32.
A Touken Ranbu ft Twisted Wonderland fanfiction,
-Lueur-
By; aoiLilac.
Credit; DMM, Nitro+. And Disney- Twisted Wonderland, Aniplex, Yana Toboso.
Chapter Thirty-two: Onism.
[HONMARU SEINAN.]
Chiko Masayuki—yang biasa dikenal sebagai Seinan berusaha berpikir jernih di saat ledakan terus memekakan telinga sebab ranjau-ranjau yang dipasang mulus oleh Touken Danshi miliknya untuk menjebak Jikan Shukogun yang bertandang tanpa otak. Melepaskan dua sampai tiga anak panah dalam sekali tarik saat dirinya berada di atap salah satu bangunan honmaru miliknya yang separuh pecah relai; netra hetero; caramel dan damson dengan pupil lurus sesekali menoleh untuk mengikuti perlawanan sengit yang anak-anaknya berikan.
Agaknya, ada sesuatu yang dilakukan oleh Bishamon—Kita untuk Touken Danshi. Pergerakan mereka jauh lebih ringan lagi gesit. Terlebih, ia—Seinan—tak merasakan efek apapun saat tahu bahwa Touken Danshi miliknya hancur karena kedatangan sosok ini. Yang berusaha ia taklukan dengan tenang; membidik figur yang tak kalah lindap. Si legam memandang kosong tanpa mengucap sepatah kata sejak kedatangannya meluluh-lantak-an rumah dan mutiara-mutiaranya dalam sekali serang. Seinan memutar arah pandang dengan menggulirkan bola mata setengah malas. "Aku baru saja bangun sebab Aniki dikabarkan gugur, dan langsung berhadapan dengan sosok kurang ajar sepertimu. Tak bisakah kita berdiskusi untuk menemukan jawaban yang sama-sama kita cari?"
Sedikit pergerakan, ia menelengkan kepala bagai boneka yang dikendalikan dengan seutas benang tipis tak terlihat. Seinan yang kurang siap lantas terjatuh berkat tendangan langsung yang ia terima di dada. Tanah bergetar, membentuk lubang saat satu sosok terbentur di atasnya. Beruntung Seinan segera bangkit dan tak menerima hantaman untuk kali kedua. Tepat di ulu hati sosok itu menendang, sang Saniwa menyeringai, meludah rudira yang mengecap rasa amis di langit-langit mulut mengukir garis merah dari sudut kanan bibirnya sampai ke dagu.
Dewa Jurojin yang masih tak meninggalkan benteng itu datang menghampiri saat Jikan Shukogun tipe tachi menyerangnya dari titik buta. Punggung saling bertemu, Seinan masih terbatuk. Tak pernah terpikir olehnya bahwa tendangan yang diterima barusan memberikan rasa sesak seakan paru-paru diremat luar dalam. Tendangan itu kuat, tak heran Touken Danshi-nya hancur dalam sekali serang, oh, seperti itu. Batinnya.
"Yuki, kamu tak apa!?"
"Menurut Jurojin-sama, bagaimana?" Di sela-sela batuk, ia tak lantas abai dengan pertanyaan dari Dewa-nya. "Aku akan mengurus sosok ini, tak perlu pikirkan aku, Jurojin-sama. Tolong awasi anak-anakku, jangan ada yang mendekat. Akan sulit untuk aku melindungi anak-anak jika mereka ada di dalam jangkauan figur berengsek itu." Busur terangkat, melindunginya dari tinju yang dilayangkan.
Belum sempat sang Dewa menanggap, Seinan meluncur dengan kaki, meluruhkan segala keping bangunan yang menjadi satu dengan pecahan bilah untuk menghindar dari kontak serangan langsung. Memangnya siapa yang mau kena bogem mentah sebanyak tiga kali? Dan Seinan bukanlah Saniwa yang senang main-main.
Sejatinya, memang dialah yang paling open-minded dari Saniwa yang ada. Namun kompas moralnya mampu berubah sepersekian detik saat sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa. Kasarnya, Seinan adalah Saniwa yang paling tenang lagi sabar sepanjang masa—nyaris tidak ada yang sepertinya; tindakannya selalu bergantung pada dinding yang memisahkan antara urat saraf pembatas emosi yang bisa saja keluar tanpa kehendak darinya. Selalu bersikap layaknya angel yang gemar merangkul siapapun, tetapi ia juga mampu menjadi wujud dari kematian apabila sesuatu mengusik ketenangan hidupnya—dan anak-anaknya.
Ekspresinya bermetamorfosis menuju gelap suram. Layaknya barang usang diiringi dengan gelombang kemurkaan saat tiga anak panah dilesatkan dengan perhitungan mantap. Fire saw mengikuti jejak di mana anak panah tadi dilepas; membelah tanah sebab tekanan angin yang dibuat akan senar yang ditarik mengirimkan seluruh kejengkelan hati.
Asap mengiringi, lembar surai pirang hadir saat figur legam itu tak sempat menghindar dari tendangan telak yang Seinan lakukan. Membentur pilar besi yang hancur, Seinan tak buang waktu mencarinya. Kedua tangannya memegang mantap kepala yang terasa lembek menjijikan itu dengan tangan kosong; lututnya mulai bergerak memberi tendangan tepat di dagu terhitung dua kali sepakan dalam satu detik. Ini berbahaya. Seinan murka.
Gemuruh mewarna, angin kering berembus riuh akan sikapnya yang makin tak terkontrol. Surai lepek dijambak, memandang hina lebih lekat sosok yang membunuh anak-anaknya. Pupil lurus tak lagi memiliki pendar lembut; kini satu tingkat lebih terang dengan keinginan membunuh yang besar. Ditarik lebih kuat membuat leher hitam tiruan itu semakin terangkat, Seinan berbisik. "Apa kelemahanmu?"
"Mengapa engkau bertanya?"
"Jawab saja, cecunguk." Begitu kasar Seinan membalas. "Ingin kucekoki air kuil agar organ dalammu terbakar?"
"Aku pun ingin tahu."
"Kami—Saniwa yang suci memiliki kemampuan mengagumkan."
Apa ini. Auranya semakin gelap ditelan temaram. Suara yang barusan pun juga bukan milik Seinan. Ini kasar. Lebih berat dan menekan, seakan menghilangkan oksigen untuk mengganti udara dalam rongga paru-paru. Setiap napas yang terhidu, terasa duri menusuk. Gawat. Seinan kemungkinan hilang kendali.
"Giok itu memberi kami banyak kekuatan." Jemarinya mengerjap, dalam telapak tangan, bulir-bulir air terkumpul membentuk sebuah objek dengan sudut keperakan di ujungnya; sebuah anak panah. "Ini air suci dari kuil-kuil Tujuh Dewa Keberuntungan yang kukumpulkan dari negeri di mana kaum-mu yang busuk itu mengecoh sejarah dan anak-anak kami yang membersihkannya." Jelasnya. "Aku sudah cukup bersabar sejak hari pertama invasi menjengkelkan ini. Semenjak kalian melukai anak-anak kami dengan meniru mantan tuan mereka sampai aku sakit hati karena rasa sedih yang mereka rasakan. Menembus kekkai satu persatu sebagai pengalihan semata, dari gerilya ke genosida seperti ini—yang hanya melelahkan batin dan fisik Touken Danshi. Tidak... tidak ada pengampunan untukmu dariku—Chiko Masayuki; Seinan."
"Kau marah?"
"Jelas." Seinan memegang mantap anak panah dari air kuil yang dikumpulkannya. Ujung yang tajam benar-benar ready merunjang mata hitam tanpa bola itu; tampak kosong. Kelopak mata sang Saniwa mengendur dengan pupil yang semakin mengecil mengingat hari-hari belakangan yang membuatnya hampir dihantam perasaan gila. "Nyaris botak kepalaku memikirkan nasib anak-anak kami... terutama anak-anak Higashi yang berjuang seorang diri. Apa kata terakhirmu?"
"Belum akhir..." begitu bising suaranya Seinan tangkap. "Api peperangan dalam jagad lain sudah terpantik rapi sejak awal. Dan kalian kelak menerima kekalahan mutlak apabila dirinya tewas dalam dimensi lain—siapa yang bisa makhluk suci andalkan saat Saniwa dengan kuasa Ruang dan Waktu adalah daging yang kami telan saat pertama kali bertandang? Ahahahahhaa—"
Tawa itu terputus; tepat saat Seinan mengarahkan sudut anak panah air kuil yang ditancapkan persis ke arah mata sampai menembus tulang belakang. Figur itu lenyap bagai abu, menyisakan tulang belulang dengan sekali tinju yang Seinan lakukan sampai membuat retakan lain di permukaan tanah.
Isi dalam kepalanya berkecamuk. Memikirkan tiga kata kunci; peperangan; dimensi lain; dirinya tewas. Mulai menggabungkan intuisi, melahirkan deduksi baru akan sebuah hipotesis yang kemungkinan akan terjadi di masa yang akan datang.
Seinan mendesah kasar, namun jemari kecil yang tiba-tiba menelusup dari belakang sampai lehernya itu mengalihkan segala pikiran negatip yang sempat memeluknya sesaat. Mengalahkannya dengan tolehan, Seinan disambut dengan wajah lelah nan kotor milik Kenshin Kagemitsu. Seinan menariknya. Membawa pangeran kecil itu dalam dekapan hangat saat sosok biru terdengar terisak.
"Yang selamat, sangat sedikit, Aruji..." Terselip nada sendu dari anak biru—salah satu pedang kepunyaan Uesugi Kenshin.
Aduan diterima. Saniwa laki-laki menghapus derai dari pipi gembil salah satu tantounya yang terluka. Manik biru besarnya bermuara, bengap dengan warna merah di setiap tepian kelopak bundarnya. Ada yang Seinan lihat dari dalam sana; tentang beberapa kesatria yang berdiri untuk melindunginya. Tentang sekelompok orang berpakaian hitam yang mendorongnya jauh-jauh dari titik di mana Saniwa palsu itu hadir.
Kenshin Kagemitsu miliknya kehilangan seluruh keluarganya. Tak heran anak ini langsung menghampiri sang tuan dan menangis manja dalam pelukannya. "Tak apa, sayang." Begitu ujarnya, begitu kalimatnya untuk menangkan sang tantou, harap-harap bocah kecil ini tak tenggelam dalam lara. "Kita kumpulkan pecahan itu, ya? Aku akan menghidupkan keluarga kita lagi."
"Ta-tapi bagaimana dengan rumah kita?" ia kembali menyambung. Membuat sang Saniwa tiada pilihan untuk menggendongnya. Memang tak banyak yang tersisa, memandang Touken Danshi miliknya yang mengumpulkan keping perak. Terselip rasa syukur diberi kesempatan untuk kembali merawat mereka sekali lagi.
Terlihat, Jurojin mendekat. Sang Dewa mengusap bahunya. "Perang di sini usai. Hebat kamu."
"Anak-anak yang hebat." Tanggapnya, menyapukan bibirnya ke pipi gembil Kenshin. "Jurojin-sama, ada yang ingin kusampaikan."
Bibir mendekat ke telinga, bisikan Seinan sukses membuat Jurojin terpaku di bawah cakrawala yang masih abu.
"Jika—jika mereka benar mencari Higashi ke sana—tidak. Ia tak akan kuat. Gioknya tertinggal 'kan?"
"Itu masalahnya." Seinan memandu sang Dewa ke tempat yang cukup jauh dari Touken Danshi-nya mencari keping dari rekan-rekan yang gugur. Kenshin tertidur dalam gendongannya, berderai air mata saat pelipisnya sendiri sobek tak menghentikan warna merah dari sana. Kemungkinan pingsan. "Apa yang harus aku lakukan saat ini? Cemas betul aku akan anak-anaknya."
Sang Dewa mendesis. Memandang satu persatu Touken Danshi di sana—sial. Ia buntu. Bagaimanapun, ini tak semudah membalikan telapak tangan walau dialah—Jurojin—yang berjanji untuk membuka portal ruang dan waktu. Kasus seperti ini tak pernah melanda Takamagahara berpuluh-puluh abad sebelumnya. Lagipula, cermin seperti apa yang tiba-tiba mampu mengisap roh? Memang ada benarnya bahwa cermin adalah jalan utama dari makhluk hidup ke dunia roh, namun mengapa harus Higashi? Katakanlah, apabila dimensi itu berisi sekumpulan villain, memangnya Higashi itu sosok terpilih untuk menyelesaikan konflik di sana? Tidak. Urusan Higashi sendiri sebagai divisi Pertahanan pun sudah banyak untuk melindungi setiap lapis kekkai yang ada dalam Takamagahara di mana rumah Touken Danshi mengistirahatkan diri dalam keabadian hingga akhir waktu. Higashi milik Takamagahara; Misaki Akina sudah ada yang punya.
Namun, memangnya bisa dari Takamagahara lalu terhubung ke ruang waktu dimensi yang bahkan belum pernah di dengar oleh mereka sebelumnya?
Twisted Wonderland. Jagad cermin dalam belah dimensi lain.
Rasanya, otak seperti ditarik keluar lalu isinya dijemur sampai menguap. Seinan menunggu jawaban.
"Yuki-sama!" Seruan ini datang dari Hachisuka yang—kurang lebih mengerikan. Masih sangat amis, ia segera menundukkan kepala. "Yang tidak hancur namun terluka berat sudah dipindahkan dalam ruang yang masih bisa dipakai untuk perawatan lebih lanjut."
"Berapa banyak?" Ia mengusap pipi si uchigatana, membasuhnya dengan air.
"Tak banyak. Hanya delapan; dengan aku dan Kenshin, yang tersisa kini 27 dari 101 kesatria."
"Yang palsu lumayan berengsek." Seinan menambahkan, mengoper Kenshin ke Hachisuka. "Kalian kutinggal sementara, apa bisa?"
Hachisuka mengangguk, tetapi tak bohong kalau irisnya menyorotkan satu pertanyaan. "Yuki-sama, hendak ke mana?"
"Mengumpulkan mineral." Katanya. "Harus buat jalan baru."
"Untuk nona Akina, 'kah, Yuki-sama?"
"Persis."
"Tidak, Seinan. Kamu rawat kesatriamu dahulu." Jurojin mengusap dahu, memejamkan mata memikirkan sesuatu. "Biar aku saja yang membuatnya seperti janjiku pada Bishamon di tempat Nantou."
"Lalu, apa aku harus diam saja?"
"Aku tidak pernah bilang begitu." Tanggapnya. Seinan menerima belaian di kening dari jemari Dewa-nya. "Di sini. Rawat anak-anak saja, aku yang akan mengumpulkan mineral dari tanah-tanah Takamagahara. Jika sudah siap, aku akan memanggilmu."
"Namun—"
"Higashi pasti mengerti hal ini, nak."
Seinan bergeming. Di satu sisi, Jurojin tak sepenuhnya salah. Di sisi lainnya, ia memikirkan keadaan Touken Danshi milikmu. Bagaimana caranya agar situasi mengerikan seperti saat ini tak berlangsung lama? Apa Higashi palsu juga sudah datang ke benteng Timur dan menghancurkan segala yang ada di sana? Mengapa tidak ada Touken Danshi miliknya yang menghubungi Saniwa lain—ia salah satunya.
"Jurojin-sama." panggil Chiko Masayuki setengah gamang. "Aku harap dugaanku ini salah. Namun, jika apa yang kupikirkan ini benar—bahwa pergerakan Touken Danshi dibuat ringan oleh Kita-sama, dan dengan Saniwa sebagai penyalur kekuatan itu...?"
"Maka kesatria di benteng Timur sama sekali tak terbantu akan hal ini."
[TAKAMAGAHARA FOREST|AFFLUENT.]
Shokudaikiri Mitsutada stres.
Tidak. Bukan stres berat.
Seperti, tekanan batin yang melanda setiap rongga dada.
Persis di hulu sungai di mana ia membawa tuannya, Benzaiten menunggu entah sejak kapan. Sang tachi dibuat gelagapan begitu manik emasnya menemukan sungkup putih pudar yang melayang bagai sehelai kertas.
"Lagipula mengapa harus Benzaiten-sama?" Memandang kosong sungai yang menyembunyikan dirimu atas kehendak Benzaiten sebelumnya; sang Dewi menenggelamkanmu tepat di tengah-tengah sungai. Mulanya, Shokudaikiri shock dengan penuturan sang Dewi akan rencananya. Dan sialnya, Shokudaikiri juga tak memiliki kesempatan untuk menghubungi Ichimonji Norimune atas segala sesuatu ini.
Dalam benak, ia berpikir, apa satu-satunya cara hanya dengan menenggelamkan tubuhmu di dasar sungai ini? Tak ada cara yang lebih "aman" 'kah? Jelas, ia sempat ragu saat sang Dewi meminta tubuhmu untuk diberikan padanya.
Di lembah ini begitu tenteram; tak seperti benteng yang membiarkan kelabu masih berkuasa. Berjejer pohon aras menjulang tinggi ke angkasa, membawa serta lanskap dari canvas biru dengan awan-awan tipis yang tercela berarak oleh angin. Iris emas menumbuk langit, seakan birunya mengisap jiwa. Ia amati awan-awan di sana, bergabung menutup bayang sang surya. Lagi-lagi tak ada cahaya yang menembus reranting pokok aras.
Benzaiten menahannya di tempat ini. Seorang diri. Hanya bersama dengan kepakan burung dan hewan-hewan kecil berteriak terhalang lembut oleh dahan emas yang jatuh.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Semak-semak menimbulkan suara dedaun yang bergesek. Keawasan kembali membuatnya memutar tumit; berdiri kokoh membelakangi telaga, maniknya dengan tajam mengalihkan atensi satu persatu pada semak belukar bagai tombak-tombak yang terangkat di seberangnya. Bilah terhunus, Tsurumaru nyaris copot jantung mengetahui benda tajam itu siap memenggal lehernya kapan saja.
"Wow wow!"
"Tsuru-san! Sada-chan juga!?"
Bagai reuni, pelukan hangat dibagi olehnya pada kedua rekan yang menerima.
"Yang ada di hutan; semua gugur dengan gagah. Aku membawa kepingan Kasen Kanesada ke sini. Sedangkan Sada-bou mengantungi pecahan Nikkou Ichimonji dan Mutsunokami Yoshiyuki."
"..." Tertangkap suara napasnya pecah. "Tsuru-san, apa yang membuatmu ke mari?"
"Arahan dari kakek Norimune." Si bangau memberikan satu alat komunikasi jarak jauh padanya. "Omong-omong, di mana kamu sembunyikan tubuh sang Bijin kita?"
Memasang benda hitam itu di leher, Shokudaikiri menyapukan dagunya ke arah sungai. Tsurumaru dan Sada langsung berkelik, mengerjapkan mata seakan rekannya ini berbual.
"Tadi ada Dewi Benzaiten—"
"Benzaiten-sama!?" Sada memekik. "APA YANG DILAKUKANNYA!?"
"Katanya menunggu di sini memang—sampai aku tiba. Lalu Dewi Benzaiten yang menenggelamkan Hime di sana. Sebentar, aku ingin menghubungi kakek Norimune."
Kedua pasang bola amber memandang telaga; menyimpan perasaan sedikit tak percaya akan penuturan yang terdengar tak masuk akal dari Shokudaikiri Mitsutada yang kini menyampaikan berita untuk seseorang di seberang sana. Tsurumaru terhanyut memandang riak ayar yang tampak berkilap dijatuhi binar sang surya yang tak lagi terhalang oleh awan yang melintas langit.
Sang bangau dihinggapi perasaan yang tak dapat terjelaskan saat memandang dua gunung di seberang sana terhalang oleh kabut. Berarti, lembah ini menjadi pemisah antara dua gunung di yang terlihat bersembunyi di langit sana.
"Tsuru-san. Mengapa bengong?"
Rematan diterima, Tsurumaru tersadar dari fantasinya.
"Tidak, kok, Sada-bou!"
Sada menerima pernyataan singkat itu. Kini melipat tangan, mengusap dagu sebagai gestur berpikir. "Namun tetap saja, mengapa Benzaiten-sama menenggelamkan nona kita ke dalam sini? Aruji masih bernapas, 'kan? Apa di dasar telaga ini, Aruji tetap bisa bernapas?"
"Bisa."
Suara itu lain. Mereka tenang, bagai bunyi tetesan air yang terjun dari bebatuan. Sungkupnya menyentuh permukaan tanah, irisnya lembut memandang kedua kesatriamu sampai mereka tak sadar tangan sang Dewi turut mengusap pucuk kepala. Sosoknya begitu kalis; membawa serta merta kirana dari ribuan matahari. Tampak elok dengan surai coklat yang senantiasa disanggul, menyisakan banyak anak rambut untuk membingkai paras pesonanya. Aruminya begitu tenang, ringan seperti tanah yang tandus dijatuhi sempena dari nirwana. Begitu menyegarkan.
Kepala tertunduk, kedua pedang Date menyapa Dewi mereka. "Benzaiten-sama."
Terlihat sorot mata yang tampak menunjukkan kelelahan dari keduanya—persis Shokudaikiri. Bukan lelah fisik. Yang ini lebih parah. Lelah fisik akan sembuh dibarengi dengan istirahat yang cukup. Sedang tenat pikiran itu agak rumit; mereka tidak akan mudah hilang walau sudah istirahat sekalipun. Bagai sarang laba-laba yang terbentuk menghalangi tempurung kepala, mereka bisa-bisa stres apabila sesuatu yang tengah mereka rindukan tak kunjung kembali.
Saniwa mereka.
Dipaksa bertarung tanpa kehadiran sang tuan sampai satu bulan lebih. Memikirkan kondisi gadis mereka seorang diri dalam dimensi lain. Dihantui kabut keputusasaan akan figur delusif itu.
Benzaiten menghela napas, sorotnya melembut sesaat sampai maniknya teralihkan oleh kesatria dengan eye-patch di sana.
"Kata Norimune-san, memang ditenggelamkan. Katanya, Benzaiten-sama yang akan mengurusnya. Aku bilang begitu, dan Norimune-san mengucap syukur."
"Kubilang 'kan jangan ragu."
"Maaf, Benzaiten-sama." Ia menundukkan tubuh sampai sembilan puluh derajat. "Sama sekali, Saya tidak meragukan Dewi yang menjadi Dewan untuk Saniwa."
"Maa, tidak perlu seperti itu. Angkat kepalamu, Shokudaikiri."
Iris emasnya berpendar, laksana embun yang tak beranjak dari suasana pagi. Benzaiten sadar akan sorot yang menyimpan pertanyaan. "Agaknya ada yang ingin kamu tanyakan?"
"Mengenai sosok yang mengejar malam lalu. Saya yakin sudah melihat tepat ke arah kepala. Namun di balik jubah hitam mereka, Saya tidak melihat apapun. Mereka itu apa—jika boleh tahu?"
Sang Dewi berdehem. Memilin sungkup putih yang terselempang dari bahu ke surainya.
"Tahu kalau Saniwa itu roh suci yang bertugas melawan dosa, 'kan?"
Anggukan didapatkan, Benzaiten memejamkan mata mengembuskan uap dari belah bibirnya. "Yang mengejar Shokudaikiri malam lalu adalah ketujuh dosa besar berwujud makhluk tak kasat mata. Kemurkaan; sifat malas; rakus; iri hati; nafsu; serakah; dan kesombongan. Itu semua merupakan dosa-dosa besar yang senantiasa menghinggap dalam diri makhluk hidup yang sering disebut sebagai 'manusia'."
"Eh—" Tanggapnya. "Jadi, yang semalam mengejar itu—mulanya manusia?"
Benzaiten mengangguk. "Kamu tidak akan pernah ingin tahu bagaimana sifat mereka yang sengaja dilepaskan dari neraka oleh Iblis waktu."
Tsurumaru Kuninaga yang menyimak dongeng ini lantas tersenyum miring. Dari sorotnya, Benzaiten menilai sebuah rasa yang kemungkinan ia pendam seorang diri. Ketidak-tepatan; seperti burung kecil yang dari satu cabang ke cabang lain. Bibirnya mengatup, lalu terbuka. Begitu terus sampai ia sadar bahwa sang Dewi tengah memerhatikan kesunyiannya.
"Rasanya, agak tidak adil, ya. Mengapa hanya kita yang dilimpahi sesuatu yang benar-benar di luar kendali kita?"
Tersenyum pilu sang Dewi mendengar keluhan yang datang dari bibir pucatnya. Tampilannya memang masih bersih, tetapi kerah berdarah itu membawa Benzaiten pada visus lain yang berkelibat di matanya barusan. Tentang seorang rekan yang mati dalam dekapannya. Memertahankan senyum sampai berubah menjadi kepingan bilah. Tak tahu kapan bisa bersua lagi atau takdir nanti akan berkata lain atas kesatria yang ada di benteng Timur. Ia bergumam.
"Pemilik semesta memberikan pertempuran paling berat—pada kesatrianya yang tertangguh. Kalian di sini, ya? Aku hendak menyangkutkan selendang ini agar mengecoh musuh yang masih mengejar kalian di hutan."
date of update: February 13, 2023,
by: aoiLilac.
revision: March 23, 2023.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top