25.

A Touken Ranbu ft Twisted Wonderlan fanfiction,

-Lueur-

By; aoiLilac.

Credit; DMM, Nitro+. And Disney- Twisted Wonderland, Aniplex, Yana Toboso.

Chapter Twenty-five: Sofrosin.

[NIGHT RAVEN COLLEGERAMSHACKLE DORM.]

"Kenapa kau tak bilang sejak awal, huh!? Kita bisa melakukannya sama-sama!!"

"Aku 'kan sudah minta maaf." Silver berkata setengah acuh. "Ayah memintaku untuk merahasiakannya darimu."

Perdebatan dimulai saat ranum milik Silver mengatakan sebuah kejujuran yang cukup memantik emosi seorang Sebek. Pemuda hijau itu bahkan sempat menunjuk-nunjuk Silver seakan-akan Silver adalah penjahat yang tidak termaafkan. Mengabaikan lumpur yang mengotori sepatu boots khas Diasomnia, keduanya berlari menyusul sang tuan dan punggawanya yang kemungkinan sudah menjejakkan kaki di luar asrama yang sudah lama tak dihuni; terabaikan.

Lilia masih menunggu batang hidung kedua anak-anak asuhnya. Lain Malleus yang bersedekap dengan raut wajah kurang mengenakkan. Bibir gelapnya mengerucut saat jemarinya mengusap dagu memandang lengkung langit yang tak menunjukkan keelokannya beberapa hari belakangan.

"Oya Malleus, ada apa, nak?"

"Aku tengah mencoba menghentikan hujan, tetapi mereka melawan kehendakku."

Lilia tertawa ramah mengusap pergelangan kokoh itu untuk membesarkan hati agar tak terlalu memusingkan hal sepele. Helaian hijau dan perak yang masing-masing lepek kini langsung mengering saat Malleus tak segan merapal serangkaian mantra kuno dari bangsa peri untuk menghalau air yang datang dari serbuan angin.

"Mengapa wajahmu kesal, Sebek?"

Sebek tak lantas menjawab, memilih buang muka.

"Aku beritahu kebenaran itu, dan Sebek sepertinya membenciku sekarang."

"Aku tidak pernah bilang bahwa aku membencimu!"

"Oh, jadi kita masih bersaudara 'kan?"

"Diamlah!"

Silver memang hobi mengejek Sebek. Lilia menikmatinya, dan hal tersebut cukup meredam emosi sesaat Malleus karena hujan.

"Tidak ada jawaban? Apa mungkin gadis itu tengah keluar?"

"Mana mungkin!?" Sebek terus menekan-nekan bel, tetapi tiada respon apapun yang diharapkannya.

Gagang pintu dipegang, Silver menekan untuk memastikan apakah pintu ini terkunci dari dalam. Dan jawabannya: tidak. Kayu berderit manakala bagian bawah pintu dengan lempengan lain saling bergesekan. Iris aurora miliknya menelusur kiri kanan sampai sosok biru paripurna ia temukan tak jauh duduk di perapian yang menyala. Mungkin gadis itu yang menyalakannya, batin Silver.

"Malleus-sama."

Silver memberi sebuah kode memersilakan Malleus masuk terlebih dahulu.

Wujud setinggi 202cm mengucap "permisi" dengan santun saat kaki menginjak lantai kayu dengan pasti. Ia bergeming, perlahan wajahnya memahat ekspresi yang tak biasa. Dahanam halilintar masih menyentak hebat manakala Malleus tetiba sadar bahwa iris biru dengan cekung kuning bulan sabit itu sudah memerhatikannya sejak awal.

Ia laksana dewi biru yang senantiasa menggantung di cakrawala malam saat shyam menguasai buana. Di tengah gemintang yang menjadi punggawa, diliputi pendar biru, begitu elok dipandang dengan rumbai kuning di setiap ujung pakaian yang Malleus tebak sebagai pakaian tempurnya—dan bandana dengan rumbai yang bergerak mengikuti arah kepala. Surai gelapnya dibiarkan panjang di satu sisi, bibir merah jambu miliknya masih menunjukkan sebuah kurva samar yang membuat Malleus melakukan hal yang sama lantaran manik mereka saling bertemu.

Bibir hitamnya mengucap sesuatu, dan ia tak segan mengulurkan tangan terlebih dahulu mencegah sosok yang bersimpuh itu untuk bangun.

"Tak perlulah kau berdiri." Bibir gelapnya berucap. "Sebuah kehormatan untukku bertemu dengan pelindung sejarah sepertimu."

Sang bulan sabit mengulum senyum untuk sosok muda yang kini turut bersimpuh tak jauh darinya. Taring yang berada di antara giginya tak membuat Mikazuki gentar. Kulit jeruk hijau miliknya bergaris lurus ke bawah bak makhluk buas. Namun Mikazuki Munechika benar-benar tak merasakan adanya niat buruk saat sosok hitam itu memberikannya satu, dua pertanyaan paling dasar.

Iya, hitam.

Visus touken danshi terkadang tak terduga. Tak bisa selalu aktif saat diperlukan, tetapi mampu memberi jawaban saat hati mencarinya.

Roh pemuda bertanduk di hadapannya ini hitam pekat. Lain dengan sosok perak yang membawa jiwa besar yang berwarna putih di dalamnya.

"Maaf kami menerobos masuk." Silver pertama kali menyadari kehadiranmu. "Pintu tak terkunci, dan aku berniat untuk mengeceknya, tetapi ternyata tidak. Mohon maaf sudah bertindak tak sopan."

Gadis tak berekpresi itu tak mengatakan apapun hingga membuat hati Sebek dan Silver sedikit tak karuan yang menyebabkan sengatan mengalir ke kepala atas apa yang sudah mereka lakukan. Kau lantas melirik sosok "baru" yang hadir di antara mereka; bertanduk legam dengan surai sepanjang bahu sewarna langit malam itu kini masih memunggungimu. Terdengar beberapa kalimat yang ia lontarkan pada sisi yang kosong tak jauh dari perapian yang melahap kayu bakar.

Tak sadar, sosok mungil lain yang entah sejak kapan melayang, kini mengangkat pergelangan mungilmu seperti seorang yang hendak mengajak berdansa. Menautkan jemarinya, suaranya memberikanmu pengertian sembari memandumu. "Duduklah di sisi punggawamu, Nona."

Memang kau tak dapat melihat Mikazuki secara langsung, tetapi yang lain melihat dengan jelas bahwa tangan si biru itu segera mengikatmu dengan cepat melalui genggaman.

"Kau adalah roh. Jiwamu putih. Ke mana fisikmu jika boleh aku bertanya?" Malleus berlontar skeptis.

"Saya meninggalkannya untuk sementara waktu."

Menyokong hipotesisnya, Malleus bergeming berusaha mengingat dalam halaman berapa tentang pelajaran sebuah ilmu sihir yang bisa meninggalkan fisik dengan roh yang mampir ke dimensi lain? Namun tidak ada. Malleus tidak menemukannya. Ia mencoba mengingat dalam buku sejarah dan cerita neneknya dahulu, tidak ada roh dari ras peri yang bisa meninggalkan fisiknya. Tidak—tidak pernah ada sihir yang seperti itu selama dirinya hidup hingga detik di mana ia masih bisa mengganti oksigen di dalam paru-parunya sampai detik di mana ia dipaksa untuk berpikir lebih keras saat ini. 

Mengesampingkan hal itu sebab waktu tak banyak seperti yang Malleus inginkan, ia lantas mengajukan sebuah pertanyaan lain yang pada akhirnya membuat Mikazuki Munechika menceritakan segala lara yang menimpa keluarganya. Kekasihnya. Rekan dan saudara.

Kau memang tidak mendengar apapun dari suara Mikazuki yang cukup kau rindukan. Namun melihat Malleus Draconia yang tampak serius menyimak sesekali mengangguk dan menimpali, membuatmu tak banyak ikut menjabarkan. Sebab kau juga tak tahu bagaimana kondisi anak-anakmu, dan kau juga tidak mendampingi mereka, maka lebih baik Mikazuki yang menjelaskannya. Malleus berhenti bertanya, dan langsung menoleh ke arahmu. Membawa air muka yang tak biasa, begitu sendu, nuraga terpahat begitu jelas di raut wajah tegasnya; ia Raja. Dan kau menyadari bahwa bukan hanya Malleus yang menunjukkan raut demikian, Lilia Vanrouge terus bergeming. Mata besar sewarna kelopak mawarnya berkaca. Silver memandangmu dalam diam, tetapi saat kau memandangnya, Silver sudah mengalihkan atensinya lebih dulu.

Lain dengan Sebek. Pemuda hijau di sana terlihat mengumpulkan seluruh emosinya dalam tangan yang terkepal. Entah mengapa, kau mampu merasakan sesuatu yang marah, kesal, dan kepedihan yang campur aduk memberi warna merah bagai kelopak mawar menyembul dari atas tanah lalu gugur saat waktu yang bersamaan.

"Saya berani meyakinkan Anda bahwa perjuangan kami belum usai. Kekuatan terbelah pecah, segala usaha kami lakukan untuk menjemput tuan kami. Cermin itu menunjukkan sebuah gelagat, tetapi perkembangannya kini terhambat karena Saniwa dari Biro Penyelidikan dan Ruang waktu kini menghadapi masa tersulit dari invansi."

Malleus menghela napas bimbang.

Mustahil kini kepalanya tak dipenuhi segala kemungkinan atas dasar "kemanusiaan" yang Lilia tanamkan sejak kecil padanya; membantu orang lain yang kesulitan. Statusnya di akademi ini memanglah pelajar, tetapi fakta yang sebenarnya ada adalah; Malleus Draconia merupakan putra Mahkota yang segera memimpin daratan lain saat "peran"nya sebagai pelajar nanti usai. Pikiran berkata untuk segera memulangkan gadis ini dengan portal yang ia buat. Peluangnya sangat besar untuk berhasil mengingat bahwa ia adalah satu dari lima penyihir tertangguh dalam buana cermin ini, tetapi Malleus pun sudah dikatakan "terjebak" dalam situasi yang membuatnya maju salah, mundur pun tidak akan menguntungkan. Sungguh memilukan, rasanya, urat nadinya seakan ditarik ulur kemudian diperas.

Oke, ia menganggap bahwa pihak akademi memang mau tak mau menyembunyikan identitas sesungguhnya dari gadis ini. Jujur, Malleus sendiri pun memang agak tergemap mendengar pernyataan dari Mikazuki Munechika yang mengatakan bahwa gadisnya merupakan serpihan dari ketujuh jiwa suci yang terbentuk. Memang ia sudah mendengarnya dari Lilia, tetapi hal yang lebih mengejutkan lagi, gadis ini serta keenam sosok yang tidak akan pernah Malleus jumpai dengan gelar mereka sebagai Saniwa itu berada di bawah lindungan sayap Tujuh Dewa Keberuntungan yang masih mencari jalan keluar dari segala kesengsaraan ini.

Ini buruk. Memuakkan. Kepalanya ingin pecah, lalu hancur menjadi bagian kecil-kecil yang berserakan.

Pihak akademi tidak ingin berita akan seorang yang tersasar dari kayangan sampai ke telinga massa. Kebenaran ini hanya akan berhenti sampai Diasomnia. Memikirkan masalah dengan Departemen Sihir memang tiada habisnya, tetapi Malleus yakin bahwa nanti salah seorang kesatria milikmu akan berusaha menyelesaikan hal pelik ini dengan kepala dinginnya. Malleus memandang Mikazuki mantap dan kemudian melempar pandang ke arahmu bergantian seakan tengah menimang sebuah keputusan.

"Aku yakin, nonamu akan memberikanmu sebuah perintah untuk pulang setelah ini, dan kalau benar itu terjadi, maka aku mohon pada kalian pembela sejarah untuk menyusun rencana penjemputan dan bawa utusanmu ke sini. Apabila hari itu datang dan Departemen Sihir tiba untuk memburunya sebelum kalian ke dunia cermin ini, percayalah, Diasomnia tidak akan membiarkan mereka menyentuh kekasih kalian."

Kau yang mendengar penuturan itu ingin menjawab, tetapi kau menangkap pergerakan lain dari si pemuda itu menyerahkan sebuah kristal hijau berpendar silau.

"Bawa ini bersamamu." Lontarnya. "Sihirku ada di dalamnya, aku perkirakan kalau cermin yang menghubungkan dunia roh kalian dengan cermin sihir kami tidak memiliki koneksi yang kuat saat ini. Pakai kristalku, tetapi untuk pertama kalinya, batas waktu hanya tujuh menit untuk tiba antar dimensi. Cermin adalah jalur nomor satu antara dunia roh dengan makhluk hidup seperti kami, ini bisa membantu." Jabarannya terdengar seperti padikaku yang akan membawa keberhasilan apabila dipraktikkan.

Lilia terlihat meyakinkan dengan memberi anggukan. Silver pun sama. Namun Sebek memilih untuk diam menyikapi situasi ini. Posisinya yang minor tidak lantas membuatnya bisa melakukan banyak hal. Namun apabila sang Raja berkata demikian, maka yang bisa Sebek lakukan hanyalah menurutinya.

"Tidak," Lontarmu mantap. "Anda tidak perlu melakukan hal sejauh ini untuk Saya."

"Nona." Suara Malleus setenang air. "Aku melakukan hal ini bukan semata-mata untuk melindungimu saja. Namun punggawamu membagi kisah yang cukup sulit kupercaya. Bulan adalah kekuatan bangsaku, dari rembulan, kami hidup dan memiliki daya untuk mengubah sihir menjadi kekuatan dan daya hidup. Hal ini kulakukan juga untuk melindungi kaumku di tanah peri."

"Aku Malleus Draconia," ia mengintroduksikan dirinya persis di hadapanmu sembari memangku tangan di dadanya. "Penguasa Malam dari Lembah Duri. Sebuah kehormatan besar untukku bersua dengan roh suci yang memiliki gelar lebih mengagumkan dari (Penguasa Malam) ini."

Kau berusah payah menahan keinginanmu untuk menyentuhnya sebelum kau berhasil meluruhkan dinding ego dan kembali pada kenyataan di mana tanganmu kini berada di antara pundak kokohnya,

"Tidak perlu seperti ini." Ungkapmu halus. "Itu kalimat Saya. Kehormatan besar untuk kami bersua dengan makhluk yang paling lama hidup. Bangsa peri yang kami yakini mitos, kini bersanding dengan penjaga sejarah. Salam kenal, Malleus Draconia. Izinkan aku mengintroduksikan diriku."

Lantas kau berdiri. Kaki-kaki kecilmu menahan beban tubuh mungil yang sebagian besar ditutupi oleh helaian hitam bergelombang.

Jemari menutup dada dengan kepala sedikit miring kau lakukan. Laksana embun pertama di musim semi, mereka yang menyaksikan hal ini melihat sosok lain yang memeragakan sebuah gerakan. Seorang wanita dengan pakaian yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Rapi, berlipat-lipat, berlapis sutra tanpa ornamen apapun, tetapi sungguhlah jelita elok dipandang. Ada simbol yang tampak jelas tepat di atas kulit dada sebalah kanan 'さ' yang mereka yakini sebagai bukti bahwa kau bukan sekedar berbual. Sebuah kecantikan tiada tara perpaduan feminim dan tegas tak mudah goyah terlihat dari sorot mata hijau viridian yang menusuk kalbu.

Benarlah sosok ini hadir lebih awal dari segala sesuatu yang dalam di Twisted Wonderland.

Benarlah sosok ini adalah contoh hidup dari dongeng fiksi.

Benarlah sosok ini merupakan sejarah yang berjalan.

Helaan napas mengeluarkan uap putih sebelum kau memandangnya,

"Saya Misaki Akina. Saniwa dengan nama kode: Higashi. Bersama anak-anak lugu Saya, kami mendiami benteng Timur di Kayangan dengan sebuah tugas dan tanggung jawab besar. Memperbaiki sejarah."

Terparangah mereka.

Tiada keanggunan yang seperti ini di Twisted Wonderland.

Senyum terkulum, Malleus kembali berkata, "Maka tak heran jika para punggawamu nekat menerobos sampai ke mari." Ia berujar. "Tidak ada yang ingin tuan mereka berada di tempat lain. Satu-satunya hal yang membedakan kita berdua adalah aku laki-laki dari bangsa peri, dan kau merupakan wanita dari roh. Tidak akan aku berpaling dari hal yang sudah aku ketahui sekarang. Kau dan aku, kita sama-sama pemimpin. Kita sama-sama "makhluk hidup" yang memiliki sebuah tanggung jawab."

"Kau dari tadi belum melihat punggawamu, 'kan?" Lilia mengalihkan pembicaraan. "Izinkan aku membagi penglihatanku untukmu, nona."

Dalam perkiraanmu, Lilia akan melakukan sesuatu yang kelak membantumu untuk "melihat" Mikazuki Munechika secara langsung. Tangan kecilnya menghalangi jarak pandang untuk sesaat. Kau kurang yakin atas apa yang kau dengar, tetapi kau meyakini bahwa ia tengah merapal sesuatu yang kau duga datang dari tanah kelahirannya.

Kulitmu merasa bahwa tiada lagi tangan yang menghalangi, sampai aba-aba dari suara ringan Silver memintamu untuk membuka mata dengan perlahan.

Pendar merah jambu tak membuatmu langsung melihat sosok Mikazuki. Bagai kelopak sakura yang menandakan kehadiran satu kesatria, kau membulatkan kekuatan untuk bertemu tatap dengan salah satu figur yang menjadi tempatmu berbagi keluh kesah.

Bulan biru kini mengaum indah dengan segala senyum merekah yang ia berikan. Kelereng biru dengan lengkung bulan sabit memandangmu dalam genangan muara yang siap jatuh memberi jalan bening di belah pipi mulusnya. Ia memandang lembut, senyum hangatnya terkulum istimewa hanya untuk tambatan hati.

Kesatriamu yang rupawan.

Kesatriamu yang memesona.

Kesatriamu yang elok itu kini melonggarkan tangan bersiap akan sesuatu yang kau lakukan.

Suhu tubuh terasa menurun diikuti jemari bergetar. Bibir tak kalah kampa saat gagap kini mengalahkankan segala sikapmu. Bak sudah tak bertemu sekian abad, Mikazuki membentur lantai kayu. Menerima pukulan ringan di dada diiringi tangis lengking yang mengeluarkan segala isak sejadi-jadinya. Tuannya merintih kesakitan. Tambatan hatinya menjerit memekik namanya. Kasihnya berteriak dalam rasa pilu akan nestapa yang ia dekap.

Kini, Mikazuki Munechika mampu menyentuhnya.

"Aruji."

"Kamu meninggalkan mereka!!"

"... Maafkan aku."

"Kamu meninggalkan anak-anak!!!"

"Aku siap melakukan harakiri apabila itu perintahmu nantinya."

"Kamu meninggalkan anak-anak di sana!!" Tangis tak terkontrolmu membuat langit kembali bergemuruh. Malleus tidak memakai sihirnya saat ini. Peri itu hanya fokus padamu yang menangis seperti anak kecil saat sosok kesatria biru itu memohon untuk diberikan sebuah ganjaran ketika segalanya usai. Bahkan ia bertanya, "Kemana sosok wanita yang kuat tadi?" pada Lilia.

"Tidak ada harakiri, Mikazuki. Tidak akan ada harakiri...." Masih menangis. Kuat. Sangat kuat.

Melankolia kini hadir di tengah-tengak pihak penyihir, kau dan Mikazuki. Pihak penyihir tak memiliki hak apapun untuk mencela saat ini. 

"Lihat aku."

Mikazuki kini serius. Di hadapannya, ia menangkup pipi gadisnya agak kuat. "Aku tidak ingin karena hal ini Aruji menjadi lemah. Aku tidak mau. Maafkan aku, ini semua salahku."

"Na-namun—"

"Sh sh." Ia memblokir aksesmu yang biasa digunakan untuk bicara dengan telunjuknya, "Kemarin ada siapa? Siapa yang mengunjungimu?" Jemarinya mengangkat dagu, Mikazuki ingin melihat jelas wajahmu selagi ia mampu.

"Daihannya—Daihannya Nagamitsu."

Jadi, anak itu yang gugur? Tak heran kalau aku tak mampu melihatnya. Hanya tuan mereka yang mampu melihat roh dari bilah yang hancur. Apa yang dilakukannya saat itu merupakan dari kebalikan yang aku lakukan saat ini. Anak itu harus segera ditempa ulang jika aku harus membawa kesatria-kesatria terbaik milik Akina-sama ke sini.

"Ia mengatakan kalau beberapa tachi kini terkontaminasi. Aku tidak begitu paham karena ini pertama kalinya kita alami selama berabad-abad."

"Begitu, ya?" Ia berkata mantap setelah lamunannya tercecer saat berpikir cepat. Sosoknya sebagai pembimbing kini kembali hidup. Membuatmu seketika duduk diam di hadapannya, mendengarkan dan menyimak walau isak tak bisa ditahan. "Anak-anak tidak sendiri. Aku menitipkan mereka pada bayanganmu untuk memimpin."

"... Nori-jii?"

"Ya... Kikku-Ichimonji Norimune. Seluruh pergerakan kesatria saat ini berada di bawah arahannya. Dengar, seluruh satuan elit sudah diminta untuk berkumpul, dan kesatria pilar di benteng kita masih berdiri kokoh. Kita-sama mengambil alih benteng semenjak roh Aruji terlempar ke sini."

Baik. Kini hatimu sudah agak tenang mendengar keterangan yang masih perlu digali lebih dalam. Mengenai satuan yang dikumpulkan, kau sendiri menyimpan keraguan kalau keadaan masih terkendali apabila kesatria-kesatria pembunuh itu kini sudah digerakkan.

"Pulanglah." Katamu. "Pulanglah. Ini dimensi asing yang tidak ketahui. Ada baiknya kalau kita mengikuti anjuran Malleus-kun untuk saat ini."

Mikazuki belum mengubris, tetapi kristal hijau yang ada di telapak tangannya ia genggam dengan kuat. Ia memiringkan kepala tanda selidik. Sorot mata penuh tanda tanya kini berubah menjadi lisan. "Apa kamu yakin dengan keputusan ini?"

"Keyakinan adalah obat paling mujarab untuk saat ini." Begitu katamu meyakinkan kesatriamu ini. "Lindungi anak-anak, terutama para tantou."

Mikazuki tampak tak yakin dengan keputusanmu. Memang ia tak memiliki kuasa untuk menolak titahmu, tetapi disaat yang bersamaan, Touken Danshi adalah pembimbing Saniwa-nya. Mikazuki nyaris gila dihadapkan dengan situasi di mana ia harus memilih tinggal untuk menjaga sang tuan, atau kembali melindungi benteng atas keinginan gadisnya.

"Jangan khawatir." Kini suara lain menginterupsimu dan kesatriamu. Sosoknya yang semula masih bertemu dengan permukaan lantai kayu, kini berdiri tegap menghampiri Mikazuki Munechika yang mengikuti segala tindak tanduknya. "Aku ada. Aku memang tak sekuat dirimu dan tuanku, tetapi aku akan menjaga gadismu."

"Gadisku adalah roh murni yang diciptakan untuk melawan dosa yang paling sulit dikendalikan. Hawa nafsu. Apa yang bisa kau lakukan untuk menjaganya?" Mikazuki mencecar pemuda hijau yang tampak tak memiliki clue untuk jawaban. Sampai akhirnya Mikazuki mendengar balasan yang ia duga.

"Aku memang tidak memiliki jawaban untuk itu, tetapi aku bisa menjaganya. Percayalah padaku."

"Berjanjilah padaku kalau begitu." Pinta Mikazuki agak menuntut. "Berikan aku keyakinan bahwa aku bisa menitipkan gadisku padamu."

"Kau bisa memercayai kegigihannya, tuan." Oh, kini Mikazuki dihadapkan seseorang yang persis seperti Yamanbagiri Chougi. "Kami adalah kesatria dari tanah peri Lembah Duri. Aku pun tak segan membantu tuan kalian sampai semua masalah ini usai."

Hatinya masih agak berat untuk melakukan perintahmu, tetapi di satu sisi, ia memang harus kembali ke benteng. Ia mencoba percaya kepada dua bocah ingusan yang ada di hadapannya sekarang. Ekspresinya menilai, keraguannya kembali membara.

"Aku jaminannya." Oh, kini sosok mungil itu kembali mengganggu konsentrasi Mikazuki, "Kau bisa memiliki kepalaku apabila anak-anak ini tidak mampu memenuhi janjinya."

"Sepakat."

"Jiijii!!"

"Aruji tidak akan pernah mengerti firasat orang tua."

"Aku lebih tua darimu!!"

Tawa lepas Mikazuki kembali terdengar. Kini yang ia lakukan kembali mengelus-elus dahimu, mengadu membiarkan kulit saling bertemu.

"Jika itu maumu, pulangkan aku."

Segala keyakinan kini memenuhi pikiran. Berharap badai ini berlalu dengan cepat saat pihak di sini siap mengulurkan tangan mereka. Satu, dua tarikan napas kini beradu dengan milik sang bulan. Dengan mantap sebelum kelopak sakura memutar ke segala penjuru ruang, ia hirap setelah kau mengembalikannya,

"Tachi; San; Mikazuki Munechika. Higashi toride ni modoru."

date of update: December 29, 2022,
by: aoiLilac.

revision: March 19, 2023.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top