26.

A Touken Ranbu ft Twisted Wonderlan fanfiction,

-Lueur-

By; aoiLilac.

Credit; DMM, Nitro+. And Disney- Twisted Wonderland, Aniplex, Yana Toboso.

Chapter Twenty-six: Redemancy.

[HIGASHI'S SWORD.]

Bibir bawah digigit resah saat pikiran mulai kalut. Mangata yang terbias kian lama mengirim ombak kecil yang menggambarkan hatinya dalam lautan gemuruh.

Perintah untuk memertahankan garis paling luar sudah diterima dengan lapang dada. Dan ialah yang akan menjadi kaptennya. Pahit manis, asam garam peperangan melawan perombak sejarah sudah dihafal betul rasanya bahkan sampai tertinggal di langit-langit mulut. Aroma karat besi, dinginnya bilah musuh dengan taring-taring runcing mereka yang sama sekali tak membuat hatinya gentar.

Sosok Mikazuki Munechika adalah garda paling utama yang dimiliki oleh benteng Timur. Tidak ada yang tidak "mengenal" siapa dirinya. Setiap kesatria tahu betul bagaimana pergerakannya yang cukup mematikan apabila agah nayanika biru bulan sabit itu berubah bak cekungan dalam disertai uap putih yang keluar dari mulut tepat saat kedua kakinya bergerak memecah pijakan.

Sekuat dirinya, tetapi masih ada satu kelemahan yang fatal.

Sehebat dirinya, tetapi ada satu yang membuat hatinya agak ragu kali ini.

Setangguh dirinya, tetapi pertahanan akan keyakinan perlahan menguap dari dalam sukma.

Mikazuki Munechika harus melakukan sesuatu.

Namun siapa yang bisa diajak bicara untuk saat ini?

Shokudaikiri? Ah, tidak. Kesatria itu merupakan kepala dari seluruh tachi yang kini tengah mengevaluasi ulang semua statistik bilah-bilah panjang itu di benteng Timur.

Kasen Kanesada? Jangan. Kemampuan Kasen Kanesada memang mengerikan, tetapi Mikazuki tak cukup yakin untuk membagi gundah di hatinya ke kesatria yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Izuminokami dan Ningen Mukotsu itu.

Ookanehira? Mungkin orang ini cocok. Namun mengingat sikapnya yang apatis dan dengki terhadap dirinya, Mikazuki Munechika mengurungkan niat.

Terbenam lantas sesak dalam pikirannya seorang diri, kini suara sepasang kaki sepertinya dengan tenang menyusuri engawa saat shyam berkuasa mengirim rasa gigil menembus tulang putih dibalik kulit nan subtil.

Masih mengenakan seragam tempur yang lengkap, kain merah rumbainya berkibar seperti kobaran geni yang mengudara menembus angkasa. Bundelan dokumen kini dibacanya tanpa memerhatikan jalan. Memercayai langkah kaki dan insting yang menuntunnya menuju ruang di mana Shokudaikiri Mitsutada masih terjaga bersama dengan Nankaitaro Chouson untuk membantunya.

"Oya? Nak bulan." Begitu suaranya sedikit bergelombang seperti orang tua pada umumnya saat Mikazuki menahan lengannya.

Si biru tertawa kecil. "Jangan. Jangan panggil aku seperti itu. Aku Mikazuki. Mikazuki Munechika."

"Hmm? Namun [anak-anak] tetaplah "anak-anak"."

"Hanya kita berdua yang dipanggil JiiJii oleh gadis itu."

"Uahaha, benar. Jadi, ada urusan apa denganku, nak bulan?"

Gelisah. Ichimonji Norimune menangkap raut wajah gamang sang bulan sabit dalam diam. Netra kedambaan tuan perempuannya itu kini keruh satu tingkat ketimbang hari-hari biasa. Bak kumpulan kumulunimbus yang menghalangi dewi malam untuk menabuh afsun di matanya. Ia sadar akan perasaan gelebah dari salah satu sosok dengan gelar 'Lima Pedang Terbaik di bawah Surga' ini.

"Nanti. Aku harus mengantar dokumen ini ke Osafune muda yang menungguku."

Sang bulan sabit mengangguk paham mengikuti punggung kokoh lain yang kian mengecil sebelum menghilang di telan gulita dengan ekor mata.

Arkian, Ichimonji Norimune menepati janjinya. Di permukaan engawa yang kosong, ia turut memandang jejeran pokok bambu yang tumbuh subur di halaman depan, tepat di sisi Mikazuki yang masih membisu. Hening menyelimuti, dersik anila memainkan ranting daun pohon bambu seakan saling berbisik menggumamkan kabar tak bertuan.

"Aku titip benteng."

Mikazuki bisa merasa sorot biru kehijauan samar milik lawan bicaranya itu mengulitinya dalam diam. Menembus lapisan kulit, melewati pembuluh darah lalu menghancurkan tulang-tulang sampai halus seperti bubuk.

"Ingin bunuh diri?"

"Bukan..." Lontarnya cepat mencegah kesalah pahaman datang tanpa penjagaan. "Kita tidak bisa terus mengharapkan divisi ruang waktu dan biro penyelidikan. Kedua Saniwa itu juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi benteng dan anak-anaknya."

"Kamu ingin bunuh diri?"

"Bukan..." Mikazuki menjawab sama. "Aku tidak akan mati sebelum gadis kita kembali."

Kerutan di dahinya bertambah, netra hetero miliknya bertemu dengan warna dasar di air telaga laksana bongkah berlian yang tenggelam di dalamya. "Harus ada pihak sana yang menyadari kehadiranku. Kurang lebih, beberapa orang di dalam sana harus dengar tentang anomali dan kesusahan ini." Orang tua itu—Ichimonji Norimune menduga bahwa Mikazuki Munechika pasti akan mengatakan hal ini. Namun ia sendiri tak mengira bahwa sang bulan akan "menitipkan" sebuah tanggung jawab yang bisa dibilang tak ringan ini untuknya.

Baik.

Ichimonji Norimune memang "bayangan" Higashi semenjak beberapa puluh dekade kedatangannya. Seringkali bertugas membaur dengan masyarakat dalam buku sejarah di mana radar biru mengirim gelombang merah berisi peringatan akan pergerakan pasukan lawan apabila niat mereka belum terendus, maka Ichimonji Norimune-lah yang kau perintahkan untuk menelusuri hal tersebut.

Lain dengan posisi Mikazuki yang bisa dikatakan sebagai Higashi "ke-dua" karena beberapa kewenangan Saniwa Higashi juga berada di tangannya apabila Higashi tidak mampu mengambil keputusan seorang diri atas benteng Timur atau perlawanan mereka untuk menghapus papan catur lokawigna yang disebabkan pasukan busuk itu.

"Apa yang kau harapkan?" Kata Norimune melirik. "Cucu perempuanku terlempar dalam dimensi asing bersisi para penjahat. Kamu yakin mereka akan mengulurkan tangan untuk orang tak diundang?"

"Belum coba belum tahu." Sang bulan membalas. "Aku yang akan ke sana." Keyakinannya belum goyah.

"Nak—"

"Satu harus pergi." Mikazuki berkata tegas membawa alibi terbaiknya. "Sesaat lagi, sesaat lagi perjuangan kita akan menemui klimaksnya."

"Celah yang akan kamu masuki itu tidak akan mudah apabila kenekatan menjadi modal utama."

Founder dari Ichimonji school ini tahu bahwa lawan bicaranya tak bodoh. Lingkaran interaksi mereka hanyalah sebatas saling sapa atau menukar laporan dari penyelidikan ke penyelidikan lain. Tak lebih, tak kurang untuk keselarasan agar pergerakan benteng Timur dan para kesatria tetap stabil untuk mencapai tujuan bersama.

Namun jelas, Ichimonji Norimune mengantungi beberapa fakta dan prestasi seorang Mikazuki Munechika dibalik sifatnya yang tampak enjoy menikmati perputaran waktu yang membawa mereka kembali hidup menjadi seorang manusia berkat kekuatan yang nyaris mustahil ada dari seorang perempuan.

Pernah saat itu, Norimune ingat betul saat dirinya pertama kali berhasil dijemput dari kastil Koufu. Gadis yang membawa Kashuu Kiyomitsu beserta lima anak-anak kecil lainnya ini begitu pendiam. Jarang berbicara walau Ichimonji Norimune turut cerewet memberi peringatan dalam setiap langkah yang diambil. Dan satu hal yang Ichimonji perhatikan, kau selalu mendengarkan masukan dari Kashuu atau anak-anak yang dibawa. Dan suatu benda hitam yang melilit lehernya itu—yang ia klaim sebagai alat komunikasi jarak jauh yang selalu ia gunakan untuk melapor di waktu-waktu tertentu. Dengan siapa ia berbicara? Begitu batinnya bertanya.

Ichimonji Norimune akhirnya bergabung. Kau mengucapkan selamat datang, tak segan memberi pelukan hangat walau awalnya, ia sendiri turut bingung mengapa kau tiba-tiba memeluknya begitu saja dan berkata, "Ayo pulang!" dengan wajah sumringah. Perjalanan Ichimonji Norimune pun belum berakhir saat kau menyambutnya di benteng kebanggaan; ia tahu tugasnya; memertahankan sejarah dan menghapus pasukan tidak beradab. Di saat yang sama, presensi dari sosok biru lain dengan yukata tertangkap oleh irisnya tengah berdiri tepat di dekat mesin waktu di bawah langit sore musim gugur.

Norimune ingat betul kalau si biru turut menyambut kedatangannya dengan anak-anak yang berhamburan meledakkan konfeti. Terkejut, ah sudah pasti. Di balik kertas-kertas emas yang berhamburan bagai kelip bintang, berlian biru dengan pendar halus miliknya dibuat agak mengabur karena ia tak menyangka akan seramai dan sehangat ini kedatangannya disambut. Beberapa wajah dari Ichimonji sudah datang lebih dulu. Pedang Okita pun menyambutnya dengan seulas senyum.

Ada satu yang membuat hatinya bertanya-tanya. Mengenai wanita muda tadi yang sempat mengajaknya untuk pulang, saat ia mencarinya hendak berterima kasih karena meluangkan waktu untuk menjemputnya, kini berada dalam lipatan yukata si biru yang masih menimpalinya. Sosok biru yang Norimune belum tahu siapa namanya saat itu hanya melempar senyum padanya saat sadar diperhatikan.

"Dialah Mikazuki Munechika."

Sayup suara sosok lain mengejutkannya. Pirang dengan batu peridot yang tampak memerhatikan sosok yang sama. Namun saat Norimune telaah, peridot yang dijatuhi embun itu bukanlah memusatkan atensi untuk si biru. Melainkan perempuan yang tampak bersenda gurau dengan lawan bicaranya.

"Oh, yang paling cantik dari Tenka Goken?"

"Persis." Balas Yamanbagiri. "Mikazuki tak tidur sampai pergerakan terakhir saat Aruji dan tim kembali ke honmaru lalu menjemputmu untuk bergabung."

"Gadis itu tak banyak bicara." Ucap Norimune tak sadar saat senyumnya agak memudar karena terlalu lama berdiri. "Ia tidak mengatur, ya?"

"Touken Danshi adalah pembimbing Saniwa-nya. Kupikir Kashuu sudah memberi tahumu tentang ini."

"Pembimbing?"

Ichimonji Norimune menerima kudapan ringan dari salah satu penerusnya—Nikkou Ichimonji—tak lupa melanjutkan dialog dengan sosok yang agaknya sudah hapal betul dengan perangai sang tuan.

"Saniwa sejatinya roh murni yang tidak pernah tahu dunia di luar itu seperti apa. Maka kita yang pernah "berhubungan" dengan manusia, diharapkan mampu memberikannya sebuah bimbingan yang beliau perlukan dalam hal apapun."

"Dan... si biru itu?"

"Mikazuki Munechika adalah tangan kanannya. Mikazuki tidak menjadi tangan kanan hanya karena gelarnya, tetapi prestasi dan segala tindakan cepatnya selama puluhan dekade yang menjadikannya sebagai kesatria kepercayaan Akina-sama."

Dan semenjak hari itu, Ichimonji Norimune tahu bahwa Mikazuki Munechika adalah sosok yang bisa membawa tuannya menuju kemenangan. Namun kali ini, hati dan pikirannya dipaksa untuk turut tenggelam dalam kubang lumpur yang akan menyeret dirinya ke dalam situasi seperti saat ini. Tidak, bukannya Ichimonji Norimune tidak ingin membantu, tetapi apa yang dikatakan Mikazuki barusan agaknya membuat batinnya turut mengutuk segala sesuatu yang terjadi saat ini.

Tidak mungkin Ichimonji Norimune melepaskan—katakanlah permata biru milik tuan gadis yang acap kali ia panggil "cucu perempuan" itu. Tidak. Kalaupun terdesak, Ichimonji Norimune juga tidak akan menyerahkannya bulat-bulat. Lebih baik ia menjadikan dirinya sendiri sebagai tumbal apabila diperlukan.

"Apa yang membuatmu yakin kalau aku akan mengiyakan permintaanmu kali ini, hm? Kamu tangan kanan cucuku, benar memang. Namun segala perintah yang diturunkannya untukku tidak sampai membuat semua orang dalam bahaya. Kamu tahu, aku senang jika seseorang masih mengandalkanku dalam situasi berengsek di mana kita harus terus yakin seperti saat ini. Namun permintaanmu itu sama saja seperti menggiring kuda tanpa tuan untuk menyusuri jalan setapak dengan jurang di ujungnya. Kamu pergi, seluruh pergerakan kesatria saat ini berada di bawah kendalimu." Ia menjeda untuk menarik napas. "Bagaimana kalau tidak ada yang memercayaimu di sana? Apa yang akan kau lakukan?"

"Aku mengerti gundahmu," Katanya setengah mengerang setelah mendapat lektur dari Norimune. "Seperti yang kukatakan, belum coba belum tahu. Aku akan meyakinkan mereka—tidak, siapapun yang menyadari kehadiranku. Cepat atau lambat, aku memperkirakan akan bertemu dengan satu atau dua sosok yang memiliki kapabilitas mumpuni untuk membantu."

Ichimonji Norimune mengerang tertahan. Kini dalam benaknya, bercampur segala urusan Takamagahara dan dimensi asing yang mereka temukan sebagai "dunia cermin" atas informasi singkat dari Tsurumaru Kuninaga saat berhasil merasuki tubuh tuannya tanpa kesengajaan.

Pikiran berkecamuk, gemintang memilih diam tak berkomentar untuk menyaksikan bagaimana jalannya sawala antara orang tua ini.

"Kamu tahu resikonya, bukan?"

"Kamu pikir aku membicarakan ini tanpa memikirkan resiko yang akan kudapat jika gagal melewati celah itu?"

"Akan kulakukan keinginanmu, nak." Ichimonji Norimune bangkit dari duduknya. "Berjanjilah padaku untuk pulang. Aku tidak ingin cucu perempuanku tenggelam dalam nestapa saat ia tahu kebenarannya nanti."

Norimune memang berpaling, seakan-akan ia marah atas situasi ini. Namun hanya dirinya lah yang tahu—cukup Mikazuki saja yang tahu bahwa orang tua itu kini tengah meluruhkan sesuatu yang hangat dari matanya tanpa suara. Embusan angin dingin tak lantas membuatnya mengering saat satu tetes kini membasahi jalan yang akan dilaluinya. Mikazuki mengulum senyum saat telinganya kembali mendengar suara dari empunya yang kian menjauh,

"Lagipula sampai sejauh ini, hanya cintamu untuknya yang tak bisa dibandingkan dengan tujuh kali luas kayangan ini. Iya, memang hanya kamu yang mampu melakukannya, Mikazuki."

Masa pembicaraannya malam itu dengan Mikazuki tiba-tiba kembali terputar dalam benak. Pikirannya kini dipenuhi ranting bercabang yang tajam menggores setiap dinding akan kekuatan di balik kepala pirang pudarnya sebelum suara bak radio rusak merengsek hendak menyadarkannya kembali pada realita. 

"Halo, Chiganemaru berbicara saat ini."

Ichimonji Norimune membulatkan mata,

"Oya, kamu sudah bangun, nak?" Ia bertanya walau suara Chiganemaru masih agak sengau.

Terdengar kekeh ringan dari seberang sana. "Maaf membuat kalian semua khawatir."

Norimune Ichimonji memanjatkan rasa syukurnya seiring dengan senyum tipis yang ia rajut di bawah gulungan mega keabuan nan tebal. Embusan angin dingin masih terasa begitu lekat menyapu kulit di balik lapis kain pakaian para kesatria.

[HONMARU HIGASHI|GREAT HALL OF TOUKEN DANSHI.]

"Baiklah..." Membuang napas pun terasa begitu pelik dilakukan. Rangkaian peristiwa yang sama sekali tak meyenangkan kembali terputar dengan sendirinya. Membawa serta merta perasaan yang tak terdefinisikan hanya dengan klausa "sakit". Ini lebih dari itu.

"Ada apa, Chiganemaru?" Buzen Gou milikmu yang tengah memangku Akita Toushiro dalam Balairung Agung benteng Timur bertanya setelah wajah si wakizashi menunjukkan sebuah perubahan yang tak biasa ia lakukan.

"Bagaimana aku menyampaikannya..." Ia berbisik setengah takut, "Ada... sesuatu di luar sana. Aku takut hal ini akan menjadi mimpi buruk kita, dan mungkin memang mimpi buruk ini akan segera terjadi. Terutama untuk tuan kita."

"... Chiganemaru?" Melirik Kita yang sudah memijat pelipis, Namazuo Toushiro berlontar. "Ada apa?"

"Maaf. Sebelumnya maafkan aku karena belum sempat memberi tahu kabar ini." Kita meluruskan, ia tahu Chiganemaru pun tak sanggup menyampaikan kabar buruk ini. "Kami menyelidiki hal ini sebab laporan-laporan acak yang datang dari Touken Danshi dari benteng lain." Hela napas pasrah terdesah, Kita memandang pilu para kesatria yang menunggu jawaban atas teka teki gelap ini. "Ada... Saniwa palsu di luar sana."

Tiada yang menjawab. Hanya pupil yang membesar lagi bergerak lurus-lurus seperti melihat mara. Dan memang benar, berita ini adalah bencana terbesar.

Dan saksi hidupnya kini mengangguk samar memerlihatkan sorot tergamang laksana air keruh yang menghalangi teratai untuk berbunga.

"Jangan bilang kalau yang membuat Daihannya-san gugur, dan timnya kini..." Kotegiri Gou berspekulasi. "Dan tolong jangan katakan bahwa yang palsu..."

"Hanya bisa dikalahakan oleh yang asli." Norimune memperjelas. Dalam balairung, hanya hening dan sorot mata memikirkan satu hal yang berbeda, tetapi makna mereka tetap sama.

Yang asli? Bagaimana? Higashi-sama sampai hari ini belum kembali.

Kashuu Kiyomitsu meninju pokok yang tak jauh dari tempatnya berpijak. Tak bohong, darah di dalam nadinya kini mendidih bagai lava yang siap melelehkan kulit. Netra kelopak mawarnya mengecil, memaku tak bergerak seakan mematikan siapa saja yang menatapnya. Napasnya bergetar, geraman datang seiring dengan gigi yang saling mengadu. Ia mengumpat, mengeluarkan segala belungsang yang mengikat hati dengan akar berduri.

"Bajingan."

[HONMARU HAKUTOU|HAKUTO'S ROOM.]

Kikkou Sadamune dan timnya membeku.

Demi Dewa, tolong bunuh aku sekarang juga. Begitu batin sang nama yang berarti punggung kura-kura itu mengumpat tak terdengar.

"Entah mengapa ini semakin... aku tak tahu harus berkomentar apa. Aku lebih memilih lelah fisik ketimbang lelah pikiran seperti saat ini." Akashi Kuniyuki berkomentar lesu.

Ada yang menjalar di balik kulit, seperti ular derik yang melilit hingga membuat bulu roma berdiri halus. Mereka merinding. Takut tidak, jika bisa, mereka juga ingin membunuh sosok kurang ajar yang membuat rekannya tewas dan beberapa sisanya kini berada di ambang kematian jika tak ada kemauan untuk hidup dari diri sendiri.

"Tsubakki, kembalilah ke benteng Timur."

"Eh—" Manik tosca Horikawa memandang aneh. "Bagaimana dengan rencana kita, Hakutou-sama?"

"Rencana tak akan dijalankan. Semua ini diluar perkiraan, roh jahat itu sengaja mengupas lapis demi lapis kekkai untuk mengincar satu orang; kami para Saniwa yang ada. Maaf, ini memang kasar, tetapi kalian yang bertarung seorang diri tanpa Saniwa... berat. Aku tahu, mental kalian benar-benar tak karuan." Gagal Hakutou menyembunyikan kampa saat suaranya mengatakan realita yang menggampar. Tangisan gagal disembunyikan, kedua tangan direnggangkan meminta si kembar Awataguchi mendatanginya.

"Kalian kuat. Aku yakin kalian akan bertahan. Apapun yang terjadi, jangan biarkan mereka mendekati fisik Higashi."

Hirano mengangguk, Maeda menangis. Tak banyak yang bisa dilakukan.

"Kembalilah, Tsubakki. Berjuanglah."

[HIGASHI'S WOOD|WEST FOREST.]

"Satuan elit dipulangkan untuk saling mempertahankan benteng masing-masing. Cepat atau lambat, benteng akan menjadi titik akhir setiap perjuangan."

Ichimonji Norimune menerima suara Kikkou Sadamune yang terdengar lemah. Kentara, ia memang putus asa akan semua ini.

Menjaga emosi, Norimune berpikir keras untuk memertahankan benteng. Pertumpahan darah sudah tak bisa dihindari. Cepat atau lambat, yang palsu itu pasti akan datang membawa serta merta kesengsaraan dalam hati-hati yang sudah lelah.

Ichimonji Norimune beringsut. Menyudutkan diri pada batang pokok terdekat di mana ia berpijak, seolah tak peduli dengan sempena dari langit yang telah membuat sekujur tubuhnya lepek tak karuan. Otaknya terasa begitu panas, hati tak kalah geram. Perasaannya kacau balau bagai angin tornado yang mampir tanpa belas kasih.

Apa yang akan Mikazuki Munechika lakukan dalam situasi kurang ajar seperti ini?

"Nama yang kusebutkan segera bersiap menaiki kuda dan pergi sejauh mungkin. Hutan di Selatan Barat Daya bagian benteng. Hutan di sana masih aman untuk dijadikan tempat persembunyian. Di dalam sana ada anak sungai yang terhubung langsung dengan sungai utama di taman Takamagahara, air itu akan membantu menyembunyikan tubuh tuan. Perjalanan ditempuh selama tiga hari tiga malam, berhati-hatilah, dan berharap agar kalian tak diikuti."

"Siapa yang akan membawa Akina-sama?"

"Shokudaikiri Mistutada yang akan membawanya. Nikkou Ichimonji berikan pengawalan. Kasen Kanesada dan Mutsunokami Yoshiyuki ikutlah. Pergi! Sekarang!"

Titah dilepas, Norimune menghubungi tim yang berpatroli di hutan dan menyadari satu hal,

Mikazuki bisa jadi tahu dan belum tahu sosok palsu ini saat ia mengorbankan diri, 'kan?

"Kita pulang ke honmaru!"

[HONMARU HIGASHI.]

"Jaga tuanku." Ookurikara memesan tepat setelah Shokudaikiri menerima tubuh mungil lain yang masih tenggelam dalam alam bawah sadarnya. "Semoga kita masih bisa dipertemukan lain hari."

Tidak ada jawaban yang pasti.

Ookurikara hanya mendapat raut wajah yang mengatakan segalanya melalui sorot mata emas yang tampak terombang-ambing.

Satu tangan memegang tali kekang, tangan lainnya menahan tuannya yang tertidur di dadanya. Helaan napas terdengar parau, hanya ada satu yang ia tinggalkan pesan untuk Ookurikara,

"Jangan biarkan Tsuru-san dan Sada-chan hancur." Apabila tiada kata yang tepat untuk situasi ini, maka rangkaian kalimat itulah yang mampu diucapkan oleh Shokudaikiri. Ia ikhlas dengan apapun yang terjadi. Ia senantiasa berdoa untuk tuannya; ia selalu memikirkan Koryuu Kagemitsu yang tengah berjuang seorang diri; ia ikhlas dengan apa yang terjadi pada Daihannya Nagamitsu. Shokudaikiri Mitsutada akan bersikap tegar apapun yang terjadi pada Ookurikara apabila takdir mereka sudah menemui jalannya masing-masing.

"Aku titip Izuminokami, saudaraku." Kasen Kanesada berujar pada Ningen Mukotsu. "Jamanika sang rembulan tak selamanya gemulai. Akasia menyembunyikan kirana biru dalam setiap tapak kecil yang akan dilalui jiwa yang rapuh bagai bunga yang diremat meninggalkan ambu nan lembut dalam telapak tangan. Sosok terkasih didekap penuh asa saat dersik membisik legenda yang kelak berubah menjadi mitos. Anila menggetarkan bunga layu. Bertemu tanah, tak lagi hidup. Tunas merah jambu akan merekah di tengah badai hitam. Dan Izuminokami Kanesada adalah salah satu tunas merah jambu itu."

Pedang-pedang Tosa tak berkomentar apapun saat perpisahan hanya dilakukan dengan sorot mata.

"Jika tuanku ada, beliau pasti akan mengatakan bahwa keyakinan dan doa adalah kekuatan terbesar. Maka aku juga akan mengatakan hal yang sama." Sanchoumou berceletuk membawa melankolia lain. Memaksakan senyum saat ia sendiri tahu bahwa mereka sudah tak lagi memiliki jalan keluar. "Pergi! Bawa tuan kita jauh-jauh dari tempat ini!"

Empat kuda meninggalkan benteng dengan penunggang yang membawa harapan di tengah-tengah badai keputusasaan.

"Jika keadaan kian teruk, kita akan gugur sebagai kesatria terhormat."

date of update: January 02, 2023,
by: aoiLilac.

revision: March 21, 2023.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top