnya diperlakukan seperti gelandangan. "Ayo beritahu informasi ini pada Akina-sama!"

"Tujuh menit. Kalian memiliki waktu tujuh menit."

"SINGKAT SEKALI!"

Mikazuki mendecak. "Bersyukur! Cepat! Kita tak memiliki banyak waktu!"

[NIGHT RAVEN COLLEGE|RAMSHACKLE DORM.]

"Tolong... wahai sosok yang mengamuk... Tenanglah..." mohonmu terengah dengan keringat dingin membanjiri pelipis. Kaki tak lagi mampu untuk berdiri. Tanah menjadi alasmu untuk merangkak. Mili demi mili kau menggerakkan kaki. Berusaha meraih tangan-tangan mereka yang menjerit meminta pertolongan.

"Aruji-sama!!"

"Anee-sama!!"

"Nushi-sama!!!"

"Tolong kami, Higashi-sama!!"

Muara telah terbentuk. Linangnya mengalir melewati celah pipi, menyatu dengan genangan merah beraroma anyir serta karat besi yang semakin membuatmu terpuruk. "Jangan kau bunuh para malaikat kecilku...," raihmu pada segenggam tanah. Merematnya, menyalurkan semua sisa tenaga yang kau miliki dari jeritan sakit para kesatria yang terbantai tanpa ampun. "Mereka semua—anak-anak yang baik."

"Aruji-sama!!"

"Aruji!!"

"HIGASHI-SAMA!!!"

Memaksakan kedua kaki untuk bangkit, melepas getaran sebab dipaksa untuk berlari, kau sama sekali tidak sempat untuk menggenggam tangan-tangan mereka. Yang tersisa hanya jerit permohonan yang tak mungkin lagi terdengar membentuk celah dalam akan genangan merah yang membanjiri seluruh daratan.

"HENTIKAN!!"

Bunga tidur yang datang cukup mengerikan. Mampu membuat denyut jantungmu bekerja dua kali lebih cepat ketimbang biasa. Atma terdayuh saat tubuh sedikit terkejang sebab keterkejutan. Memaksa kelopak mata untuk terbuka lebar, kini jutaan partikel kelip memenuhi pandangan.

Di balik kabut kunang, perlahan terbias sebuah akara dari figur yang sempat memburam saat kau memandang. Memusatkan atensi, dan fokus, kau mampu merasa kedua telapak tangan sejuknya berada di pipimu. Menangkupnya, membelai, dan mengusap. Biner biru yang kau kenali itu memandang cemas—sangat gelisah sampai-sampai kau bisa melihat muara yang tergenang. Tak lama, senyum tipisnya terukir walau tidak sepenuhnya berhasil menutup kabut dari raut wajah khawatir.

Netra samudera yang kau kasihi. Suara yang begitu tenang. Sentuhannya yang terasa hangat. Surai perak yang selalu kau sisir jika waktu tengah senggang. Jubahnya berkelibat saat ia memastikanmu berada dalam pelukannya.

Tidak salah lagi.

Ini dia.

Dia.

Salah satu yang kau rindukan.

"Cho... Chougi?"

Kepala peraknya mengangguk.

Sebelumnya, Chougi yang menangkup kedua pipi tuannya. Namun kali ini, ia merasa pipinya benar-benar penuh ditangkup. Saling beradu dahi, memertemukan tulang hidung. Berderu napas hingga dua air mata saling bertemu.

"Anak-anak bagaimana? Benteng? Saniwa? Ba-bagaimana kamu bisa ada di sini!? A-apa Mikazuki sudah kembali!?"

"Aku tidak akan menutupi hal ini padamu." Balasnya menjauhkan diri. Memandang wajah yang sangat ia inginkan untuk dijelajahi dengan jemari. "Tidak sedikit anak-anak yang gugur. Benteng kita tidak baik-baik saja. Nantou-sama terbunuh dalam benteng dan penyusup mampu mengubah dirinya sebagai kami; beliau tewas oleh Taroutachi yang palsu. Semua anak-anaknya hancur, bentengnya rata dengan tanah. Sosok penjaga sejarah yang gugur tidak akan bisa berenkarnasi jika sisanya tidak lengkap di Takamagahara, gadisku. Minami-sama masih tak sadarkan diri sebab shock, semua anak-anaknya diledakkan dalam kubah. Kini, Seihoku-sama dan Nishi-sama bantu memulihkan Touken Danshi milikmu, Akina. Mereka semua tidak akan bertahan kalau bukan kekuatan Saniwa yang menangani kerusakannya. Mikazuki sudah kembali, ia kelak memimpin pergerakan kami di sini."

Pilu.

Sakit rasanya mendengar penuturan yang sudah kau tahu dari semesta yang mengirimkan embusan angin busuk. Bulu roma dibuat berdiri, hati hancur berkeping tak lagi bisa disatukan.

"Aku tidak sendiri." Ungkapnya yang kini meraih lagi tanganmu. "Ada Kunihiro."

"Yamanbagiri?"

Chougi mendapati sosok pujaan hatinya melenggangkan kepala ke kiri kanan. Indikasi mencari sosok yang memiliki sebuah nama dari penempa Horikawa.

"Sedang melakukan observasi singkat untuk akademi ini. Um, Akina... untuk Norimune..." Kini perhatianmu teralihkan padanya. Chougi memandang gamang, ia takut kau akan pingsan mendengar kabar ini walau ia sendiri sepenuhnya yakin kau mampu merasakan penderitaan anak-anakmu. "Norimune masih hidup, tetapi kerusakannya parah. Ia tidak terkontaminasi, tetapi cambuk itu dialiri elemen petir sama seperti milikmu. Hotei-sama sudah melakukan yang terbaik, dan katanya, sisanya tergantung Norimune sendiri. Kakek itu yang memimpin kami saat Mikazuki absen. Saat kamu kembali, tolong perhatikan dia, ya? Aku khawatir luka yang diterimanya itu fatal."

Chougi kembali menemukan genangan air yang siap terjun kapan saja dari viridianmu. "Kashuu juga tak baik-baik saja... saat ini, ia masih belum bangun. Ia tiba-tiba terjatuh. A-aku agaknya gagal melindungi semua keluargaku. Tak perlulah kamu khawatir, Aruji. Bishamon-sama memiliki rencana untuk menghentikan waktu saat kami menjemputmu nanti."

Hanya ada kalimat 'maaf' yang diiringi isak. Sosokmu memegangi kedua pergelangan Chougi, tidak ingin ia pergi. Chougi bingung harus berbuat seperti apa, karena ini bukan kesalahanmu—dan tiada makhluk yang bisa disalahkan karena ini semua. Yamanbagiri Chougi sebagai salah satu utusan langsung dari Dewan juga sudah memperkirakan adanya konflik antara orang-orang penyihir dengan para kesatria nantinya. Hal tersebut tak dapat dihindari.

"Hey hey, shh. Lihat aku. Lihat mataku." Iris samuderanya mengunci viridianmu yang basah. Kedua ibu jarinya mengusap, mata tuannya dengan lembut mencegah tekanan di bola mata sang tuan.

Batin Chougi menjerit. Tuannya mengalami perubahan yang cukup drastis. Pipinya tirus, matanya agak redup, dan jemarinya jauh lebih kurus dari yang Chougi ingat. Tuannya tidak sehat betul, dan hal ini mampu merupakan sebuah kelemahan terbesar bagi para kesatria.

Chougi gagal menahan tangis.

"Rencananya, Mikazuki akan membawa 18 kesatria terbaik milik kamu ke sini. Di sana sudah bulan September. Kita-sama memprediksi sekitar 1200 musuh akan datang ke akademi ini untuk mencarimu. Di sini mulai memasuki Januari akhir. Di hari ke delapan, bulan ke sembilan tahun naga, kami semua akan datang. Musuh akan datang di hari yang sama untuk mencarimu dengan tujuan mengakhiri hidup Saniwa yang terjebak di sini."

Kau mulai sesegukan. Jujur saja, kau tak memikirkan hidupmu, tetapi kau memikirkan kesatria yang akan kemari—dan nasib para pelajar yang tak tahu apa-apa itu. Kau takut tak mampu melindungi tempat ini nantinya.

Suara pintu dibuka kasar, menggubrak. Yamanbagiri Kunihiro datang setengah berlari. Menampakkan wajah merah dengan pendar putih yang perlahan menelan presensinya. Segera ia meraih tanganmu, menempelkannya di pipinya secepat yang ia bisa. Saling beradu pandang, ia masih sempat memamerkan senyumnya di tengah-tengah tangismu walau ia sendiri menahan rasa panas yang ada di peridotnya. "Waktu kami habis, Aruji."

"Yamanbagiri!"

"Aku tahu Aruji tangguh! Tiada hal yang bisa kuucapkan untuk wanita baja sepertimu. Sampai hari itu tiba, aku minta kamu bertahan. Bertahan demi anak-anak di kayangan." Ia berkata seperti itu dan meninggalkan sebuah cumbana singkat di kening tuannya.

Yamanbagiri Kunihiro hirap. Tubuhnya ditelan ribuan kelopak merah jambu yang kini berputar mengelilingi sang tuan.

Chougi pun pun menunjukkan gelagat yang sama. Ia mulai pudar dengan tangis yang pecah. Kedua tangannya masih menangkup pipi. Bibirnya menjamah pipi, hidung, dan kening tuannya sebanyak yang ia mampu sebelum waktunya habis.

"Kamu kuat! Bertahan sampai kami menjemputmu!!"

Sebelum tubuhnya hirap, ia sempat mendengar sayup dari derap kaki yang menuju ke tempat yang ia anggap sebagai gubuk. Instingnya sebagai kesatria pun bangkit, ia berdiri di depan tubuh tuannya, menghadap ke arah pintu hendak menarik katana. Namun yang iris birunya tangkap adalah kehadiran dua orang lain yang tampak sehabis berlari menuju tempat itu. Satunya bersurai hijau, lainnya lagi perak—sama seperti dirinya.

Silver hendak meraih tangannya, tetapi waktu tidak mengizinkannya.

Sosok hirap, ditelan petal merah jambu yang mengelilinginya. Namun baik Silver dan Chougi sama-sama sadar bahwa pandangan mereka sempat bertemu sepersekian detik.

"I-Itu tadi—nyata!! Nyata! Yang nyata!!"

"A-aku juga lihat!" Sebek menjawab mantap.

"Apa yang nyata!?"

Sosok tak diundang kini bergabung.

Di bibir pintu, dua figur yang pernah mengintroduksikan dirinya padamu kini turut hadir. Membuat kepala semakin pening, saat kau sendiri tahu jawabannya.

"Ke-kenapa Vil-kun dan Leona-kun ke tempat ini!?" Mengapus jejak air mata, kau berdiri.

"Dengarkan penjelasan kami dulu, Misaki." Tanggap si hijau. "Benar. Maafkan Silver dan aku. Namun kami berdua tak memiliki opsi lain."

"Saya harap penjelasan Anda cukup masuk akal untuk Saya terima."

"Masuk akal, Nona." Vil mengambil alih. "Maafkan aku. Namun aku dan temanku ini—"

Siapa yang mengharapkan kurang dari Vil Schoenheit? Kemampuan retorikanya sudah pastilah tertutur dengan rapi. Terjabarkan sangat detail apa yang ia lihat dan Leona rasakan saat pertama kali bersua denganmu hari itu. Mengusik kalbu, apa yang ia lihat itu merupakan kepingan kecil dari perjuangan kesatriamu di kayangan sana. Vil bisa melihat manikmu yang memandang setengah tak percaya. Namun kau yang mendengar segalanya tak menilai bahwa apa yang ia ceritakan itu berbual. Tak mungkin ia menyebutkan pria pirang yang menyerukan 'Ayah' saat kau tahu pria pirang yang dimaksudkan itu adalah Koryuu Kagemitsu. Dan tak mungkin juga Vil turut menuturkan kalau Leona melihat sekelompok orang melalui jenggala dan berperang hingga satupun tiada yang selamat. Ia melihat sosok bersurai ungu, dan membuatmu menuju keyakinan kalau ia ditampakkan sosok Kasen Kanesada.

"Namun Saya sudah tak ingin menambah pihak lain dari akademi untuk menyeret mereka dalam masalah pelik ini."

"Tahu, aku tahu." Sanggah sosok itu—Vil. "Kami ingin membantu—bukan hanya tentang nona saja. Aku masih memiliki karir yang harus aku raih, dan orang ini adalah Pangeran ke-dua di negerinya. Ia masih waras karena memiliki keinginan untuk melindungi keluarganya."

"Kau pikir aku orang gila?" Leona naik pitam mendengar celetukan Vil yang memantik secuil emosinya.

"Oya. Kingscholar dan Schoenheit di sini?"

Makin ramai orang; makin membuat kepalamu berputar layaknya gasing.

"Heh, kurang ajar!" Leona menimpali. "Mengapa kau sembunyikan ini dari kami, huh?"

Malleus menyeringai, menampakkan taring dengan mata yang menyipit seperti merendahkan.

"Kalau aku memberitahu Schoenheit, aku percaya kalau ia akan membantu. Namun kalau kau, aku ragu."

"Hentikan itu. Pertengkaran di depan seorang Dewi bukanlah hal yang baik." Lilia menengahi. "Jika aku pikirkan, agaknya kalian tahu masalah ini?"

"Padahal Saya sudah katakan agar tidak banyak pihak yang ikut menyeret diri mereka sendiri."

"Bukannya bagus?" Lilia menepuk pundakmu pelan mencoba meyakinkan. "Kurasa dengan semakin banyaknya figur pemimpin yang berpihak padamu, membuat Diasomnia sendiri yakin kalau kami bisa mencegah pertumpahan darah antara kesatriamu dengan pihak otoritas sihir itu."

"Tadi kau bilang kalau wanita ini adalah Dewi." Vil memulai. "Aku ingin tahu dulu supaya bisa menilai nantinya. Namun aku tetap berada di pihak wanita ini, aku mantap membantunya."

"Dongengnya agak panjang, Schoenheit."

Leona mendecak. "Ceritakan saja. Cepat."

Kurva Malleus Draconia terbentuk samar, selepasnya, ia turut menggali segala ingatan akan perkataan dari salah satu kesatriamu yang pernah ia jumpai dan saling berdialog. Tak butuh waktu lama untuk Malleus menyampaikan apa yang ia tahu tentangmu. Dan mereka yang memiliki gelar Great Seven itu cerdas, dan bisa langsung menilai bahwa apa yang dilakukan oleh pihak akademi merupakan langkah yang salah. Jika saja hal ini diberitahukan lebih awal, ada peluang bagimu untuk kembali lebih awal.

"Tidak juga." Veteran perang berceletuk. "Great Seven itu berisi orang-orang egois yang mementingkan ego sendiri. Memang sebenarnya Kepala Sekolah juga berada di dalam posisi yang serba salah. Kalian jika dipertemukan, akan berakhir adu mulut seperti biasa."

"Aku tidak menyalahkanmu, Lilia." Vil tertawa ringan, ia pun sadar kalau Great Seven—termasuk dirinya memiliki sifat yang tak mau mengalah. "Maa, tetapi kalau sudah seperti ini, aku tidak memiliki pilihan. Karirku dipertaruhkan. Dan lagi, pantas saja sosok ini begitu indah. Ternyata, oh, ternyata. Nona, aku ingin bersua dengan kesatriamu kalau waktu mengizinkan. Ingin lihat bagaimana rupa-rupa daripada pejuang tangguh yang diurus oleh sosok paripurna sepertimu."

"Sulit kupercaya bahwa wanita ini tinggal di kayangan—dengan usia yang jauh lebih tua dari kita semua. Terlebih, mengurus puluhan pria setiap harinya, dan tanggung jawab yang besar itu..." Leona memijat pelipisnya. "Namun tak heran. Aku percaya bahwa setiap wanita itu tangguh. Dan mungkin yang tersasar di sini salah satunya."

Kau bergeming. Sebek tahu kalau kau tak engeh. "Yang dimaksud senior Leona dan senior Vil itu kau, Misaki."

Berkedip beberapa kali sampai beberapa mata tertuju padamu, kau mengusap tangan. "Oh—terima kasih, Leona-kun, Vil-kun."

"Dia naif, ya?" Leona melirik Sebek.

"Sangat." Balas si hijau.

"Kau juga sama, Sebek." Tegur Silver seketika membuat Sebek mengatupkan bibir. "Omong-omong, aku tadi melihat seseorang. Kalau boleh tahu, apa itu kesatriamu?"

"Yamanbagiri Chougi."

Dahi Vil mengerut mendengar nama yang terlalu asing baginya. "Siapa?"

"Dengan Yamanbagiri Kunihiro."

Silver mengangguk. Diasomnia fokus mendengarkan. "Keduanya ke mari. Memberi Saya sebuah informasi."

"Informasi seperti apa?" Suara bariton Malleus mencari jawaban. "Aku kembali ke Lembah Duri, dan meminta wejangan dari nenekku. Namun sepertinya, memang tak banyak yang bisa kami perbuat sejak bulan redup. Nihil. Aku tak menemukan jawaban."

Kau mengusap dahi. Memandang manik berbeda warna itu satu persatu sembari mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan sebuah kebenaran yang mungkin akan membuat jantung mereka berdebar lebih kuat.

"Pihak musuh tidak akan berhenti mengejar Saya. Mereka akan ke sini, mengincar Saniwa yang terjebak."

Embusan angin dingin menampar kulit. Menambah kesan serius dari keheningan yang menjalar menembus benak. "Tak banyak. Hanya 1200 Jikan Shukogun yang akan mencari Saya."

Vil menganga, Leona melotot hebat. Diasomnia agaknya sudah siap.

"Tak banyak!? 1200 itu! Apa tadi—!?"

"Pasukan pembalik waktu." Katamu untuk mempermudah pelafalan baginya. "Bishamon-sama memiliki rencana untuk menghentikan waktu saat hari itu tiba."

"Berarti, apa yang kurasakan tadi benar, ya? Bahwa kristal yang kuberikan itu dipakai oleh punggawamu? Dia sudah kembali ke sana?"

Pertanyaan Malleus membuatmu menoleh dan memberi angguk. "Iya. Kristal yang Anda berikan agaknya berhasil, jujur saja, Mikazuki dan Anda memiliki beberapa kemiripan. Malleus-kun, apa yang Anda lakukan sampai menyelinap keluar akademi?"

"Mencari cara agar tidak banyak yang tidak ikut campur." Balasnya. "Aku memiliki rencana seperti Dewamu untuk menghentikan waktu, dan menggunakan sihirku untuk menidurkan semua orang."

"Macam-macam kau." Vil menatap tajam Malleus seakan memberi peringatan. "Tak ingat terakhir kali kau hilang kendali, seluruh pulau diliputi duri?"

"Kita semua pernah hilang kendali." Ketenangan air pun kalah dengan intonasi suaranya. "Kali ini kuusahakan agar asrama dan akademi saja yang terkena dampaknya. Akan sangat merepotkan kalau kita bertarung dan melindungi orang-orang dengan sihir yang masih kurang kemampuannya."

"Tidak. Kalian tidak sendiri." Begitu ucapmu—yang mengundang tanda tanya di sorot mata mereka sekaligus mendesak jawaban yang cukup bisa mereka terima dengan baik. "Mikazuki Munechika akan membawa kesatria-kesatria terbaik milik Saya untuk memertahankan tempat ini."

"Dan menjemputmu untuk pulang, benar, 'kan?" Sebek memperjelas. "Kapan datangnya hari itu, Misaki?"

date of update: February 28, 2023,
by: aoiLilac.

revision: March 22, 2023.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top