31.
A Touken Ranbu ft Twisted Wonderland fanfiction,
-Lueur-
By; aoiLilac.
Credit; DMM, Nitro+. And Disney- Twisted Wonderland, Aniplex, Yana Toboso.
Chapter Thirty-one: Lakuna.
Beberapa bunyi dianggap mampu memberikan rasa tenang bagi indera serta sukma yang mendengarnya. Ada bunyi yang nyaman di dengar; tak sedikit bunyi dijadikan terapi untuk orang-orang yang memerlukan.
Namun, bunyi yang Sebek dengar kali ini membuatnya mengenal rasa takut. Persis bersimpuh di sisimu yang tergolek di atas permukaan sofa dengan tangan menggelepar, Sebek mendengar rintihan tiada akhir. Pupilnya bergetar, bibirnya tak tertutup rapat mendengar segala igau bernada lirih yang kau keluarkan, bagai tengah menenangkan beberapa pihak yang dilanda sebuah ketakutan.
"Kalian kuat. Anak-anakku tidak ada yang lemah." Begitu katamu.
Sebek meneguk saliva; Silver menjatuhi atensinya pada si hijau; menilik ragu.
"Hei, Sebek. Apa kau yakin kalau nonanya para kesatria ini diminta ke ruang Kepala Sekolah?"
"Memang kau tak mendengarnya?" Silver ditanya balik. "Panggilan kepada Kantokusei!!"
"Aku tidur agaknya."
"Dalam kelas?"
Silver mengendikkan bahu; pertanda acuh tak acuh. Kelereng dwiwarna kepunyaannya memandangmu dengan segala kesayuan netra; tak tega. Helaan napas terdengar begitu pergelangannya menjaremba pucuk hitammu yang tergerai hingga lantai. "Kesatria miliknya pasti sangat kesulitan. Kalau tidak, mengapa sampai mengigau sedalam ini?"
Sebek tak memiliki jawaban.
"Lagipula, apakah Kepala Sekolah tak tahu kalau Misaki—jika aku tak salah, hari ini tidak hadir dalam kegiatan belajar mengajar?"
"Saya... yang memintanya untuk tetap... melakukan hal itu."
Sebek terkinjat akan viridian keruh yang memandangnya. Silver bergeming; tak berkomentar apa-apa—selain ia sadar tak memiliki rangkaian kalimat yang tepat untukmu, ia juga hanya melakukan hal yang sewajarnya. Mencemaskanmu juga perlu, tetapi membantumu untuk terduduk saat ini juga tak kalah penting, mengingat, Silver memiliki deduksi akan dirimu yang tak memiliki tenaga sebab hal yang ia simpan rapat-rapat sejak saat itu. Satu dari Saniwa telah gugur; dan kemungkinan, ada komponen yang kurang saat kau terjebak dalam dimensi sihir ini yang membuatmu semakin lemah setiap harinya. Dan Silver tak tahu komponen apa yang kau butuhkan agar kembali terlihat segar seperti pokok yang bersemi.
"Sebab kau tahu kalau aku akan menjemputmu, bukan begitu, Misaki?"
Sekujur tubuhmu terasa ngilu, seakan-akan tulang saling bergesek tanpa ada pelumas yang mengairinya. Pusing dan pening menjadi kawan yang tak kau perlukan dalam situasi ini.
Kurva terbentuk di bibir pucat, netra Sebek melebar sesaat. Namun hal tersebut tak berlangsung lama saat ia memertemukan dahinya dengan milikmu untuk beberapa waktu. Biasanya, jika kau mengeluh sakit sedikit, hal ini dilakukan oleh Yagen Toushiro. Membuat rasa rindumu semakin terbentuk sempurna; membentuk emosi yang berusaha memerdayakan luapan keinginan untuk memeluk kesatriamu satu persatu saat semua musibah ini selesai.
Rindu, ya. Lebih dari itu kemungkinan.
"Suhu tubuhmu luar biasa panas." Sebek memberi vonis menjatuhkan perhatian dengan sorot nanar yang baru kau lihat hari ini. "Salinlah pakaianmu. Aku akan tetap mengantarmu."
"Na-namun—"
"Tak apa." Sebek memotong perkataanmu yang belum usai. "Kita—kau dan aku masih dalam skenario di mana aku hanya mengawasimu. Tak lebih tak kurang. Tiada ada yang tahu bahwa kau adalah Saniwa. Tiada yang mengantungi fakta bahwa kau setengah dewa. Tanda kutip, mungkin staf tahu—maksudku, mereka memang tahu!!"
Tawa ringan menjamah kedua telinga pemuda ini.
Dari sorot netra yang kau nilai, tiada berbual telanjang pemuda hijau polos ini. Begitupun dengan si perak yang mengangguk, seakan mengiyakan pernyataan yang lolos dari belah ranum "saudara"nya. Menghancurkan enamel akan ego, kau mengusap pucuk kepala berbeda warna di hadapanmu dengan lembut. Sesuatu tersengat di tengkuk kesatria Lembah Duri ini saat kau melakukannya. Bukan sesuatu yang misterius yang membuat bulu kuduk merinding; lain mengirimkan tekanan ke batin.
Ini halus.
Surai mereka yang tebal pun tak mampu menutupi telapak tangan subtil bak selimut itu tepat di kepala. Tiba-tiba, pikiran-pikiran yang membuat kepala terasa berat seakan menguap dan hilang. Isi kepala menjadi ringan saat keduanya menyadari bahwa sosok yang diagungkan oleh kesatria-kesatria di Kayangan itu hirap dari pandangan. Asrama kosong yang ditempatinya memiliki dua lantai. Suara lantai kayu yang berdirit di anak tangga menyokong hipotesis bagi keduanya untuk meyakini bahwa kau tengah menyalin pakaian.
Silver dan Sebek beradu pandang.
"Itukah yang dirasakan oleh kesatrianya setiap hari saat tangan itu mengusap kepala mereka?"
"Memangnya apa yang kau harapkan?" Sebek tak sadar bersikap ketus. Aurora menyerong padanya dan membuat bahu pemuda yang memiliki tubuh lebih besar darinya itu tertangkap agak menegang. "Gadis itu adalah Dewa. Aku harap, kesatria-kesatria miliknya mampu melewati hari terburuk mereka. Kalau tak dijemput, aku risau gadis itu kelak mati sia-sia di tempat ini, Silver. Apa yang harus kita lakukan saat tuan Malleus dan tuan Lilia menyelinap dari akademi dan kembali ke Lembah Duri saat ini untuk meminta pertolongan dari Mallefecia-sama?"
"Itu ketakutan Diasomnia—terutama tuan Malleus." Silver mendesah. Terlintas dalam benaknya untuk menganggapi pertanyaan dari Sebek. "Kita hanya ditugaskan tuan Malleus dan Ayah untuk menjaganya sementara waktu. Memangnya apa yang bisa kita—penyihir yang belum memiliki banyak kemampuan ini lakukan untuk membuat segalanya lebih baik? Aku tidak menurunkan semangatmu, Sebek. Namun, maaf. Realitanya memang seperti ini. Kau; aku; kita hanya bisa berdoa untuk yang terbaik untuk pihak-pihak yang kemungkinan terlibat nanti. Aku ragu jika Great Seven akan diam saja jika masalah ini sampai ke telinga mereka."
"Memangnya apa yang bisa diharapkan dari sekumpulan orang-orang egois itu, Silver?"
"Kurasa senior Vil pasti akan mengulurkan tangannya untuk kita—dan gadis itu. Kalim pun begitu. Sisanya, aku tidak tahu."
Gemuruh menyambar; membentuk kilat putih di antara belah langit kelabu yang akhir-akhir ini menaungi jagad cermin saban hari. Silver tak ingat bagaimana hangatnya mentari menyapa kulit. Sebek pun terdiam berusaha memikirkan jalan keluar dari situasi ini. Tidak. Tidak ada petunjuk yang ia dapatkan. Mengulik info darimu, perang di Kayangan antara Touken Danshi dengan Jikan Shukogun yang meniru rupa-rupa mereka dan tuan mereka terdahulu. Ditambah, pengakuan dari sosok biru yang samar Sebek ingat lagi namanya itu; musuh mereka kini menambahkan tiruan sebagai Saniwa. Sebek tak berani membayangkan bagaimana perasaan kesatria-kesatria di sana saat dipermainkan dengan sesuatu yang kotor begitu.
Sebek mendesis. "Kalau aku, aku juga tidak akan sanggup mengangkat pedangku—untuk katakanlah—membunuh tuanku. Walau itu tiruan sekalipun, Silver. Sungguh. Rintangan yang dihadapi kesatrianya itu berat. Dan hal tersebut membuatku sadar bahwa sikap kekeluargaan adalah satu-satunya yang membuat mereka kuat—hingga detik ini."
Silver menyadari perubahan intonasi suara dari Sebek. Masih memandang bentang kelabu, si perak memiliki kesempatan untuk mengusap pundak kokoh pemuda yang ia anggap sebagai saudara karena di besarkan oleh dua orang yang sama. "Aku harap, kita bisa memiliki peluang untuk bersua dengan pejuang-pejuang tangguhnya."
[NIGHT RAVEN COLLEGE – HEADMAGE ROOM.]
Tujuh kepala asrama kembali dipanggil. Kursi yang biasa ditempati Lilia Vanrouge saat Malleus Draconia terlupakan begitu pertemuan diadakan itu tampak kosong. Tiada yang mengisinya. Dire Crowley dikatakan "tahu" apa yang dilakukan oleh dua bangsa peri itu; kembali ke tanah kelahirannya untuk mengupayakan segala sesuatu tanpa membiarkan siapapun mengetahuinya—termasuk kepala sekolah sekalipun.
Riddle terlihat memijat pelipis saat membaca sebundel dokumen berisi agenda Night Raven College yang terpaksa harus di postponed sebab acuan mutlak dari Departemen Sihir. Tunggu, Night Raven College juga sudah mengundur semua agenda mereka sejak kau terdampar di sini, 'kan? Lantas, bagaimana tanggapan para penyihir-penyihir muda ini sekarang?
"Malleus, ke mana?" Vil berlontar lebih dulu; menyadari kurangnya satu dari ketujuh orang nomor satu dalam asrama mereka masing-masing. "Biasanya, jika seperti ini, Lilia yang menggantikannya, 'kan? Sekarang, tiada seseorang yang mewakili Diasomnia?"
"Lilia juga akhir-akhir ini tak terlihat di sekolah." Kalim menambah komentarnya. "Biasanya, kalau ekskul, aku dan Cater dengan Lilia berada dalam ruang kelas yang sama. Namun, Lilia tak bergabung. Aku tanya ke kelasnya, Trey juga mengatakan kalau Lilia tidak mengikuti kelas selama beberapa hari terakhir."
"Jadi, Malleus-san dan Lilia-san menghilang?" Si pemuda dengan kacamata yang membingkai wajahnya berujar sengau. Agaknya kurang sehat.
"Kau memakai masker, agar menutupi sakit? Mengapa tak meliburkan diri saja sekalian?" Leona mencecar. "Pertemuan ini sudah selesai, 'kan?"
Azul membetulkan alat bantu penglihatannya. "Leona-san. Aku sungguh tak membutuhkan komentarmu untuk hal yang kulakukan sekarang. Jahat sekali jika aku mendadak menjadi orang bodoh dan menularkan penyakitku pada orang lain."
"Nanti dulu!" Gebrakan meja dilakukan oleh ketua komite pelajar di Night Raven College; Riddle Roseheart. "Tidak ada yang ingin bertanya pasal bulan yang tidak penuh?"
"Engkau saja yang bertanya." Idia berujar malas. "Kau bisa bertanya, 'kan?"
"Arogan sekali bangsawan ini..." Si aktor menyorot sinis. "Ya, Kepala Sekolah, kami hendak menyampaikan pertanyaan terkait bulan yang tak penuh. Mengapa hal itu terjadi? Kubaca dari selebaran ini, pihak Departemen Sihir juga masih mencari jawaban atas segala sesuatu yang mereka cap sebagai "kejanggalan" ada apa, ini? Mengapa semakin hari, dunia ini terasa begitu menakutkan?"
Dire Crowley menyembunyikan wajah di balik topeng gagaknya. Sempurna. Tiada yang tahu ekspresi seperti apa yang tengah ia buat saat ini. Namun yang jelas, ia tak mampu menghilangkan bulir peluh nan dingin itu. Vil mengerutkan dahi.
"Anda menyembunyikan sesuatu dari kami?" Intuisi Vil Schoenheit memang mengerikan. Sang Ratu bahkan berdiri, mengambil langkah lebih dekat pada sang gagak dan menyoroti setiap napas yang terhela. "Dusta. Ada rahasia besar yang disembunyikan pihak akademi. Apa menyangkut tentang "gadis boneka" itu?"
"Ahhh... benar, aku ingat sekarang." Riddle turut menanggapi. "Kudengar, katanya gadis itu satu kelas dengan Sebek, ya? Dan semenjak dirinya datang—tidak. Terlempar—mungkin itu kalimat yang tepat—ke sini, memang ada saja kejadian aneh, 'kan? Dia itu benar boneka, atau makhluk hidup seperti kita?"
"Nah." Azul menanggap. "Namun apa kau punya bukti untuk mendukung hipotesismu, Riddle-san?"
"Tidak. Belum." Tanggapannya terdengar redup. "Sebek menolak untuk memberi informasi lebih lanjut tentangnya. Kupikir itu hanya alibi saat ia mengatakan, "mana aku peduli, senior Riddle" dan memang tampak betul apa yang dilakukannya itu. Aku tidak pernah bersua dengan perempuan misterius itu, tetapi hatiku mengatakan, ada sesuatu yang harus kita gali darinya."
"Dih." Idia memulai. Lidah bercabang di balik giginya itu hendak mencela. "Apa urgensi kalian mengurus hidup orang lain? Urusi saja hidup kalian sendiri, belum tentu benar."
Leona mendelik tajam. Bahkan sorot hijaunya itu seakan menusuk dalam hening dalam setiap lapisan kulit dan daging. Sosok yang digadang-gadang sebagai pemilik Unique Magic paling berbahaya setelah Malleus Draconia dalam Night Raven College ini menguap malas; memerlihatkan taring yang siap menerkam siapa saja. "Lucu sekali mendengar hal ini dari orang yang mengisolasi dirinya dari kehidupan luar. Haha."
"Wohoho. Lihat. Pangeran berbicara, seram~" Idia mengejek. "Hih. Sudahlah. Aku tak mengerti jalan pikiran kalian, dan memang kita tidak akan pernah cocok satu sama lain. Selamat tinggal, pecundang." Selepas berkata begitu, ia keluar dari ruang kepala sekolah tanpa pamit atau mengucapkan hal-hal yang sepantasnya.
Azul mengernyitkan dahi, mengikuti surai biru api yang tertelan di balik pintu. "Attitude nol besar; padahal masih keturunan bangsawan."
"Dia hanya membutuhkan teman untuk berbagi cerita." Vil yang paling "waras" di antara yang lain itu terlihat menghela napas pendek. Masih memandang pintu yang sebelumnya menjadi pembatas antara Idia dengan ruang di mana mereka masih berdiskusi. "Jika ada yang mendengarkannya, mungkin sikapnya akan sedikit berubah."
"Maa, aku harap ia menemukan sosok lain yang bisa dipercaya, dan mendengarkan cerita darinya." Azul Ashengrotto berdiri dari kursi putarnya. Membawa bundelan dokumen copyan yang didapat dari pertemuan hari ini. "Panitia Magift Tournament tidak akan dibentuk dalam waktu dekat, 'kan? Mari, Riddle-san, Kalim-san. Aku ingin istirahat sejenak di Octavinelle. Segara agak kurang bersahabat akhir-akhir ini."
Yang diajak pun turut bangkit dari tempat duduknya. Ratu tirani bersurai merah di sana dengan saudagar dari Pasir Panas berkulit gelap itu mulai meninggalkan tempatnya masing-masing karena dirasa pertemuan sudah cukup. Tak berniat mencari tahu lebih jauh mengenai sesuatu yang mereka anggap "bukan" urusan mereka.
Lain dengan kepala asrama Savanaclaw sekaligus rival Malleus Draconia; Leona Kingscholar. Dan pemimpin asrama yang selalu menjunjung tinggi kecantikan; Pomefiore; Vil Schoenheit. Keduanya di sana, tidak akan beranjak apabila belum mendapat jawaban yang mereka cari. Leona biasanya tak akan peduli dengan hal-hal yang berada di luar tanggung jawabnya, tetapi apabila hal ini menyangkut tentang lembaga otoritas tertinggi dalam sihir, Leona mau tak mau harus menemukan potongan puzzle untuk melengkapi teka-teki ini. Terlebih, Leona Kingscholar merupakan seorang Pangeran di negerinya. Ia memiliki tanggung jawab untuk melindungi keluarganya.
Vil pun sama. Bukan—bukan karena ia seorang selebritas yang harus merawat diri karena sebagian besar kosmetik buatan tangannya akan bekerja dengan baik apabila dibiarkan di bawah binar rembulan, bukan. Vil Schoeneit merupakan kepala asrama yang paling bisa diandalkan walau sikapnya cukup apatis. Ia merasa harus tahu anomali ini, barangkali ia mampu membantu—begitu pikirnya setelah menemukan jawaban. Namun agaknya, hal yang diinginkan oleh Vil dan Leona kali ini tak akan didapat dengan mudah. Crowley masih kekeuh menyembunyikan identitasmu saat cecaran pertanyaan Vil terus menghujam dirinya.
"Tidak. Bisa rumit urusannya jika Departemen Sihir tahu kalau kalian terlibat."
"Lalu, apa kau pikir si kadal itu tidak terlibat, huh? Hilangnya dia dalam situasi seperti sekarang ini malah menambah keyakinanku kalau perempuan itu bukanlah orang biasa, Crowley. Kadal bajingan dan antek-anteknya kuyakin sudah mengantungi fakta tentang perempuan itu—terlebih saat si tuan muda merah mengatakan—"
"Gadis itu satu kelas dengan Sebek dan pengumuman tadi atas nama Kantokusei. Anda menamainya begitu, 'kan?" Vil menyambung; Leona mengangguk padanya. "Memang ada yang tidak beres, 'kan, Leona?"
"Yaa..." Sang singa mulai bangkit dari tempat duduknya, diikuti Vil yang mengukir ekspresi tak puas dengan semua ini. "Jika kau tak ingin memberitahunya, tidak apa. Pedulikanlah Departemen Sihir kalian itu daripada sesuatu yang lebih buruk terjadi jika tak ditangani lebih awal. Ayo pergi dari sini, Vil."
"Jangan seenaknya memerintahku, Leona." Meski begitu, Vil benar mengikuti Leona untuk keluar ruangan di mana mereka sempat bersatu sebelumnya. Meninggalkan Crowley yang mulai menggigit cakar emasnya dengan gundah yang sukses membuat isi kepala terasa pening.
"Memangnya kalau kalian tahu, akan membantunya? Tidak kupikir. Sama saja."
Berjalan beriringan, tiada yang memulai percakapan antara keduanya. Hanya suara iringan dari sol sepatu bertemu lantai dengan nada seirama untuk menjauh dari ruang kepala sekolah. Hujan tampak lebat dengan gemuruh datang silih berganti. Kilat sempat memberi penerangan di lorong gelap dengan lilin-lilin hijau dengan pijar obor yang memberi penerangan. Sampai keduanya tersadar akan presensi dari seorang perempuan—yang mereka bicarakan sebelumnya.
Ia berdiri tepat di tengah-tengah, terlihat oleh iris amethyst milik Vil bahwa jemari itu tengah mengeratkan almamaternya. Gadis—yang mereka asumsikan sebagai boneka itu berjalan lambat dengan surai yang dibiarkan tergerai menyapu pijakan. Leona dan rekannya beradu pandang, sama-sama menyimpan pertanyaan.
"Hei, Leona. Apa yang kau pikirkan sekarang?"
"Aku tak yakin." Balasnya. "Dari kilat tadi, aku lihat seseorang. Agak—"
Belum sempat Leona mengutarakan sesuatu, iris kehijauannya menangkap gelagat yang aneh darimu; nyaris terjatuh tanpa pegangan apapun. Bersyukurnya dirimu belum membentur lantai, ada lengan kokoh yang melingkari pinggang, dan satu tangan lain di sebelah kanan tampak tak segan menautkan jemarinya dengan milikmu.
"Ada baiknya berjalan di dekat dinding jika kau tak merasa sehat, Nona." Vil menekankan pada kalimat nona. Panas. Telapak tanganmu panas dirasa untuknya. Kilat kembali menyambar, Vil disuguhkan dengan visus lain saat ia yakini bahwa iris hijaumu memandangnya. Terkinjat sang ratu, kelereng ungu pudarnya mengecil—menegang memandang lurus dengan pupil yang bergerak. Ia mendengar sebuah jeritan yang mengerikan, "Ayah!!" seperti itu.
Vil melihat sesuatu.
"Ah. Terima kasih banyak sudah membantu Saya..." Kau melenguh setengah serak; memertahankan kesadaran agar tak berakhir pingsan di tempat ini.
Leona membersihkan tenggorokan. "Apa yang kau lakukan di tempat ini—seorang diri? Memenuhi panggilan Crowley?" Ia bertanya skeptis.
Oh, tidak.
Benarnya, kau tak sendirian. Sebek dan Silver persis mengantarmu. Namun keduanya—dan kau yang mengatakan untuk menyembunyikan diri saat sadar bahwa ada orang lain yang keluar dari ruang tempat di mana kau tuju itu mengangguk dan kemudian melarikan diri secepatnya sebelum terciduk oleh mereka. Kau mengubur cemas pada opsimu yang meminta keduanya untuk menyembunyikan diri sementara waktu. Menghindari konflik kecil padahal kau sendiri tahu apa yang kau lakukan ini sepenuhnya salah. Kau memantik api secara tak sadar, dan kini harus menjawab pertanyaan dari pemuda gondrong dengan telinga hewan yang masih meminjamkan lengan kekarnya untukmu.
"Aku Leona Kingscholar. Yang menuntunmu di sana adalah Vil Schoenheit."
"Kami adalah kepala asrama. Great Seven... bisa kau katakan seperti itu."
Oh, demi Dewa. Mengapa harus mereka? Di saat seperti ini, kau ingin memiliki kemampuan bercakap seperti—ah, tidak ada! Tidak ada kesatriamu yang pandai berbual atau melobi. Sekarang, apa yang harus kau jawab?
Menyingkirkan perlahan lengan Leona dan melepaskan tautan dengan Vil, kau melawan segala rasa ngilu yang hinggap dalam setiap sendi tulang di balik kulit dan daging. Sakit. Ini menggelikan.
"Terima kasih sudah membantu." Kau bangkit, segera menundukkan kepala formal. Berupaya menjauh dari dua figur yang masih memandang dalam diam. Memupuk rasa sangsi dalam sukma mereka semakin merebak sampai dalam tempurung kepala.
Tanpa disadari, kau sudah menghilang dari pandangan mereka untuk masuk ke ruang kepala sekolah.
Keduanya lagi-lagi beradu pandang.
"Apa yang kau lihat?"
Vil memegang kepalanya kuat-kuat.
"E-entahlah!!" Gagapnya. "A-ada sosok pirang—ini samar-samar. Aku tak dapat melihatnya dengan jelas. Namun rangkaian peristiwa itu terputar layaknya sebuah film! A-aku tidak tahu siapa orang-orang itu—dan agaknya, aku mendengar sosok pirang tadi menjerit "Ayah" dengan memandangi pecahan—apa itu—aku tak mengerti. Darah di mana-mana—asap mengepung—ini aneh—"
"Itu yang kau lihat?" Leona melemparkan pertanyaan yang membuat Vil mengangguk karenanya. "Aku lain—"
"Apa?"
"Entahlah—aku tak yakin juga." Suara baritonnya terdengar ragu. "Depak kuda terdengar begitu jelas—meninggalkan tiga orang dalam hutan—ketiganya terlihat tengah menahan makhluk—argh." Pelipis dipijat, Leona mendesau atas apa yang baru saja dilihatnya secara tak sengaja. "Tidak ada yang selamat—perempuan tadi merupakan kunci dari segala sesuatu yang terjadi saat ini, Vil."
Vil mengangguk gamang. Anggukan itu bahkan terasa sangat menyakitkan saat lisan yang Leona kehendaki baru saja membeberkan fakta yang bisa dijadikan pisau analisis dari teka-teki ini. "Dan Malleus—jangan katakan bahwa Diasomnia menyimpan isyarat ini diam-diam—dan beranggapan bahwa mereka bisa menyelesaikannya?"
"Dan Departemen Sihir itu...?"
"Oh, tidak." Leona mendapat atensi horor dari rekannya. Dunia seakan runtuh saat belah bibir dari lawan bicaranya mengungkap tabir yang ia tahan sedari tadi. "Departemen Sihir akan memburu perempuan itu apabila mereka tahu ini, Leona!"
"Perempuan tadi dalam bahaya. Hidupnya tak aman di dalam dunia ini."
[TAKAMAGAHARA – TAKAMAGAHARA FOREST.]
Membawa serta merta harapan dari Ichimonji Norimune, Tsurumaru Kuninaga yang membawa Taikogane Sadamune menunggangi kuda hitam untuk menyusul rekannya itu dipacu lebih cepat. Menelusuri jenggala tanpa bicara hanya muara yang terus mengalir berharap regu yang membawa tuannya baik-baik saja itu tampak mustahil untuk ditahan.
Dengking kuda menyelinap ke setiap pohon-pohon yang ada, menandakan bahwa sang penunggang menarik tali kekang dan memintanya untuk berhenti.
Ambernya disambut pemandangan pilu. Jenggala yang menjadi tempat pemberhentiannya tampak kacau. Banyak pohon tumbang tak rata dengan tombak-tombak yang memacak permukaan tanah.
"Sada-bou!!" panggilnya saat merasa tantou yang duduk di belakangnya itu turun. Tsurumaru melihat figurnya yang berlari, seperti menghampiri sesuatu yang memancingnya untuk berbuat seperti itu.
"Ada apa?" Tsurumaru berhasil menyusulnya. Dengan wajah kurang mengenakkan serta warna netra yang sama dengannya itu meredup, Tsurumaru menerima bunga keunguan yang familiar untuknya. Bibir ternganga saat satu figur terlintas di kepalanya. "Kasen!"
Langkahnya memburu untuk menemukan satu figur yang berusaha ia cari dengan asa yang ia mau; satu rekannya harus selamat. Dan kemungkinan besar, Kasen merupakan salah satunya. Sada ke kanan sedangkan Tsurumaru ke kiri, ambernya menemukan tubuh yang tergolek tak berdaya membelakanginya. Surainya ungu, dengan jubah kupu-kupu yang terbentang, Tsurumaru melesat cepat mengamburkan dedaunan luruh.
"Kasen!"
Sang tachi menelan saliva. Ada tiga anak panah yang Kasen terima.
Kali ini suaranya lebih keras. Memangku kepala ungu itu di atas paha, meremat tangan yang mulai dingin. Pandangan Tsurumaru Kuninaga mulai menghangat. "Kasen..."
Ia terkejut saat belah pucat itu menjawabnya. "Tolong simpan air matamu, Tsurumaru..."
"Kasen!" Seru sang bangau kesekian kalinya. "Bertahanlah! Aku dan Sada-bou akan membawamu ke Honmaru!" pedang starter itu menahan jemari Tsurumaru yang hendak mencabut panah itu dari dadanya.
"Biarkan seperti ini." Katanya gemetar, tangan satunya meremat surai ivory sang bangau. Darah yang ada di tangannya kini menodai helaian bersih itu. "Maafkan aku, kawanku... aku—kalah di sini... kelak tuan kita akan kesakitan."
Tampak Tsurumaru menggeleng samar. "Kamu bertarung sebagai kesatria yang gagah—punggawa tuan kita; Akina!!"
"Ini sudah berakhir!" Serunya. "Dunia sejarah kelak berakhir dalam kegelapan, dan tuan kita!! Tuan kita akan jatuh! Dan benteng kita akan hancur!!" Ia menarik pakaian Tsurumaru Kuninaga. Membawa sang bangau memandang wajah Kasen Kanesada yang berlumur darah; tampak kacau.
Tsurumaru menggenggam tangan rekannya. "Aku tak tahu hal apa yang bisa kuperbuat. Namun aku berani meyakinkan ini padamu; bahwa tuan kita akan kembali—dan kita akan meraih kemenangan."
"Tuan kita?" Kata Kasen. "Tuan kita, akan menang."
Tsurumaru menangguk pilu, mendapat seulas senyum dari uchigatana yang bersama dengan tuannya lebih awal.
"Tsuru-san! Aku memungut pecahan—" Sada menghentikan larinya begitu mendapat pemandangan di luar dugaan.
Kelopak sakura behamburan, membentuk pusaran begitu mengubah kesatria menjadi kepingan bilah perak yang Tsurumaru tangisi dalam diam. Mengumpulkan pecahan-pecahan yang ada di permukaan tanah, sang bangau berdiri.
Memandang Sada dalam diam. Membiarkan muara terus membasahi pipi saat sang tantou pun melakukan hal yang sama dengannya; menangisi sesuatu yang ia genggam. Kurangnya satu hari perjalanan—Tsurumaru tak meyangka akan disuguhkan sesuatu yang meremat hatinya.
Menekan alat komunikasi jarak jauh, menyampaikan pesan duka pada seseorang di seberang sana.
"Nikkou Ichimonji; Mutsunokami Yoshiyuki; dan Kasen Kanesada gugur dengan terhormat."
Likuid hangat mengalir dari pendar biru pudar. Menahan sesak seorang diri, Ichimonji Norimune terdiam mendengar kabar. Sanchoumou yang setia berdiri di sisinya sadar akan sesuatu yang terjadi, ia menepuk pelan pundak pendahulunya; berusaha menguatkan walau kemungkinan kecil usahanya itu tak akan terpengaruh pada kesatria yang mem-bahasa-kan dirinya sendiri sebagai "JiiJii" itu tampak enggan menghapus sesuatu yang terkumpul di dagunya. Ia mengenggam tangan Sanchoumou dari depan tanpa memutar tumit.
"Anak-anak yang tangguh. Akina-sama sangat bangga memiliki mereka."
date of update: February 07, 2023,
by: aoiLilac.
revision: March 22, 2023.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top