22.
A Touken Ranbu ft Twisted Wonderland fanfiction,
-Lueur-
By; aoiLilac.
Credit; DMM, Nitro+. And Disney-Twisted Wonderland, Aniplex, Yana Toboso.
Chapter Twenty-two: Karafernelia.
[HONMARU HIGASHI.]
Daihannya Nagamitsu dari benteng Timur gugur dengan terhormat di garis depan.
Penjaga dan Pelindung Sejarah berkabung. Tujuh Dewa Keberuntungan tak kuasa mehanan perasaan masygul dalam sukma.
Benteng Timur berduka.
Nabastala menumpahkan segala laranya dari lapis abu. Derai mengiringi setiap langkah tak berdaya para kesatria yang kembali dalam keadaan terburuknya. Koryuu Kagemitsu masih bertekuk kaku di bawah guyur derai hujan tak menyadari seluruh rekan yang kembali dalam kondisi paling rendahnya sudah dipindahkan dalam ruang perawatan. Wagasa kini berada di atas kepala pirang. Setidaknya menyudahi air yang sudah dari awal lepek membasahinya.
"Dia melindungiku." Jubah biru masih mengantungi keping bilah yang hancur. "Dia melindungiku. Memang pada dasarnya, aku bukanlah seorang yang cocok untuk dijadikan kapten."
"Koryuu Kagemitsu menjalankan tanggung jawabnya sebagai kapten dengan sangat indah." Dewa Perang itu mencoba membesarkan hatinya, walalu ia sendiri tahu bahwa usahanya sia-sia.
Daihannya Nagamitsu gugur.
Tim yang berjaga di hutan tak saling berkomentar.
Ichigo Hitofuri sibuk menenangkan Kenshin Kagemitsu yang menangis tersedu. Air matanya bercampur dengan air hujan, seakan membuatnya tak mengering. Fukushima Mitsutada bergeming, membiarkan pikiran menguasai relung hati. Ichimonji Norimune meremat batang pokok sampai tak sadar membuatnya tumbang. Juzumaru Tsunetsugu menundukkan kepala. Tsurumaru Kuninaga setengah tak percaya dengan pesan yang didengarnya.
Gugur?
"Kamu bercanda?" Begitu ucapnya di bawah derasnya air hujan. "Daihannya adalah satu tachi terbaik dari yang terbaik yang dimiliki Aruji."
Kasen Kanesada menanggap. Terdengar bahwa suaranya masih bergetar karena kesedihan. "Koryuu Kagemitsu membawa pecahan bilahnya."
Tsurumaru diam. Kini memberi satu pertanyaan yang membuat kesatria dalam ruang turut bergeming.
"Lalu... apa yang akan terjadi pada Aruji jika salah satu punggawanya gugur? Rasa sakit itu memang satu arah, tetapi sakit ini lebih menghujam. Kehilangan harta suci—aku... aku sendiri tak akan mampu menahannya."
"... Tangisan langit menggambarkan perasaannya." Kashuu Kiyomitsu menanggapi. "Pasti sakit sekali. Aku tidak berani membayangkannya."
"Dia menangis." Yamanbagiri Kunihiro tetiba mendatangi ruang monitor. Wajahnya tak kalah nestapa dengan Koryuu. Irisnya mengambang bibirnya bergetar. "Fisik yang tertidur itu berekspresi. Honka, mari tukar tempat. Air mata Aruji tidak berhenti walau sebanyak apapun aku mengapusnya. Mereka terjun bebas, mengairi pipi yang pucat bagai kelopak bunga di musim dingin."
"Mengapa tidak kamu saja?" Chougi dengan suara rendahnya menolak dengan halus. Ia tahu sendiri kalau ia pun tak akan mampu melihatmu menangis. "Kamu adalah sosok yang menemaninya sejak awal."
Terlihat sebuah gerakan kepala pasif dari si pirang. "Aku... tidak bisa melihatnya seperti itu. Aku terlalu takut menyaksikannya, dadaku terasa ikut sakit melihatnya seperti itu."
Yamanbagiri Chougi melewati Yamanbagiri Kunihiro yang akhir-akhir ini mudah menangis karena satu, dua hal. Menyusuri engawa dengan pemandangan kelabu, Chougi menggertakan gigi. Menggigit bibir bawah hingga merah mengairi sudut dan mengalir memberi rasa anyir. Samudranya mulai memburam hangat kemudian meleleh membasahi belah pipi. "Bodoh. Memang dari awal, Daihannya itu bodoh."
Chougi dengan tak sopannya menguping, mendengar sebuah cerita yang ia tebak sebagai suara Koryuu di sana. Di balik dinding bambu, Chougi mendengar semuanya.
"Maafkan aku. Maafkan aku, Aruji. Mohon maaf." Jemari bebasnya menelusuri wajah tuannya, "Mohon maaf, berikan aku pengampunanmu, Aruji. Koryuu Kagemitsu gagal melaksanakan tanggung jawabnya. Koryuu Kagemitsu membawa catatan kelam di rumahmu." Tak peduli dengan surainya yang basah, Koryuu masih mempertemukan tanganmu dengan keningnya. "Kamu menderita, kamu menderita saat ini. Kamu yang menanggung deritanya—maafkan aku, tuanku. Maafkan aku."
Chougi masih tak bergerak sedikit pun walau suara Koryuu ia yakini menghilang karena menyudahi ceritanya. Namun suara sesuatu yang terbentur tatami itu membuat netra musim seminya membulat sempurna. Koryuu Kagemitsu ditemukan ambruk. Surai kepirangannya bertemu permukaan tatami dan menghalangi kelopak yang rapat dengan bulu roma masih basah bukti bahwa ia turut menangis. Bibirnya tidak rapat dengan tangan yang masih menggenggam milikmu.
"Koryuu!! Koryuu bangun!!" Chougi menepuk pipinya pelan. "Kor—" bergetar tangannya saat meraih pergelangan yang tergeletak itu. Lengannya berubah warna; ungu muda ke ungu tua lalu menghitam. Ia telusuri lagi dan ternyata tak hanya lengan, tetapi leher dan pipi kini menunjukkan perubahan warna yang sama dalam setiap bercak. "A—apa ini!? Koryuu, kamu kenapa!?"
"Apa Koryuu turut mengalami hal yang sama?"
Seketika suara itu membuat Chougi menoleh. Tak hanya Kita yang datang, tetapi ada sosok lain yang turut tiba; Hotei—Dewa Pelindung dan Dewa Kesehatan—salah satu dari Tujuh Dewa Keberuntungan kini menyambangi benteng Timur. Yamanbagiri Chougi langsung berdiri untuk menyambutnya.
"H-Hotei-sama!"
"Chougi-kun, kabar baik?" Langsung ia memeriksa denyut nadi dari tachimu yang tak sadarkan diri.
Chougi tak mampu menjawab, ia terlalu terkejut akan kehadiran satu dari Dewan ini.
"Sama seperti anggotanya timnya, Koryuu juga kena."
"K-kena apa!?"
"Ini." Balas Hotei. "Lihatlah ini noda. Satu-satunya cara untuk membersihkan bilah yang ternoda adalah dengan air suci dari kuil atau air dari taman suci Takamagahara."
Chougi tercekat, napasnya terasa tercekik dengan minimnya udara yang bersirkulasi dalam paru-paru, "L-lalu? Langkah apa yang harus diambil!?" Suaranya satu tingkat terdengar lebih panik.
"Membersihkan dan menyucikannya kembali. Bishamon, lakukan."
"Apa?" Chougi berbicara dengan dirinya sendiri saat Kita mengangguk mengiyakan. Kedua tangan mungilnya lantas berada tepat di atas Koryuu membuatnya berbinar membutakan mata. Kelopak sakura mengiringi sebelum kirana itu menghilang tergantikan dengan bilah yang tampak "tak sehat".
"... Koryuu—"
"Koryuu dan rekanmu yang terluka akan kubawa." Ucap Hotei menjawab segala pikiran Chougi. "Termasuk Mikazuki Munechika."
"Mikazuki!?" Kejutnya. "Mikazuki masih—"
"Mikazuki melewati celah itu seorang diri."
Celah?
"Aku membiarkan Koryuu ke sini karena katanya ia tak ingin diganggu." Kita mulai memutar memorinya beberapa waktu lalu, "Koryuu bukanlah sosok yang mudah untuk dikendalikan. Satu-satunya yang mampu mengendalikan—bukan. Satu-satunya yang mampu membuatnya tenang adalah tuannya."
"... Na-namun—iya—aku tidak menyangkalnya kalau Koryuu memang agak susah untuk dikendalikan. Mikazuki Munechika maksudku... ia menyebrangi celah antara roh Saniwa dengan Touken Danshi begitu?"
Kedua Dewa Keberuntungan di hadapannya tak memberi jawaban atas rangkaian pertanyaan yang keluar dari lisannya.
"Bishamon-sama?" Chougi mencari wajah laki-laki mungil itu dengan penuh selidik, "Apa Aruji sendiri tahu kalau dirinya diikuti?"
"Sayangnya tidak." Hotei menjawab singkat. "Apapun yang kalian lakukan, tidak akan menggapai visus tuan kalian. Satu-satunya jalan agar Higashi menyadari kehadiran kesatrianya adalah dengan kalian benar-benar melakukan sebuah "kunjungan" singkat ke akademi itu."
"Kunjungan?" Chougi berusaha menutupi suaranya yang bergetar selagi Hotei mengubah bilah Koryuu Kagemitsu menjadi kuncup sakura sebelum ia mengeluarkan satu persegi panjang keperakan. Di sana berisi lima kuncup dan satu bunga sakura yang merekah lagi bersinar redup dan terang sesekali. Sama seperti irama dari degup jantung seorang manusia
"Ini milik Mikazuki Munechika." Ia menjawab seakan mengetahui apa yang Chougi pikirkan. "Jiwanya masih bersih, hidup, dan bernapas."
Tangannya menjaremba bunga sakura yang mekar dan satu yang kuncup menghitam nyaris layu. Ia menimang keduanya. Sorot gamang perlahan terbentuk menjadi sesuatu yang berbayang dengan binar yang keruh. "Itu tandanya... kelopak yang kuncup ini...?"
"Yang paling parah itu punya Higekiri." Jawaban rendah dilontarkan oleh Kita. "Bilahnya dihancurkan begitu saja. Satu-satunya cara yang bisa kita lakukan adalah menyucikan nama mereka—hanya dengan mereka kembali dalam wujud asli sebelum memiliki dua kaki dan tangan."
"Kuncup yang layu... mati?"
"Belum mati." Chougi menerima usapan kepala dari Hotei. "Mereka hanya "kalah" sesaat. Perhatikanlah, kuncup yang hitam itu masih memiliki warna merah muda. Mereka masih berjuang dari dalam agar noda itu berhenti menguasai tubuh mereka."
"Apa yang akan terjadi kalau... mereka tak mampu?"
Hotei dan Bishamon tampak kelu. Air muka mereka mendadak berubah. Suasana hati tak lagi berbunga saat keduanya tahu bahwa harapan adalah satu-satunya obat untuk bertahan. Hujan mengguyur semakin deras, gemuruh saling bersahutan pertanda atma yang tidak baik-baik saja.
"Kuncup ini akan mengering, dan mati. Begitu pula dengan roh yang ada di dalamnya."
[NIGHT RAVEN COLLEGE – RAMSHACKLE DORM.]
Sebuah siluet di bibir shoji tampak menarik langkah untuk mendekat. Satu senyum simpul dibentuk manakala bayangan itu terdengar menggerutu untuk sesaat. Pakaian tempurnya masih melekat sempurna. Tanpa peringatan, kau langsung merasa beban di punggungmu bertambah seiring dengan keluarnya desauan yang menggambarkan hal lumrah saat sesuatu dituntaskan olehnya beberapa hari lalu, "Capeknya~"
"Otsukaresama." Apresiasimu untuknya. Tangan masih memangku wajah selagi bola mata mengikuti satu persatu tulisan yang tertuang di dalam sebuah buku yang masih kau baca. "Okaeri, Daihannya Nagamitsu."
Ada pergerakan dari kepalanya saat ia sendiri memandang langit kemerahan musim gugur, "Tadaima."
"Daihannya—"
"Hannya."
"Hannya." Ulangmu mengikuti maunya. "Bukankah lebih baik kalau langsung ke ruang perawatan?"
"Tidak tidak." Tolaknya dengan cepat dan kau turut merasakan tubuhnya yang semakin melandai. "Begini cukup."
Kau tidak menjawab. Hal ini tak terjadi sekali dua sekali. Memang ada beberapa kesatria selepas terjun ke garis depan, atau melakukan ekspedisi langsung menuju ruang pribadimu tempat di mana biasa kau beristirahat. Satu yang cukup sering melakukan hal ini adalah Daihannya Nagamitsu, entah kenapa, kau tidak pernah mendapat jawaban yang jelas darinya mengapa ia memiliki sebuah kebiasaan tak biasa itu. Agaknya, sudah menjadi peraturan tak tertulis untuk dirinya sendiri agar mengunjungi tuannya dahulu sebelum melakukan perbaikan—kalau nyawanya tidak berada di ujung tanduk dan kau segera menyeretnya paksa ke ruang di mana kesatria akan diperbaiki.
Sebuah dengkuran lemah mulai terdengar. Ia tertidur saat kau menyadari lengan kokohnya melingkar di perutmu seakan-akan tidak membiarkanmu pergi walau sosoknya tidak akan tersadar hingga beberapa waktu ke depan.
Yang kau lakukan selepasnya adalah menyelipkan sebuah bantal di antara tatami dan kepala abunya dengan hati-hati bermaksud untuk tidak membangunkannya. Namun segala usaha itu tampaknya sia-sia saat kau menyadari suara pelan yang menegurmu saat tepat berdiri di bawah siraman binar senja kemerahan yang indah sebelum kau mulai melanjutkan untuk melangkah. "Keinginanku sederhana." Kau yakin ia berkata seperti itu dengan mata yang masih rapat, "Aku hanya ingin melihatmu pertama kali saat mata ini kembali terbuka. Sulitkah untukmu menungguku sesaat?"
Bunga tidur itu berakhir bersamaan dengan kau yang membuka mata. Sebuah memori singkat yang benar-benar terjadi—terhitung beberapa dekade lalu kini kembali menggerayangi alam bawah sadar di mana kau sempat tenggelam dalam sebuah lara. Benar. Daihannya Nagamitsu yang benar-benar gugur.
Namun mengapa... sakit ini tak kunjung usai? Tidak—bukan hanya Daihannya yang gugur, tetapi kau merasakan sesuatu yang bergejolak dalam dada. Mengirimkan perasaan tergelitik di dalam darah yang mengalir tanpa mengetahui jawaban yang pasti.
Apa ini? Mengapa roh suci kesatriaku tenggelam dalam lumpur pekat?
Sesak lagi-lagi terasa, sebelum kau menyadari adanya sosok lain yang melempar senyumnya untukmu. Kau yakin bahwa beberapa waktu lalu, kau masihlah seorang diri dengan segala pilu yang kau dekap bagai memeluk kaktus dengan duri menusuk melukai kulit lalu memberi warna merah yang menetes.
Kau segera terlonjak, dan sosok itu mengangkat tangan defensif.
"Tidak perlu takut." Katanya. "Sebek dan Silver agaknya masih mencari sesuatu yang hangat dan mudah untuk kau telan nantinya."
Mungil sosoknya. Surai dwiwarna dengan mata besar, dan... taring?
Ah. Inikah veteran itu?
"Air matamu tidak berhenti." Dari nada bicaranya, kau menilai bahwa sosok mungil itu sedikit menaruh rasa prihatin untukmu. "Bisakah kita berkenalan?"
Bangun dari posisi terbaring sudah kau lakukan walau kampa masih terasa begitu lekat. Akara akan bilah yang tergenang di atas genang merah nan berbau anyir itu membuat denyut dalam kepalamu semakin bertambah.
"Aku Lilia. Lilia Vanrouge. Adakah kau memiliki nama?"
"Ada..." Tak disangka, Lilia akan mendengar suara kecilnya. "Namun Saya... tidak bisa memberi tahumu."
"Tidak apa." Ia mengulurkan satu gelas air yang kau terima dalam diam. "Namun... maaf. Sesungguhnya aku meminta Silver untuk mengawasimu, dan aku mendapat laporan darinya tentang suatu yang tak kasat mata selalu mengikutimu." Tanpa bertele, Lilia langsung menjabarkan ajunnya.
"Tak—apa?"
Lilia mengangguk. "Ada seorang laki-laki pirang katanya—menangis saat kebetulan pandang mereka bertemu."
"... Yamanbagiri?"
"Entahlah." Kekeh Lilia agak ragu. "Lalu Sebek juga agak—bagaimana, ya? Ada sosok yang pernah ia lihat berdiri di belakangmu. Katanya dengan kain merah menyelempangi bahu hingga pinggang dengan warna mata biru namun agak pudar."
Kau gagal menutup mulut.
"Nori-jii?"
"Siapa mereka?"
Lilia tak mendapat jawaban.
"Dan satu sosok yang kini membelakangimu—ia sempat tersenyum tipis ke arahku tadi. Laki-laki biru, dengan manik yang menakjubkan. Namun ada kabut kesedihan di balik senyumnya, apakah itu sosok yang sama dengan yang dua itu? Kini si biru memunggungimu."
Kau terlonjak kaget hingga berdiri. Memutar tubuh ke belakang, yang ada hanyalah tangga kayu. Tak ada siapa-siapa, dan tak ada sosok yang kau duga.
"Mikazuki Munechika? Kenapa—!!"
"Aku tidak bermaksud untuk membuatmu terkejut." Kini kau kembali memberikan pandangan untuknya. "Di luar masih hujan tepat setelah kau tak sadarkan diri seperti tadi dan sampai saat ini, guyuran air tak berhenti. Seperti membawa seluruh duka yang ditumpahkan ke tanah yang berkabung. Aku ingin tahu sedikit tentangmu, apa boleh?"
Ia menepuk permukaan sofa yang kosong. Mengisyaratkanmu untuk duduk di sisinya. Dan tampaknya, orang ini memang tidak memiliki niat jahat padamu. Ia masih memasang senyumnya, walau kau tak bisa memungkiri bahwa kabut wajahnya penuh selidik terhadapmu. Kau duduk di sisinya.
"Kau bersinar. Peri memang seperti itu, tetapi sinarnya agak lain. Kau bukan peri, tetapi kau memiliki jiwa yang hidup. Maaf sekali lagi, mohon maaf..." Katanya. "Bisa aku tahu siapakah kau sebenarnya?"
"Saya tidak ingin menyeret Rajamu dalam masalah internal Saya."
"Malleus?
Lilia mendapat anggukan.
"Saya sudah coba mendiskusikan hal ini dengan pihak akademi, tetapi resikonya terlalu besar untuk pelajar di sini mengetahui "siapa" Saya sebenarnya."
"Benar dugaan kami kalau staf sekolah menyembunyikan identitasmu." Lilia mengusap dagu tanda ia menimang-nimang sesuatu. "Diasomnia mengawasimu."
"Saya tahu."
"Lalu mengapa kau diam saja? Diasomnia bisa membantumu. Kami memiliki sihir yang kuat, dan mungkin bisa meminjamkannya untukmu."
"Saya tidak ingin anak-anak saya memiliki hutang budi di sini."
"Tidak... ini bukan tentang hutang budi." Lilia membalas serius. "Aku yakin, kau memiliki sebuah tanggung jawab besar dalam dimensimu sendiri."
Kau diam saat Lilia mengunci viridianmu dengan lembut seakan meyakinkanmu tanpa suara.
"Sesuatu yang memiliki otoritas tertinggi akan sihir di sini akan menyusahkan kalian..." balasmu serendah mungkin. "Saya tidak bisa membiarkan seorang Raja ikut campur."
Apa tujuanmu bertanya seperti itu pada Tuanku?
Lilia mendengarnya. Kini yang kau lihat adalah tentang "Lilia" yang melempar pandang ke arah tak tentu. "Tidak ada." Balasnya. "Tolong simpan pedangmu, aku tidak akan membuat gadismu dalam bahaya. Jauhkan benda tajam ini dari leherku."
Mikazuki menodongkan katana-nya? Batinmu bertanya.
"Mikazuki." Panggilmu walau kau tak yakin apa yang kau lakukan ini benar. "Aku ragu Jiijii mendengarku, tetapi simpan bilahmu dalam saya. Aku tidak pernah menginginkanmu mengangkat bilah pada sosok makhluk hidup lain."
Mikazuki Munechika mendengar namanya kembali dipanggil dalam kewaspadaan yang ia pasang untuk sang kekasih. Tanpa menyela, Mikazuki menyarungkan bilahnya kembali.
"Ia menyarungkan pedangnya." Kata Lilia.
"Mikazuki... di mana?"
"Kini persis di depanmu."
"... Mikazuki?"
"Ya, Aruji?" Percuma kau menjawab, Higashi tidak akan mendengarmu. Percuma kau membelai pipinya, jemarimu tak menyentuhnya sama sekali. Tak perlulah kau menumpahkan lelehan air matamu yang hangat, Mikazuki Munechika. Karena angkasa pun masih dirundung duka atas kepergian seorang kesatria.
Lilia membawa tanganmu tanpa keraguan, kau tanpa bertanya hanya melemaskan pergelangan; merenggangkan jemarimu hingga ia sendiri yang memastikan bahwa tanganmu berhasil meraih pipi porselen Mikazuki.
Napas seakan berhenti saat kau merasakan sesuatu yang lembab kini ada di kulit jemari.
"Jangan menangis." Pintamu dengan suara yang bergetar. "Aku tidak bisa mengapus air matamu saat ini..."
"Ia berdiri. Tepat duduk di sisimu, nona." Lilia seperti seorang penghubung antara kau dan Mikazuki Munechika. "Memandang jauh ke luar, sorot matanya masih tampak begitu nestapa. Aku tidak mengerti apa yang kini tengah kalian alami namun aku yakin, ada sesuatu yang "hilang". Benar?"
Kau yang semula menoleh ke permukaan sofa yang kosong di sisimu kini kembali beralih ke Lilia. Yang dikatakannya memang benar. Ada satu roh yang hilang. Ada satu sosok yang hancur.
"Saya adalah Tsukumogami."
Lilia mengisyaratkan untukmu melanjutkan.
"Saya adalah sebuah roh yang dibangkitkan menjadi Saniwa sebagai Pelindung dan Penjaga Sejarah bersama Touken Danshi. Kami ada Tujuh. Tujuh Penjaga Sejarah yang dibangkitkan dari kirana rembulan. Kami diciptakan dari tujuh sifat mulia untuk melawan setiap tujuh sifat kedengkian yang ada di dalam pasukan hina itu."
"Tunggu. Jadi kau—katakanlah sebagai personifikasi roh dari salah satu tujuh sifat mulia yang dibangkitkan dengan binar rembulan, seperti itu?"
"Dan sosok-sosok itu menjadi Saniwa."
"Kau dari mana?"
"Takamagahara."
"Apa?"
"Kayangan. Kami semua tinggal di surga di bawah perlindungan Tujuh Dewa Keberuntungan."
"Oh, astaga..." kini Lilia memijat kepalanya pening. "Mengapa hal sebesar ini disembunyikan oleh pihak akademi..."
"Apa Anda pernah mendengar gemuruh yang datang dari bulan?"
"Sering." Ungkapnya sembari terus memijat kening. "Jangan bilang bahwa itu ada hubungannya denganmu."
"Ada."
"..." Ia mengerang seakan-akan ini kisah yang begitu ajaib. "Entah bagaimana komentar Malleus saat mendengar ini nanti."
"Saya—tidak. Saniwa adalah kunci untuk mengakhiri perang ini. Apabila kami kalah, bulan akan semakin cepat redup, dan musuh kami mendapat kemampuan yang jauh lebih besar. Bulan akan hancur dan surya juga akan mati."
"Itu tidak boleh!!" Lilia tiba-tiba bangkit dari tempatnya. "Itu tidak boleh! Bulan adalah kekuatan utama para peri di Lembah Duri dan matahari merupakan sihir yang dipakai untuk makhluk di siang hari, kau—kita tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Kau memang harus segera kembali!! Malleus akan membantu—"
"Namun resikonya adalah tadi, pihak yang memiliki otoritas tertinggi akan sihir dalam buana ini. Anda pasti tahu apa yang Saya maksud."
Gir dalam otak Lilia berputar begitu cepat untuk menemukan jawabannya dengan cepat. Sebuah puzzle akan rangkaian kalimat kini ada di dalam tempurungnya menjadi jawaban atas pernyataan yang keluar dari belah ranummu.
Di saat yang bersamaan, Silver dan Sebek sudah kembali dan membawa beberapa kantung karton yang kau yakini berisi sebuah kudapan hanya dengan mencium aromanya.
"Departemen Sihir, maksudmu?"
"Departemen Sihir?" Silver membeo dan memandang penuh tanda tanya.
"Makan ini." Sebek menyajikan sebuah krim sup yang berada di dalam mangkuk karton dan tidak menyadari gumaman pelan Lilia dan suara rendah Silver yang bertanya.
"Silver—gadis ini bukanlah gadis biasa. Aku tidak mengerti mengapa pihak akademi menyembunyikan fakta ini. Malleus harus segera tahu." Lilia berbisik.
"Baiklah nona!!" Lilia bertepuk tangan mengalihkanmu yang perlahan tengah meniup krim sup yang mengepul. "Karena Sebek sudah kembali, maka ia yang akan memastikanmu untuk menelan sesuatu."
"Tuan Lilia hendak ke mana?"
Lilia menjawab pasti memberikan ekspresi tawa di balik kacaunya pikiran dan hati yang terasa meremat jutaan pisau.
"Kembali ke Diasomnia."
date of update: December 15, 2022,
by: aoiLilac.
revision: March 18, 2023.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top