27.
A Touken Ranbu ft Twisted Wonderlan fanfiction,
-Lueur-
By; aoiLilac.
Credit; DMM, Nitro+. And Disney- Twisted Wonderland, Aniplex, Yana Toboso.
Chapter Twenty-seven: Nubivagant.
[HONMARU NANTOU.]
Burgundy bulat miliknya dengan pupil lurus mengerjap perlahan dengan bulu roma yang melambai halus dalam setiap kedutan; napasnya begitu lemah dipaksa keluar seiring dengan dada naik turun. Helaian emasnya tergerai apik di atas futon, tampak halus elok untuk dipandang. Sosok rupawan dari satu Saniwa ini perlahan bangkit melenguh pelan. Memandang sekeliling huniannya yang masih utuh—ah, tidak. Sebagian besar rata dengan tanah karena ledakan dan warna pudar yang masih menguasai nabastala sana membuat hatinya kembali bergemuruh saat benaknya mengingat sesuatu.
"Aku masih dalam misi untuk memulangkan Higashi..." Kepalanya berdenyut hebat selepas bibirnya berkata demikian dalam lautan yang masih mengombang-ambingkan dirinya. Sudah berapa lama aku tertidur? Begitu gumamnya tersirat.
Jemari lentik beradu dengan benda keras yang membuat perhatiannya teralihkan. Dua bilah kunai perak dengan rumbai putih di setiap pegangannya terletak tak jauh dari daksa yang terbaring. Nantou; nama kodenya. Memiliki nama asli pemberian Tujuh Dewa Keberuntungan sebagai Tamotsu Katsumi memilih menyingkirkan selimut yang membalut tubuhnya beberapa waktu lalu. Tanpa memerhatikan penampilan, Saniwa akan selalu sempurna. Pun jika mereka baru saja bangun dari "tidur"nya.
Cermin tua kini dipandang dalam hening yang mengakar mengirim ruang kosong dalam dada. Dari tangan Nishi, kini dikembalikan ke tangannya. Tujuh Dewa Keberuntungan sudah menerima kabar kalau dari—katakanlah "seberang" sana, ada suara putus-putus seakan memanggil sosok yang ada di "sini". Namun saat mencobanya untuk kali kedua, sang cermin tak menunjukkan pergerakan apapun.
"Mikazuki dengan nekat menyebrangi celah itu seorang diri. Entahlah ia sudah "bertemu" dengan Higashi atau belum. Aku tidak mengerti. Kalaupun iya, harusnya cermin ini bekerja dengan baik karena pasti penyihir muda di sana menyadari kehadirannya. Apa aku salah?"
"Nantou-sama, sudah bangun?"
Ada satu kebiasaan dari seluruh Saniwa untuk anak-anaknya. Apabila dipanggil, mereka tak hanya melirik, melainkan memutar seluruh badannya secara keseluruhan. Dan Nantou melakukan hal tersebut bersamaan dengan sosok Taroutachi yang mendekat—mengingat bahwa Taroutachi-lah tangan kanannya.
"Unit-unit khusus sudah dipulangkan, benteng akan menjadi titik pertempuran terakhir." Balasnya saat Nantou bertanya. "Kudengar, ada Saniwa palsu di luar sana. Semua garis pertahanan dibuat hancur dan yang bisa dilakukan adalah, Nantou-sama harus membunuhnya jika sempat."
Alis nyaris menyatu membentuk garis saat dahi berkerut. Kening dipijat pening, bibirnya masih tampak pucat bagai kelopak lotus yang mengapung dalam mimpi. Bola mata mengikuti rangkaian kalimat yang ditulis rapi menggunakan tinta hitam oleh Kita yang berpesan pada Taroutachi untuk memberikan surat itu padanya saat sudah siuman. Ia sendiri tak menyangka bahwa pertarungan kemarin akan menguras tenaga sebanyak itu. Terlebih, ia tak hanya bertarung, tetapi turut memertahankan touken danshi-nya dan menghalangi keretakan yang akan membuat mereka hancur apabila tak langsung ditangani. Nantou bekerja dua kali lebih keras ketimbang Saniwa yang lain jika ia sudah turun ke garis depan.
Sebuah keistimewaan yang nyaris tak bisa dilakukan oleh Saniwa yang ada—bahkan Minami yang memiliki jabatan sebagai Divisi Kesehatan pun tak bisa melakukan hal tersebut. Katakanlah, kemampuan nyata seorang Nantou persis sama dengan Tsurugi, tetapi imbasnya, Nantou akan tertidur tiga sampai empat hari untuk memulihkan vitalitasnya setelah ia menggunakan kapabilitas itu.
Itu pun dengan kekuatan yang belum terkumpul sepenuhnya apabila ia sudah bangun.
"Apa maksudmu jika sempat? Aku bertanggung jawab untuk melindungi kalian—anak-anakku. Aku haus, bisakah kamu ambilkan aku segelas teh hijau panas?"
Taroutachi menunduk, melenggang mengikuti permintaan tuannya tanpa suara.
"Dan sayangnya, aku belum berjumpa dengan sosok lain yang busuk itu." Gerutuan terdengar, surat kembali dilipat. Ia pandangi lagi cermin yang merefleksikan dirinya. Mengambil dua langkah lebih dekat dengan pergelangan seputih susu yang terangkat.
"Hei, ayo katakan sesuatu. Engkau yang mengisap roh adikku, 'kan? Aku pelindung semua Saniwa, mereka adik-adikku yang manis. Kembalikan mereka padaku dan keluarganya."
Nantou tertawa miris mengingat apa yang ia lakukan barusan tak ubahnya seperti orang yang memiliki penyakit jiwa. Tangan dilipat, kedua bahu mungilnya merenggang asal dengan leher yang meliuk sesaat. Tanpa sengaja, netranya terpaku pada benda berwujud lingkaran yang kini melingkar di ibu jari pergelangan kanan. Sebuah cincin giok kelir abu; yang berperan penting dalam mengikat hayat seorang Saniwa, sekaligus memberikan mereka sebuah kapabilitas untuk menjaga benteng.
Konon katanya, cincin itu terbentuk dalam dasar sungai utama Takamagahara, bahkan sebelum bumi dan bulan terbentuk.
"Dan Higashi terpisah dengan benda ini."
Tarikan napas dengan suara kecil yang terkejut kini menyadarkannya bahwa cermin tersebut kini tengah memerlihatkan sebuah pergerakan. Abu-abu garis horizontal, kemudian berkelip mengubah warna perak ke pendar putih yang menyilaukan. Sparkle hijau, ungu, dan merah mengiringi ruang tempat di mana ia berdiri, Nantou merinding seketika saat telinganya mendapat suara ketukan dari arah lain yang tak terduga.
Cermin itu.
"Ha—halo halo!"
Yang didapat iris burgundynya adalah dua orang asing.
Satu berpenampilan konyol serba hitam dengan topi tinggi dan topeng yang menutup wajah. Lainnya lagi cukup normal dengan warna nyentrik perpaduan hitam, putih, dengan merah.
Dan satu sosok perempuan mungil yang tampak berdiri menunjukkan wajah penuh harapan.
"Higashi?"
[NIGHT RAVEN COLLEGE – HEADMAGE ROOM.]
Mengunjungi perpustakaan-perpustakaan sihir dalam Twisted Wonderland agaknya membuka jalan baru untuk usahanya selama ini. Dire Crowley harus menemukan sebuah batu sihir lain yang bisa menghubungkan buana mereka dan kayangan. Batu yang digunakannya berwarna aurora yang dikatakan hanya ada tujuh keping dalam Twisted Wonderland itu sendiri. Sihir yang terpendam di dalamnya puluhan kali lebih kuat dari kristal yang ada di Night Raven College. Setengah tak percaya, tetapi kini hasilnya persis di depan mata.
Yang Crowley dan Divus lihat adalah sosok rupawan. Seperti seorang pemuda dengan surai pirang mencapai dada. Kain tipis meliputi tubuhnya sampai sosok itu mendekat menempelkan telapak tangannya ke cermin.
"HIGASHI!!"
"Nantou aniki!"
Tak mampu mendekap, hanya cermin yang menjadi pelepas perasaan rindu. Telapak tangan saling beradu dengan dahi yang masing-masing menempel ke cermin. Seguk kecil terdengar, Nantou mengucap rasa syukur.
"Higashi, dengar aku. Aku akan jujur mengatakan hal ini. Peforma anak-anakmu adalah yang terbaik, namun maaf. Maaf. Maafkan aku karena tak mampu menjaga mereka. Mental mereka kacau. Semenjak Daihannya milikmu hancur karena sosok itu, mereka sudah tak banyak bicara. Hanya diam dengan sorot mata yang memancarkan lara. Maafkan aku, Higashi. Aku tak bisa menjaga mereka. Maafkan aku."
Menangis memang tak menyelesaikan masalah, tetapi dari menangis, kau merasa ada satu beban dari dada yang perlahan menguap.
Staf sekolah merinding mendengarkan penuturan dari sosok yang ada di seberang cermin. Kini satu tangannya berada di punggungmu, memberikan usapan walau nyatanya hal tersebut tak membantu,
"Apa sosok di sana adalah "orang" yang sama dengan perempuan ini?"
Penalaran Nantou membawanya dalam satu jawaban. "Perempuan itu? Yang sopan!" Crowley mendapat bentakan. "Apabila perempuan yang Anda maksud adalah Higashi, maka iya." Netra padmarininya seakan menusuk Crowley.
Oh, Crowley. Tidak tahukah engkau kini berhadapan dengan siapa? Sosok Saniwa yang mengatur segala urusan mengenai Ruang dan Waktu. Figur mungil yang selalu mengawasi keenam Saniwa lain yang ia anggap seperti adik-adiknya yang manis.
"Oh! Iya! Maafkan aku, tuan!"
[HONMARU NANTOU.]
Taroutachi termangu dengan pemandangan yang didapatnya.
Satu gelas teh hijau panas dengan asap putih yang mengebul kini sudah ada di permukaan nakas.
Ia turut mengambil posisi dekat sang tuan yang masih mengabarkan situasi peperangan terakhir kepada sosok Saniwa yang ia kenal dengan baik—dan terjebak di dalam sana.
"Aku khawatir nanti anak-anakmu akan memiliki masalah dengan psikologisnya. Jika itu yang terjadi, maka hanya kau yang mampu mengembalikan mereka seperti sedia kala, Akina."
"Aku paham."
"Taroutachi, tolong panggilkan kesatria dari benteng Timur. Siapa saja. Mereka harus melihat kondisi tuan mereka sekarang."
"Oya." Balasnya. "Apa yang membuatmu berpikir kalau aku akan melakukan hal itu, Tamotsu Katsumi?"
Jemarinya kini menelusuri pipi sang Saniwa. Membawa gelombang atamosfir mencekam seakan udara terasa begitu lekat namun mematikan.
Nantou diam.
Higashi pun bergeming.
Angin riuh menerbangkan surai pirangnya saat menoleh pada sosok ootachi yang entah sejak kapan sudah memandangnya dalam diam. Detik berlalu begitu cepat, hingga tangan sang ootachi memberikan sebuah benturan tepat di atas tatami. Tatami hancur dalam sekali tinju yang ia lakukan.
Higashi menyaksikan sendiri bagaimana Taroutachi itu melakukan serangan dan Nantou yang kini masih berada di langit-langit kayu memprediksikan sebuah hal yang membuat batinnya tergerus emosi. "Kau—kau penyusupnya!? Lantas Taroutachi-ku yang asli—"
Sosok itu tersenyum, bagai serigala yang berdiri di tengah-tengah domba di padang bukit.
"Saniwa macam apa yang tak menyadari salah satu punggawanya gugur?"
"... Apa?"
Keadaan berisik itu membuat beberapa kesatria lainnya mendatangi tempat kejadian perkara. Sasanuki pertama kali tiba, disusul dengan beberapa kesatria lain miliknya yang tampak menerka apa yang terjadi.
Situasi kian tak menguntungkan saat bilah saling beradu dalam gempuran emosi yang tak bisa dielak. Wujudnya kini berganti menjadi Nantou. Namun kesatria di sana paham bahwa itu bukanlah tuan mereka. Yang menyeringai di sana adalah iblis. Iblis yang menyerupai Saniwa mereka.
"Mustahil!" Di tengah-tengah gempuran, Nantou melemparkan kunainya dan berhasil merobek daun telinga tiruan itu. "Nishi sudah mengirim punggawanya, dan mengatakan kalau anak-anakku di sini aman!"
"Hah—jangan buat aku tertawa, tuan." Saniwa palsu itu masih mampu untuk menjawab di tengah-tengah perlawanan yang dilakukan oleh kesatria milik Nantou. "Sudah kukatakan, tak perlu ada sistem sampah seperti ini. Biarkan dunia masuk dalam ajang kebodohan. Biarkan sejarah hancur."
"Dan tugas kami mengapus iblis sepertimu!" Shishio melesat cepat bagai kilat. Satu tebasan dilayangkan di leher namun figur legam itu tak kalah cekatan. Pergelangan miliknya turut bergerilya dengan sorot mata yang membaca pergerekan kesatria Nantou dengan cepat.
Suaranya berat, terdengar seperti teror pada masa di mana iblis mulai berkeliaran dari gerbang neraka saat lembayung senja mengaum. Tawanya mengerikan. Ledakan kini mengalihkan perhatian Saniwa Nantou—pun dengan dirimu yang tampak terpaku menyaksikan kekacauan tak terduga itu.
Saliva ditelan berat, viridian melotot sempurna. Tak mengerti apa yang tengah terjadi saat kalbu-mu sendiri tercabik-cabik.
"Mati!" Shishio berhasil di dapatkan. Ia membelah kepala pirang sang tachi dengan tangan kosong. Rudira kini memenuhi cermin, mengalir kental saat jeritan dari Nantou terdengar seperti lengkingan yang kesakitan.
"Ini yang akan terjadi pada kesatriamu nanti, Akina."
Cermin dipecahkan. Meninggalkan sebuah pesan yang memberikanmu perasaan takut. Jujur, kau mulai takut. Tidak, kau tak takut dengan tiruan itu. Namun akan takdir anak-anakmu yang kemungkinan besar akan dibantai habis-habisan.
Si delusif menghancurkan jalan satu-satunya untuk Higashi kembali pulang.
Atma Nantou mulai merasakan sesuatu yang mendidih di balik darah yang mengalir dalam nadi. Iris burgundy miliknya melebar saat rasa sakit kini kembali menjajah dadanya bak dihujani ribuan mata pisau.
Ia terjatuh.
Batuk tercampur dengan darah.
Satu atensi menyadari adanya hal yang "menarik", dan figur delusif itu dengan kecepatan tak masuk akalnya menarik helai pirang sang Saniwa yang tersungkur, tak berpikir dua kali untuk membantingnya.
Tak terima dengan perlakuan yang didapat oleh tuannya dari sosok iblis, Oodenta Mitsuyo bertindak cepat. Gemuruh halilintar mewarnai langkahnya saat pergelangan yang sebelumnya menyiksa Nantou kini tak lagi menyatu sebab sang Tenka Goken memutuskannya. Dalam pelukan Ookanehira, Nantou masih terbatuk hebat mengeluarkan segala warna merah dari dalam tubuhnya.
"Aku akan membawamu pergi!"
"Ja-jangan!" Nantou masih sadar saat menanggapinya. "Hanya aku—yang bisa membunuh makhluk itu."
"Dengan apa yang kamu terima barusan!?"
"Ookanehira!"
Dibentak, lantas tersentak. Degup jantungnya bekerja dua kali lebih cepat akan hal yang baru saja diterimanya. Pupil mengecil, tuannya memandang mantap akan sorot determinasi. Ookanehira menurunkan tuannya saat hati dan pikiran mengatakan hal yang sebaliknya; membawa tuannya pergi jauh dari tempat ini. "Aku mengerti."
Kelopak merah jambu berguguran, melambangkan satu roh yang hirap dari bilah pada bangunan kacau. Pasukan pengulang sejarah hadir memperkeruh keadaan. Kerangka berpendar hijau dengan kunai menghalangi jalannya sang Saniwa untuk mencari sosok pengacau yang menghabisi nyaris seluruh anak-anaknya dalam waktu sekejap.
"Maju! Jangan berhenti!!" Ookanehira memerintah, seakan ia lupa siapa tuannya. Mengiringi derap kaki yang bergetar.
Bilah besar menghalangi jalan, rambut hitam dari ootachi musuh nyaris membelah tubuhnya menjadi dua. Ookanehira dengan tangkas menahan pergerakan makhluk itu dan memaksa tuannya untuk terus berlari.
"Ke mana perginya sosok itu!?"
"Tepat di belakangmu."
Kunai beradu.
Nantou terkejut lantas menggunakan kedua kakinya untuk menjauh, melompat empat meter dari tempatnya berpijak. Alangkah berangnya, murka, mendidih jiwanya mendapati satu kepala yang ditenteng oleh si palsu. Kepala hijau salah satu kesatria terbaiknya, sang Tantou tempaan Awataguchi; Mouri Toushiro kini tak lagi utuh. Tubuh dengan kepala terpisah, dibuang begitu saja oleh pelaku seperti menggelindingkan sebuah bola.
Melesat cepat, Nantou menggunakan seluruh tenaga yang ada walau rasa sakit akibat gugurnya para kesatria kini membuatnya tubuhnya menjerit pedih.
Kunai saling beradu, sosok legam itu memamerkan senyum lantas menendang dada sang Saniwa. Tidak membiarkannya bangkit, hendak menusuk kepalanya dengan senjata yang sama, Nantou berdiri lebih cepat menyadari bahaya yang akan datang.
Abu-abu masih menghias langit, bertarung seorang diri dengan kaki yang gemetar lantaran darah yang terlalu banyak keluar dan hantaman sana sini yang ia terima membuat kepala Nantou berdenyut semakin hebat. Kesatria yang masih mampu berdiri tak memedulikan darah yang mengucur deras di tubuhnya saat sebagian yang hidup menghalau sisa-sisa pasukan pengulang sejara. Anak panah menyerbu, timah panas saling mengeluarkan bunyi ledakan saat pelatuknya ditarik. Benang perak dikaitkan di tubuhnya. Ditarik, menyemburkan warna hitam dari pergelangan lengan dan kaki.
Kepala terputar 360 derajat, Nantou bergeming tak percaya dengan apa yang ia lihat barusan.
Benar iblis.
"Pengganggu."
Memanfaatkan titik buta, ia melesat membawa kunai perak miliknya yang mampu membuat lawannya meleleh.
Kekehan terdengar merendahkan. Terbawa angin, menjadi sebuah tawa yang mengerikan.
Kunai-nya diciptakan sepasang namun yang Nantou pegang hanya satu. Dan sialnya, ada satu lagi yang kini turut menikam dadanya saat ia berhasil menancapkan kunai itu tepat di ubun-ubun si tiruan.
Nantou mendapat seringai. Mata hitam itu melirik ke arah dadanya saat Nantou sendiri yakin bahwa degup jantungnya berceceran tak normal.
"Mari ke neraka sama-sama."
"KATSUMI-SAMA!"
Yang palsu meleleh, meninggalkan yang asli—yang kini turut menunjukkan perubahan seperti besi yang dilebur.
Tak ingin tuannya terbentur tanah, Namazuo Toushiro mengantisipasinya secepat mungkin. Sang wakizashi merasa wajahnya panas, tak lantas menangis hebat walau Nantou masih bisa menampilkan senyumnya.
"Kita... masih sempat membunuhnya."
Tidak. Mereka tidak menangisi takdir mereka.
Pita suara seakan hancur saat semua memilih untuk membisu. Menunggu giliran begitu kelopak sakura mengubah wujud mereka kembali di tanah yang acap kali disebut sebagai "rumah". Saling menunduk, membiarkan berkah membasuh tubuh mereka dari kental merah nan anyir.
Bayang memenuhi penglihatan, seguk tak lagi terdengar. Senyum menjadi pilihan terbaik saat kesatria miliknya memandang lembut, memberi sebuah belaian bagai sentuhan malaikat di balik selimut yang tebal. Ada harsa yang tersirat saat duka lebih dominan. Dekapan saling dilakukan. Saat sosok yang senantiasa dipuja kini tak mampu menjaremba untuk memberi usapan, belah bibirnya berbisik sengau dengan senyum yang tak pudar,
"Maafkan... aku."
Touken danshi miliknya tak menjawab. Hanya saling tersenyum, tak mampu berkata.
"Jika... aku terlahir kembali... apa kamu semua masih ingin menjadi anak-anakku lagi?"
"Tentu saja." Namazuo Toushiro menjawab pertama kali. Mengadu dahi, membiarkan ego kini mengatur segalanya. "Kita semua akan bersama-sama lagi. Di suatu tempat, dengan pasir putih yang hangat dan deburan ombak nun jauh di sana."
Nantou terkekeh, agaknya setuju dengan ide salah satu anaknya.
Memertahankan senyum, berbisik saat kini tubuhnya berubah seperti likuid perak yang terbawa petal merah jambu,
"Tak buruk juga, Namazuo."
Satu Saniwa kini gugur.
Entah apa yang akan terjadi dengan bulan nanti.
Namun saat Namazuo Toushiro kini mengalihkan kepala untuk rekan-rekannya yang tersisa, mereka tak luput berubah. Kelopak merah jambu mengelilingi benteng yang hancur dengan asap abu yang masih mengepul. Bekas-bekas pertempuran menjadi saksi bisu atas apa yang baru saja terjadi.
Jemari dipandang dalam diam. Terbawa anila, kelopak merah jambu kini mengambil alih tubuh. Menatap langit abu yang masih berkuasa saat setengah tubuhnya tak lagi menyentuh tanah, Namazuo Toushiro akhirnya luluh dengan senyuman. Menjawab satu hal dari sayup suara yang kini mengajaknya untuk pergi,
"Tunggu aku, Aruji."
Penjaga dan pengawas sejarah; Touken Danshi dan Saniwa di benteng Tenggara; lenyap tak bersisa. Suara tawa mengiringi tanah kosong saat rincing bel yang masih tergantung apik dimainkan oleh angin. Satu suara kini bertanya saat tangannya digenggam oleh tuannya seakan-akan tuannya akan menghilang apabila ia melepaskan tautannya,
"Kita mau ke mana, Shukun?"
date of update: January 06, 2022,
by: aoiLilac.
revision: March 21, 2023.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top